Ini adalah lanjutan dari Reportase Kegiatan Temu Ilmiah Nasional Psikologi (5 Agustus 2010). Reportase sebelumnya dapat dibaca di http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/sufren-margago/reportase-kegiatan-temu-ilmiah-nasional-psikologi-5-agustus-2010/450105119918 atau di http://sufren-tale.blogspot.com/2010/08/reportase-kegiatan-temu-ilmiah-nasional.html.
Singgih Dirga Gunarsa adalah seorang tokoh yang telah berjasa dalam bidang psikologi, terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Olah Raga. Pengabdian beliau kepada Untar sejak tahun 1982, dan kontribusi serta dedikasi beliau kepada ilmu psikologi diapresiasi oleh Fakultas Psikologi Untar dalam ajang bernama Singgih Dirga Gunarsa (SDG) Awards. SDG Awards adalah lomba karya tulis ilmiah dan non-ilmiah untuk dosen dan mahasiswa. Ajang ini pernah dihelat tahun 2005, dan kini tahun 2010 adalah perhelatan yang kedua. Pada tanggal yang bersamaan pula, diadakan Kongres IPPI. Apa saja yang telah terjadi, selengkapnya bisa dibaca di bawah ini...
SDG AwardsAcara dimulai sekitar pukul 9 dan dibuka oleh Tarian Mpo Tjontreng dari Padmanagara. Berperan sebagai MC adalah Untung Subroto Dharmawan, merupakan alumni S2 Psikologi Untar, dan juga penyiar I-Radio FM (menjadi MC juga di Temu Ilmiah... kayaknya bakal jadi MC tetap Psikologi Untar deh... Hehehe). Acara selanjutnya adalah Sekapur Sirih oleh Dekan Fakultas Psikologi Untar, yaitu Ibu Henny sendiri. Naskah Sekapur Sirih Ibu Henny dapat dibaca di Notes FB beliau sendiri (http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=430324286560). Sesudah membacakan Sekapur Sirih, dilanjutkan pemberian suvenir kepada Bapak Singgih Dirga Gunarsa. Suvenir tersebut berupa pigura foto Pak Singgih dengan pakaian toga yang disusun dalam foto kolase seluruh pejabat fakultas Untar. Kata Pak Monty, foto ini merupakan karya Henlie Prawiro, yang selalu menjadi fotografer setia kegiatan-kegiatan Fakultas Psikologi Untar (kayaknya juga bakal jadi fotografer tetap Psikologi Untar deh... Hehehe). Kemudian, acara dilanjutkan kembali dengan pidato kesan-kesan oleh Pak Singgih.
Kini sampailah pada pengumuman pemenang SDG Awards. Sebelum diumumkan pemenangnya, dibacakan terlebih dahulu nominasinya. Udah kayak Award di dunia perfilman aja. Hehehe... Pembacaan nominasi pemenang SDG Awards untuk kategori mahasiswa dibacakan oleh para mahasiswa terpilih. Untuk nominasi juara ketiga dibacakan oleh Duta Psikologi Untar 2009, yaitu Willy Salim dan Debbie. Untuk nominasi juara kedua dibacakan oleh Mahasiswa Psikologi Untar dengan IPK tertinggi, yaitu kebetulan saya sendiri dan Anastasia. Dan untuk nominasi juara pertama dibacakan oleh Ketua BEM dan Ketua DPM Psikologi Untar, yaitu Steven dan Putu. Tetapi, karena Steven dan Putu berhalangan hadir, digantikan oleh Johanes dan Cynthia Tanto.
Kami mahasiswa yang membacakan nominasi didandani dengan pakaian adat yang berbeda-beda. Eee... Semoga saya tidak salah sebut ya. Willy memakai pakaian adat Padang, Debbie memakai pakaian adat Batak, Johanes memakai pakaian adat Sunda, Cynthia memakai pakaian adat Sulawesi, Anastasia memakai pakaian adat Bali, dan saya sendiri memakai pakaian adat Betawi. Mohon maaf jika ada yang salah. Pengetahuan adat saya memang kurang soalnya... Hehehe... Untuk melihat foto-foto busana kami, bisa dicari di teman Facebook terdekat dari tempat Anda... Hehehe...
Para Pemenang Kategori Mahasiswa (diurut berdasarkan juaranya) adalah:
1. Studi Indigenous Psychology atas Atribusi Prestasi dan Kegagalan pada Siswa dan Mahasiswa: Apakah Self-Serving Bias berlaku di Indonesia? (
Moh. Abdul Hakim & Sri Kurnianingsih, F.Psi. UGM).
2. Dinamika Interkorelasi antara Konsep Diri, Zuhud, dan Motivasi Berprestasi Santri (
Zam Roni, UIN MALIKI Malang).
3. Correlations between Child Rearing Disagreement with the Quality of Friendships on Students Psychology Faculty Airlangga University who Derived from Multicultural Marriage (
Rizqy Amelia Zein, Jonny Eko Yulianto, & Adinda Nurul Triaseptiana, F.Psi. Univ. Airlangga).
Sedangkan pemenang SDG Awards kategori dosen dibacakan oleh dosen-dosen dari Psikologi Untar sendiri. Untuk nominasi juara ketiga dibacakan oleh Pak Tommy dan Ibu Meike. Untuk nominasi juara kedua dibacakan oleh Pak Nisfi dan Ibu Rahmah. Dan untuk nominasi juara pertama dibacakan oleh Pak Fidelis dan Ibu Meiske. Tapi kok, para dosen tidak mengenakan pakaian adat seperti mahasiswa ya. Mereka cuman mengenakan pakaian kebaya dan batik. Curang nih... Hahaha...
Para Pemenang Kategori Dosen (diurut berdasarkan juaranya) adalah:
1. Mental Juara pada Atlet Bulutangkis Indonesia: Studi Theory of Critical Moments dan Self Determination dalam Psikologi Olahraga (
Ardiningtiyas Pitaloka & Andin Andiyasari, F.Psi. Univ. Paramadina & F.Psi. UI).
2. Studi Penyusunan Alat Ukur Psikologis: Employee Engagement (
Budi Setiawan & Samian, F.Psi. Univ. Airlangga).
3. The Effect of Classroom Environment Climate on The Mastery Goal Orientation, Academic Self Efficacy and Student‘s Achievement (
Agoes Dariyo, F.Psi. Untar).
Khusus pemenang yang mendapat juara pertama, sebelum menerima plakat dan piagam penghargaan, diharuskan mempresentasikan makalahnya ke hadapan penonton selama 15 menit. Nun jauh dari sini, saya mau ucapkan selamat kepada para pemenang. Semoga didengar di alam mimpi mereka. Hehehe... Semoga kelak ada dosen dan mahasiswa Psikologi Untar yang akan meraih juara 1 SDG Awards di perhelatan selanjutnya. Semoga... semoga... semoga...!
Setelah mengetahui siapa-siapa pemenang SDG Awards, acara pun usai sudah. Acara ditutup dengan mengulas senyum di hadapan kilatan lampu blitz (baca: foto bersama), dan dilanjutkan dengan makan siang.
Intermeso sebentar ya. Para mahasiswa yang membacakan nominasi diharuskan memperkenalkan namanya dan siapa dirinya (tuntutan panitia). Pada kasus saya, ya saya harus memperkenalkan nama saya dan menyebutkan saya adalah ”mahasiswa dengan IPK tertinggi” kepada penonton. Wew, kata Anas kok kesannya sombong banget ya.
Gara-gara menyebutkan demikian, saya jadi tambah populer deh. Contohnya saja, ketika Pak Bonar dan teman-teman dari YAI hendak pamit pulang dengan saya, si Bapak sempat-sempatnya bilang ke mahasiswanya, ”Anak ini hebat sekali, mantan pengurus BEM, sekaligus pemilik IPK tertinggi.” Ketika saya mencoba merendah, eh Bapaknya malah bilang lagi, ”Saya suka dia. Orangnya humble sekali.” Halah... Usai acara Kongres IPPI, ada yang menyalami saya (belum sempat berkenalan dengannya), ”Ini namanya Sufren kan. Mahasiswa dengan IPK tertinggi. Emang IPK-nya berapa?” Nah, lho...
Tapi, saya tulis begini bukan maksud menyombongkan atau membesarkan kepala saya. Kepala saya cukup segitu saja ukurannya. Hehehe... Bagi saya, rasanya suatu beban menyandang predikat mahasiswa dengan IPK tertinggi (perhatikan: mahasiswa bukan mahasiswi). Jika Duta Psikologi Untar dan Ketua BEM/DPM bergonta-ganti setiap tahun, IPK kan cenderung stabil. Kenaikan dan penurunannya tidak akan terlalu tajam. Bebannya itu bukan pada perkara mempertahankan IPK. Namun, lebih kepada bagaimana IPK yang tinggi ini tidak hanya menjadi pajangan dan penghibur di hari tua, tetapi bisakah berguna buat saya di kemudian hari? Yaaa... Itulah beban, tapi juga menjadi suatu tantangan...
Kongres IPPIKongres IPPI dilaksanakan jam 1 siang. Saya dan Yonathan turut hadir sebagai peserta Kongres. Tidak hanya jadi peserta, kami berdua juga menjadi fotografer dadakan. Pak Tommy yang hadir pula di Kongres yang meminta kami menawarkan bantuan untuk foto-foto di sana dengan menggunakan kamera yang dipinjam Pak Tommy. Jujur saja, saya kurang pandai memotret. Sepertinya banyak bidikan saya yang kurang tepat. Hahaha...
Saya pikir Kongres akan berlangsung tegang, membosankan, dan kaku. Rupanya Kongres berjalan dengan jenaka dan seru. Selama Kongres, banyak kelucuan yang terjadi lho. Kira-kira begini beberapa kejadian menarik di Kongres yang bisa saya ceritakan...
Kongres IPPI dibuka Ketua IPPI, yaitu Prof. Dr. Jatie K. Kusna Pudjibudojo, Psi. Berperan sebagai MC adalah Dra. Woelan Handadari, M. Si., Psi., yaitu pengurus IPPI yang membidangi Divisi Profesi. Setelah dilakukan pembukaan, Prof. Hera Lestari Mikarsa, Ph. D., Psi., menyampaikan presentasi ilmiah beliau yang berjudul ”Sosialisasi Ekonomi Pada Anak”. Presentasi beliau ini sebetulnya adalah pidato beliau saat pengukuhannya menjadi Guru Besar.
Prof. Hera adalah salah satu anggota Dewan Penasihat Pengurus IPPI. Sepanjang Prof. Hera presentasi, beliau tidak hanya memberikan penjelasan, tetapi juga memberikan banyak pertanyaan untuk direnungkan.
Makalah Prof. Hera mengacu pada krisis moneter pada tahun 1998. Sampai sekarang, menurut Prof. Hera, ekonomi Indonesia masih memprihatinkan. Prof. Hera menjelaskan sosialisasi terbagi menjadi 2, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Pada sosialisasi primer adalah proses ketika anak beradapatasi menjadi bagian dari masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah ketika anak diperkenalkan atau dididik ke dalam bidang baru dalam dunia masyarakat. Agen sosialisasi sendiri dapat dibagi menjadi 3, yaitu orangtua, peer group, dan mass media. Orangtua dikatakan sebagai sumber pengaruh rasional, sedangkan peer group dan mass media adalah sumber pengaruh yang tidak rasional.
Tanpa disadari, orangtua seringkali mengajarkan atau mensosialisasikan pendidikan ekonomi pada anak. Prof. Hera mencontohkan dengan pengalamannya saat beliau masih kecil. ”Waktu kecil, saya sebetulnya pernah diajarkan pendidikan ekonomi, tapi baru saya sadari setelah saya dewasa. Dulu, jika saya mau minta uang, saya boleh mengambilnya sendiri. Jika banyak uang, artinya saya bisa mengambil banyak. Jika sedikit, saya cuman bisa mengambilnya sedikit. Secara tidak langsung, orangtua saya sudah mengajarkan kepada saya sebuah nilai tentang uang.”
Dalam kehidupan sehari-hari, orangtua seringkali dihadapkan pada cara berpikir ekonomi yang mengarah pada keputusan ekonomi. Prof. Hera menyebutnya dengan istilah economic way of thinking. Contohnya saja, mana yang lebih menguntungkan: Membiarkan anak makan di sekolah atau membawa bekal dari rumah?
Menurut teori Furby, anak memiliki perilaku posesif. Perilaku posesif dapat dipengaruhi oleh peran bahasa. Prof. Hera menjelaskan bahwa anak Indonesia cenderung menyebutkan dirinya dengan namanya, misalkan ”Ani ingin.... atau Ani suka... dsb”. Dalam kebiasaan orang Indonesia, kita sering mengajarkan kepemilikan dengan menggunakan nama. Misalkan saja, ”ini buku Aci.” Berbeda, dengan kebiasaan orang Barat, mereka mengajarkan anak kepemilikan dengan menggunakan kata, ”my book atau your book”. Prof. Hera bertanya-tanya, cara mana yang lebih baik dalam mengajarkan kepemilikan kepada anak: cara Indonesia atau cara Barat?
Prof. Hera menjelaskan bahwa memberikan uang saku (allowance) kepada anak dapat menjadikan anak lebih mandiri. Meskipun ada kontroversi: Apakah anak perlu mendapat uang jajan setelah mengerjakan tugas-tugasnya? Yang pro tentu bisa mengatakan hal ini baik karena dapat menjadi bentuk reinforcement bagi anak. Namun, yang kontra akan mengatakan tidak baik karena mendidik anak kok seperti ”karyawan”. Hal yang ditekankan oleh Prof. Hera adalah kita perlu mengajarkan anak bagaimana membedakan keinginan (wants) dan (needs).
Sebetulnya ada banyak, tapi itu beberapa poin yang bisa saya catat dan saya ingat dari presentasi Prof. Hera. Usai memberikan presentasi, dilanjutkan sesi tanya jawab kepada Prof. Hera. Prof. Hera awalnya tidak menyangka ada sesi tanya jawab. ”Kalau ada sesi tanya jawab, honornya mesti nambah nih,” selorohnya. Pada kesempatan sesi tanya jawab, Ibu Mimi (Dr. Soemiarti Padmonodewo) membagikan pengalamannya di Belanda. Menurut Ibu Mimi, anak-anak di Belanda sangat sayang kepada mainannya. Mereka menjaga hati-hati barang mainannya. Seandainya mainan rusak, mereka akan menjualnya. Prof. Hera menimpali bahwa anak-anak Barat cenderung hemat. Beliau menjelaskan pengalamannya di London, Inggris karena beliau lama bermukim di sana. ”Orang-orang Inggris sangat hemat. Mereka kalau mendapat kado. Kertas kadonya itu dibuka hati-hati jangan sampai sobek, lalu kertas kadonya disetrika, untuk kemudian bisa dipakai lagi.”
Acara selanjutnya seharusnya adalah presentasi ilmiah dari Prof. Dr. Endang Ekowarni, Psi. Namun, beliau berhalangan hadir sehingga acara selanjutnya diganti dengan diskusi ”Pengembangan Organisasi IPPI” oleh Ibu Eny (saya tidak tahu persis ejaan dan nama lengkapnya karena tidak sempat konfirmasi, semoga tidak salah tulis ya). Sebelum Ibu Eny berbicara di depan, beliau mendapatkan sambutan lagu ”Selamat Ulang Tahun” oleh para yang hadir. Rupanya, beliau berulang tahun hari itu. Ibu Eny pun mendapat kado ulang tahun dari Prof. Jatie. Ibu Eny menolak ketika diminta membuka kado. ”Saya gak mau buka kadonya sekarang, nanti di rumah aja. Saya nanti bukanya kertasnya mau hati-hati, habis itu disetrika supaya kalau ada yang entar berulang tahun, kertas kadonya sama lagi,” candanya.
Ibu Eny memulai perbincangannya mengenai sejarah IPPI. ”Kalau tidak salah ingat ya, IPPI pertama kali dicetuskan tahun 2000 di Kongres HIMPSI di Bandung.” Selama diskusi, beberapa usulan muncul mengenai apa yang harus dilakukan IPPI di masa mendatang. Seperti ada yang mengusulkan, bagaimana kalau AWCAD (Asian Worshop on Children and Adolescent Development) yang pernah diprakarsai Pak Singgih dilaksanakan kembali. Ada pula yang mengusulkan, bagaimana kalau dilanjutkan kembali proyek pembuatan film Human Development versi Indonesia. Pada masa silam UI, UGM, dan UNPAD pernah sepakat membuat film Human Development dengan model orang Indonesia. Tapi sayang, tidak ada kelanjutan dari proyek itu.
Salah satu mahasiswa dari Universitas Diponegoro, bernama Pariman bertanya, “Jika IPPI adalah anaknya HIMPSI, mengapa tidak dibuat cucunya HIMPSI, yaitu IPPI untuk mahasiswa. Mengapa kalangan muda tidak diajak serta? Lalu, mengapa sepertinya kok sedikit sekali dukungan dari pemerintah terhadap penelitian ilmu sosial ya?” Ketua HIMPSI Pusat Prof. Retno Suhapti menjelaskan bahwa seringkali beliau mendapat SMS dari para anggota lembaga mahasiswa untuk membentuk IMPSI (Ikatan Mahasiswa Psikologi Indonesia). “Saya sering banget dapat SMS dari para mahasiswa yang berniat membentuk IMPSI, tapi malah meminta HIMPSI yang mendanai. Saya bilang ke mahasiswa tersebut, kamu kumpulkan dulu para mahasiswa dari 127 fakultas psikologi di Indonesia. Pernah sekali berkumpul, malah yang dibahas kok AD/ART sehari semalam. Bukannya membahas bagaimana membuat kegiatan pertandingan voli, pertandingan sepak bola, dsb.?” Urusan AD/ART emang selalu ribet ya... Prof. Jatie mencoba menjawab pertanyaan kedua dari Pariman. Beliau mengatakan pendapat Pariman itu keliru mengenai tidak adanya dukungan dari pemerintah terhadap ilmu sosial. Menurut beliau, sudah banyak hibah dari pemerintah terhadap penelitian ilmu sosial. ”Kamu bisa coba buka di situs Dikti”, katanya.
Usai diskusi panjang lebar dengan Ibu Eny, dilanjutkan pembacaan Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan IPPI periode 2007-2010 oleh Prof. Jatie. Sesudahnya, adalah pemilihan Ketua IPPI selanjutnya. Syarat menjadi Ketua IPPI dibacakan, antara lain: Harus menjadi anggota HIMPSI sekian tahun, memiliki pengalaman berorganisasi sekian tahun, bersedia membangun network dengan instansi lain, dan sebagainya.
Dua macam usulan mengenai bagaimana pencalonan ketua IPPI: Apakah usulan nama melalui kertas atau apakah main tunjuk. Pencalonan ketua IPPI pun disepakati dengan melakukan main tunjuk nama. Nama-nama yang memungkinkan menjadi ketua IPPI ditulis di whiteboard. Ada 5 nama calon ketua IPPI, namun akhirnya hanya tersisa 2, yaitu Drs. Duta Nurdibyanandaru, M.S., Psi., dan Dra. Herrien Triwahyuni, M. Si., Psi.
Sejumlah nama menolak menjadi calon ketua. Misalnya, Pak Singgih Wibowo Santoso atau disapa Pak SWS, ”Alasan saya tidak mau menjadi ketua karena pertimbangan pribadi. Pertama, faktor kesehatan fisik. Kedua, adalah yang paling penting, yaitu... faktor kesehatan mental.” Semua peserta kongres langsung tertawa. Calon lain yang menolak menjadi calon ketua berkata, ”Saya sepertinya tidak memenuhi persyaratan menjadi ketua IPPI, karena saya tidak memiliki pengalaman berorganisasi.” Lalu ada yang menyeletuk, ”Pengalaman OSIS juga boleh kok...” Pak Duta sendiri mencoba membela diri bahwa beliau tidak memungkinkan menjadi ketua karena beliau tergabung sebagai anggota Majelis Psikologi wilayah Jawa Timur. Menurut aturan IPPI, anggota Majelis Psikologi tidak boleh menjadi ketua IPPI. Namun, Prof. Suhapti berkata, ”Pak Duta... anggota Majelis Psikologi kan ada banyak. Bukan Bapak seorang. Kalau Bapak mengundurkan diri, kan bisa digantikan dengan yang lain.” Ya elah... bisa gitu ya Bu... Hahaha... Singkat cerita, terpilihlah Pak Duta sebagai ketua IPPI dan Ibu Herrien menjadi wakil ketua. Pemilihan ketua dilakukan dengan voting angkat tangan. Sedari awal, Pak Duta ini sepertinya sudah ”dijagokan” menjadi ketua IPPI. Saya sendiri melihat ekspresi wajah Pak Duta yang sebetulnya menolak menjadi ketua IPPI, namun apalah mau dikata beliau tak kuasa pula menolak karena ”dikeroyok” para wanita di sana.
Acara selanjutnya adalah serah terima jabatan dari Prof. Jatie kepada Pak Duta. Kemudian, dilanjutkan dengan sambutan Ketua Dewan Penasihat IPPI, Prof. Kusdwiratri Setiono, Psi., sambutan Ketua HIMPSI Pusat, dan sambutan Ketua IPPI terpilih. Acara ditutup dengan foto bersama para peserta Kongres, lalu menikmati snack dan cofee break.
By the way... Tidak ada hubungannya dengan Kongres IPPI dan SDG Awards ya, saya merasa AC di Untar agak ”bandel” nih. Dinginnya terlalu. Yonathan mengaku sampai sulit memotret karena tangannya kedinginan. Tapi, kenapa para peserta Kongres yang sebagian sudah Bapak-bapak, Ibu-ibu, sebagian pula sudah Kakek-kakek, Nenek-nenek bisa bertahan ya?? Entah saya dan Yonathan yang salah posisi duduk atau karena mereka sudah terbiasa dengan panas-dingin kehidupan??
Bicara soal panas-dingin kehidupan, Singgih Dirga Gunarsa, Hera Lestari Mikarsa, atau mungkin Duta Nurdibyanandaru adalah orang-orang yang saya rasa tidak hanya sudah melewati panas-dingin kehidupan, tapi mungkin juga asam-manis dan jatuh-bangun kehidupan dalam membesarkan psikologi di Indonesia. Menyaksikan orang-orang seperti mereka yang berdedikasi tinggi memberikan sumbangsih dan memajukan ilmu psikologi Indonesia, tentu perjuangan mereka tidak boleh berhenti begitu saja. Seyogyanya adalah tugas generasi muda untuk melanjutkan perjuangan para pembesar psikologi Indonesia. Di tangan generasi muda-lah harapan dan masa depan akan sebuah kejayaan itu ditentukan. Mau mengulang kalimat yang sama lagi... itulah beban, tapi juga menjadi suatu tantangan...
Demikianlah sedikit dari banyak peristiwa menarik di SDG Awards dan Kongres IPPI yang bisa saya ceritakan. Semoga tulisan ini dapat memacu sekaligus memicu semangat teman-teman mahasiswa lainnya untuk hadir di event-event nasional, khususnya yang diadakan Fakultas Psikologi Untar.
Salam Psikologi
Terima kasih banyak bagi yang sudah membaca tulisan ini sampai habis.
Foto peserta Kongres IPPI