"Anak saya kalau di rumah gak mau belajar" adalah keluhan orangtua yang saya dengar di tempat kerja saya.
Sebelum saya lanjutkan tulisan saya ini, saya teringat dengan sebuah ceramah di vihara yang dibawakan oleh seorang Suhu (dalam tradisi buddhis Mahayana, umat Buddha memanggil biksu atau biksuni dengan sebutan Suhu yang berarti guru). Dalam ceramah itu, Suhu tersebut prihatin dengan pendidikan keluarga zaman sekarang, salah satunya mengenai makan bersama. Menurut Suhu itu, "Yang namanya keluarga itu harus makan di atas satu panci yang sama. Artinya, apa yang disediakan itulah yang dimakan pada hari itu. Tapi kenyataannya sekarang ini anak bisa pilih-pilih makan. 'Ma, aku mau Indomie' atau 'Ma, aku mau makan nasi goreng'."
Lanjut Suhu, "Itu rumah atau restoran? Kok anak bisa-bisanya pilih makan sendiri." Saya tertawa geli mendengar pernyataan ini. Jadi, menurut Suhu tersebut, yang disebut rumah (keluarga), harus makan makanan yang sama yang sudah dimasak pada hari itu.
Kalau saya boleh ikut berkomentar, anak memiliki lidah yang lebih sensitif dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga pahit sedikit atau asam sedikit, anak bisa rewel. Memang urusan makan, harus pintar-pintar orangtua mengatur dan membujuk anak agar dia mau makan yang menyehatkan meski tidak disukainya (misalnya, sayur)
Jadi, kalau saya boleh menggunakan analogi dari pernyataan Suhu itu, dikaitkan dengan urusan anak belajar di rumah, saya jadi ingin berkata seperti ini, "Itu rumah atau playground? Kok anak bisa-bisanya tidak mau belajar di rumah."
Kan aneh, meski anak belajar hampir setiap hari ke sekolah, anak tentu istirahat di rumah. Liburan pun mereka akan di rumah. Masak sih liburan ke sekolah!? Kan tidak.
Orangtua harus berpikir mengapa anaknya lebih mau belajar di sekolah atau di tempat les, tetapi serasa enggan belajar di kamar atau rumahnya sendiri? Apakah karena di sekolah atau di tempat les ada guru galak sehingga anak jadi mau belajar? Tentu saja bukan itu jawabannya. Lebih tepatnya, orangtua tidak mau mengkondisikan rumahnya sebagai tempat belajar untuk anak.
Saya khawatir ada orangtua yang berpikir bahwa belajar (mengerjakan PR, me-review materi ulangan) itu adalah di sekolah atau di tempat les. Rumah bukan tempat untuk semacam itu. Rumah adalah tempat anak untuk istirahat dan bermain. Wah, kalau benar ada yang berpikir begitu. Itu sangat menyedihkan.
Pendidikan adalah sinergi, kerja sama antara guru di sekolah dan orangtua di rumah. Tidak bisa hanya dibebankan kepada salah satu pihak. Anak tidak selamanya berada di sekolah. Betul!? Suatu hari, dia akan keluar dari lingkungan sekolah dan berpindah ke lingkungan lain. Menurut saya, yang namanya belajar di rumah (mengerjakan PR, me-review materi ulangan) adalah suatu bentuk latihan kepada anak agar dia kelak nantinya bisa mengurus dirinya sendiri atau bertanggung jawab pada kewajibannya.
Mari lupakan dulu soal aspek hasil belajar. Mungkin ada anak yang sudah mati-matian belajar sendiri di rumah, tetapi hasilnya tidak seoptimal seperti dia belajar di tempat les. Tentu saja itu lain persoalannya. Persoalan itu lebih kepada pemahaman materi belajar. Di sini saya membahas lebih ke persoalan sikap belajar.
Kunci agar anak mau belajar di rumah adalah kedisplinan. Anak bukanlah superman yang tahu-tahu bisa sesuatu dengan sendirinya. Segala sesuatu itu dipelajari, termasuk persoalan mau belajar sendiri di rumah. Orangtua harus tegas, bahwa ini saatnya belajar, bukan saatnya bermain. Dan harus lebih tegas lagi, ketika anak tak mau belajar serius di rumah harus ada konsekuensinya, entah itu pemotongan uang jajan, larangan keluar rumah, dan lain sebagainya.
Kedisiplinan itu mengandung dua kata kunci: pembiasaan atau pembiaran. Kalau Anda membiarkan anak Anda bisa nonton seharian di rumah atau bermain game seharian di rumah, anak tak akan terbiasa untuk belajar. Sebaliknya, jika anak dibiasakan untuk belajar, anak tak akan membiarkan tugas-tugasnya sebagai seorang pelajar.
Dan di atas kata kedisplinan, ada satu kata lagi yaitu kesabaran. Proses belajar tak bisa dipukul rata. Ada anak yang cepat memahami, ada yang tidak. Termasuk juga memahami tanggung jawabnya. Orangtua harus sabar sesabar-sabarnya untuk mengajari anaknya untuk mengerti akan tanggung jawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar