Page

29 Juni 2014

Anakku Tak Mau Belajar Di Rumah

"Anak saya kalau di rumah gak mau belajar" adalah keluhan orangtua yang saya dengar di tempat kerja saya.

Sebelum saya lanjutkan tulisan saya ini, saya teringat dengan sebuah ceramah di vihara yang dibawakan oleh seorang Suhu (dalam tradisi buddhis Mahayana, umat Buddha memanggil biksu atau biksuni dengan sebutan Suhu yang berarti guru). Dalam ceramah itu, Suhu tersebut prihatin dengan pendidikan keluarga zaman sekarang, salah satunya mengenai makan bersama. Menurut Suhu itu, "Yang namanya keluarga itu harus makan di atas satu panci yang sama. Artinya, apa yang disediakan itulah yang dimakan pada hari itu. Tapi kenyataannya sekarang ini anak bisa pilih-pilih makan. 'Ma, aku mau Indomie' atau 'Ma, aku mau makan nasi goreng'."

Lanjut Suhu, "Itu rumah atau restoran? Kok anak bisa-bisanya pilih makan sendiri." Saya tertawa geli mendengar pernyataan ini. Jadi, menurut Suhu tersebut, yang disebut rumah (keluarga), harus makan makanan yang sama yang sudah dimasak pada hari itu.

Kalau saya boleh ikut berkomentar, anak memiliki lidah yang lebih sensitif dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga pahit sedikit atau asam sedikit, anak bisa rewel. Memang urusan makan, harus pintar-pintar orangtua mengatur dan membujuk anak agar dia mau makan yang menyehatkan meski tidak disukainya (misalnya, sayur)

Jadi, kalau saya boleh menggunakan analogi dari pernyataan Suhu itu, dikaitkan dengan urusan anak belajar di rumah, saya jadi ingin berkata seperti ini, "Itu rumah atau playground? Kok anak bisa-bisanya tidak mau belajar di rumah."

Kan aneh, meski anak belajar hampir setiap hari ke sekolah, anak tentu istirahat di rumah. Liburan pun mereka akan di rumah. Masak sih liburan ke sekolah!? Kan tidak. 

Orangtua harus berpikir mengapa anaknya lebih mau belajar di sekolah atau di tempat les, tetapi serasa enggan belajar di kamar atau rumahnya sendiri? Apakah karena di sekolah atau di tempat les ada guru galak sehingga anak jadi mau belajar? Tentu saja bukan itu jawabannya. Lebih tepatnya, orangtua tidak mau mengkondisikan rumahnya sebagai tempat belajar untuk anak.

Saya khawatir ada orangtua yang berpikir bahwa belajar (mengerjakan PR, me-review materi ulangan) itu adalah di sekolah atau di tempat les. Rumah bukan tempat untuk semacam itu. Rumah adalah tempat anak untuk istirahat dan bermain. Wah, kalau benar ada yang berpikir begitu. Itu sangat menyedihkan.

Pendidikan adalah sinergi, kerja sama antara guru di sekolah dan orangtua di rumah. Tidak bisa hanya dibebankan kepada salah satu pihak. Anak tidak selamanya berada di sekolah. Betul!? Suatu hari, dia akan keluar dari lingkungan sekolah dan berpindah ke lingkungan lain. Menurut saya, yang namanya belajar di rumah (mengerjakan PR, me-review materi ulangan) adalah suatu bentuk latihan kepada anak agar dia kelak nantinya bisa mengurus dirinya sendiri atau bertanggung jawab pada kewajibannya.

Mari lupakan dulu soal aspek hasil belajar. Mungkin ada anak yang sudah mati-matian belajar sendiri di rumah, tetapi hasilnya tidak seoptimal seperti dia belajar di tempat les. Tentu saja itu lain persoalannya. Persoalan itu lebih kepada pemahaman materi belajar. Di sini saya membahas lebih ke persoalan sikap belajar.


Kunci agar anak mau belajar di rumah adalah kedisplinan. Anak bukanlah superman yang tahu-tahu bisa sesuatu dengan sendirinya. Segala sesuatu itu dipelajari, termasuk persoalan mau belajar sendiri di rumah. Orangtua harus tegas, bahwa ini saatnya belajar, bukan saatnya bermain. Dan harus lebih tegas lagi, ketika anak tak mau belajar serius di rumah harus ada konsekuensinya, entah itu pemotongan uang jajan, larangan keluar rumah, dan lain sebagainya.

Kedisiplinan itu mengandung dua kata kunci: pembiasaan atau pembiaran. Kalau Anda membiarkan anak Anda bisa nonton seharian di rumah atau bermain game seharian di rumah, anak tak akan terbiasa untuk belajar. Sebaliknya, jika anak dibiasakan untuk belajar, anak tak akan membiarkan tugas-tugasnya sebagai seorang pelajar.

Dan di atas kata kedisplinan, ada satu kata lagi yaitu kesabaran. Proses belajar tak bisa dipukul rata. Ada anak yang cepat memahami, ada yang tidak. Termasuk juga memahami tanggung jawabnya. Orangtua harus sabar sesabar-sabarnya untuk mengajari anaknya untuk mengerti akan tanggung jawabnya.

26 Juni 2014

Ayah Ibu Kok Tidak Kompak

Dalam membesarkan anak, pernah saya bahas sedikit bahwa itu adalah kerja sama. Tidak bisa salah satu pihak saja. Begitu pun dalam mendisiplinkan anak, harus dilakukan berdua dan kompak jalan pikirannya.

Saya beri contoh kasus berikut:

Mama: Nak, jangan main game terus. Ayo belajar!
Anak: Sebentar Ma.
Mama: Gak ada kata sebentar. Belajar atau Mama buang game-nya.
Papa: Udah lah Ma. Kasih main sebentar dulu saja.

Kasus di atas menunjukkan ada perbedaan pikiran antara Ibu dan Ayah. Yang satu menuntut anak untuk belajar. Yang satu lebih santai, tak mau anaknya stres belajar. Hal-hal seperti ini bisa terjadi di kasus-kasus yang lain. Semisal, Ayah melarang anaknya memiliki ponsel sendiri. Tetapi, karena Ibu kasihan, makanya dia belikan juga anaknya sebuah ponsel. Ceritanya diperparah, karena Ibu membelikan ponsel tanpa ngomong dulu kepada Ayah. Memang si Ayah tidak marah besar, tetapi cukup memnacing konflik di antara Ayah dan Ibu. Yang kasihan tentu adalah anak, ketika ia mungkin saja tahu bahwa dirinya adalah sumber masalah antara papa dan mamanya.

Perselisihan di antara Ayah dan Ibu seringkali terjadi dikarenakan masalah anak. Perbedaan dalam membesarkan anak bukan persoalan jenis kelamin, melainkan persoalan siapa yang merasa lebih tahu yang terbaik kepada anak. Masing-masing merasa tahu benar harusnya anak dibesarkan dengan cara seperti apa, entah itu cara yang lembut atau cara yang tegas. Kalau tidak ada win-win solution atau jalan keluar yang terbaik di antara keduanya, tidaklah heran di kemudian hari bila nanti akan ada konflik-konflik antara pihak Ayah atau Ibu.

Oleh karena itu, dalam membesarkan anak harus ada komunikasi di antara orangtua dalam segala hal, baik itu urusan kedisiplinan, urusan pemberian hadiah, urusan sekolah, urusan les, dan lain sebagainya. Terkadang masalah dalam membesarkan anak bisa muncul adalah ketika Ayah dan Ibu sama-sama keras kepala, tidak mau mengalah, dan tidak mau mengkomunikasikan pendapat atau perasaannya dengan clear.

Jadi seperti apakah yang disebut kompak membesarkan anak. Contohnya sebagai berikut:
Mama: Nak, jangan main game terus. Ayo belajar!
Anak: Sebentar Ma.
Mama: Gak ada kata sebentar. Belajar atau Mama buang game-nya.
Papa: Iya Nak. Ayo belajar dulu.
Terlihat di atas antara Mama dan Papa sama-sama kompak. Mungkin Mama bicara dengan nada lebih tegas, sementara Papa lebih lembut. Tetapi inti pemikirannya keduanya sama, yaitu mau anaknya belajar dulu.

Mama dan Papa dalam satu rumah bisa saja tidak kompak. Apalagi jika ada pembantu, baby sitter, atau mertua di rumah? Wah, biasanya itu lebih rumit lagi. Oleh karena itu, membesarkan anak harus ada komunikasi di antara orang serumah.

7 Juni 2014

Hidup dalam Kekinian

Sumber: ronniespirit.com
Sepanjang saya lahir hingga sekarang, saya cuman belajar satu agama saja: Agama Buddha. Saya tidak tahu secara detail dan jelas filosofi agama lain seperti apa. Tetapi, dalam buddhis, saya belajar sebuah filosofi yang saya sukai, meski sulit dipraktikkan. Filosofi itu adalah mindfullness. Dalam buku-buku buddhis sering diterjemahkan sebagai "penyadaran penuh". Dengan kata lain, sadar sepenuhnya dengan segala laku dan pikiran kita.


Contoh nyata praktik mindfull adalah hidup di saat ini. Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk hidup dalam kekinian (living in a present moment). Artinya, tidak larut dalam lamunan masa lalu dan tidak cemas dengan khayalan masa depan. Karena yang berlalu, sudah berlalu. Sementara yang belum datang, belum dapat dipastikan. Hiduplah kini dan di sini (here and now).

Okelah, saya harus ingetin blog ini bukan blog dakwah. Saya tidak sedang berkotbah. Saya cuman mau menjelaskan lebih lanjut konsep kini dan di sini dari sudut pandang saya.

Seberapa penting sih hidup dalam kekinian? Penting banget kalau menurut saya. Banyak orang yang punya masalah psikologis atau masalah-masalah lain terkait hidupnya biasanya bersumber dari masa lalu. Orang-orang yang punya fobia biasa karena mereka punya pengalaman kurang menyenangkan terhadap objek fobianya. Atau, orang-orang yang kurang percaya diri juga biasa dikarenakan ada pengalaman yang kurang enak di masa lalu (mungkin karena kerap mendapat verbal abuse, diremehkan, atau ditolak). Orang-orang seperti ini tanpa sadar membawa benih-benih masa lalu ke dalam memori sehingga membentuk diri dan perilaku mereka seperti saat ini. Sebagian dari mereka sadar dengan masa lalunya, apa yang mereka alami saat itu, tetapi mereka adalah orang-orang yang hmm... pakai istilah gaul, gagal move on. Mereka gagal beranjak dari masa lalu.

Lalu, orang yang terus mencemaskan masa depan juga bukan orang yang dibilang sehat. Kita belum tahu apa yang terjadi, eh tetapi kita sudah ketakutan duluan. Biasanya suka dialami pelajar yang mau menghadapi ujian nih. Bolak-balik mereka membuka halaman-halaman buku mereka bahkan di detik-detik ujian mau dimulai masih saja membaca catatan, karena mereka takut lupa atau takut bila soal itu susah. Padahal belum tentu sesusah yang dibayangkan. Orang-orang yang terlalu mengkhawatirkan apa yang terjadi bisa dibilang juga... gagal move on. Gagal melangkah menghadapi masa depan yang tak pasti.

Jadi, bagaimana seharusnya menghadapi hidup? Yang harus kita lakukan ya itu tadi... hidup dalam kekinian. Banyak orang yang terlalu sibuk memikirkan masa lalu atau masa depan sampai lupa apa yang sedang ia lakukan saat ini. Saat mereka terbangun dari lamunan dan khayalan itu (baca: tersadar), waktu telah berlalu begitu cepat. Lalu... nyesel.

Dalam bidang psikologi, ada terapi yang dikenal terapi Gestalt. Terapi ini meminta klien untuk melihat dan memahami apa yang sedang ia rasakan dan apa yang sedang ia pikirkan. Kemudian, terapis akan menuntun klien untuk dapat menangani masalahnya dengan penuh rasa tanggung jawab. Terapi Gestalt ini jelas mengandung pemikiran bahwa seseorang harus hidup dalam kekinian.

Terus, pertanyaannya: Jadi apakah boleh memikirkan masa lalu? Tentu saja boleh. Masa lalu adalah pelajaran. Soekarno pernah mengatakan jas merah yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah. Keberadaan kita tak pernah lepas dari masa lalu. Setiap detik yang kita lewati sebetulnya sudah jadi masa lalu.

Apakah boleh memikirkan masa depan, semisal merencanakan karir? Tentu saja boleh. Bahkan, Buddha yang mengajarkan hidup dalam kekinian juga memperbolehkan manusia punya keinginan, seperti keinginan untuk hidup kaya atau terlahir di surga.

Hidup dalam kekinian bukan berarti tidak memikirkan masa lalu atau masa depan sama sekali. Hidup dalam kekinian bukan berarti juga hidup seperti tidak memiliki tujuan. Sebenarnya hidup dalam kekinian adalah hidup yang bertujuan.

Sebenarnya bagaimana sih menerapkan hidup di saat ini atau hidup di dalam kekinian? Caramya dengan menanyakan kepada diri sendiri, "Sedang apa aku sekarang?", "Apa yang harus aku lakukan ke depannya?", "Apa yang harus aku lakukan saat ini?" Kebanyakan orang tidak sadar dia telah menghabiskan waktunya dengan kegiatan tak berguna, seperti melamun dan berandai-andai.

Misal "Sedang apa aku sekarang? Aku sedang mengerjakan tugas sekolah/kuliah. Apa yang harus aku lakukan ke depannya? Aku harus mengerjakannya sampai tuntas. Jadi, apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku mengerjakan tugas-tugas ini sekarang juga."

Atau, kasus lain. "Aku sedang patah hati, baru saja diputuskan pacar. Apa yang harus aku lakukan ke depannya? Aku ingin mengatasi kesedihan ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang untuk mengatasi kesedihan ini? Aku perlu menghubungi teman-temanku untuk bercerita. Jadi yang ku lakukan sekarang adalah mengambil ponsel dan menghubungi salah satu dari temanku."

Orang yang hidup di saat ini adalah orang yang jelas-jelas memiliki tujuan. Mereka sangat fokus dengan apa yang sedang mereka kerjakan.

Jangan biarkan pikiran disibukkan dengan hal-hal yang sudah berlalu atau pun hal-hal yang belum datang. Ibarat mau ke pantai seberang, celakanya tak bisa maju-maju. Rupanya karena kita masih belum melepas jangkar dari perahu kita. Atau, pas kita sudah menaiki perahu, tetapi lagi-lagi kok tak maju-maju. Rupanya karena kita selalu terbayang-bayang badai yang ada di depan. Orang yang tak bisa maju-maju ini bisa disebut... lagi galau. Jadi lakukan yang terbaik untuk saat ini.


1 Juni 2014

Ini Ceritaku dan Karyaku

Selamat datang bulan Juni 2014. Tidak seperti bulan Mei, bulan Juni 2014 adalah bulan yang tidak ada tanggal merahnya selain hari Minggu. Begitulah nasib para pekerja. Selalu mendambakan hari libur lebih dari Sabtu dan Minggu.

Belakangan ini saya mulai aktif meng-update blog. Kebanyakan isi blog ini lagi seputar tentang pengasuhan anak (parenting). Itu karena saya kerja di sebuah tempat les sehingga banyak bersinggungan dengan dunia anak dan dunia parenting. Saya mengamati orangtua zaman sekarang agak frustrasi dalam mendidik anak. Sebenarnya saya juga sih (maaf, ikutan curhat). Pertama-tama, pelajaran sekolah sekarang lebih susah. Mosok anak kelas 4 SD sudah harus belajar tentang tugas-tugas presiden, DPR, MPR, DPD, BPK, dan lain-lain. Kayaknya dulu saya enggak deh. Saya sendiri yang sekarang sudah sarjana saja tidak begitu menguasai masalah tata negara.

Lalu, perilaku anak sekarang pun (kebanyakan yang saya temui sih) lebih susah diatur. Hal yang memprihatinkan bagi saya selanjutnya: anak-anak sekarang seperti kebanyakan les/belajar. Bahkan, anak usia 3 tahun pun sudah dileskan atau disekolahkan. Apakah benar belajar sejak dini memberikan manfaat kepada anak, entah itu secara intelektual, gerak motorik, atau psikologis? Adakah yang bisa berikan tanggapan? Silakan jika ada...

Ya itu sekelumit tentang dunia yang sedang saya hadapi. Tulisan-tulisan seperti itu kelihatannya masih akan bertambah. By the way, blog saya memang agak sedikit random. Kadang isinya tentang curhat, kadang isinya tentang humor, kadang isinya tentang motivasi, dan macam-macam. Blog saya ibarat cap cai atau gado-gado kali ya. Hehe.

Blog ini memang tidak dikhususkan untuk berbicara satu topik. Blog ini memang dibuat untuk mendokumentasikan pikiran-pikiran saya. Saya senang berpikir dan senang menulis sejak dulu. Bahkan waktu kecil saya ingat saya sering mencoret-coret sesuatu di kertas, lalu habis itu saya buang. Hehe. Banyak ide/curahan hati yang sering muncul, terlintas begitu saja, biasanya sih paling sering muncul pas menjelang tidur. Sayang juga kalau ide-ide atau curahan-curahan itu tidak dituliskan. Oleh sebab itu, saya gak pernah pusing apakah blog ini dibaca atau enggak, dikomentari atau enggak. Syukur-syukur kalau ada yang diam-diam ngefans tulisan saya. Hehehe.... Blog ini sengaja dibuat hanya demi menyimpan buah pikiran atau buah perasaan saya. Amit-amit... barangkali saya amnesia suatu hari nanti. Blog ini bisa mengingatkan siapa saya, apa sepak terjang saya di kala dulu.

Blog ini bisa dibaca oleh siapa saja, jadinya saya gak akan menulis sesuatu yang sifatnya terlalu pribadi atau terlalu aib di sini. Yang lebih aib, lebih rahasia saya punya semacam catatan tersendiri yang gak boleh dibaca siapa pun...

Orang yang pandai melukis membuat lukisan. Orang yang pandai bermain alat musik membuat lagu. Setiap orang punya keahliannya masing-masing. Jadilah, saya sebagai orang yang pandai menulis membuat tulisan. Sebenarnya dibilang pandai, gak juga sih. Cuman daripada menggambar atau memainkan instrumen musik, ya kemampuan saya merangkai kalimat masih lebih baik lah.

Saya mau cerita sedikit mengenai apa yang terjadi di tahun 2013 yang mungkin belum sempat diceritakan. Sebagian besar kawan saya di Facebook sudah mengetahui saya telah menghasilkan satu karya yang telah dipublikasikan. Di tahun 2013 itu sebenarnya saya juga sudah menghasilkan sebuah novel komedi. Saya berikan hard copy novel komedi ini ke beberapa teman terdekat saya. Komentar dari mereka sih, katanya lucu dan menghibur. Iseng-iseng saja, saya mengajukan novel ini ke dua penerbit besar. Hasilnya saya mendapat surat cinta penolakan dari kedua penerbit itu. Haha. Saya sih gak sedih waktu mendapat surat cinta penolakan. Soalnya saya juga gak merasa itu novel yang bagus. Toh, Debbie (teman saya yang penulis betulan) yang saya daulat untuk baca memberikan komentar langsung di depan muka saya. Katanya, dia sama sekali gak dapat pesan setelah baca novel itu. Lalu novel itu garing, katanya. Bermaksud lucu tetapi gak lucu sama sekali. Tuh kan benar. Gak bagus. Tetapi dia menyemangati saya. Katanya, saya pasti bisa menulis lebih dari itu. Ya, Deb. Suatu hari, gue akan buktikan gue bisa menulis novel yang nantinya membuat lu terpukau.

Ah, bicara tentang membuat novel, yang saya idam-idamkan sejak dulu, kadang-kadang ya bikin saya sakit kepala juga. Meski ide besar sudah ada, tetapi meramunya menjadi matang... ah susah sekali. Passion oh passion. Mengejarnya bak mengejar bintang di langit.

Nah, di tahun 2013 itu saya juga sempat membukukan karya-karya saya ke dalam bentuk naskah yang dijilid. Ada dua. Saya beri judul 25 Karya Kumpulan Puisi dan 25 Karya Kumpulan Tulisan. Naskah itu saya berikan secara gratis ke beberapa teman terdekat saya sebagai hadiah pertemanan. Mengapa 25 karya? Itu untuk memperingati usia saya yang ke-25 di tahun 2013. Kalau lihat jumlahnya, wah... sudah banyak ya, tulisan-tulisan saya. Belum lagi tulisan di blog, tulisan di majalah kampus, dan tulisan di catatan pribadi tentunya.... banyak banget ya... Hahaha....

Sekarang saya mau ceritakan kesibukan saya. Sehabis lulus kuliah, ngapain saja? Kerja. Tapi, mosok kerja-kerja saja. Ya enggak lah. Sekarang saya lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca dan menonton film di internet. Untuk selingan, bermain game dan ngemil. Kalau hari Minggu, sesempat-sempatnya pergi ke tempat ibadah.

Bila orang-orang bertanya kepada saya, ngapain ke tempat ibadah? Masuk surga? Ah, enggak lah. Terlalu jauh. Gak kepikiran sampai ke sana. Dapat pahala? Ah itu kok tujuannya terdengar egois amat ya. Saya akan jawab begini: Untuk mengingatkan diri saya untuk selalu berbuat baik. Manusia gak pernah lepas dari kesalahan kan ya. Menurut saya, kita ke tempat ibadah untuk menyadarkan kita bahwa kita sebagai manusia seharusnya berbuat hal-hal yang baik, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Terus, kalau ada jodoh, saya akan pergi hangout dengan teman-teman saya. Tetapi, kalau enggak jodoh, ya sudah saya habiskan waktu saya sendirian dengan cuci mata ke mall terdekat. Kehidupan setelah lulus kuliah memang berbeda dengan kehdupan ketika kuliah.

Sekarang orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang sibuk berbisnis, ada yang sibuk les bahasa, ada yang sibuk dengan anak-anaknya. Yang dulunya dekat, sekarang gak dekat lagi. Tetapi, biasanya akan ada sedikit orang yang masih dekat dengan kita.

Oh, saya mesti cerita, teman baik saya di Tangerang telah menikah Februari lalu dan dalam waktu dekat ini akan punya anak. Teman saya ini dari jomblo, putus... eh sekarang menikah dan bakalan jadi seorang Ibu. Kalau saya.... masih jomblo-jomblo saja. Haha...

Hidup ini memang berubah. Gak cuman saya, ya kamu juga berubah. Lalu mereka dan semuanya. Yang merasakan gak cuman saya, yang lain juga begitu. Nih saya temukan satu gambar menarik dari Path.


Kurang-lebih itu dulu yang saya bisa saya ceritakan. Besok hari Senin soalnya. Hehe... nantikan tulisan-tulisan saya berikutnya ya...