Page

27 Mei 2014

Anakmu, Anakku, atau Anak Kita

Mungkin ada yang pernah (atau sering) mendengarkan pernyataan seperti ini di keluarga, "Mami... anakmu ini gak bisa bantu orangtua," keluh seorang ayah. Atau, kali ini giliran ibu yang berkata, "Papa... Anakmu itu lho... nonton TV terus kerjaanya," Yang saya tekankan di sini adalah kata anakmu.

Terdengar lucu ya, padahal anak itu adalah anak mereka. Anak hasil bikinan berdua. Kok, pakai kata anakmu? Harusnya kan anak kita. Hehe.

Secara alamiah, manusia memang paling senang menyalahkan orang lain. Jadi, ketika mengalami sebuah masalah, yang disalahkan ialah orang lain. Ketika anak bermasalah, lalu menuding adalah kesalahan itu adalah karena salah satu pihak, "Anakmu..." Coba kalau anak itu membanggakan, misalnya dapat juara kelas, maka yang dikatakan adalah, "Ini baru namanya anak Papa...", "Hebat nih anak Mama..." Tuh kan. Kalau yang bagus-bagus, diakui sebagai hasil jerih payah usahanya. Yang jelek-jelek, kasih ke orang lain saja. Hehehe.

"Anakmu" atau "anakku" bukanlah istilah yang tepat. Harusnya itu "anak kita". Mungkin terlalu berlebihan saya memperkarakan istilah "anakmu" dan "anakku". Yang ingin saya sorot di sini adalah saya sekadar mengingatkan bahwa anak adalah hasil buah cinta Ayah dan Ibu, dari soal fisik hingga soal perilaku. Baik-buruk anak adalah bentukan dari Ayah dan Ibunya. Tidak bisa menyalahkan salah satu pihak.

Masyarakat yang masih konvesional memang berpendirian Ayah adalah pencari nafkah sementara Ibu adalah pengurus rumah tangga dan pengasuh anak. Karena itu ada sentimen bila anak tidak bertumbuh kembang dengan baik, pastinya itu salah asuh Ibunya. Tidak mengherankan bila anak lebih dekat dengan Ibu daripada Ayah. Tetapi, apakah itu mengharuskan Ayah cuek-cuek saja dengan perkembangan perilaku anak, entah itu persoalannya di sekolah, persoalannya di rumah, maupun di tempat lain?

Namun di kehidupan modern sekarang menuntut Ibu juga harus menjadi pencari nafkah. Karena kehidupan keluarga zaman sekarang tidak cukup bila hanya mengandalkan pemasukan salah satu pihak. Nah, kalau kasus yang begini, siapakah yang harus terlibat dalam membesarkan dan merawat anak?

Pendapat saya, sebagaimana anak diciptakan karena kerja sama antara Ayah dan Ibu plus ditambah cinta, demikianlah membesarkan juga mendidik sang anak haruslah kerja sama antara Ayah dan Ibu.

Ayah, Ibu jangan menuding kesalahan kepada salah satu pihak bila itu terkait dengan anak. Marilah saling berkomunikasi lalu mengupayakan yang terbaik untuk anak.

24 Mei 2014

Sejenak Curhat

Aku tak pandai berkata-kata
Aku tak pandai mengungkapkan perasaan

Tapi,
Ketika kau berada di sebelahku
Atau berada jauh dariku sekalipun
Aku memperhatikanmu
Aku mendengarkanmu

Aku cuek ya, tapi aku peduli kok

17 Mei 2014

Kemandirian Itu Dipelajari

"Anak saya ini gak bisa mandiri..."

Tersenyum dalam hati saja saya mendengarnya. Lho, senyum dalam hati, maksudnya gimana toh? Hehehe. Karena saya bekerja di tempat les anak-anak, sedikit banyak saya mendengarkan curhatan atau keluhan orangtua. Salah satunya seperti bunyi kalimat di atas.

Mengapa saya senyum-senyum mendengarnya? Menurut saya, anak tak akan bisa mandiri jika ia tak pernah diajari untuk mandiri.

Adakah anak yang setelah ia lahir bisa cebok duburnya sendiri sehabis buang air besar? Tidak ada.
Adakah anak yang setelah ia lahir bisa makan sendiri tanpa disuapi? Tidak ada.
Adakah anak yang setelah ia lahir bisa berhitung, membaca, dan menulis? Tidak ada.

Dunia ini serba belajar. Anak bisa cebok sendiri sehabis buang air besar, makan sendiri, menyusun buku sendiri, sampai ia belajar tanpa perlu diteriaki dulu semuanya itu adalah pembelajaran. Tentu saja, ada pihak yang membantu mengajari anak itu untuk dapat seperti itu.

Kemandirian seperti halnya keahlian berhitung, membaca, menulis. Semuanya adalah proses belajar. Sayang sekali, kebanyakan orangtua agak menyepelekan hal ini. Mereka pikir mungkin belum saatnya anak saya untuk mandiri. Makanya, bisa-bisanya ada orangtua dengan sangat baik hati membawakan tas anaknya ke sekolah. Ya kalau sangat berat, mungkin masih dimaklumi. Ini tas isinya ringan dan anak bisa bawa dengan tenaga sendirinya, mengapa harus repot-repot dibawakan. Ada pula orangtua yang menyuapi anaknya ketika ia makan. Kalau bayi, masih wajarlah. Ini anak sudah besar, tangannya sudah bisa menggunakan sendok, mengapa juga masih disuapi. Terlalu baik terhadap anak bisa menjadi masalah tersendiri lho.

"Kamu sudah mau kelas enam. Sudah harus punya tanggung jawab", begitu teriak orangtua kepada anaknya. Dalam hati saya, iya sih, benar. Dia sudah mau kelas enam dan harusnya bertanggung jawab. Tetapi Bu, anak ini kan gak bisa bertanggung jawab dengan sendirinya kalau ia tidak pernah diusahakan untuk bertanggung jawab. Sama saja dengan kemandirian atau sifat-sifat lainnya. Anak tidak bisa paham kemandirian bila ia tidak pernah diajarkan demikian.

Anak itu makhluk egosentris seperti yang sudah saya bahas di beberapa postingan sebelumnya. Anak sedari kecil ketika ia masih bayi, apa-apa selalu disediakan, apa-apa selalu dibantu, kalau ada apa-apa selalu dilayani. Ketika ia sudah masuk usia sekolah, tiba-tiba saja ia harus mengerjakannya sendiri. Dia harus membawa tasnya sendiri, dia harus menyusun bukunya sendiri, dan lain sebagainya. Tentu ini menimbulkan rasa frustrasi tersendiri untuk anak.

Tetapi, kita sebagai orangtua tidak boleh menyerah hanya karena kasihan terhadap anak-anak kita. Kemandirian adalah bentuk kedewasaan. Kemandirian adalah bentuk pertahanan hidup. Orang pada satu momen tidak bisa terus-terus mengharapkan bantuan orang lain.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus memberi kepercayaan kepada anak-anak kita untuk mengerjakan sesuatu dengan sendirinya. Dan kita harus sabar dengan amat-sangat mengamati proses kemandiriannya.

Misal, membiasakan anak menyusun buku-buku pelajarannya sendiri (termasuk alat tulis dan perlengkapan lainnya) untuk hari esok.
  • Kita beritahukan kepada anak bahwa inilah saatnya ia harus bertanggung jawab terhadap segala perlengkapan yang harus ia bawa untuk esok hari. 
  • Dia harus memeriksa sendiri buku-buku apa yang harus ia bawa termasuk alat tulis dan perlengkapan lainnya. Dia harus mencoba melakukannya sendiri. 
  • Mungkin awal-awal anak akan kebingungan dengan kewajibannya ini. Dia pasti tidak terbiasa. "Ah, malas," gerutu anak.
  • Jangan tegur dia terlalu keras. Katakan kepadanya bahwa kita sebagai orangtua akan membantunya, seperti membantunya mengambil dan mengeluarkan buku di dalam tasnya sembari meminta si anak juga tetap mengeceknya sendiri. 
  • Dalam proses inilah, kita harus sabar. Sabar itu maksudnya jangan cepat-cepat memarahi anak kala ia melakukan kesalahan, semacam ini "Salah, besok bawa buku mate, bukan buku Indonesia. Agendanya dicek dong!" Perkataan kayak begitu justru cuman membuat anak makin stres. Jika ada kesalahan, jangan langsung memarahinya apalagi dengan nada tinggi. Cukup katakan dengan nada lembut. Ingat, dalam proses belajar, pasti ada benar dan salah. Kebisaan muncul karena terbiasa.
  • Sesudah dua-tiga hari, barulah orangtua lepaskan bantuan dan biarkan ia melakukannya sendiri. 
  • Jika sesudah dilepaskan bantuannya, ia melakukan sebuah kesalahan (misal, salah membawa buku), katakanlah, mulai sekarang itu akan jadi kesalahannya. Dan bila ia dihukum guru karena kesalahannya sendiri, katakanlah bahwa ia harus dapat berlapang dada menerimanya.
Proses belajar menuntut kesabaran dan tidak pernah ada yang terjadi dalam waktu instan. Di sinilah letak keindahan dalam mendidik anak. Dari seorang bocah kecil yang tak bisa apa-apa dulunya, lalu ia bertumbuh kembang menjadi sosok yang luar biasa. Bukankah itu sangat membanggakan? Mengapa tidak kita mencoba mendidik anak kita menjadi demikian?

Susah? Tidak pernah susah selama kita mau terus berusaha dan bersabar. 

Daripada mengisi hari-hari anak dengan kata-kata, "kamu SELALU saja SALAH.... kamu TIDAK BISA apa-apa," dan kata-kata "menghukum" lainnya yang hanya membuat anak tidak percaya diri; daripada mengisi hari-hari anak dengan manjaan yang hanya membuat anak-anak menjadi egois dan selalu minta diperhatikan... bukankah lebih baik mendidik anak dengan dukungan, motivasi, dan apresiasi, serta ketegasan.

13 Mei 2014

Sepuluh Pelajaran Berharga di Usia 20-an

Pas di tempat kerja, iseng-iseng browsing internet, saya menemukan artikel yang menarik dan menginspirasi. Judulnya 10 Pelajaran Hidup Berharga di Usia 20-an yang saya baca dari vemale.com. Situs vemale.com memang lebih banyak membahas tentang dunia wanita. Begitu juga artikel yang saya baca itu memang lebih untuk wanita, tetapi para pria juga bisa mengambil pesan-pesannya.

Berikut intisari dari sepuluh pelajaran berharga tersebut. Tulisan di dalam kurung yang saya cetak miring adalah kata-kata tambahan dari saya.

  1. Anda bukanlah kegagalan atau perasaan terbuang yang Anda miliki. Pria (atau orang yang Anda cintai) di sana yang tidak mencintai Anda, pekerjaan (terutama pekerjaan impian atau melamar ke perusahaan impian) yang tidak berhasil Anda dapatkan, sekolah yang tidak berhasil Anda lalui tesnya. Kegagalan bukanlah hal yang mendefinisikan bagaimana kehidupan Anda kok. Justru saat satu pintu tertutup, Anda punya 1.000 pintu lain yang menunggu untuk dibuka.
  2. Membuang orang-orang yang mendorong Anda untuk membenci diri Anda adalah hal yang sulit. Tapi Anda perlu melakukannya. Barangkali rasa sesal pernah menyusup dalam diri Anda saat melakukannya, but you will ultimately rejoice in a toxic-free life.
  3. Milikilah keberanian untuk menjadi diri Anda sendiri, kapan pun (dan di mana pun)
  4. Tunjukkan cinta Anda kepada orang-orang di sekitar, terutama orang tua Anda. Sementara Anda semakin sibuk dengan pencapaian-pencapaian diri, orang tua Anda juga semakin menua. Sempatkan waktu berbincang dengan mereka setiap hari, don't waste the moment (duh... benar banget nih).
  5. Ketahuilah kapan Anda harus marah, harus terus berusaha, dan kapan harus berhenti.
  6. Setiap orang punya kisah dan jalan hidupnya sendiri, jadi jangan membandingkan diri Anda dengan kisah hidup orang lain. Respect yourself.
  7. Tuhan akan "berbicara" pada Anda melalui orang lain, mimpi-mimpinya, pengalaman hidupnya, bahkan lagu yang dinyanyikan oleh orang lain kepada Anda. So, listen it. (lagu-lagu galau itu sama sekali tidak membunuh kok...)
  8. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan bertumbuh.
  9. Belajar memaafkan, memaafkan diri sendiri, dan orang lain.
  10. Anda memang harus memaafkan orang lain yang menyakiti hati Anda, tetapi memberikan mereka kesempatan kedua untuk hadir kembali ke kehidupan Anda adalah pilihan. So, you decide :)

11 Mei 2014

Mendisiplinkan Anak

Mendisiplinkan anak itu gampang-gampang susah. Gampang sebetulnya asal ada kemauan. Tetapi susahnya itu suka berbenturan dengan hati nurani. Wajarlah orangtua selalu ingin yang terbaik untuk anak, termasuk menjadi orangtua yang baik. Tetapi kadang perlakuan baiknya suka berlebihan (baca ini).

"Anak itu tidak boleh dikerasin, anak tidak boleh digalakkin, anak tidak boleh dihukum". Semuanya itu menurut saya salah besar. Perilaku anak haruslah dibentuk dan dikendalikan. Anak tidak paham mana yang benar, mana yang salah ketika ia lahir. Ia hanya bertingkah laku sesuai dorongan-dorongan yang ada di dalam dirinya. Bahasa kasarnya, ia bertindak sesuai dengan nalurinya. Kedisiplinan bertujuan supaya anak dapat berperilaku yang tepat sesuai dengan waktu dan keadaan. Sebagai contoh, anak tahu kapan waktu belajar, kapan waktu bermain. Ketika waktunya belajar, ia akan belajar. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Hal-hal seperti ini dibentuk melalui kedisplinan. Kedisiplinan juga bertujuan membangun karakter dan perilaku yang baik pada diri anak. Tanpa kedisiplinan, anak akan menjadi liar dan berperilaku sesuka-sukanya.

Kedisiplinan bukan berarti hukuman. Kedisplinan justru adalah ketegasan. Ketegasan inilah yang sayangnya dilupakan oleh banyak orangtua. Bagaimana cara menerapkan ketegasan? Menurut saya caranya adalah penegakkan aturan yang jelas dan konsistensi dalam menerapkannya.

Menghadapi Rengekan Anak

Anak seringkali merengek-rengek dan kadangkala orangtua pusing menghadapinya. Saya beri contoh kasus sebagai berikut:

Anak: Ma, pergi ke mall.
Mama: Enggak. Minggu lalu sudah pergi. Hari ini di rumah dulu. Belajar.
Anak: Pengen pergi... pengen pergi! (merengek-rengek sambil menangis)
Pilihan apa yang Anda ambil ketika anak sudah merengek-rengek bahkan sambil mengamuk?

A: Ya sudah, nanti pergi, tetapi cuman sebentar saja.
B: Sekali Mama bilang enggak tetap enggak. Hari ini kamu belajar.
Kalau Anda orangtua tegas dan tahu yang terbaik untuk anak, Anda akan pilih yang B.

Pilihan A hanya membuat anak belajar sesuatu: "Dengan merengek lalu menangis atau mengamuk, aku bisa membuat Mama mengubah keputusannya."

Pilihan B membuat anak belajar:  "Meski aku merengek, menangis, dan melakukan berbagai macam cara, Mama tidak mengubah keputusannya."

Orangtua tidak boleh dengan mengubah keputusan awal atau mengabulkan permintaan anak hanya karena ia menangis atau melakukan perilaku-perilaku sulit lainnya (membanting-banting barang, marah-marah, dan sebagainya). Di sinilah letak ketegasan orangtua, yaitu konsisten dengan kata-katanya sendiri apa pun perilaku sulit yang ditunjukkan anak.

Di sinilah ketegasan orangtua juga dipertaruhkan, apakah mau mengalah dengan permintaan anak atau tetap teguh pada pendirian? Banyak orangtua yang tidak tahan dengan rengekan anak sehingga memilih mengalah. Pada akhirnya itu hanya menjadi bumerang bagi orangtua. Anak akan belajar menggunakan jurus rengekan ketika permintaannya tidak dikabulkan. Padahal kalau orangtua berani teguh dengan pendiriannya, percayalah rengekan anak akan hilang dengan sendirinya di kemudian hari. Dia akan belajar bahwasanya merengek tiada gunanya ketika orangtua sudah mengatakan TIDAK pada permintaannya. Ketika orangtua sudah bilang TIDAK, seratus persen tidak dan tak ada keputusan lainnya.

Pembiasaan vs Pembiaran

Perilaku itu dibentuk secara berulang-ulang melalui pembiasaan. Saya beri contoh kasus sebagai berikut:

Mama: Nak, habis main, rapikan mainanmu sendiri.
Anak: Ah, capek.

Dalam situasi seperti ini, pilihan apa yang sebaiknya diambil?

A: Duh, udah dibilang berkali-kali enggak ngerti juga (sambil ngomong demikian, sambil si Mama merapikan mainan anaknya).
B: Rapiin mainanmu segera. Kalau dalam 10 menit, Mama lihat mainannya gak rapi. Mainannya Mama buang saja!
Jika Anda memilih pilihan A, anak akan belajar: "Perintah Mama cuman gertak sambal, Mama kan baik. Mama selalu membantu aku."

Bagaimana jadinya jika sudah memilih B, berteriak dengan nada tinggi disertai ancaman, tetap anak tidak mau merapikan mainannya? Di sinilah kembali letak ketegasan orangtua dipertaruhkan, apa mau konsisten dengan kata-kata yang diucapkan?

Kalau Anda sudah mengancamnya akan membuang mainannya, tetapi tidak dilakukan (karena kasihan atau pertimbangan lainnya), ya percuma saja. Pada akhirnya, akan kembali lagi ke pilihan A. Anak akan belajar bahwa Mama cuman bisa ngomong saja, tetapi tidak berani berbuat lebih jauh.

Jika Anda sudah mengancamnya dalam 10 menit, dia tidak merapikan mainannya sendiri, ya Anda harus konsisten dengan apa yang Anda harus lakukan, yaitu membuang mainannya. Dengan demikian, anak akan belajar bahwa ada konsekuensi yang harus ia tanggung ketika ia bertingkah laku tidak sesuai dengan harapan orangtua. Anak akan belajar: "Kalau aku tidak merapikan mainanku segera, mainanku akan dibuang." Selain itu, anak akan belajar bahwa orangtua tidak main-main dengan ancaman dan hukuamnnya.

Dan hal ini harus dilakukan konsisten terus-menerus. Kala Anda menemui kasus semacam ini, Anda harus melakukan yang serupa, sehingga anak belajar untuk terbiasa merapikan mainannya sendiri.

Oleh karena itu, kedisiplinan adalah pembiasaan, bukan pembiaran. Untuk berperilaku baik, anak harus dibiasakan. Tetapi, terlebih dahulu orangtua harus terbiasa menerapkan aturan dan hukuman. Kita tidak boleh memaklumi perilaku anak yang seharusnya tidak perlu dimaklumi. Kita tidak boleh begitu saja membiarkan perilaku buruk anak, karena itu akan menjadi awal yang tidak baik untuk perkembangan anak untuk di kemudian hari.

Jika anak Anda protes dengan hukuman Anda, katakan saja, "Mama kan sudah memperingatkan..." Berikan penjelasan bahwa Anda sudah memperingatinya. Hal ini menunjukkan bahwa Anda sebagai orangtua sebetulnya memberikan kesempatan bagi anak untuk berubah. Namun, anak tidak mematuhinya sehingga ia harus menanggung konsekuensinya. Mungkin anak tidak akan senang dengan hukuman Anda, tetapi yakinilah bahwa Anda melakukan hal ini demi kebaikan anak Anda di masa yang akan datang.

Sumber: familyfrugalfun.com

10 Mei 2014

Profesi Suami Terbaik


 

Benar-benar profesi yang terbaik.... Lalu apa ya profesi terbaik untuk sang istri?

7 Mei 2014

Jangan Terlalu Baik Sama Anak

Judul postingan ini mungkin bisa menuai protes. Lho, maksudnya apa nih? Sama anak kok gak boleh baik. Boleh baik, tapi harus ditegaskan jangan terlalu baik.

Saya melihat fenomena orangtua di perkotaan mudah memanjakan anak dengan berbagai macam hal yang menyenangkan. Meski baru berusia SD, anak-anak sekarang sudah terbiasa bermain tablet, memiliki ponsel sendiri, berekreasi ke mal-mal besar. Kehidupan anak zaman sekarang memang terasa lebih menyenangkan dibandingkan dengan keadaan di 10-20 tahun sebelumnya. Menyenangkan anak bukan sesuatu yang salah. Namun menjadi sesuatu yang sangat salah, jika menyenangkan anak menjadi sesuatu yang dibiasakan oleh orangtua. Ada jenis orangtua yang saya temui teramat gampang memberikan atau membelikan sesuatu kepada anak.

Tapi pada kasus yang lebih jauh, saya melihat ada orangtua yang baiknya sudah melampaui batas. Ambil contoh, anak itu merengek-rengek meminta sesuatu, dengan mudahnya saja orangtua itu memberikan. Orangtua semacam ini sangat sulit mengatakan TIDAK kepada anak.

Saya bisa paham, ada orangtua yang tidak tahan bila anaknya menangis atau cemberut.  Jadi, mereka pun lebih rela mengabulkan permintaan anak mereka meski dalam hati enggan.

Nah, di sinilah menurut saya kesalahan besar bagi orangtua yang berpikir bahwa mencintai atau menyayangi anak adalah selalu menyenangkan mereka.


Orangtua mengerjakan PR anak. Ada beberapa orangtua yang melakukannya, meski itu sangat tidak mendidik.

Anak adalah makhluk yang bersifat egosentris. Yang mereka tahu sejak lahir adalah mereka harus dilayani dan dimengerti. Yang mereka tahu dengan menangis mereka akan diperhatikan. Mereka belum bisa mengerti dengan terang bahwa ada sesuatu yang harus diperjuangkan sendiri; bahwa ada sesuatu yang diinginkan, namun tidak bisa didapatkan. Bahasa sederhananya, anak-anak belum bisa merasakan yang namanya "galau".

Menjadi terlalu baik kepada anak hanya menebalkan sifat egosentris mereka dan ini tentu tidak bagus untuk perkembangan mental mereka. Karena itu mendidik anak harus profesional. Adakalanya harus baik. Adakalanya anak harus dihukum karena kenakalan mereka. Adakalanya anak harus dimarahi karena kesalahan mereka. Adakalanya kita harus berkata TIDAK untuk sesuatu yang tidak dirasa perlu untuk anak seusia mereka.

Jangan tertipu dengan muka innocent anak atau keluguan mereka. Dalam mendidik, jangan melihat tampang atau usia. Kita tidak boleh mentolerir diri dengan hal-hal seperti itu. Kalau kita sebagai orangtua terlalu baik dengan anak, justru hal itu bisa saja melemahkan posisi kita sebagai orangtua. Anak pun menjadi penguasa di atas kaki kita. Bila terjadi hal seperti itu, sangat gawat. Anak tak akan punya respek pada orangtua dan bisa bertingkah semau-maunya.

Lihat saja nanti. Kalau kita sudah terbiasa baik dengan anak, lalu pada suatu ketika, kita tidak mau menuruti keinginan mereka, biasanya anak akan mengeluarkan jurus jitunya: menangis, mengambek, mengamuk, dll. Reaksi yang akan muncul dalam diri orangtua biasanya adalah sebagai berikut:
1. Daripada dia rewel terus, berikan saja apa yang dia mau
2. Daripada saya dibenci oleh anak saya, berikan saja apa yang dia mau.
3. Saya tidak bisa memberikan apa yang dia mau. Lalu, saya berkata dengan tegas ke hadapannya. Tetapi, sejenak kemudian, saya merasa bersalah. Lalu, saya memutuskan memberikan apa yang dia mau.
4. Saya kali ini dengan tegas tak akan memberikan apa yang dia mau.

Pilihan nomor 1-3 adalah piliihan yang terjadi karena sudah terbiasa baik dengan anak, membuat kita mengalami kesulitan untuk bersikap tidak baik (mengalah) pada anak suatu hari nanti.

Pilihan nomor 4 adalah pilihan yang bijak. Sebagai orangtua, kita punya hak untuk menentukan apa yang baik untuk anak.

Menjadi orangtua yang baik di mata anak adalah dambaan semua orang dan harapan masyarakat. Harus diingat, apa pun yang kita lakukan menurut saya harus sewajarnya. Jangan terlalu baik dengan anak, seperti menuruti semua keinginannya. Tetapi juga jangan terlalu bersikap tidak baik dengan anak, sedikit-sedikit memukul anak padahal hanya kesalahan kecil yang ia lakukan.

1 Mei 2014

Antara Les, Orangtua, dan Anak

"Ma... aku gak mau les terus... Bosen."

Begitu bunyi curhat seorang anak ketika ia harus pasrah mendapati dirinya les hampir setiap hari. Entah itu les mata pelajaran, les piano, les balet, les sempoa, les bahasa Mandarin, les bahasa Inggris, dan les-les apa lagi entah sekarang. Belum lagi, di sekolah mewajibkan anak untuk ikut ekstrakurikuler. Artinya bertambah banyak kegiatan anak seusai sekolah. Beginilah fenomena anak zaman sekarang: Anak banyak les!

"Tapi, Nak... Kamu yakin bisa belajar sendiri di rumah?"

"Kamu yakin bisa dapat nilai bagus?"

"PR anak-anak zaman sekarang susah-susah minta ampun. Terpaksa deh masukin anak ke tempat les."

Begitu bunyi curhat orangtua. Lebih tepatnya bunyi curhat Mama (di sini saya masih pakai prinsip Mama lebih bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak, karena yang saya temui di masyarakat masih seperti ini). Mama zaman sekarang memang bukan Mama zaman dulu yang hanya mengurusi tiga hal: Dapur, Sumur, Kasur. Mama zaman sekarang lebih mobile, dengan gadget di tangan, mereka terjun ke lapangan, mencari tempat nongkrong. Tentu yang saya maksud adalah Mama-Mama Mall. Itu hanya satu fenomena. Fenomena lain: Mama-Mama Kantoran (baca: Wanita Karir). Intinya sih mengerucut kepada satu hal: Mama zaman sekarang lebih sibuk daripada Mama zaman dulu. Jadi, beginilah fenomena Mama zaman sekarang: Tak ada waktu (lebih) untuk mengajari atau memantau kegiatan belajar anak di rumah!

Memasukkan anak ke tempat les tentu bukanlah dosa. Les bahasa Inggris, les piano, les menyanyi, les-les yang berkaitan dengan kesenian tentu sangat baik untuk menambah kelebihan anak. Syukur-syukur rupanya anak itu punya talenta di bidang seni.

Saya dulu dikatakan hampir tidak pernah ikut les pelajaran dan les-les lainnya. Hanya dua kali saya ikut les, yaitu kelas 1 SMA dan kelas 3 SMA menjelang Ujian Nasional. Itu pun hanya les matematika. Dan itu pun karena saya meminta. Alasan saya tidak dileskan karena alasan finansial. Orangtua saya tak mau buang uang percuma memasukkan anak-anaknya ke tempat les. Untunglah, saya bukan anak susah diatur dan dapat bertanggung jawab sejak kecil. Untuk urusan PR, saya bisa mengerjakannya sendiri. Untuk urusan ulangan, saya bisa belajar mandiri tanpa dibantu. Jika ada kesulitan, saya proaktif mengandalkan teman-teman sebagai tempat bertanya.

Akan tetapi, ketika sudah dewasa, sedikit banyak saya menyesal juga. Memang sih, saya bisa menggunakan waktu luang saya sepulang sekolah untuk menonton kartun, jalan-jalan bersepeda, atau membaca komik. Tetapi, saya seperti anak yang kekurangan keahlian di luar bidang pelajaran sekolah, entah itu bidang olahraga atau seni.

Hmm.... Mari kita skip saja curhat tentang diri saya...

Seperti saya sudah katakan memasukkan anak ke tempat les bukanlah dosa besar. Menurut saya, ada beberapa alasan orangtua memasukkan ke tempat les:

1. Kedua orangtua sibuk bekerja sehingga tak bisa memantau kegiatan belajar anak di rumah.
Alasan seperti ini masih bisa diterima mengingat mengandalkan penghasilan salah satu pihak saja terasa tidak cukup untuk kehidupan zaman sekarang. Tetapi pada kasus yang ekstrem, orangtua tersebut begitu percaya pada guru les sehingga sampai-sampai ia tak mau tahu atau tak mau terlibat dengan perkembangan akademis anak. Ada lho yang kayak gini. Hari libur adalah hari untuk keluarga, hari untuk anak bermain. Karena dianggapnya anak sudah belajar bersama guru les, tidak perlu lah anak belajar lagi bersama orangtua. Wah, wah... kacau sekali.... Anak bisa pintar kan bukan tanggung jawab guru, tetapi tanggung jawab orangtua juga.

2. Meski Mama/Papa di rumah, Mama/Papa tidak bisa mengajari anak pelajaran tersebut.
Alasan seperti ini masih boleh diterima mengingat bobot pelajaran anak zaman sekarang terasa lebih berat daripada waktu saya sekolah dulu. Tetapi sebenarnya alasan ini masih bisa disanggah. "Ini sih ortunya aja yang malas untuk ikut belajar bersama anak." Jika mau sedikit capek saja, ikut membaca dan memahami isi pelajaran anak, mau membantu anak belajar, sesungguhnya hal ini bisa memperat hubungan orangtua dan anak.

3. Ortu ingin memberikan sebuah investasi mulia kepada anak.
Les Mandarin sedari kecil, les piano sedari kecil agar anak itu punya kemampuan lebih, tidak bernasib naas menjadi orang dewasa yang medioker (seperti saya ini). Tentu ini adalah baik. Sayangnya, kadang orangtua terlalu memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Anak itu jelas-jelas tidak suka bermain piano, tidak suka pelajaran mandarin, tetapi tetap saja dipaksa-paksa untuk ikut les. Sayang duitnya, katanya sih begitu. Harusnya orangtua menyesuaikan bakat dan minat anak terlebih dahulu ketika memasukkan anak ke tempat les non mata pelajaran.

Peranan orangtua bukan hanya membesarkan dan merawat anak, tetapi juga sebagai guru bagi anak di rumah. Bahkan, sebenarnya menjadi guru seumur hidup bagi anak. Menjadi guru memang tidak mudah. Tidak semua orang bisa menjadi guru yang baik dan hebat. Karena itu ada sekolah, karena itu ada tempat les yang tugasnya membantu mendidik dan mengajari anak berbagai macam hal.

Karena les bukan sesuatu yang sifatnya wajib, tentu harus disikapi secara bijak, apakah les akan menjadi sesuatu yang menyenangkan atau memberatkan bagi anak? Apakah Anda (calon ortu) sudah memikirkan mengenai kegiatan anak ketika ia sudah bersekolah, les apa yang dia akan ikuti atau ia tak perlu lah les sama sekali?