Page

21 Desember 2019

ULASAN BUKU IQ84 - Jalinan Cinta di Dunia yang Berbahaya

Pengarang: Haruki Murakami
Penerjemah: Ribeka Ota
Tahun Terbit Asli: 2009 (jilid 1 dan 2), 2010 (jilid 3)
Tahun Terbit Terjemahan: 2013 (cetakan pertama)
Penerbit Indonesia: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Ketika melihat judul buku IQ84, ingatan saya langsung meluncur ke novel George Orwell 1984 yang terkenal itu. Kenyataannya memang Haruki Murakami mengambil inspirasi dari mahakarya tersebut. Novel ini dibagi ke dalam tiga jilid. Setiap jilidnya berkisar 500-an halaman (buku terjemahan( sehingga totalnya 1500-an halaman! Wow.

Jika Anda membaca deskripsi belakang buku, Anda tidak akan mendapat secuil informasi yang jelas tentang apa sih novel ini.

Latar waktu cerita adalah tahun 1984. Cerita dibuka dengan Aomame yang terjebak macet di jalan tol saat menumpangi taksi. Karena ada urusan penting, Aomame mendapat saran dari sopir taksi untuk turun melalui tangga darurat. Setelah turun dari sana, Aomame yang memiliki ingatan saat bagus menyadari dunia sekitarnya telah berubah. Ia lalu menyebutnya dunianya saat ini sebagai IQ84.

Nun jauh dari tempat Aomame, seorang guru matematika yang berambisi menjadi penulis bernama Tengo diminta Komatsu, editor sebuah majalah, untuk menulis ulang naskah berjudul Kepompong Udara, yang dikarang oleh gadis berusia 17 tahun.

Kisah Tengo dan kisah Aomame nantinya akan saling bertaut. Novel jilid pertama dan kedua akan saling bergantian menceritakan kehidupan Aomame yang cenderung kelam dan kehidupan Tengo yang biasa-biasa saja. Keduanya mendapati bahwa kehidupan mereka tidak lagi sama. Sesuatu akan mengancam mereka.

Tema keagamaan mendapat sorotan utama dari novel ini. IQ84 menyorot sebuah organisasi keagamaan yang kaku, yang mengalienasi perilaku anggotanya dari kehidupan sosial masyarakat. Nantinya kita akan diperkenalkan dengan detektif partikelir bernama Ushikawa. Organisasi keagamaan ini akan meminta Ushikawa menyelidiki sebuah pembunuhan yang melibatkan Aomame dan juga Tengo.

Ini pertama kalinya saya membaca novel Murakami. Saya akui Murakami sangat terampil dalam menulis deskripsi tokoh, latar belakang tokoh, serta tingkah laku tokoh. Bahkan, menurut saya sangat teramat detail. Adegan pergi buang air kecil saja sampai ditulis di novel ini. Maka, meski novel ini terbilang tebal, sebetulnya tidak terlalu membosankan untuk dibaca. Tidak seperti dialog serial J-drama yang cenderung sulit, dialog-dialog IQ84 mengalir dengan lancar dan mudah dipahami. Terjemahan novel ini pun sangat baik.

 Hanya saja, saya menemukan beberapa kesalahan ketik:
  • Pada jilid pertama, halaman 109, di paragaf terakhir, Komatsu berbicara kepada Tengo, "Lakukanlah, Tengo. Aku mengandalkanmu. Kamu dan aku bekerja sama mengantarkan suami dan anaknya ke stasiun dengan mobil. Siang itu rencananya dia akan datang ke apartemen menggulingkan dunia." Paragraf ini terasa aneh dan benar saja, kalimat Komatsu yang saya cetak tebal terulang lagi pada paragraf selanjutnya. Pukul 9 lewat . . .  setelah dia mengantarkan suami dan anaknya ke stasiun dengan mobil. Siang itu rencananya dia akan ke apartemen Tengo. . .
  • Pada jilid kedua, halaman 401, kata setelah ditulis setela.3h
  • Pada jilid ketiga, halaman 309, tanda persentase (%) diberi spasi setelah angka, padahal seharusnya tidak usah.
  • Pada jilid ketiga, halaman 509, bergeraknya ditulis bergerakny (kurang 1 huruf).

Terlepas kesalahan ketik kecil itu, bagi kalian yang senang membaca novel tebal dan sedikit mengandung misteri dan thriller, novel ini cocok untuk Anda yang sudah dewasa.

Banyak Adegan Dewasa

Kata dewasa memang perlu saya tebalkan. Di dalam forum Goodreads, seorang pembaca mempertanyakan tentang hiperseksualitas dalam kisah IQ84. Memang banyak sekali adegan seks dalam buku ini yang ditutur secara frontal sehingga novel ini kurang cocok untuk dikonsumsi anak maupun remaja.

Adegan yang absurd adalah hubungan seks antara seorang gadis remaja, bahkan praremaja, dengan orang dewasa. Timbul perdebatan adegan ini di internet. Sebagian besar mengatakan hal tersebut terkait dengan jalan cerita. 

Sebagian justru terganggu dengan fantasi seksual berlebih dari sang penulis. Entah apa alasannya Murakami sepertinya memiliki obsesi dengan buah dada wanita. Penjelasan ukuran buah dada banyak diperbincangkan di buku ini.

Novel Romansa, Bukan Novel Thriller

Sudah saya singgung di paragraf-paragraf awal: "Sedikit mengandung misteri dan thriller..." Jilid pertama sebenarnya sudah menarik. Kita akan dibawa ke dalam misteri buku yang ditulis Tengo dan kehidupan rahasia Aomame. Tensi meningkat di jilid kedua. Tengo dan Aomame benar-benar masuk ke dalam situasi berbahaya.

Tetapi, masuk ke dalam jilid ketiga. Cerita menjadi antiklimaks, dan menurut saya pribadi, membosankan. Kita hanya mendapati Aomame dan Tengo terjebak dalam rutinitas menjemukan di lokasi yang itu-itu saja. Untunglah kehadiran Ushikawa sebagai tokoh sentral di jilid ketiga menjadi penghangat kebosanan.

Menjelang akhir jilid ketiga, saya malah tidak mau berharap banyak dengan ending-nya seperti apa. Sudah saya duga lubang besar pasti akan sengaja ditinggalkan. Simpulan akhir terserah pembaca saja, barangkali begitu jawaban Murakami jika ditanya.

Jadi, ini cerita romansa. Ini adalah kisah antara Aomame dan Tengo yang terjebak dalam dunia yang berbahaya.

Bukan Dunia yang Baik-Baik Saja

IQ84 tidak seperti 1984. Tidak ada Big Brother yang mengawasi. Tetapi, yang mengawasi adalah seseorang dalam diri masing-masing. IQ84 adalah sebuah realita yang lebih kejam. Murakami seakan ingin mengatakan bahwa dunia sesungguhnya tidak pernah baik-baik saja. Selalu ada kegelapan di balik nurani yang bersih.

Bukankah kita sering membaca, seorang pemimpin agama yang seharusnya menjadi teladan malah menyalahgunakan kharismanya untuk melakukan aksi pencabulan? Isu ini disentil Murakami. Bukan hanya itu, organisasi keagamaan yang membatasi, perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, hubungan orang tua-anak, hingga perasaan kesepian merupakan tema-tema yang diangkat pada buku ini, dan Murakami membuatnya lebih jelas.

16 Desember 2019

ULASAN FILM Frozen 2 - Sudah Bagus Semoga Tidak Dilanjutkan Lagi


Poster rilis. Sumber: en.wikipedia.org
Sutradara: Chris Buck dan Jennifer Lee
Pengisi Suara: Kristen Bell, Idina Menzel, Josh Gad, Jonathan Groff
Rumah Produksi:Walt Disney Animation Studios
Tahun Produksi: 2019
Durasi: 103 menit

Ketika gema film Frozen (pertama), saya tidak menontonnya di bioskop, malah menontonnya di rumah teman saya. Tentu saja mohon maaf, saya menonton versi bajakan.

Intermezzo sedikit. Untuk film yang tidak terlalu bikin saya penasaran, saya biasanya tidak tertarik menonton di bioskop. Lebih baik menunggu keluar di aplikasi film streaming berbayar atau errr (mohon maaf lagi) yang ilegal. Menurut saya, film-film besutan Disney apalagi bertemakan tuan puteri dan kerajaan pasti hanya menceritakan romansa pria-wanita, happy ending. Bisa ditebak jalan ceritanya. Bagi pria, premis cerita seperti ini kurang menarik untuk adrenalin kami. It's not a guy movie.

Biarpun begitu, saya cukup kepincut dengan lagu Frozen yang berjudul Let It Go. Saya tahu lagu ini karena sempat trending di Youtube dan banyak orang yang meng-cover-nya. Harus saya akui lagu Let It Go sangat catchy, apalagi dinyanyikan dalam bermacam-macam bahasa.

Oke, balik lagi ke film Frozen pertama.

Sesudah menonton di rumah teman saya, prasangka saya langsung berubah. Harus saya akui, premis ceritanya agak unik, bukan romansa pria-wanita yang ditonjolkan, melainkan persaudarian (sisterhood). Semakin menarik karena film Frozen juga menampilkan beberapa aksi laga. Cerita tentang puteri-puterian, tetapi ada bumbu-bumbu sihir. Keren.

Dan yang paling menarik adalah lagu-lagunya. Beberapa film Disney selalu populer berkat lagu soundtrack-nya. Tetapi, Frozen ini beda. Lagu-lagu yang dihadirkan jumlahnya lebih dari satu. Seluruhnya lagunya disajikan dalam bentuk teatrikal (khas Disney), tetapi sangat menghibur.

Akhirnya, saya paham kenapa Frozen bisa meledak di pasaran. Lagu yang enak didengar dan jalan cerita yang tidak biasa. Saya yakin Elsa, Anna, dan Olaf menjadi tokoh-tokoh yang melekat di hati anak-anak generasi 2000-an. Kelihatannya Disney cukup berhasil meramu sebuah dongeng baru.

Keberhasilan film pertama tentu ingin dilanjutkan kembali oleh Disney. Frozen 2 dirilis di pasar Indonesia pada 20 November 2019.

Maka, saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini saya benar-benar ingin menikmati Frozen 2 melalui layar lebar.

Ending film Frozen pertama sudah berakhir dengan bahagia. Kita lantas akan bertanya-tanya: Apa lagi yang mau ditawarkan dari Frozen 2? Tidak cukupkah Disney mengganggu kita (orang tua) dengan nyanyian Let It Go?

Cerita yang Lebih Gelap

Ketika cuplikan film keduanya muncul, kita diberikan suguhan adegan Elsa dalam pekatnya malam sedang berusaha mengarungi ombak ganas.

Dari situ saja, kita sudah tahu bahwa film Frozen 2 memiliki tema cerita yang lebih gelap dan dewasa dari film pertamanya. Toh, wajar-wajar saja. Film ini dirilis 6 tahun sesudah film pertamanya. Anak-anak yang menonton pada saat itu pasti sudah lebih besar.

Jalan ceritanya sendiri bermula dari suara-suara misterius yang mengusik Elsa sampai kemudian terjadi bencana yang menghancurkan Kerajaan Arandelle. Elsa memutuskan mencari sosok di balik suara-suara misterius itu. Elsa tidak sendirian bertualang. Ia masih ditemani adiknya Anna, boneka salju Olaf, Kristoff bersama rusa kutub sahabatnya Sven. Tidak ada tambahan tokoh baru yang signifikan. Cerita masih berkutat di antara kelima tokoh tersebut.

Frozen 2 akan mendekatkan kita pada latar belakang keluarga Arandelle. Tokoh-tokoh utama digambarkan lebih dewasa. Kita akan dibuat terpingkal dengan aksi Kristoff yang mencoba merayu Anna. Olaf lebih bawel di film kedua ini. Bahkan ada adegan kocak dari Olaf, yaitu saat Olaf mengenang kembali cerita Frozen pertama dan saya yakin pasti akan mengundang tawa kalian. Kalau ada pemeran pendukung terbaik, saya akan lebih memilih Olaf daripada Anna atau Kristoff.

Oke, dengan premis cerita seperti ini, apakah Frozen 2 menjadi lebih baik?

Secara umum, tidak bisa dikatakan lebih baik. Dari segi special effect, jauh lebih keren. Sihir es Elsa kali ini jauh lebih memukau dan bikin berdecak kagum. Tetapi, plot ceritanya agak mudah ditebak. Malah, ada sedikit kesamaan antara plot cerita Brave (karya Pixar) dan Frozen 2.

Disney kelihatannya mengerti benar tentang kekuatan sebuah lagu. Maka, lagu-lagu dijejalkan sejak pembukaan film, termasuk lagu andalannya Into The Unknown yang bisa kita didengar di awal-awal. Sebetulnya lagu-lagu OST Frozen 2 lebih bagus dan lebih bertenaga, tetapi perlu diakui memang masih kalah catchy dengan lagu Frozen pertama.

Konflik yang Kurang Mengigit

Pada dasarnya film Frozen bukan film petualangan sejati. Memang sih ada beberapa aksi laga, yang kali ini lebih sengit. Apa yang membuat saya memasukkan Frozen ke dalam film keluarga, karena film Frozen tidak memiliki antagonis kuat seperti dalam cerita Aladdin atau Aurora.

Coba ingat-ingat siapa antagonis film Frozen pertama? Si mantan kekasih Anna? Bukan, bukan dia. Antagonis film Frozen sesungguhnya adalah Elsa sendiri. Bahkan di film kedua ini, tokoh antagonis masih terlihat samar. Bahkan, kita seolah-olah sedang menyaksikan Elsa sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Kata "fear"atau ketakutan beberapa kali disebut, baik itu di film pertama maupun film kedua.

Film heroik mudah "terangkat" dengan kehadiran antagonis yang superkeren. Sementara itu, film keluarga sangat mengandalkan konflik yang terjadi antara para tokoh utama. Itulah mungkin satu titik lemah dalam film Frozen 2. Tidak seperti film pertama, di sekuelnya ini tidak ada konflik yang membuat kita jadi bersimpati. Malah, mungkin di penghujung cerita, kita akan bergumam, "Oh jadi begitu saja..."

Benar-Benar Film Keluarga

Melihat Elsa, saya jadi teringat dengan Avatar: Legend of Aang. Elsa ini mungkin bisa disebut sebagai pengendali es. Saya lalu membayangkan Elsa dengan kekuatan esnya mengalahkan seorang penyihir dengan kekuatan api. Bakal terlihat keren. Tetapi, kalau nanti seperti itu, saya yakin malah akan merusak genre cerita. Jadi, lebih tidak, tidak, dan tidak.

Frozen adalah benar-benar film keluarga. Benar-benar film tentang persaudarian.

Saya malah sedikit gemas dengan tingkahnya Anna. Saya yakin Anna ini benar-benar puteri sejati. Bahkan, main pedang pun pasti tidak bisa. Tetapi, kok berani-beraninya mencoba melindungi Elsa? Lalu, kehadiran Kristoff sebagai satu-satunya pria tidak banyak membantu. Bukannya melindungi kedua tuan puteri ini, malah sibuk dengan urusannya sendiri.

Oya, yang agak saya bingung, kenapa Ratu dan Tuan Puteri bisa berjalan-jalan ke luar istana tanpa pengawalan ketat? Apakah Arandelle cuman sebesar kelurahan? Lalu, kenapa Kristoff bisa masuk ke dalam lingkungan istana dengan hanya berbekal peran pacar tuan puteri?

Ah sudahlah, tidak usah dipusingkan. Film keluarga sebaiknya tidak usah berbelit-belit. Sekarang mari kita biarkan saja Anna dan Elsa menjalani kehidupan normal sebagai tuan puteri. Jangan kita ganggu mereka dengan konflik remeh, seperti rebutan suami, rebutan warisan, atau masyarakat Arandelle yang berdemo karena kenaikan harga pangan.

Ending Frozen 2 menurut saya sudah bagus dan sepantasnya seperti itu. Lebih baik kita sudahi akhir cerita Frozen seperti ini, dan berharap jangan ada kelanjutannya lagi.

By the way, di akhir film Frozen 2, ada post-credit scene, tetapi jika mau dilewatkan pun tidak ada masalah kok.