Tersenyum dalam hati saja saya mendengarnya. Lho, senyum dalam hati, maksudnya gimana toh? Hehehe. Karena saya bekerja di tempat les anak-anak, sedikit banyak saya mendengarkan curhatan atau keluhan orangtua. Salah satunya seperti bunyi kalimat di atas.
Mengapa saya senyum-senyum mendengarnya? Menurut saya, anak tak akan bisa mandiri jika ia tak pernah diajari untuk mandiri.
Adakah anak yang setelah ia lahir bisa cebok duburnya sendiri sehabis buang air besar? Tidak ada.
Adakah anak yang setelah ia lahir bisa makan sendiri tanpa disuapi? Tidak ada.
Adakah anak yang setelah ia lahir bisa berhitung, membaca, dan menulis? Tidak ada.
Dunia ini serba belajar. Anak bisa cebok sendiri sehabis buang air besar, makan sendiri, menyusun buku sendiri, sampai ia belajar tanpa perlu diteriaki dulu semuanya itu adalah pembelajaran. Tentu saja, ada pihak yang membantu mengajari anak itu untuk dapat seperti itu.
Kemandirian seperti halnya keahlian berhitung, membaca, menulis. Semuanya adalah proses belajar. Sayang sekali, kebanyakan orangtua agak menyepelekan hal ini. Mereka pikir mungkin belum saatnya anak saya untuk mandiri. Makanya, bisa-bisanya ada orangtua dengan sangat baik hati membawakan tas anaknya ke sekolah. Ya kalau sangat berat, mungkin masih dimaklumi. Ini tas isinya ringan dan anak bisa bawa dengan tenaga sendirinya, mengapa harus repot-repot dibawakan. Ada pula orangtua yang menyuapi anaknya ketika ia makan. Kalau bayi, masih wajarlah. Ini anak sudah besar, tangannya sudah bisa menggunakan sendok, mengapa juga masih disuapi. Terlalu baik terhadap anak bisa menjadi masalah tersendiri lho.
"Kamu sudah mau kelas enam. Sudah harus punya tanggung jawab", begitu teriak orangtua kepada anaknya. Dalam hati saya, iya sih, benar. Dia sudah mau kelas enam dan harusnya bertanggung jawab. Tetapi Bu, anak ini kan gak bisa bertanggung jawab dengan sendirinya kalau ia tidak pernah diusahakan untuk bertanggung jawab. Sama saja dengan kemandirian atau sifat-sifat lainnya. Anak tidak bisa paham kemandirian bila ia tidak pernah diajarkan demikian.
Anak itu makhluk egosentris seperti yang sudah saya bahas di beberapa postingan sebelumnya. Anak sedari kecil ketika ia masih bayi, apa-apa selalu disediakan, apa-apa selalu dibantu, kalau ada apa-apa selalu dilayani. Ketika ia sudah masuk usia sekolah, tiba-tiba saja ia harus mengerjakannya sendiri. Dia harus membawa tasnya sendiri, dia harus menyusun bukunya sendiri, dan lain sebagainya. Tentu ini menimbulkan rasa frustrasi tersendiri untuk anak.
Tetapi, kita sebagai orangtua tidak boleh menyerah hanya karena kasihan terhadap anak-anak kita. Kemandirian adalah bentuk kedewasaan. Kemandirian adalah bentuk pertahanan hidup. Orang pada satu momen tidak bisa terus-terus mengharapkan bantuan orang lain.
Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus memberi kepercayaan kepada anak-anak kita untuk mengerjakan sesuatu dengan sendirinya. Dan kita harus sabar dengan amat-sangat mengamati proses kemandiriannya.
Misal, membiasakan anak menyusun buku-buku pelajarannya sendiri (termasuk alat tulis dan perlengkapan lainnya) untuk hari esok.
- Kita beritahukan kepada anak bahwa inilah saatnya ia harus bertanggung jawab terhadap segala perlengkapan yang harus ia bawa untuk esok hari.
- Dia harus memeriksa sendiri buku-buku apa yang harus ia bawa termasuk alat tulis dan perlengkapan lainnya. Dia harus mencoba melakukannya sendiri.
- Mungkin awal-awal anak akan kebingungan dengan kewajibannya ini. Dia pasti tidak terbiasa. "Ah, malas," gerutu anak.
- Jangan tegur dia terlalu keras. Katakan kepadanya bahwa kita sebagai orangtua akan membantunya, seperti membantunya mengambil dan mengeluarkan buku di dalam tasnya sembari meminta si anak juga tetap mengeceknya sendiri.
- Dalam proses inilah, kita harus sabar. Sabar itu maksudnya jangan cepat-cepat memarahi anak kala ia melakukan kesalahan, semacam ini "Salah, besok bawa buku mate, bukan buku Indonesia. Agendanya dicek dong!" Perkataan kayak begitu justru cuman membuat anak makin stres. Jika ada kesalahan, jangan langsung memarahinya apalagi dengan nada tinggi. Cukup katakan dengan nada lembut. Ingat, dalam proses belajar, pasti ada benar dan salah. Kebisaan muncul karena terbiasa.
- Sesudah dua-tiga hari, barulah orangtua lepaskan bantuan dan biarkan ia melakukannya sendiri.
- Jika sesudah dilepaskan bantuannya, ia melakukan sebuah kesalahan (misal, salah membawa buku), katakanlah, mulai sekarang itu akan jadi kesalahannya. Dan bila ia dihukum guru karena kesalahannya sendiri, katakanlah bahwa ia harus dapat berlapang dada menerimanya.
Susah? Tidak pernah susah selama kita mau terus berusaha dan bersabar.
Daripada mengisi hari-hari anak dengan kata-kata, "kamu SELALU saja SALAH.... kamu TIDAK BISA apa-apa," dan kata-kata "menghukum" lainnya yang hanya membuat anak tidak percaya diri; daripada mengisi hari-hari anak dengan manjaan yang hanya membuat anak-anak menjadi egois dan selalu minta diperhatikan... bukankah lebih baik mendidik anak dengan dukungan, motivasi, dan apresiasi, serta ketegasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar