Page

31 Desember 2010

Ungkapan Terima Kasih dan Syukur di Tahun 2010

Tahun 2010 sebentar lagi akan berlalu dan berganti dengan tahun 2011. Sebenarnya pergantian tahun apa sih bedanya dengan pergantian hari? Bagi saya, pergantian tahun sama saja dengan pergantian hari pada umumnya. Cuman bedanya di kemeriahannya saja. Ada dentuman dan sorak-sorai kembang api yang menjadi malam tahun baru menjadi terasa berbeda dengan malam-malam biasanya. Orang-orang pada turun ke jalan, dan mereka begitu gembiranya menunggu detik-detik pergantian jam dari tahun 2010 ke tahun 2011.

Saya sendiri tidak mau terlalu ambil pusing dengan suara-suara kembang api. Maka, itu saya menulis blog saja... Hehehe...

Harapan baru, semangat baru, dan lain sebagainya seringkali didengungkan menjelang malam tahun baru baik itu via sms, fb, bbm, twitter, atau sebagainya. Tetapi, sayang seringkali harapan itu tinggal harapan.... semangat itu tinggal semangat. Palingan pas waktunya masuk kantor atau masuk kuliah atau masuk sekolah, semangat sudah kembali loyo. Misal, untuk kasus mahasiswa, sering terdengar celetukan: "Eh, udah masuk kuliah lagi, aduh males banget deh...", "Aduhh... tugas banyakkkk, stresss....." Begitulah manusia, kadang cuman manis di ucapan saja. Menurut saya, tahun baru akan menjadi suatu yang benar-benar baru jika terjadi perubahan nyata dibandingkan dengan kondisi di tahun sebelumnya. Kalau tidak ada perubahan, ya sami mawon dengan tahun sebelumnya. Bukan tahun baru namanya, tetapi tahun baru muka lama... Hehehe...

Di Facebook, saya menulis status seperti ini:
resolusi tahun baru??? ah, daripada buat RESOLUSI, mending buat REVOLUSI di tahun baru
Capek-capek menuliskan resolusi di kertas HVS berlembar-lembar, tetapi malah hanya berakhir di laci meja atau lebih parah di tong sampah. Sia-sia saja. Buang-buang kertas. Tidak support kampanye cinta lingkungan juga, itu namanya. Mending, menyadari apa saja yang kurang di dalam diri, lalu buat sebuah revolusi. Buat suatu tindakan nyata. Anda setuju dengan saya? Sepertinya itu jauh lebih bermanfaat...

Saya sendiri mau menjadikan malam tahun baru sebagai suatu kontemplasi. Bahasa mudahnya: merenung. Tidak hanya merenung, tetapi juga saya mau mengucapkan terima kasih dan rasa syukur.

Pertama-tama, saya ingin berterima kasih kepada semua organ tubuh yang saya miliki, dari jantung, paru-paru, ginjal, hati, usus, panca indera, dan sebagainya. Kesannya kok agak aneh ya? Ah, tidak terlalu aneh kok. Kita memang mestinya berterima kasih kepada organ-organ tubuh yang kita miliki. Tubuh kita termasuk bagian-bagian di dalamnya sudah bekerja keras untuk kita selama hayat dikandung badan. Percaya atau tidak?

Rupanya, saya merasa selama ini terlalu abai kepada organ tubuh saya. Mereka itu sudah bekerja keras tanpa henti. Coba deh pikir kapan jantung pernah istirahat? Kapan paru-paru beristirahat? Mereka bekerja setiap hari sampai tarikan nafas kita terhenti. Betul bukan? Maka, saya mau bilang terima kasih kepada mereka semua yang sampai sekarang masih menjalankan tugas dengan baik.

Khususnya, untuk mata. Terima kasih banget untuk kamu mau bertahan menemani saya bergadang, meskipun aku tahu kamu sudah lelah banget. Maaf ya. Lain kali aku janji tidak akan memaksa kamu untuk bekerja terlalu lama.

Kepada otak juga. Kamu adalah kebanggaanku. Berkat kamulah, aku selalu dipuji. Terima kasih ya otak. Tahun depan kita akan bekerja keras untuk skripsi. Mohon bantuanmu sekali lagi.

Untuk punggung juga. Kamu selalu menopangku, meskipun kamu selalu mengerang kesakitan karena aku bekerja terlalu lama. Ah, terima kasih punggung. Kelak aku kan mencoba lebih banyak memberimu waktu untukmu beristirahat.

Dan untuk semua bagian tubuhku yang lain. Kalian semua top markotop. Mari kita bekerja sama untuk meraih tahun depan dengan penuh semangat!!!

Kedua, saya mau berterima kasih kepada semua orang yang masuk ke dalam kehidupanku di tahun 2010. Saya tak bisa sebutkan satu per satu. Kalianlah yang membuat tahun 2010 saya menjadi indah dan bermakna. Andaikan kita tak bisa bertualang bersama-sama di tahun 2011, marilah kita tetap menyongsong tahun 2011 dengan penuh cita dan cinta... dengan jalan kita masing-masing ya... Good luck to you guys.

Ketiga, saya mau berterima kasih atas semua peristiwa yang terjadi di tahun 2010, dari yang memilukan dan membahagiakan. Saya percaya keputusan yang terjelek sekalipun bisa membawa berkah jika kita mau melihatnya dari sisi yang berbeda.

Saya juga mau bersyukur karena masih diberikan kehidupan satu kali lagi, masih diberikan nyawa untuk dapat melihat fajar tahun 2011.

Itu saja yang bisa saya ungkapkan. Saya tidak mau terlalu banyak berharap di tahun 2011. Seperti sudah saya bilang, kalau harapan terlalu banyak, tetapi tidak ada perwujudan nyata, ya sama aja bohong. Harapan saya sederhana saja, saya berharap bisa terus berbuat kebaikan kepada semua orang. Dengan berbuat baik, orang lain bisa bahagia. Saya juga berbahagia karena mendapat pahala. Saya mau senantiasa bahagia di tahun 2011. Itu saja harapan dari saya. Sederhana bukan?

22 Desember 2010

Proses Kerja Kelompok

Dalam postingan saya sebelumnya, saya menjelaskan tentang dilema serta konflik yang dihadapi anak yang memiliki standar berprestasi tinggi ketika bekerja dalam tugas kelompok. Mereka seringkali harus menerima kenyataan bahwa teman-temannya tidak mampu mengerjakan bagian tugas mereka dengan baik. Seringkali pun, anak yang memiliki standar berprestasi tinggi ini terpaksa mengerjakan ulang bagian tugas teman mereka itu supaya hasil akhir tugas kelompoknya mendapatkan angka terbaik. Pikir mereka, "Ah, yang penting gue dapat nilai bagus. Bodoh amat temen-temen gue yang gak kerja atau kerjanya gak maksimal. Kalau berharap pada hasil kerjaan mereka, gue malah gak bisa dapat nilai bagus, dan yang rugi itu pasti gue. Nah, daripada rugi di gue kan, mending gue kerjakan sendiri atau sempurnain bagian mereka supaya hasilnya bagus."

Terkadang, diam-diam anak tersebut mungkin merasa capek hati, emosi jiwa, frustasi, stres, atau jengkel abis dengan kinerja temannya, dsb. Tetapi, acapkali perasaan itu disimpan sendiri saja oleh si anak. Anak tersebut lebih memilih diam dengan semua apa yang dirasakannya. Seperti tertulis dalam postingan sebelumnya, sebenarnya masalah itu mudah atau bisa diselesaikan dengan cara membimbing mereka atau mungkin menegur teman-teman kita yang agak malas atau kerjanya kurang maksimal dalam kelompok kita. Tetapi, sayang terkadang hal itu tidak dilakukan. Macam-macam alasannya, seperti takut merusak persahabatan (karena teman yang malas itu adalah teman baiknya), takut menghadapi konflik yang berbuntut panjang, jumlah teman yang malas itu lebih banyak daripada dirinya, dan masih banyak alasan lainnya.

Mengapa anak tersebut kok tidak mampu berhadapan dengan teman-temannya, mengatasi konflik, atau pun sekadar menyuarakan isi hatinya/bersikap asertif? Saya sih beranggapan itu dikarenakan pendidikan sekarang yang terlalu menuntut hardskill pada anak.

Anak selama masih menjadi pelajar, seringkali dituntut guru, orangtua, atau malah lingkungan(?) untuk berhasil dalam akademik. Wujud dari keberhasilan itu mudah sekali, yaitu jadilah ranking 1. Menjadi ranking 1 atau juara kelas adalah keinginan setiap orangtua mana pun. Rasanya ada kebanggaan besar bagi orangtua apabila anaknya mendapat predikat yang terbaik di kelas atau sekolahnya. Sementara, anak yang menjadi juara bontot, adalah hal yang memalukan bagi orangtua.

Maka untuk memenuhi kebanggaan, para orangtua memberikan pelajaran tambahan (les) kepada anak. Seakan-akan pelajaran yang sudah didapatkan anak di sekolah masih kurang memenuhi harapan orangtua. Seakan-akan guru yang mengajari anak itu "tidak kompeten". Jadi, anak harus diberikan kembali pelajaran tambahan atau les supaya anak tambah mengerti.

Apa yang terjadi pada diri anak? Mereka akan mendapatkan pemikiran bahwa berprestasi dalam bidang akademik adalah keharusan. Berprestasi adalah harga diri. Kalau sekali saja menerima kenyataan: mendapat nilai merah (di bawah angka 60), rasanya seperti mau "bunuh diri". Harga diri seakan runtuh. Rasanya telah gagal memenuhi harapan orangtua dan/atau harapan lingkungan. Kenyataan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan di perkuliahan. Memiliki IPK terbaik terkadang menjadi "harga diri" bagi seorang mahasiswa.

Berprestasi juga sering dikatakan sebagai gerbang menuju keberhasilan yang lebih tinggi lagi (baca: mendapatkan pekerjaan yang mapan). Kebanyakan orang beranggapan bahwa dengan meraih prestasi/juara, mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan. Mereka akan mudah meraih kedudukan tertinggi dalam pekerjaan mereka. Itu memang benar, tetapi tidaklah mutlak.

Tuntutan guru, orangtua, dan/atau lingkungan agar anak dapat berprestasi sesungguhnya hanya bersandar dalam lingkup hardskill, yaitu kemampuan teknis dan ilmu pengetahuan. Padahal, masih ada kemampuan penting yang perlu dimiliki manusia, seperti kemampuan berinteraksi, kemampuan bekerja sama dalam tim, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memahami diri, dan masih banyak lagi. Kemampuan-kemampuan itulah yang masuk ke dalam lingkup softskill.

Kalau Anda membaca kisah sukses tokoh-tokoh dunia, Anda akan menemukan kebanyakan dari mereka dicap bodoh sewaktu mereka sekolah (seperti Albert Einstein dengan teori Relativitas, Thomas Alfa Edison penemu bola lampu, Gregor Mendel penemu Hukum Mendel dalam bidang Biologi), atau mereka yang dropout dari pendidikan mereka (seperti Henry Ford penemu mobil Ford, William/Bill Gates penemu Microsoft, Mark Zuckerberg penemu Facebook). Meskipun tidak berprestasi, mereka telah membuktikan mereka dapat meraih nama besar. Dalam hal ini, peranan softskill-lah yang bermain.

Kembali ke dalam masalah tugas kelompok. Dalam pengerjaan tugas kelompok, memang hasil akhir yang dinilai. Tetapi, untuk mencapai hasil akhir itu (mencapai tujuan atau standar tersebut), bukankah kita akan melewati berbagai macam proses, seperti konflik atau dilema yang dialami seorang anak yang saya contohkan? Kenapa kita tidak mencoba membenahi proses itu? Kita mulai mencoba bekerja sama, mulai berdiskusi, mulai berani menyatakan isi hati kita kepada teman-teman sekolompok. Awalnya, pasti sulit. Tetapi, kita tidak boleh terus-terusan memilih diam kan. Anda setuju? Cobalah untuk memahami sedikit bahwa tugas kelompok itu sebenarnya adalah kesempatan bagi kita semua untuk memantapkan softskill yang kita miliki. Mari gunakan kesempatan itu!

11 Desember 2010

Standar Kerja Kelompok

Posting kali ini masih ada kaitannya dengan postingan saya sebelumnya.

Setiap orang memiliki standar prestasi masing-masing. Kita menciptakan standar itu dan berusaha mencapainya. Namun, saat kita bekerja sama dalam sebuah kelompok. Kita harus sadar bahwa standar kita pasti berbeda dengan standar teman-teman sekelompok kita.

Masalah standar ini, suka tidak suka terkadang menimbulkan permasalahan tersendiri. Dan suka tidak suka, standar ini juga mempengaruhi bagaimana seseorang berkinerja. Contohnya saja begini. Saya tergabung dalam sebuah kelompok. Dalam kelompok itu terdiri dari 4 orang. Ada sebuah tugas yang harus dikerjakan dalam tenggat waktu yang sudah ditetapkan. Tugas ini akan dinilai. Nilainya adalah nilai kelompok, bukan individu. Saya mengerjakan dengan sungguh-sungguh tugas ini. Sayangnya, teman sekelompok saya tidak bekerja dengan sungguh-sungguh.

Lalu, apa yang mesti saya lakukan? Biasanya akan muncul dilema seperti ini:
1. Mengerjakan ulang bagian mereka. Konsekuensinya: saya rugi waktu dan rugi tenaga. Tetapi, nilai saya dapat menjadi lebih baik.

2. Membiarkannya saja. Konsekuensinya: nilai saya menjadi lebih buruk, meski saya tidak rugi tenaga dan waktu. Toh, setidaknya saya sudah bertanggung jawab dengan bagian yang mesti saya kerjakan.

Biasanya dilema ini seringkali dialami anak yang cerdas yang tidak sengaja kecemplung dalam sebuah kelompok yang berisikan anggota-anggota malas. Kurang tahu apakah anak yang malas juga mengalami dilema... hehehe.. soalnya saya bukan anak malas...

By the way
, sesungguhnya ini bukan perkara cerdas atau malas. Kok, sepertinya saya menyalahkan anak yang malas. Bukan itu maksud saya kok. Sebetulnya ini lebih kepada perkara motivasi berprestasi. Anak yang cerdas cenderung punya motivasi berprestasi yang tinggi. Seringkali anak yang punya motivasi berprestasi harus jengkel bekerja sama dengan anak-anak yang kurang motivasi berprestasinya. Prestasi yang mau dia raih mengalami kendala akibat teman-teman sekelompoknya itu.

Katakanlah, saya memiliki standar prestasi 90. Maka, saya berusaha sungguh-sungguh untuk mencapai nilai atau prestasi tersebut. Akan tetapi, standar teman saya mungkin hanya pada angka 60. Macam-macam alasannya: merasa tidak mampu (angka 90 terlalu tinggi untuknya), malas berusaha, mengganggap tidak penting tugas tersebut, dsb.

Sebenarnya masalah ini bisa diselesaikan, jika kita mau menyatakan dengan tegas suara hati kita (baca: standar prestasi kita). Tetapi, kadang-kadang itu tidak dilakukan dikarenakan: gak enak hati, nanti dikira tidak menghargai usaha teman kita, atau mungkin itu percuma dilakukan karena dikasih tahu berkali-kali juga gak ngaruh ama dia, dan alasan-alasan lainnya.

Anak yang standar prestasinya rendah biasanya punya kelemahan dalam hal skill dan pengetahuan mereka. Jadi, masalah ini bisa selesai, jika si anak yang lebih tinggi standar prestasinya itu mau membimbing anak yang kurang standar prestasinya. Kalau di zaman sekolah, seringkali guru meminta anak yang pintar mengajari anak yang kurang pintar. Jika ada tugas kelompok, kadangkala guru yang mengatur sendiri kelompok yang diinginkan supaya anak pintar jangan sekelompok terus dengan anak yang lebih pintar. Kasian yang kurang pintar, begitu alasan guru.

Namun, terkadang waktu/deadline pengerjaan tugas yang mepet, frekuensi pertemuan yang jarang, atau chemistry yang kurang (maksudnya gak deket), membuat tak banyak waktu untuk urusan-urusan mengajari, membimbing, dan sebagainya. Alasan sederhananya, mending kalau dia mau/bisa berubah. Kalau tidak, buang-buang waktu saja.

Jadi, jika Anda sekarang sedang dalam sebuah proyek/tugas yang harus dikerjakan berkelompok, mengapa tidak Anda mulai sekarang memperhatikan standar prestasi teman sekelompok Anda?

Jika Anda kebetulan adalah anak yang kurang pandai, dan tidak sengaja bergabung dalam kelompok yang pandai, mengapa tidak Anda mulai sekarang mencoba menyamakan standar prestasi Anda dengan standar teman Anda yang lebih tinggi selagi Anda masih diterima oleh mereka? Tingkatkan motivasi Anda. Jika punya masalah dalam skill dan pengetahuan, gak ada salahnya minta dibimbing. Mumpung masih berteman. Jangan sampai Anda terlanjur "dimusuhi" gara-gara masalah kinerja Anda yang kurang. Nanti, Anda kerepotan sendiri mencari teman sekelompok.

10 Desember 2010

Kerja Kelompok

Ketika kita sekolah atau kuliah, pasti adanya tugas yang harus dikerjakan berkelompok. Seringkali kita menemui kasus demikian:
1. Sekelompok dengan teman-teman yang tidak mau bekerja
2. Sekompok dengan teman-teman yang ada usaha untuk mengerjakan tugas, tetapi kemampuannya tidak memadai (di bawah kemampuan kita)
3. Sekelompok dengan teman yang meng-handle tugas kelompok itu sendirian

Bagaimana Anda menghadapi situasi seperti kasus-kasus di atas?

Biasanya akan timbul kejadian seperti ini:

Pada kasus 1 seringkali dialami oleh anak-anak cerdas yang "tercemplung" di dalam kelompok dengan beranggotakan anak-anak malas. Biasanya yang terjadi, si cerdas ini akan mengerjakan tugas ini sendirian. Bagaimana dengan nilainya? Terkadang karena tidak enak hati (padahal sudah tahu mereka tidak kerja), tetap kita cantumkan namanya di cover tugas dan bilang ke guru/dosen itu kerjaan bersama. Kalau yang kejam dan gak ada perasaan sih, dicoret saja namanya. Biasanya untuk kasus 1 ini, si cerdas akan frustasi dan emosi karena harus meng-handle tugas yang sebenarnya bisa dibagi bebannya.

Pada kasus 2. Kita akan bilang kepada mereka yang memiliki kemampuan tidak memadai bahwa kita sangat menghargai usaha kerja keras mereka. Tetapi, diam-diam atau mungkin tidak, kita lalu menyempurnakan/memperbaiki kerjaan mereka. Sebenarnya hampir sama saja sih dengan kasus 1. Bedanya, emosi kita lebih sedikit positif karena masih ada sikap respek dan puas dengan kebertanggungjawaban teman kita. Atau pun hasil kerjaannya sudah cukup bagus (belum sebagus Anda sendiri ya), kita tidak perlu mengubah total hasil kerjaan mereka.

Pada kasus 3. Tentu saja, ini yang paling asik untuk anak yang malas. Bagi, yang cerdas juga tak kalah asiknya. Kita tinggal duduk diam dapat nilai bagus. Tetapi, harus hati-hati siapa tahu dia mengerjakan sendiri, lalu mencantumkan namanya sendiri.... Ini biasanya terjadi kepada anak yang sudah tidak bisa lagi mempercayai kinerja teman.

Yang paling ideal dalam bekerja kelompok adalah sekelompok dengan teman-teman yang mau bekerja sama dan bekerja keras. Kemudian, sadar akan kemampuannya dan terbuka dengan kritik dan saran. Artinya, misalkan diberitahu kepada dia bahwa hasil kerjaanya belum optimal, dia bersedia belajar untuk memperbaikinya.

Dalam masalah ini, sebenarnya adalah pandai-pandainya kita memilih teman untuk bisa diajak bekerja sama, yang bisa saling menguntungkan, ibarat simbiosis mutualisme. Kita harus mempertahankan persahabatan dengan teman-teman seperti mereka. Yang tidak bisa diajak bekerja sama, kita harus lebih menjaga jarak, tetapi bukan berarti menjauhi. Hal ini bukan dilakukan sebagai upaya diskriminasi. Tetapi, dalam bekerja sama dalam sebuah tim, tidak lagi kita mencari seorang teman, kita harus mencari seorang partner. Ibarat mau membangun bisnis, tentu kita mencari orang-orang yang bisa mendukung prospek bisnis kita, bukan mencari orang-orang yang justru merugikan, seperti parasit.

Namun, tidak selalu kita berada dalam situasi yang menguntungkan. Terkadang situasi memaksa kita bertemu dengan orang-orang yang tak bisa diharapkan dan diandalkan. Terjadilah kasus-kasus yang saya contohkan di atas. Jadi, apa yang akan Anda lakukan?

5 Desember 2010

Sebuah Pembelajaran Tentang Karakter

Sebuah kegiatan nasional perdana yang saya pimpin di kampus saya, meski sedikit menemui halangan, rintangan, cemoohan, dan lain sebagainya, rupanya telah membawa sebuah pembelajaran. Sebetulnya, bukan melalui kegiatan nasional ini saja, melainkan 3 tahun lamanya saya berkiprah di suatu lembaga mahasiswa.

Tiga tahun lamanya saya gak cuman menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), tetapi juga merangkap jadi mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat). Terkadang hendak liburan dan bersantai ria di rumah, tetapi malah harus hadir di kampus, untuk 1 kata: RAPAT. Kadang pula harus pulang malam dan pergi pagi. Bolak-balik setor muka menghadap Bapak/Ibu Dosen. Belum lagi, berhadapan dengan makhluk yang bernama konfik: konflik keuangan, konflik kepentingan, konflik dengan rekan sejawat, dll. Mesti bersabar pula menghadapi orang-orang yang malas dan tidak bisa diatur. Dan-dan-dan hal-hal lainnya... Masih banyak deh...

Capek? Iya, capek sekali... Tapi, saya gak menyesal... Tidak sia-sia kok. Ada hikmahnya. Wow, ini kata yang seringkali kita dengar saat Indonesia tertimpa bencana.

Ya... Ada hikmah di balik persoalan yang terumit sekalipun. Dan saya bersyukur karena saya mendapat banyak pembelajaran dari segala macam kerumitan itu.

Setidaknya saya berhasil menemukan 9 hal yang paling penting saat kita ingin melaksanakan suatu event, saat kita tergabung dalam suatu organisasi.

1. Komunikasi

Masalah paling klise dihadapi. Kalau ada masalah-masalah, pasti ujung-ujungnya masalah komunikasi. Aneh, padahal zaman sudah sangat canggih. Sudah ada chatting, Facebook, Blackberry, SMS, tetapi kenapa komunikasi masih sering jadi perkara. Rupanya komunikasi tidak hanya urusan ngobrol di mana dan kapan. Tidak hanya urusan punya pulsa apa tidak?

Rupanya kualitas obrolanlah yang paling penting ketimbang kuantitas komunikasi. Seringkali komunikasi yang kita lakukan "gak nyambung" antara si pengirim dan penerima pesan. Si A bicara apa ke B, si B nerimanya beda. Atau si A tidak dengan jelas menjelaskan maksud keinginannya ke B. Ditambah lagi, misalkan si B otaknya rada-rada telmi (telat mikir). Hehe.

So, yang terpenting dalam berkomunikasi adalah komunikasi yang clear. Komunikasi yang jelas isi dan maksud pesannya. Komunikasi yang bisa dipahami kedua belah pihak. Mau SMS berpuluh-puluh kali, kalau tidak jelas maksudnya sama saja bohong. Selain itu, yang paling penting lagi adalah komunikasi proaktif. Maksudnya, jangan cuman menunggu kiriman pesan atau komando. Tetapi, harus aktif untuk bertanya dan bertanya-tanya.

Sebuah organisasi yang baik dan bisa mencapai tujuan (keberhasilan) adalah organisasi yang anggota-anggotanya bisa saling berkomunikasi dengan clear satu sama lain.

2. Bertanggung jawab

Bertanggung jawab artinya melaksanakan kewajiban. Apa yang mau diminta atau apa yang dituntut, apa yang sudah menjadi tugas kita harus dilaksanakan. Tanggung jawab bukan sekadar habis dilaksanakan, terus kita tidak mau tahu lagi. Tanggung jawab artinya biarpun kita sudah selesai mengerjakan suatu pekerjaan, kita bersedia menanggung dan memberikan jawaban (penjelasan) bila ada kesalahan-kesalahan yang kita lakukan dalam pekerjaan.

Seorang ilmuwan besar Albert Einstein (1879-1955) mengatakan, "The price of greatness is responsibility" (harga sebuah kebesaran ada di tanggung jawab)

3. Komitmen

Komitmen diartikan sebagai siap melaksanakan suatu tugas sampai tuntas. Tidak ada kata setengah-setengah. Komitmen bisa disamakan dengan sumpah atau ikrar.

Ada perbedaan antara orang yang melakukan sesuatu karena tertarik dan karena adanya komitmen. Ketika Anda hanya tertarik, Anda hanya akan melakukan sesuatu, ketika keadaan menyenangkan saja. Sedangkan jika Anda sudah memiliki komitmen, Anda tidak membedakan keadaan apa pun kecuali hasil akhir.

4. Perencanaan

Nobody plan to fail, but most of them fail to plan

Kalimat di atas sudah menggambarkan kalau perencanaan adalah penting. Urusan sepele seperti makan saja butuh perencanaan lho. Mau makan apa? Seafood atau chinese food? Kalau ada budget lebih, sebaiknya makan di mana? Di restoran dekat rumah atau di Mall? Lalu, bersama siapa kita makan? Dengan teman, pacar, atau orangtua? Dan lain sebagainya. Bisa lebih banyak lagi jika mau dijabarkan.

Lalu, perencanaan seperti apa yang kita butuhkan dalam mengadakan suatu event. Yang pertama adalah perencanaan waktu. Kedua, adalah perencaanaan sumber daya manusia. Ketiga, adalah perencanaan dana. Semua harus dikalkulasi terlebih dahulu sebelum kita ingin melaksanakan sebuah event.

5. Menjadi teladan

Seringkali saat kita menjadi orang yang lebih tua, kita beranggapan pandangan atau pendapat kitalah yang paling benar. Kita merasa yang paling tahu. Kita merasa yang paling hebat. kita merasa yang paling berpengalaman. Orang-orang yang lebih muda (junior) harus menaruh hormat kepada kita karena kita anggap mereka belum bisa apa-apa.

Terkadang saat kita menjadi lebih tua, kita suka keblablasan dalam bersikap. Kita mulai bersikap seenaknya, seperti memberi tahu dengan nada memerintah. Dan ketahuilah tindakan ini tidak akan membuat diri kita dihormati. Tindakan seperti ini hanya membuat diri kita ditakuti. Ketakutan membuat diri kita hanya dijauhi. Semua orang tak ingin dekat-dekat dengan suatu yang menakutkan, bukan?

Ingatlah usia tidak bisa menentukan kehormatan, tetapi kualitas pengalaman dan pengetahuan serta ditambah sikap dan perilaku yang terpujilah yang menentukan kehormatan. Jika kita ingin membimbing orang lain, jadilah teladan. Jadilah orang yang patut dicontoh.

6. Totalitas

Siapa pun yang memintamu berjalan satu mil, berjalanlah sejauh dua mil” (diadaptasi dari sebuah ayat).

Tahukah kamu apa ciri-ciri orang yang sukses? Mereka adalah orang-orang yang mengerjakan lebih dari apa yang diminta. Mereka tidak sekadar ingin A, tetapi mereka ingin A+


7. Semangat (Motivasi)

Kebanyakan orang yang gagal sesungguhnya bukan orang yang tidak mampu. tapi kebanyakan orang yang gagal disebabkan mereka tidak mampu memelihara api kecil dalam dadanya, dan api kecil itu bernama ”semangat”

Ibarat mobil. Bila Anda mematikan mesin sebelum mencapai tujuan, Anda tidak akan pernah sampai kan!? So, jangan padamkan semangat sebelum mencapai tujuan.

8. Inisiatif

Don't waste your time, ACT now !

Kebanyakan orang yang tidak sukses karena tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Padahal, waktu tidak bisa kita ulang dan waktu tidak bisa kita ganti. Manfaatkan waktu dengan baik. Ambil langkah awal secepat mungkin. Karena kita tidak pernah tahu, apa yang nanti kelak terjadi.

9. Fokus pada tujuan

Organisasi adalah sekelompok orang yang hendak mencapai tujuan bersama. Bahkan, tidak usah berbicara tentang organisasi, manusia mana pun seharusnya memiliki tujuan hidup. Dan tujuan itulah yang membuat hidup kita menjadi lebih bermakna dan tidak sia-sia. Karena ada sesuatu yang hendak kita kejar.

Pikirkan kembali apa tujuan Anda sebagai anggota dalam suatu organisasi atau anggota dalam kepanitiaan. Mengapa Anda mengorbankan segitu banyaknya waktu dan tenaga? Apa yang hendak Anda cari? Pengalaman, teman, pacar, atau demi pengembangan organisasi Anda sendiri? Apa pun tujuan Anda, berusaha mencapai tujuan Anda. Bagaimana cara mencapai tujuan? Lihat kembali 8 poin yang sudah saya jelaskan.


Inilah 9 karakter yang saya rumuskan sendiri yang saya pikir kalau dimiliki bisa menunjang keberhasilan/kesuksesan dalam menyelenggarakan dalam suatu event.

Semoga berhasil....

25 November 2010

Dilema Mantan Seorang Pemimpin

Sukses adalah kata yang subyektif dan relatif. Subyektif karena mesti diri sendiri yang menilai. Relatif karena tidak mutlak. Penilaiannya mungkin saja berubah. Namun, jika kita merasa positif dengan sesuatu yang sudah kita laksanakan, bisa dikatakan sudah sukses. Maksudnya, kalau kita merasakan bahagia, antusias, puas, dsb, dengan apa yang sudah kita lakukan, bisa dikatakan... iya, kita sudah mencapai tahap sukses.

Satu tahun lamanya saya menjadi ketua panitia sebuah acara nasional. Proses yang amat panjang, sangat berliku-liku, sampai buat pusing kepala bagi sebagian besar orang itu akhirnya usai sudah di hari ini. Saya pikir saya sudah cukup lega karena beban berat ini pun hilang sudah. Pertanyaannya, apakah saya merasa sukses dengan apa yang sudah saya kerjakan?

Sejujurnya saya merasa bangga dengan apa yang sudah saya kerjakan. Bangga pula dengan anggota-anggota tim saya yang sudah mati-matian mau dan rela bekerja keras. Saya pun curahkan tenaga, pikiran, dan waktu semaksimal mungkin demi acara ini. Ini sebuah acara nasional yang tak pernah terpikirkan banyak orang. Saya bersama tim sudah membuat satu sejarah yang (menurut saya) patut dikenang bersama.

Namun, dari hati terdalam, saya masih merasakan ketidakpuasan terhadap diri saya sendiri. Saya mulai sadar (sebenarnya sih sudah sadar dari dulu) ada banyak kekurangan di dalam diri saya ini. Adanya acara itu, saya semakin tersadarkan karena saya masih perlu banyak belajar menjadi seorang pemimpin yang baik.

Kata teman saya, seorang pemimpin adalah orang yang dapat mengarahkan bawahannya tanpa merasa dia disuruh atau diperintah. Saya pernah mendengar perkataan itu, namun sayang saya lupakan dan tidak sadari. Berkali-kali saya perlu menyuruh anggota tim saya. Saya kurang berhasil dalam mengarahkan mereka ke tujuan yang saya inginkan, terlepas dari apa mereka mau diarahkan atau tidak. Saya tidak membuat mereka mandiri, tidak memberikan mereka semangat lebih, dan lagi tidak menjadikan mereka sebagai pemimpin untuk diri mereka sendiri. Saya malah menjadi pemimpin yang kebingungan sendiri dengan apa yang harus saya ucapkan.

Dengan memahami apa yang sedang saya rasakan, apakah yang sudah saya lakukan bisa disebut sukses atau tidak? Di satu sisi, saya ingin menyatakan inilah yang disebut sebuah kesuksesan, namun ada sisi lain yang mengatakan tidak begitu... Sungguh sebuah dilema...

13 November 2010

Ulang Tahun dan Harapan Kebahagiaan

Hari ulang tahun merupakan hari ketika Ibu melahirkan kita dengan penuh perjuangan. Jadi, ini hari di saat hidup dan mati seorang Ibu. Harusnya kata "ulang tahun" ditambahkan menjadi "ulang tahun perjuangan Ibu". So, agak aneh jika kita melakukan selebrasi di hari ulang tahun dengan kue dan cemilan. Eh, tapi saya gak bilang bahwa perayaan itu adalah salah. Buktinya, kita sering dengar bahwa ada orangtua yang rela mengeluarkan segepok uang yang mereka miliki untuk merayakan ulang tahun putrinya yang ke-17. Orangtua, khususnya Ibu, tidak ada masalah kok. Mereka baik-baik saja tuh. Tidak komplain.

Tapi, jika dipikir-pikir, kue, cemilan, pesta, atau baju yang kita kenakan saat ini sesungguhnya merupakan buah perjuangan dari seorang Ibu. Mungkin kita perlu merenung sejenak. Begitu luar biasanya yang Beliau perjuangkan. Semuanya hanya demi anaknya.

Namun, jangan salah sangka ya. Bukan berarti saya orang yang amat kaku sehingga antihura-hura. Kalau ada yang mau kasih saya hadiah atau kejutan, pasti saya terima dengan senang hati kok :)

Saat Ibu diminta membuat pesta untuk anaknya, Beliau mungkin tidak mempemasalahkan, malah mengusahakan (selama ada dananya ya), karena yang terpenting baginya adalah kebahagiaan sang Anak. Adalah kebahagiaan Ibu jika melihat anaknya bahagia.

Kebahagiaan tampaknya adalah kata kunci hari ulang tahun. Mungkin itu kali ya makna hari ulang tahun. Orang yang berulang tahun biasanya tidak boleh marah dan bersungut-sungut jika dikerjai. Harus smiley, mesti hati keki :)

Saya sendiri meski tidak dirayakan dengan pesta, sudah merasa senang dengan hadirnya berbagai macam ucapan yang berisikan harapan-harapan indah untuk saya. Harapan untuk diri saya sendiri adalah semoga saya selalu berbahagia, termasuk membahagiakan orang-orang di sekitar saya: Orangtua, sahabat, dan siapa pun dia.

12 Agustus 2010

Reportase Kegiatan SDG Awards 2 dan Kongres IPPI (6 Agustus 2010)

Ini adalah lanjutan dari Reportase Kegiatan Temu Ilmiah Nasional Psikologi (5 Agustus 2010). Reportase sebelumnya dapat dibaca di http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/sufren-margago/reportase-kegiatan-temu-ilmiah-nasional-psikologi-5-agustus-2010/450105119918 atau di http://sufren-tale.blogspot.com/2010/08/reportase-kegiatan-temu-ilmiah-nasional.html.

Singgih Dirga Gunarsa adalah seorang tokoh yang telah berjasa dalam bidang psikologi, terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Olah Raga. Pengabdian beliau kepada Untar sejak tahun 1982, dan kontribusi serta dedikasi beliau kepada ilmu psikologi diapresiasi oleh Fakultas Psikologi Untar dalam ajang bernama Singgih Dirga Gunarsa (SDG) Awards. SDG Awards adalah lomba karya tulis ilmiah dan non-ilmiah untuk dosen dan mahasiswa. Ajang ini pernah dihelat tahun 2005, dan kini tahun 2010 adalah perhelatan yang kedua. Pada tanggal yang bersamaan pula, diadakan Kongres IPPI. Apa saja yang telah terjadi, selengkapnya bisa dibaca di bawah ini...

SDG Awards
Acara dimulai sekitar pukul 9 dan dibuka oleh Tarian Mpo Tjontreng dari Padmanagara. Berperan sebagai MC adalah Untung Subroto Dharmawan, merupakan alumni S2 Psikologi Untar, dan juga penyiar I-Radio FM (menjadi MC juga di Temu Ilmiah... kayaknya bakal jadi MC tetap Psikologi Untar deh... Hehehe). Acara selanjutnya adalah Sekapur Sirih oleh Dekan Fakultas Psikologi Untar, yaitu Ibu Henny sendiri. Naskah Sekapur Sirih Ibu Henny dapat dibaca di Notes FB beliau sendiri (http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=430324286560). Sesudah membacakan Sekapur Sirih, dilanjutkan pemberian suvenir kepada Bapak Singgih Dirga Gunarsa. Suvenir tersebut berupa pigura foto Pak Singgih dengan pakaian toga yang disusun dalam foto kolase seluruh pejabat fakultas Untar. Kata Pak Monty, foto ini merupakan karya Henlie Prawiro, yang selalu menjadi fotografer setia kegiatan-kegiatan Fakultas Psikologi Untar (kayaknya juga bakal jadi fotografer tetap Psikologi Untar deh... Hehehe). Kemudian, acara dilanjutkan kembali dengan pidato kesan-kesan oleh Pak Singgih.

Kini sampailah pada pengumuman pemenang SDG Awards. Sebelum diumumkan pemenangnya, dibacakan terlebih dahulu nominasinya. Udah kayak Award di dunia perfilman aja. Hehehe... Pembacaan nominasi pemenang SDG Awards untuk kategori mahasiswa dibacakan oleh para mahasiswa terpilih. Untuk nominasi juara ketiga dibacakan oleh Duta Psikologi Untar 2009, yaitu Willy Salim dan Debbie. Untuk nominasi juara kedua dibacakan oleh Mahasiswa Psikologi Untar dengan IPK tertinggi, yaitu kebetulan saya sendiri dan Anastasia. Dan untuk nominasi juara pertama dibacakan oleh Ketua BEM dan Ketua DPM Psikologi Untar, yaitu Steven dan Putu. Tetapi, karena Steven dan Putu berhalangan hadir, digantikan oleh Johanes dan Cynthia Tanto.

Kami mahasiswa yang membacakan nominasi didandani dengan pakaian adat yang berbeda-beda. Eee... Semoga saya tidak salah sebut ya. Willy memakai pakaian adat Padang, Debbie memakai pakaian adat Batak, Johanes memakai pakaian adat Sunda, Cynthia memakai pakaian adat Sulawesi, Anastasia memakai pakaian adat Bali, dan saya sendiri memakai pakaian adat Betawi. Mohon maaf jika ada yang salah. Pengetahuan adat saya memang kurang soalnya... Hehehe... Untuk melihat foto-foto busana kami, bisa dicari di teman Facebook terdekat dari tempat Anda... Hehehe...

Para Pemenang Kategori Mahasiswa (diurut berdasarkan juaranya) adalah:
1. Studi Indigenous Psychology atas Atribusi Prestasi dan Kegagalan pada Siswa dan Mahasiswa: Apakah Self-Serving Bias berlaku di Indonesia? (Moh. Abdul Hakim & Sri Kurnianingsih, F.Psi. UGM).
2. Dinamika Interkorelasi antara Konsep Diri, Zuhud, dan Motivasi Berprestasi Santri (Zam Roni, UIN MALIKI Malang).
3. Correlations between Child Rearing Disagreement with the Quality of Friendships on Students Psychology Faculty Airlangga University who Derived from Multicultural Marriage (Rizqy Amelia Zein, Jonny Eko Yulianto, & Adinda Nurul Triaseptiana, F.Psi. Univ. Airlangga).

Sedangkan pemenang SDG Awards kategori dosen dibacakan oleh dosen-dosen dari Psikologi Untar sendiri. Untuk nominasi juara ketiga dibacakan oleh Pak Tommy dan Ibu Meike. Untuk nominasi juara kedua dibacakan oleh Pak Nisfi dan Ibu Rahmah. Dan untuk nominasi juara pertama dibacakan oleh Pak Fidelis dan Ibu Meiske. Tapi kok, para dosen tidak mengenakan pakaian adat seperti mahasiswa ya. Mereka cuman mengenakan pakaian kebaya dan batik. Curang nih... Hahaha...

Para Pemenang Kategori Dosen (diurut berdasarkan juaranya) adalah:
1. Mental Juara pada Atlet Bulutangkis Indonesia: Studi Theory of Critical Moments dan Self Determination dalam Psikologi Olahraga (Ardiningtiyas Pitaloka & Andin Andiyasari, F.Psi. Univ. Paramadina & F.Psi. UI).
2. Studi Penyusunan Alat Ukur Psikologis: Employee Engagement (Budi Setiawan & Samian, F.Psi. Univ. Airlangga).
3. The Effect of Classroom Environment Climate on The Mastery Goal Orientation, Academic Self Efficacy and Student‘s Achievement (Agoes Dariyo, F.Psi. Untar).

Khusus pemenang yang mendapat juara pertama, sebelum menerima plakat dan piagam penghargaan, diharuskan mempresentasikan makalahnya ke hadapan penonton selama 15 menit. Nun jauh dari sini, saya mau ucapkan selamat kepada para pemenang. Semoga didengar di alam mimpi mereka. Hehehe... Semoga kelak ada dosen dan mahasiswa Psikologi Untar yang akan meraih juara 1 SDG Awards di perhelatan selanjutnya. Semoga... semoga... semoga...!

Setelah mengetahui siapa-siapa pemenang SDG Awards, acara pun usai sudah. Acara ditutup dengan mengulas senyum di hadapan kilatan lampu blitz (baca: foto bersama), dan dilanjutkan dengan makan siang.

Intermeso sebentar ya. Para mahasiswa yang membacakan nominasi diharuskan memperkenalkan namanya dan siapa dirinya (tuntutan panitia). Pada kasus saya, ya saya harus memperkenalkan nama saya dan menyebutkan saya adalah ”mahasiswa dengan IPK tertinggi” kepada penonton. Wew, kata Anas kok kesannya sombong banget ya.

Gara-gara menyebutkan demikian, saya jadi tambah populer deh. Contohnya saja, ketika Pak Bonar dan teman-teman dari YAI hendak pamit pulang dengan saya, si Bapak sempat-sempatnya bilang ke mahasiswanya, ”Anak ini hebat sekali, mantan pengurus BEM, sekaligus pemilik IPK tertinggi.” Ketika saya mencoba merendah, eh Bapaknya malah bilang lagi, ”Saya suka dia. Orangnya humble sekali.” Halah... Usai acara Kongres IPPI, ada yang menyalami saya (belum sempat berkenalan dengannya), ”Ini namanya Sufren kan. Mahasiswa dengan IPK tertinggi. Emang IPK-nya berapa?” Nah, lho...

Tapi, saya tulis begini bukan maksud menyombongkan atau membesarkan kepala saya. Kepala saya cukup segitu saja ukurannya. Hehehe... Bagi saya, rasanya suatu beban menyandang predikat mahasiswa dengan IPK tertinggi (perhatikan: mahasiswa bukan mahasiswi). Jika Duta Psikologi Untar dan Ketua BEM/DPM bergonta-ganti setiap tahun, IPK kan cenderung stabil. Kenaikan dan penurunannya tidak akan terlalu tajam. Bebannya itu bukan pada perkara mempertahankan IPK. Namun, lebih kepada bagaimana IPK yang tinggi ini tidak hanya menjadi pajangan dan penghibur di hari tua, tetapi bisakah berguna buat saya di kemudian hari? Yaaa... Itulah beban, tapi juga menjadi suatu tantangan...

Kongres IPPI
Kongres IPPI dilaksanakan jam 1 siang. Saya dan Yonathan turut hadir sebagai peserta Kongres. Tidak hanya jadi peserta, kami berdua juga menjadi fotografer dadakan. Pak Tommy yang hadir pula di Kongres yang meminta kami menawarkan bantuan untuk foto-foto di sana dengan menggunakan kamera yang dipinjam Pak Tommy. Jujur saja, saya kurang pandai memotret. Sepertinya banyak bidikan saya yang kurang tepat. Hahaha...

Saya pikir Kongres akan berlangsung tegang, membosankan, dan kaku. Rupanya Kongres berjalan dengan jenaka dan seru. Selama Kongres, banyak kelucuan yang terjadi lho. Kira-kira begini beberapa kejadian menarik di Kongres yang bisa saya ceritakan...

Kongres IPPI dibuka Ketua IPPI, yaitu Prof. Dr. Jatie K. Kusna Pudjibudojo, Psi. Berperan sebagai MC adalah Dra. Woelan Handadari, M. Si., Psi., yaitu pengurus IPPI yang membidangi Divisi Profesi. Setelah dilakukan pembukaan, Prof. Hera Lestari Mikarsa, Ph. D., Psi., menyampaikan presentasi ilmiah beliau yang berjudul ”Sosialisasi Ekonomi Pada Anak”. Presentasi beliau ini sebetulnya adalah pidato beliau saat pengukuhannya menjadi Guru Besar.

Prof. Hera adalah salah satu anggota Dewan Penasihat Pengurus IPPI. Sepanjang Prof. Hera presentasi, beliau tidak hanya memberikan penjelasan, tetapi juga memberikan banyak pertanyaan untuk direnungkan.

Makalah Prof. Hera mengacu pada krisis moneter pada tahun 1998. Sampai sekarang, menurut Prof. Hera, ekonomi Indonesia masih memprihatinkan. Prof. Hera menjelaskan sosialisasi terbagi menjadi 2, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Pada sosialisasi primer adalah proses ketika anak beradapatasi menjadi bagian dari masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah ketika anak diperkenalkan atau dididik ke dalam bidang baru dalam dunia masyarakat. Agen sosialisasi sendiri dapat dibagi menjadi 3, yaitu orangtua, peer group, dan mass media. Orangtua dikatakan sebagai sumber pengaruh rasional, sedangkan peer group dan mass media adalah sumber pengaruh yang tidak rasional.

Tanpa disadari, orangtua seringkali mengajarkan atau mensosialisasikan pendidikan ekonomi pada anak. Prof. Hera mencontohkan dengan pengalamannya saat beliau masih kecil. ”Waktu kecil, saya sebetulnya pernah diajarkan pendidikan ekonomi, tapi baru saya sadari setelah saya dewasa. Dulu, jika saya mau minta uang, saya boleh mengambilnya sendiri. Jika banyak uang, artinya saya bisa mengambil banyak. Jika sedikit, saya cuman bisa mengambilnya sedikit. Secara tidak langsung, orangtua saya sudah mengajarkan kepada saya sebuah nilai tentang uang.”

Dalam kehidupan sehari-hari, orangtua seringkali dihadapkan pada cara berpikir ekonomi yang mengarah pada keputusan ekonomi. Prof. Hera menyebutnya dengan istilah economic way of thinking. Contohnya saja, mana yang lebih menguntungkan: Membiarkan anak makan di sekolah atau membawa bekal dari rumah?

Menurut teori Furby, anak memiliki perilaku posesif. Perilaku posesif dapat dipengaruhi oleh peran bahasa. Prof. Hera menjelaskan bahwa anak Indonesia cenderung menyebutkan dirinya dengan namanya, misalkan ”Ani ingin.... atau Ani suka... dsb”. Dalam kebiasaan orang Indonesia, kita sering mengajarkan kepemilikan dengan menggunakan nama. Misalkan saja, ”ini buku Aci.” Berbeda, dengan kebiasaan orang Barat, mereka mengajarkan anak kepemilikan dengan menggunakan kata, ”my book atau your book”. Prof. Hera bertanya-tanya, cara mana yang lebih baik dalam mengajarkan kepemilikan kepada anak: cara Indonesia atau cara Barat?

Prof. Hera menjelaskan bahwa memberikan uang saku (allowance) kepada anak dapat menjadikan anak lebih mandiri. Meskipun ada kontroversi: Apakah anak perlu mendapat uang jajan setelah mengerjakan tugas-tugasnya? Yang pro tentu bisa mengatakan hal ini baik karena dapat menjadi bentuk reinforcement bagi anak. Namun, yang kontra akan mengatakan tidak baik karena mendidik anak kok seperti ”karyawan”. Hal yang ditekankan oleh Prof. Hera adalah kita perlu mengajarkan anak bagaimana membedakan keinginan (wants) dan (needs).

Sebetulnya ada banyak, tapi itu beberapa poin yang bisa saya catat dan saya ingat dari presentasi Prof. Hera. Usai memberikan presentasi, dilanjutkan sesi tanya jawab kepada Prof. Hera. Prof. Hera awalnya tidak menyangka ada sesi tanya jawab. ”Kalau ada sesi tanya jawab, honornya mesti nambah nih,” selorohnya. Pada kesempatan sesi tanya jawab, Ibu Mimi (Dr. Soemiarti Padmonodewo) membagikan pengalamannya di Belanda. Menurut Ibu Mimi, anak-anak di Belanda sangat sayang kepada mainannya. Mereka menjaga hati-hati barang mainannya. Seandainya mainan rusak, mereka akan menjualnya. Prof. Hera menimpali bahwa anak-anak Barat cenderung hemat. Beliau menjelaskan pengalamannya di London, Inggris karena beliau lama bermukim di sana. ”Orang-orang Inggris sangat hemat. Mereka kalau mendapat kado. Kertas kadonya itu dibuka hati-hati jangan sampai sobek, lalu kertas kadonya disetrika, untuk kemudian bisa dipakai lagi.”

Acara selanjutnya seharusnya adalah presentasi ilmiah dari Prof. Dr. Endang Ekowarni, Psi. Namun, beliau berhalangan hadir sehingga acara selanjutnya diganti dengan diskusi ”Pengembangan Organisasi IPPI” oleh Ibu Eny (saya tidak tahu persis ejaan dan nama lengkapnya karena tidak sempat konfirmasi, semoga tidak salah tulis ya). Sebelum Ibu Eny berbicara di depan, beliau mendapatkan sambutan lagu ”Selamat Ulang Tahun” oleh para yang hadir. Rupanya, beliau berulang tahun hari itu. Ibu Eny pun mendapat kado ulang tahun dari Prof. Jatie. Ibu Eny menolak ketika diminta membuka kado. ”Saya gak mau buka kadonya sekarang, nanti di rumah aja. Saya nanti bukanya kertasnya mau hati-hati, habis itu disetrika supaya kalau ada yang entar berulang tahun, kertas kadonya sama lagi,” candanya.

Ibu Eny memulai perbincangannya mengenai sejarah IPPI. ”Kalau tidak salah ingat ya, IPPI pertama kali dicetuskan tahun 2000 di Kongres HIMPSI di Bandung.” Selama diskusi, beberapa usulan muncul mengenai apa yang harus dilakukan IPPI di masa mendatang. Seperti ada yang mengusulkan, bagaimana kalau AWCAD (Asian Worshop on Children and Adolescent Development) yang pernah diprakarsai Pak Singgih dilaksanakan kembali. Ada pula yang mengusulkan, bagaimana kalau dilanjutkan kembali proyek pembuatan film Human Development versi Indonesia. Pada masa silam UI, UGM, dan UNPAD pernah sepakat membuat film Human Development dengan model orang Indonesia. Tapi sayang, tidak ada kelanjutan dari proyek itu.

Salah satu mahasiswa dari Universitas Diponegoro, bernama Pariman bertanya, “Jika IPPI adalah anaknya HIMPSI, mengapa tidak dibuat cucunya HIMPSI, yaitu IPPI untuk mahasiswa. Mengapa kalangan muda tidak diajak serta? Lalu, mengapa sepertinya kok sedikit sekali dukungan dari pemerintah terhadap penelitian ilmu sosial ya?” Ketua HIMPSI Pusat Prof. Retno Suhapti menjelaskan bahwa seringkali beliau mendapat SMS dari para anggota lembaga mahasiswa untuk membentuk IMPSI (Ikatan Mahasiswa Psikologi Indonesia). “Saya sering banget dapat SMS dari para mahasiswa yang berniat membentuk IMPSI, tapi malah meminta HIMPSI yang mendanai. Saya bilang ke mahasiswa tersebut, kamu kumpulkan dulu para mahasiswa dari 127 fakultas psikologi di Indonesia. Pernah sekali berkumpul, malah yang dibahas kok AD/ART sehari semalam. Bukannya membahas bagaimana membuat kegiatan pertandingan voli, pertandingan sepak bola, dsb.?” Urusan AD/ART emang selalu ribet ya... Prof. Jatie mencoba menjawab pertanyaan kedua dari Pariman. Beliau mengatakan pendapat Pariman itu keliru mengenai tidak adanya dukungan dari pemerintah terhadap ilmu sosial. Menurut beliau, sudah banyak hibah dari pemerintah terhadap penelitian ilmu sosial. ”Kamu bisa coba buka di situs Dikti”, katanya.

Usai diskusi panjang lebar dengan Ibu Eny, dilanjutkan pembacaan Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan IPPI periode 2007-2010 oleh Prof. Jatie. Sesudahnya, adalah pemilihan Ketua IPPI selanjutnya. Syarat menjadi Ketua IPPI dibacakan, antara lain: Harus menjadi anggota HIMPSI sekian tahun, memiliki pengalaman berorganisasi sekian tahun, bersedia membangun network dengan instansi lain, dan sebagainya.

Dua macam usulan mengenai bagaimana pencalonan ketua IPPI: Apakah usulan nama melalui kertas atau apakah main tunjuk. Pencalonan ketua IPPI pun disepakati dengan melakukan main tunjuk nama. Nama-nama yang memungkinkan menjadi ketua IPPI ditulis di whiteboard. Ada 5 nama calon ketua IPPI, namun akhirnya hanya tersisa 2, yaitu Drs. Duta Nurdibyanandaru, M.S., Psi., dan Dra. Herrien Triwahyuni, M. Si., Psi.

Sejumlah nama menolak menjadi calon ketua. Misalnya, Pak Singgih Wibowo Santoso atau disapa Pak SWS, ”Alasan saya tidak mau menjadi ketua karena pertimbangan pribadi. Pertama, faktor kesehatan fisik. Kedua, adalah yang paling penting, yaitu... faktor kesehatan mental.” Semua peserta kongres langsung tertawa. Calon lain yang menolak menjadi calon ketua berkata, ”Saya sepertinya tidak memenuhi persyaratan menjadi ketua IPPI, karena saya tidak memiliki pengalaman berorganisasi.” Lalu ada yang menyeletuk, ”Pengalaman OSIS juga boleh kok...” Pak Duta sendiri mencoba membela diri bahwa beliau tidak memungkinkan menjadi ketua karena beliau tergabung sebagai anggota Majelis Psikologi wilayah Jawa Timur. Menurut aturan IPPI, anggota Majelis Psikologi tidak boleh menjadi ketua IPPI. Namun, Prof. Suhapti berkata, ”Pak Duta... anggota Majelis Psikologi kan ada banyak. Bukan Bapak seorang. Kalau Bapak mengundurkan diri, kan bisa digantikan dengan yang lain.” Ya elah... bisa gitu ya Bu... Hahaha... Singkat cerita, terpilihlah Pak Duta sebagai ketua IPPI dan Ibu Herrien menjadi wakil ketua. Pemilihan ketua dilakukan dengan voting angkat tangan. Sedari awal, Pak Duta ini sepertinya sudah ”dijagokan” menjadi ketua IPPI. Saya sendiri melihat ekspresi wajah Pak Duta yang sebetulnya menolak menjadi ketua IPPI, namun apalah mau dikata beliau tak kuasa pula menolak karena ”dikeroyok” para wanita di sana.

Acara selanjutnya adalah serah terima jabatan dari Prof. Jatie kepada Pak Duta. Kemudian, dilanjutkan dengan sambutan Ketua Dewan Penasihat IPPI, Prof. Kusdwiratri Setiono, Psi., sambutan Ketua HIMPSI Pusat, dan sambutan Ketua IPPI terpilih. Acara ditutup dengan foto bersama para peserta Kongres, lalu menikmati snack dan cofee break.

By the way... Tidak ada hubungannya dengan Kongres IPPI dan SDG Awards ya, saya merasa AC di Untar agak ”bandel” nih. Dinginnya terlalu. Yonathan mengaku sampai sulit memotret karena tangannya kedinginan. Tapi, kenapa para peserta Kongres yang sebagian sudah Bapak-bapak, Ibu-ibu, sebagian pula sudah Kakek-kakek, Nenek-nenek bisa bertahan ya?? Entah saya dan Yonathan yang salah posisi duduk atau karena mereka sudah terbiasa dengan panas-dingin kehidupan??

Bicara soal panas-dingin kehidupan, Singgih Dirga Gunarsa, Hera Lestari Mikarsa, atau mungkin Duta Nurdibyanandaru adalah orang-orang yang saya rasa tidak hanya sudah melewati panas-dingin kehidupan, tapi mungkin juga asam-manis dan jatuh-bangun kehidupan dalam membesarkan psikologi di Indonesia. Menyaksikan orang-orang seperti mereka yang berdedikasi tinggi memberikan sumbangsih dan memajukan ilmu psikologi Indonesia, tentu perjuangan mereka tidak boleh berhenti begitu saja. Seyogyanya adalah tugas generasi muda untuk melanjutkan perjuangan para pembesar psikologi Indonesia. Di tangan generasi muda-lah harapan dan masa depan akan sebuah kejayaan itu ditentukan. Mau mengulang kalimat yang sama lagi... itulah beban, tapi juga menjadi suatu tantangan...

Demikianlah sedikit dari banyak peristiwa menarik di SDG Awards dan Kongres IPPI yang bisa saya ceritakan. Semoga tulisan ini dapat memacu sekaligus memicu semangat teman-teman mahasiswa lainnya untuk hadir di event-event nasional, khususnya yang diadakan Fakultas Psikologi Untar.

Salam Psikologi

Terima kasih banyak bagi yang sudah membaca tulisan ini sampai habis.


Foto peserta Kongres IPPI

9 Agustus 2010

Reportase Kegiatan Temu Ilmiah Nasional Psikologi (5 Agustus 2010)

Saya dan Yonathan adalah sebagian orang yang beruntung menjadi pemakalah Temu Ilmiah dan Deverinto adalah sebagian orang yang beruntung menjadi peserta Temu Ilmiah. Pada Temu Ilmiah, saya kedapatan 2 kali presentasi. Pertama, presentasi makalah ”Peran Media Televisi Terhadap Perilaku Prososial Anak-anak TK (Kajian Non-empiris)” bersama Yonathan dan presentasi makalah proyek penelitian BEM ”Gambaran Identitas Diri, Preferensi, Aktivitas, dan Relasi Terdekat Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara”.

Banyak momen yang saya dapatkan di sana dan inilah sebagian yang bisa saya ceritakan. Terima kasih sebelumnya untuk Bapak, Ibu, dan teman-teman yang mau meluangkan waktu membaca tulisan ini. Tulisan ini memang cukup panjang dan lebar karena saya merasa sayang jika detil-detil momen yang sudah terjadi disimpan begitu saja. Jadi, mohon pemakluman ya. Hitung-hitung buat latihan mata membaca... Hehehe...

Awal Mula
Mungkin perlu saya ceritakan dulu keikutsertaan saya di ajang Temu Ilmiah. Seharusnya saya hanya mempresentasikan makalah ”Peran Media Televisi....” bersama Yonathan. Pembuatan makalah ini bisa dibilang gara-gara ada ide Yonathan untuk membuat Kelompok Belajar Mahasiswa, yaitu suatu kelompok mahasiswa yang berkumpul dan mendiskusikan ilmu-ilmu yang sudah didapatkan di perkuliahan. Saat membaca pengumuman call for papers ”Temu Ilmiah Nasional dan SDG Awards” di notes Bu Henny, saya kemudian melontarkan ide kepada Yonathan, “Tan, lu mau ikut SDG Awards gak?” Pikir saya, mungkin Kelompok Belajar Mahasiswa bisa dimulai di ajang SDG Awards. Jadi, namanya ini, belajar sambil berlomba. Syukur-syukur dapat juara 3 (soalnya gak optimis bakal dapat juara 1.. hehehe). Yonathan langsung mengiyakan untuk ikut.

Makalah kami berdua memang didaftarkan untuk ajang SDG Awards. Dimulailah pembuatan makalah di sela-sela kesibukan saya membantu persiapan acara Seminar BEM, Pensi BEM, Workshop BUPSI, tentir untuk Lomba Maranatha, HUT Dharmayana, dan pembuatan Penelitian BEM. Ketika itu bulan Mei ya. Banyak kegiatan mahasiswa di bulan itu. Artinya, Yonathan-lah yang sebetulnya lebih banyak berperan dalam menyelesaikan makalah kami. Terima kasih untuk Yonathan atas kesabarannya melihat kesibukan saya... Oya, kami berdua memang tidak menceritakan kepada teman-teman yang lain tentang keikutsertaan kami di SDG Awards karena kami berdua kan terlalu rendah hati… Hahahaha…

Sayang, dewi fortuna belum berpihak kepada kami. Makalah kami tidak berhasil masuk nominasi juara. Oleh panitia, makalah kami boleh dialihkan ke ajang Temu Ilmiah. Lalu, kami berdua sepakat untuk mendaftarkan makalah kami di Temu Imiah sembari melakukan perbaikan. Perbaikan makalah dilakukan di sela-sela saya menyaksikan gegap gempita Piala Dunia, menyelesaikan Seminar Proposal, dan sempat demam beberapa hari karena kebanyakan begadang... Hehehe... Jujur, menurut saya membuat makalah yang bukan tugas kuliah kok lebih susah yaaa. Susahnya ada di motivasi. Tugas kuliah dihargai untuk sebuah kelulusan sehingga motivasi bikinnya pasti lebih gede...Untunglah, Yonathan terus menyemangati saya. Akhirnya, motivasi saya mulai meninggi menjelang deadline pengumpulan makalah. Terima kasih lagi deh untuk Yonathan atas semangatnya yang tak pernah padam. Dan tak lupa saya ucapkan terima kasih untuk Bu Henny, Pak Yohanes, dan Ibu Sisca yang sempat membaca makalah kami. Khususnya sekali, kepada Ibu Sisca yang sempat memberikan komentar dan masukan.

Sedangkan, makalah proyek penelitian BEM adalah salah satu progam kerja BEM 2009/2010. Ide progam kerjanya berasal dari Jojo. Untuk presentasi makalahnya sendiri, seharusnya ketua tim peneliti Cyntia Adelia, tapi karena ia berhalangan hadir, saya-lah yang menggantikan. Keikutsertaan makalah penelitian BEM di Temu Ilmiah berkat Pak Sandy. Terima kasih untuk Pak Sandy yang telah mengurus pendaftaran sekaligus memberikan bimbingan. Dan kepada Ibu Nina dan Ibu Tia yang juga memberikan bimbingan.

Oke, begitulah asal-usulnya keterlibatan saya di Temu Ilmiah. Sekarang saya mau menjelaskan apa-apa yang saya temui di Temu Ilmiah Nasional tanggal 5 Agustus 2010. Check this out...

Temu Ilmiah Nasional 5 Agustus 2010
Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi dengan pembukaan Tarian Ronggeng Belantek dari Padmanagara. Berturut-turut kemudian adalah penanyangan video klip Untar, sambutan-sambutan, dan presentasi dari Prof. Kusdwiratri mengenai psikologi indigenous dalam kaitannya dengan psikologi perkembangan di Indonesia.

Jam 10.30 barulah dimulai presentasi Sesi 1 dalam kelas-kelas paralel. Karena jatah presentasi saya gak ada di Sesi 1, saya nonton saja. Ada beberapa presentasi menarik yang saya dengar di kelas yang saya ikuti. Ada presentasi dari Pak Sandy mengenai alat ukur ”Identity Compass”, yang harganya 2 juta rupiah sekali pakai (mahal sekali), yang bisa digunakan memahami arah berpikir pasangan suami istri. Kemudian, presentasi Ibu Novie, dosen dari Universitas 17 Agustus 1945, yang berjudul ”Pemetaan Penyebab Stres Anak di Surabaya”. Hasil penelitian Ibu Novie adalah penyebab stres utama anak kelas 4, 5, dan 6 SD di Surabaya adalah perceraian orangtua dan kehilangan orang yang disayangi. Selanjutnya, ada presentasi dari Bu Denrich tentang ”Pola asuh orangtua dan penderita schizophrenia paranoid”. Temuan Bu Denrich adalah pola asuh otoriter, trauma masa kanak-kanak, dan komunikasi keluarga yang buruk adalah pemicu munculnya gangguan schizophrenia paranoid. Setelah itu, Ibu Meike tampil mempresentasikan skripsi beliau ketika S1 di Ubaya mengenai ”Latar Belakang Laki-laki Menjadi Seorang Waria”. Lucu sekali, waktu Ibu Meike mengeluarkan statement, ”Bapak-bapak, Ibu-ibu kalau kepengen punya anak perempuan, tapi malah punyanya anak lelaki, jangan perlakukan anak lelaki Bapak, Ibu sebagai anak perempuan. Mending coba buat lagi yang baru... atau gak, ”ambil” anak siapa gitu...” Hahaha... Menurut Ibu Meike, anak lelaki dapat bertingkah sebagai perempuan dan menjadi waria dikarenakan kesalahan orangtua dalam proses pendidikan identitas gender si anak, adanya modeling atau imitasi identitas gender yang keliru oleh si anak, dan faktor genetik. Oya, dari pengakuan Ibu Meike sendiri kepada saya, skripsi beliau ini sempat masuk ke harian suatu koran (saya lupa nama korannya).

Usai Sesi 1, dilanjutkan makan siang. Sesi 2 yang dilangsungkan setelah makan siang adalah giliran saya dan Yonathan untuk tampil mempresentasikan makalah kami. Makalah kami memaparkan bahwa media televisi sebetulnya dapat membentuk perilaku prososial kepada anak-anak TK, selain perilaku agresi. Kami menggunakan fenomena Kasus Prita Mulyasari untuk membantu analisa kami. Selain kami, di kelas yang sama ada presentasi dari Rizqy Amelia Zein dari Universitas Airlangga yang membawakan makalah berjudul ”Listen To Us! Self And Legislative Advocacy For Victims and Their Families of Political Tragedy Semanggi and Trisakti 1998-1999”. Jangan kuatir, presentasi makalahnya berbahasa Indonesia kok, entah makalahnya sendiri bahasa Indonesia atau tidak? Rizqy memaparkan bahwa self advocacy dapat menciptakan unconditional forgiveness pada diri keluarga korban Tragedi Trisakti dan Semanggi yang menuntun mereka mencapai mental yang lebih sehat, sementara legislative advocacy adalah metode yang tepat untuk memberikan solusi Tragedi Trisakti dan Semanggi sekalipun masih belum terlihat niat baik Pemerintah dalam menyelesaikan masalah Tragedi Trisakti dan Semanggi. Ada pula, presentasi dari Jony Eko Yulianto, juga mahasiswa dari Universitas Airlangga yang memaparkan makalah berjudul ”Analisis Framing Pemberitaan Hasil Ujian Nasional Pada Surat Kabar: Sebuah Studi Komunikasi Massa dalam Konteks Psikologi Sosial-Kognitif”. Secara singkat, Jony mencoba melihat bahwa pemberitaan hasil Ujian Nasional di beberapa surat kabar dapat membentuk persepsi yang berbeda-beda mengenai kehadiran Ujian Nasional. Presentasi menarik lainnya, dari seorang dosen (saya lupa namanya) mengenai “Persepsi dan Kepuasan Pernikahan Wanita Bugis yang Dipoligami”. Temuan dosen ini adalah wanita suku Bugis yang dipoligami suaminya ternyata mereka merasa puas dan bahagia dengan status dan keadaannya. Menarik sekali bukan...!?

Saat sesi tanya jawab, saya bertemu dosen yang ”luar biasa” bernama Pak Bonar dari Universitas YAI. Keluarbiasaan itu karena beliau memberondong pertanyaan kepada semua pemakalah di kelas di mana saya presentasi. Kepada saya dan Yonathan, Pak Bonar mengusulkan penelitian kami seharusnya dilakukan eksperimen ketimbang studi literatur. ”Yaa... betul sekali Pak, memang bagusnya dilakukan eksperimen. Tapi, kami kurang dana dan kurang waktu juga”, begitu jawaban saya. Hahaha.

Usai Sesi 2, dilanjutkan Cofee Break sebentar, lalu masuk Sesi 3. Kini giliran saya membawakan makalah penelitian BEM. Jujur saja, saya agak malu mempresentasikan makalah penelitian BEM ke hadapan publik karena penelitian BEM tidak pakai landasan teoretis dan pembahasan. Beda sekali dengan dua presenter saya sebelumnya. Mereka tampil dengan presentasi yang, menurut saya, oke sekali. Ada Pak Tommy yang mempresentasikan tentang ”humor”. Sepanjang beliau presentasi, tawa dan canda memenuhi ruangan. Pak Tommy menggolongkan humor menjadi 3 macam dengan alat ukur ciptaannya dan menemukan bahwa ada 2 macam humor yang dapat berkorelasi dengan psychological well-being. Setelah Pak Tommy, ada Dwi Krisdianto, mahasiswa Universitas Airlangga yang baru semester 2. Meski baru semester 2, gaya presentasinya bak orang partai, kata orang yang hadir. Topik yang dibawakan pun cukup filosofis dan berat. Makalahnya berjudul ”Memiskinkan Kemiskinan: Sebuah Kesalahan Konstruksi”. Dia menjelaskan bahwa konsep kemiskinan itu muncul dikarenakan kesalahan ”sistem” yang ada di masyarakat dan adanya labeling kepada orang-orang yang disebut miskin. Teori yang ia gunakan adalah teori Freire, teori yang belum saya dengar sebelumnya.

Kepada mahasiswa Universitas Airlangga, saya sendiri meyatakan salut kepada mereka. Penelitian yang mereka paparkan amat sangat menarik dan membuka wawasan baru. Rizqy Amelia, yang ternyata merupakan Wakil Ketua BEM F. Psi Unair, dan Jony Eko pun menjadi pemenang ketiga SDG Awards untuk kategori mahasiswa. Selamat...

Nah, tiba saatnya saya presentasi. Saya menyebutkan presentasi yang saya bawakan adalah penelitian BEM kepada yang hadir, bukan sebagai penelitian saya pribadi. Saat membacakan salah satu dari hasil penelitian, yaitu motivasi mahasiswa Psikologi Untar mengambil jurusan psikologi karena ketertarikan atau minat terhadap ilmu psikologi, saya sempat menyebutkan kata "meragukan". Gara-gara ucapan ini, saat sesi tanya jawab, Pak Duta (yang nantinya jadi Ketua IPPI 2010-2013) balik menanyakan kepada saya, ”Kenapa bisa meragukan? Apakah karena pilihan-pilihannya?” Saya jawab tidak ada yang salah dengan pilihannya, karena pilihan pada butir pertanyaan ini beragam: ada pilihan dorongan orangtua, ikut-ikutan teman, tidak suka matematika, dll. Tetapi entah kenapa pilihan terbanyak jatuh pada minat atau ketertarikan terhadap ilmu psikologi (dari data sebanyak 84.3%). Pak Duta menambahkan, ”Jika karena minat atau ketertarikan, maka pasti berkorelasi positif dengan lama studi?” Saya jawab, ”Harusnya sih ada. Mahasiswa yang termotivasi masuk kuliah karena ketertarikan harusnya lulusnya lebih cepat deh.” Itu jawaban saya... Menurut Anda bagaimana?

Pertanyaan kedua datang lagi dari Pak Bonar, yang lagi-lagi berada di kelas di mana saya presentasi, dan lagi-lagi getol sekali memberikan pertanyaan kepada semua pemakalah. Pak Bonar memberikan saya 3 pertanyaan: (1) Apakah pilihan pada kuesionernya sudah representatif atau mewakili sampel? (2) Apakah pilihan jawabannya open ended atau close ended? (3) Apakah digunakan psikografis saat membuat penelitian? Saya baru jawab pertanyaan kedua, bahwa memang ada sebagian pilihan jawaban yang open ended dan ada sebagian yang close ended. Belum tuntas saya jawab pertanyaan yang lain, Pak Yohanes selaku moderator di kelas itu sudah menyatakan waktu telah habis. Untung deh. By the way, psikografis itu sebenarnya apa ya?? Hehehehe... Di samping memberikan pertanyaan, ternyata Pak Bonar juga menyatakan kekaguman bahwa penelitian yang saya presentasikan sangat bermanfaat dan bagus sekali untuk kemajuan fakultas.

Gara-gara menyebutkan makalah penelitian BEM, terjadi sebuah kisah menarik pada keesokan harinya. Di tengah-tengah jalannya SDG Awards, saya mendapat SMS dari Pak Bonar yang entah mendapatkan nomor saya dari mana. Beliau ingin mempertemukan beberapa mahasiswanya dengan saya untuk mendapatkan pengalaman meneliti saya. Lalu, saya berkenalan dengan beberapa mahasiswa YAI. Salah satu dari mereka, Haris angkatan 06, rupanya salah seorang anggota BEM F. Psi YAI. Haris adalah Menteri Koordinator yang membawahi 5 departemen BEM F. Psi YAI. Perlu saya jelaskan, kabinet BEM F. Psi YAI di posisi tertingginya adalah Presiden, di bawahnya ada Sekretaris, Bendahara, dan Menteri Koordinator. Mereka tidak mengenal istilah Wakil Presiden. Singkat cerita, Haris menemui saya untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan-kegiatan di bawah naungan Departemen Akademik BEM F. Psi Untar dan bagaimana proses pengerjaan Proyek Penelitan BEM. Yaa.. saya jelaskan saja apa adanya sepanjang pengetahuan saya. Tidak ada fakta yang ditambah dan dikurangi...

Saya tidak tahu persis jabatan Pak Bonar di YAI itu apa, tetapi beliau bisa sampai mengutus mahasiswa dan anggota BEM-nya, (terlepas dari maksud dan tujuan mereka menemui saya ya), adalah kebanggaan (menurut saya) bagi BEM F. Psi Untar periode 2009-2010, khususnya Departemen Akademik, lebih khususnya lagi Tim Penelitian BEM. So.... Untuk Jojo dan Cyntia Adelia serta teman-teman yang terlibat dalam Proyek Penelitian BEM, setidaknya apa yang sudah kita kerjakan mendapat tempat di hati seorang dosen. Bolehlah kita semua berbangga hati.

Dengan melihat apa yang saya alami, sekiranya saya berharap BEM F. Psi Untar periode 2010/2011 dapat kembali melanjutkan Proyek Penelitian tentunya dengan rumusan permasalahan yang berbeda dan pembahasan yang lebih berbobot.

Kisah menarik lainnya terjadi ketika jam makan siang pada Temu Ilmiah. Saya, Yonathan, dan Deverinto didatangi oleh wartawan Radio Heartline FM. Kami diminta tanggapan seputar kegiatan Temu Ilmiah dan kemerdekaan RI yang ke-65. Suara kami bertiga direkam lho… Saya sendiri jarang dengar channel Heartline FM, tapi kalau suara saya, Yonathan, dan Deverinto masuk ke radio, tolong SMS saya secepatnya ya.. Hahaha… Saya bilang ke Deverinto, ”Wartawan BUPSI bisa-bisanya diwawancarai wartawan Radio Heartline.. Hahaha.”

Yaaa…. Saya memang meminta Anak-anak BUPSI untuk hadir ke Temu Ilmiah, SDG Awards, dan Kongres IPPI demi tujuan meliput kegiatan. Terima kasih buat Deverinto yang sudah capek-capek datang dan saya “seret paksa” mewawancarai Rizqy Amelia dan kawan-kawan dari Airlangga, dan juga mempromosikan BUPSI ke hadapan anak-anak YAI. Saya berharap ke depannya BUPSI dapat lebih aktif mencari berita dan meliput kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di Untar, khususnya yang diadakan dengan nama Psikologi Untar.

Pengalaman baru, teman baru, wawasan baru. Itulah sekelumit momen yang saya dapatkan dan bisa saya bagikan kepada kalian. Semoga tulisan ini dapat menggugah teman-teman mahasiswa lain untuk berpartisipasi ke kegiatan-kegiatan sejenis yang bertemakan scientific. Semoga di kemudian hari akan ada lebih banyak pemakalah-pemakalah yang punya semangat tinggi seperti Yonathan, dan orang-orang yang punya perhatian dengan kegiatan Psikologi Untar seperti Deverinto.

Mengutip semboyan Psikologi Untar ”Crescendo pro gloria scientiae. Berkembang menjadi lebih besar, demi kejayaan ilmu”. Semoga Psikologi Untar semakin berkembang menjadi lebih besar, termasuk elemen-elemen di dalamnya: BEM/DPM, BUPSI, Phonia, Padmanagara, dll.

Salam sejahtera,

Terima kasih banyak bagi yang sudah membaca tulisan ini sampai habis.

4 Juni 2010

Very Fun Compilation

Sudah sejak setahun kemaren, eh gak nyampe deh... Ya, kira-kira sejak saya ikut kompetisi STOP di Surabaya, nama saya terus digadang-gadangkan sebagai calon tunggal kompetisi di Maranatha... Apa coba calon tunggal?? Hehehe...

Kompetisi di Maranatha atau dikenal dengan nama Psychology Competition (Psycomp) adalah lomba cerdas cermat yang melibatkan seluruh Fakultas Psikologi se-Indonesia... Sebelumnya se-Jawa. Psycomp ini bisa dikatakan ajang yang bergengsi bagi seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi. Bukan karena memperebutkan piala bergilir, tetapi ini ajang yang bernuansa kompetitif yang memacu kecerdasan dan adrenalin para pesertanya.

Tahun lalu, Untar pernah mengikuti Psycomp. Tapi hanya terhenti sampai ke babak 4, kalau tidak salah. Yang menjadi jawaranya adalah Ukrida dan Atma Jaya. Sekarang, Untar berpartisipasi kembali di acara Psycomp dari tanggal 28 Mei - 30 Mei 2010, dan tentu saja berharap jadi juaranya... Untar yang namanya cukup terkenal tentu tidak mau kalah dengan Ukrida dan Atma (yang tidak jauh letaknya dari Untar, hehehe)

Untar menurunkan 2 tim, yaitu tim 1 beranggotkan Debbie, Caroline, dan Inggrid. Sedangkan, tim 2 beranggotakan saya, Thoeng, dan Yuana. Sekitar 2 bulan kami tentir baik di bawah bimbingan dosen, maupun tidak. Kami juga menyiapkan yel-yel dan performance.

Babak 1, 2, 3, dan 4 kami lewati dengan hasil yang memuaskan. Tidak kami sangka, tim Untar 1 bisa meraih peringkat tertinggi di penyisihan 1 dan 2. Tim Untar 2 pun tidak kalah mengecewakannya. Hasil yang memuaskan ini tidak kami duga sebelumnya lho. Karena jujur saja, kami agak shock dengan soal-soal yang diberikan. Sejumlah soal yang bikin kepala kami nyut-nyutan dan pusing 7 keliling. Banyak soal dan istilah yang belum kami kenal sebelumnya. Kami hanya pasrah dan do the best aja. Bahkan, supaya melengkapi do the best kami, setiap ada kesempatan untuk ikut games kebersamaan, selalu saja ada anak Untar yang ikutan nimbrung... Hehe... Untar pegang prinsip: Yang penting eksis!!

Sayang, perjuangan tim Untar 1 hanya sampai babak 6, sedangkan tim Untar 2 terus melaju hingga ke babak 7 dan babak 8. Babak 7 adalah babak pertanyaan rebutan dengan menekan bel. Bukan main cepatnya tangan anak Ukrida, Atma, dan UGM dalam menekan bel. Saya hanya mengurut dada melihat mereka mampu menjawab sejumlah soal dengan jawaban yang belum kenal sebelumnya. Babak 8 adalah babak taruhan nilai di mana nilai yang dipertaruhkan adalah nilai di babak sebelumnya. Nilai kami di babak 7 adalah -10, untungnya panitia baik (lho? atau memang aturannya, hehehe), kami diberi modal +50 untuk mencoba meraih peruntungan di babak 8. Sayangnya, peruntungan kami tidak sebaiknya yang kami kira. Kami hanya selesai di babak ini dan 3 besar menuju final adalah tuan rumah Univ. Maranatha, Ukrida, dan Atma Jaya.

Dengan persiapan yang bisa dibilang masih kurang, tetapi mampu melaju ke semifinal (babak 7 dan 8), suatu hal yang luar biasa untuk Untar. Setidaknya, ada peningkatan dari tahun sebelumnya. Semoga tahun depan kami bisa bertahta di 3 besar. Amin.

Acara Psycomp tidak hanya diisi lomba-lomba saja. Ada suguhan performance dari universitas-universitas lain, yel-yel dari peserta, games-games yang mencairkan suasana. Ditambah lagi, darmawisata menuju Factory Outlet. Kebersamaan tidak hanya terjadi di para peserta dan panitia, tetapi juga di kalangan antarpeserta dan dosen pembimbing. Bener-bener kompilasi dari segala aspek: kebersamaan, kompetisi, pengalaman, dan sebagainya. Sangat berkesan, menurut saya! Hal ini sesuai dengan tema Psycomp tahun ini: "Psycompilation Fun Java 2010"

Tahun depan Untar perlu ikut Psycomp kembali dan tentu dengan tim yang memiliki semangat yang lebih baru.


Foto dengan bendera kebanggaan

Performance Untar, tidak disangka akan ada kejutan

Suasana 6 besar yang menegangkan

Suasana 12 besar

Makan malam bersama teman-teman Ubaya

24 April 2010

Saat Aku Lanjut Usia

Siang ini, saya pergi ke pantai jompo di daerah Jelambar bersama rombongan anak Dharmayana. Kunjungan ke panti jompo ini adalah bagian dari perayaan HUT Dharmayana ke-26. Tentu saja di sana kami tidak sedang bersenang-senang seperti halnya merayakan ulang tahun sendiri. Tidak ada acara tiup lilin juga.

Di sana, kita mengajak opa dan oma bernyanyi. Dengan sound system yang agak buruk dan suara opa dan oma yang sudah agak fals, tetap mereka bersemangat bernyanyi. Macam-macam lagu yang mereka bawakan. Ada opa yang menyanyikan lagu "Mujizat Itu Nyata", ada juga oma yang dengan semangat menyanyikan lagu "Indonesia Raya". Seorang oma saja masih hafal lagu "Indonesia Raya", bagaimana dengan kita yang masih muda? Jangan sampai kita lupa dengan lagu kebangsaan kita sendiri. Jangan mau malu ama yang tua dong.

Tidak semua lagunya saya kenal, seperti seorang opa yang menyanyikan lagu "Menanti Di Bawah Pohon Kamboja" dan "Dengarlah Seruan Hatiku". Lagu "Dengarlah Seruan Hatiku" ini juga dibawakan oleh seorang oma. Lagu ini sangat menyayat hati, bukan karena suara opa dan oma yang buruk, tetapi liriknya menceritakan tentang perasaan cinta yang tidak terdengar oleh kekasih nun jauh di sana. Hmm.. So pathetic.

Setelah asyik bernyanyi, lalu berjoget ria, (cuman 1 oma yang mau diajak berjoget. Yang lainnya pada malu-malu.. Hehehe....) kami membagikan bingkisan. Mereka menerimanya dengan senang, menjabat tangan kami, dan mengucap terima kasih dengan lembut. Sesuatu yang hal membahagiakan. Kebahagiaan terkadang memang datang dengan cara berbagi (sharing), bukan meminta.

Di sana, kami juga mengajak opa dan oma di sana berbincang-bincang. Tentu adalah sulit berbicara yang sudah tua renta. Proses berpikir mereka tentu tidak secepat kami. Ada yang sudah budeg juga. Namun, mereka tidak peduli apah kami mengerti atau tidak? Karena mereka hanya ingin didengarkan dan diperhatikan. Begitulah salah satu kebutuhan alamiah manusia. Ingin didengarkan dan diperhatikan.

Saya sempat berbincang-bincang dengan sejumlah opa dan oma di sana. Ada opa yang punya anak dan anaknya masih sering menengok. Ada oma yang punya seorang anak perempuan yang sudah besar, tetapi anaknya tidak pernah menengok, menurut pengakuan oma tersebut. Ada juga oma yang hidup sebatang kara. Tidak punya sanak saudara, apalagi anak. Jadi dia sendiri saja. Saya agak sedih mendengar kondisi oma ini.

Saya jadi mulai memikirkan saat saya lanjut usia. Apakah perut saya nanti menjadi buncit dan saya tetap merasa seksi? Apakah ada yang memijit pundakku sampai saya tertidur pulas? Atau adakah yang memeluk tubuh saya saat dingin? Semua pertanyaan ini muncul setelah saya mendengar lagu "Saat Aku Lanjut Usia" karya Sheila On 7.

Menjadi tua tidak bisa kita elakkan. Semua orang akan menjadi tua dan itu adalah harga mati. Tetapi kehidupan lanjut usia apa yang akan saya jalani? Apakah saya akan terdampar di panti jompo? Ada opa yang baru berusia 50 tahunan sudah tinggal di panti jompo. Ataukah nanti saya tinggal serumah bersama anak saya sampai saya menghembuskan nafas terakhir?

Sebuah pertanyaan yang jawabannya masih butuh waktu yang lama...

Tetapi 1 hal yang pasti, saya berharap kelak menjadi seorang kakek yang kuat dan ikhlas. Kuat dan ikhlas menerima segala penuaan yang terjadi pada diri saya. Saya tak mau merepotkan anak dan cucu saya nanti. Mungkin sekarang saya harus belajar untuk kuat dan ikhlas.

Saat Aku Lanjut Usia -- Sheila On 7

Saat aku lanjut usia

Saat ragaku terasa tua

Tetaplah kau s’lalu di sini

Menemani aku bernyanyi


Saat rambutku mulai rontok

Yakinlah ku tetap setia

Memijit pundakmu hingga kau tertidur pulas…


Reff:

Genggam tanganku saat tubuhku terasa linu

Kupeluk erat tubuhmu saat dingin menyerangmu

Kita lawan bersama, dingin dan panas dunia

Saat kaki t’lah lemah kita saling menopang

Hingga nanti di suatu pagi salah satu dari kita mati

Sampai jumpa di kehidupan yang lain


Saat perutku mulai buncit

Yakinlah ku tetap terseksi

Tetaplah kau s’lalu menanti

Nyanyianku di malam hari




14 April 2010

Persistensi

Teman, mungkin sudah ada yang membaca postingan saya sebelumnya yang berjudul "Narsis". Sekarang saya mau berbagi syair lagi tentang saya . Syair ini pernah dimuat di Friendster sebagai pengisi "About Me"

SUFREN seorang siswa yang telah berubah menjadi mahasiswa
kuliah di UNTAR mengambil jurusan PSIKOLOGI
untuk mengisi kepalanya dengan segala bahasan tentang jiwa
untuk melihat perilaku manusia dari lahir sampai mati

ternyata jiwa manusia begitu rapuh
harus mencarikan solusi yang sangat mereka butuh
mungkin begitu alasanku mengambil jurusan psikologi
menjadikan diriku tempat untuk berbagi

kini ku mengerti mengapa mama memaksaku pergi ke sekolah?
karena dia ingin agar aku dapat melihat dunia yang begitu luas
kini mengapa aku masih mau kuliah?
karena aku ingin meletakkan perananku di dunia yang begitu luas

aku tidak peduli pada siapa-siapa yang mencelaku
bukankah lebih baik kau mengurusi pekerjaanmu sendiri
aku hanya peduli pada mereka yang mendukung upayaku
bersama-sama mari kita wujudkan potensi dalam diri

aku memang bukanlah manusia sempurna
tetapi kuingin mengerjakan banyak hal dengan cara yang sempurna
jalan mencapai lulus masih jauh di sana
ingatkanku kawan, bila aku terhenti atau terlena

terkadang ku merasa jenuh dan lelah
tetapi itu bukan alasan untuk ku mengalah
tujuanku telah mantap dan terarah
jadi untuk apa lagi aku harus menyerah

aku juga hanyalah manusia biasa
tetapi kuingin melakukan banyak hal dengan cara yang luar biasa
masalah demi masalah akan kutemui di setiap masa
tetapi itu malah membuatku semakin dewasa

setiap kesalahan yang pernah aku buat
justru menjadikanku lebih kuat
belajar untuk lebih giat
dan kau kan lihat
hari kelulusanku kan semakin dekat

semua rintangan kuanggap angin sesaat
akan kulewati semua ujian yang berat
karena tekadku sudah bulat
dan kau kan lihat
gelar sarjana pasti kan kudapat

Setiap kali saya membaca ulang syair buatan saya ini, pasti saya rasakan ada spirit baru.

Hari demi hari semakin berat di perkuliahan. Syair ini memang dibuat khusus demi memberikan semangat kepada saya yang menjalani kuliah saya yang semakin berat: Tugas Kuliah, UTS, UAS, Seminar Proposal, dan Skripsi (saya berharap bisa mendapat inspirasi yang cepat untuk segera menuliskan Skripsi saya). Belum lagi, ditambah Pekerjaan Rumah Organisasi, Masalah Pribadi, dan Masa Depan saya yang masih buram.

Aaahh.. Semoga saya bisa melaluinya dengan damai dan bisa meraih tujuan saya pertama: Lulus menjadi sarjana psikologi tepat waktu! Ini tekad saya. Keteguhan hati saya. Doakan saya ya, teman.

Semoga syair yang saya tulis ini bisa memberikan penguatan (reinforcement) kepada teman-teman yang sedang terpuruk. Be strong, guys!

14 Maret 2010

Apa Yang Sedang Anda Kerjakan?

Ada cerita tentang dua orang tukang batu yang sedang menumpuk batu bata. Tukang batu pertama ditanya: “Pak, apa yang sedang Anda kerjakan?” Dia menjawab: “Oh… saya sedang membuat dinding.”

Giliran tukang batu kedua ditanya dengan pertanyaan yang sama: “Pak, apa yang sedang Anda kerjakan?” Dia menjawab: “Oh… saya sedang membuat rumah yang terbesar di kota ini.”

Anda melihat perbedaan dari kedua jawaban itu? Tukang batu pertama tidak memiliki visi atau pandangan yang jauh ke depan tentang apa yang ia sedang lakukan. Sementara, tukang batu kedua memiliki visi yang luar biasa jauh ke depan, yaitu membuat rumah yang terbesar di kotanya. Bisa Anda bayangkan hasil yang akan mereka dapatkan? Mungkin saja kelak tukang batu kedua benar-benar akan merealisasikan mimpinya, yaitu membangun rumah yang terbesar di kota.

Ini bukan masalah visi Anda bisa terwujud atau tidak nantinya. Tetapi dengan memiliki sebuah visi, Anda akan tahu seharusnya dibawa ke manakah hidup Anda. Banyak orang yang hidup seperti air mengalir. Just let it flow, kata mereka. Adalah bagus seandainya hidup Anda nanti bermuara ke tujuan yang Anda dambakan. Tetapi, bagaimana seandainya air itu malah mengalir ke tempat yang salah. Setelah sadar, sudah terlambat atau sudah sulit untuk memperbaikinya.

Nah, sekarang setelah Anda tahu ini, apa yang sedang Anda kerjakan?

Jika saya yang ditanya demikian: “Apa yang sedang saya kerjakan?” Maka, saya menjawab: “Saya hanya sedang iseng-iseng menulis di blog…., bukan, bukan, bukan, saya tidak sedang iseng-iseng menulis di blog, tetapi sedang membuat tulisan yang hebat dan penuh inspirasi, dan kelak blog saya ini akan dikunjungi jutaan orang.”

27 Februari 2010

Sebuah Langkah Kecil Bersejarah

Siang tadi 27 Februari 2010 saya mengikuti sebuah training yang diselenggarakan oleh Anggota Muda (AM) BEM/DPM 2009. AM itu sebutan untuk para mahasiswa yang baru mendaftarkan dirinya menjadi anggota BEM/DPM dan mereka selalu diminta untuk membuat sebuah kegiatan. Saya senang dan bangga sekali, sebagai senior mereka di BEM, melihat usaha mereka bisa menggagas sebuah acara yang bermanfaat sangat positif bagi pesertanya. Congratz guys!

Pada acara training yang diberi judul "Think Positive For Better Future", Micha Catur Firmanto, M. Psi sebagai trainer tunggal di sana mengajak kita untuk selalu berpikir positif. "Bahwa dengan berpikir positif, impian dapat menjadi dekat dengan kita," ujarnya diselingi tawanya yang sangat khas. Banyak sekali input yang diucapkan beliau yang dulunya juga adalah alumni Magister Psikologi Untar dengan bidang profesi psikologi industri dan organisasi. Contohnya saja, "Janganlah membesarkan ketakutan Anda yang kecil dan mengecilkan kekuatan Anda yang besar."

Training itu sangat ramai, dihadiri sekitar 250 orang, tetapi Kak Micha, begitu saya memanggilnya, bisa mengendalikan suasana training dengan baik. Selama training, peserta dibagi dalam 15 kelompok dan banyak games yang diberikan Kak Micha. Games membuat training menjadi tidak membosankan dan banyak meaning yang bisa kita ambil. Contohnya, games melepas ikatan tali yang bersilangan, atau games mendirikan 9 paku di atas 1 paku.

Salah satu sesi yang menarik bagi saya adalah saat Kak Micha mengajak kita menuliskan apa-apa saja yang menyebalkan dalam hidup kita dalam suatu kertas, lalu Kak Micha meminta kita melipat kertas itu dan menggenggamnya di tangan kiri. Bagai terhipnotis, tangan kiri saya yang menggenggam kertas terangkat ke atas tinggi-tinggi secara otomatis, lalu meremasnya, diam sejenak sampai tangan saya pegal, dan lalu tangan saya turun kembali. Menurut saya, hal ini bisa terjadi karena sugesti kata-kata yang diucapkan Kak Micha. Memang menakjubkan kemampuan kata-kata! Inti dari sesi ini adalah masalah semakin kita genggam hanya akan membuat kita menjadi letih dan pegal. Jadi buang masalah itu, hadapi dengan positif!

Sesi menarik lainnya adalah mematahkan pensil dengan 1 jari. Bukan gaib, bukan sulap. Ini bisa dilakukan dengan memfokuskan kekuatan dan keyakinan pada 1 jari kita. Saya bisa melakukannya walaupun dengan beberapa kali percobaan yang sampai membuat jari saya terasa sakit. Saran saya, jangan lakukan ini di rumah tanpa ada pengawasan dan petunjuk dari orang yang terlatih!

Bagi saya, berpikir positif hanyalah sebuah modal untuk meraih impian kita. Hanya modal awal. Kita masih perlu membarenginya dengan sebuah tindakan (positif pula) yang nyata. Begitulah cara yang benar-benar nyata dalam meraih impian. Tetapi, memang benar dalam hidup ini kita harus benahi terlebih dahulu bagian diri kita yang liar, yaitu pikiran.

Selama kurang lebih 8 jam training, ada 1 kalimat yang mengilhami saya. "Akan menjadi sebuah langkah kecil yang bersejarah". Begitu Kak Micha menyebutkan apa yang kita dapati saat kita mengikuti training ini. Bagi saya, para peserta lainnya, panitia yaitu AM BEM/DPM, apa yang kita lakukan itu adalah sebuah langkah kecil bersejarah. Menciptakan mindset positif dalam pikiran hanyalah langkah kecil. Masih sebuah langkah kecil. Artinya, kita masih perlu menciptakan sebuah langkah besar, atau malah lompatan besar, yang bersejarah.

Mari ciptakan langkah besar bersejarah!



Gambar http://4.bp.blogspot.com/_dEX80DpXFDA/S1J65yfIJbI/AAAAAAAAACw/5A9Jdx0Q89w/s400/positive-think.jpg

14 Februari 2010

Mawar Itu Cinta

Tanggal 14 Februari atau biasa disebut Hari Valentine adalah hari di mana orang-orang ramai-ramai mengungkapkan kasih sayangnya kepada orang yang disayangi. Bisa itu pacar, pasangan suami atau istri, orangtua, sahabat, atau kepada siapa pun yang dianggap spesial. Biasanya media yang digunakan untuk mengungkapkan rasa kasih sayang adalah bunga atau cokelat. Kini dengan makin canggihnya teknologi, orang bisa pula mengungkapkannya dengan berbekal SMS.

Ada satu pertanyaan yang mengusikku, yaitu mengapa di antara jutaan bunga, yang identik dengan cinta hanyalah bunga mawar? Bukan berarti bunga lainnya tidak bisa mewakili kasih sayang, kan? *eh, kecuali bunga kamboja kali yah =D*. Cuman kalau di Hari Valentine, pastilah bunga mawar yang menjadi sang primadona.

Menurutku, mungkin ada makna di baliknya. Aku coba merenung *mau berlagak bak filsuf*. Hmmm…. Bunga mawar itu berduri, bukan? Tangkai mawar yang penuh duri mungkin perlambang perjuangan kita yang penuh hambatan, bahkan hambatan tersebut dapat melukai diri kita. Sementara mahkotanya adalah hasil jerih-payah perjuangan kita. Jika kita hubungkan dengan cinta, maka mahkota mawar adalah cinta, sementara tangkai berduri adalah upaya kita dalam meraih cinta. Artinya, diperlukan upaya yang keras dalam menggapai cinta. Dalam upaya yang keras itu pasti tak luput dari banyak hambatan seperti duri yang mengganggu.

Mawar sendiri tidak muncul begitu saja. Tetapi, melewati setahap demi setahap yaitu bermula dari akar, batang, tangkai, lalu barulah tumbuh bunga. Begitulah liku-liku perjalanan hidup ini. Tidak bisa langsung instan, namun harus melewati tahap demi tahap.

Atau…sesungguhnya mawar melambangkan sebuah peringatan tentang cinta. Mawar yang tampak begitu indah, siapa yang menyangka memiliki duri-duri tajam yang bila tidak hati-hati akan melukai siapa saja yang menyentuhnya. Mungkin sama halnya dengan cinta. Di balik keindahan cinta, di balik silaunya cinta yang terkadang dapat membuat dua orang kasmaran melakukan hal-hal bodoh, ada ancaman duri-duri yang siap sedia melukai. Atau… malah sesungguhnya dalam meniti cinta, kita memang harus terluka. Luka yang harus dibayar terlebih dahulu sebelum berbunga cinta yang kekal.

Hmm… Jika benar demikian, itulah yang terjadi pada aku sekarang. Mengapa sampai sekarang aku tetap menjomblo? Sebenarnya telah banyak bunga mawar kutemui dalam hidupku ini. Namun, aku hanya memandang bunga mawar itu dari kejauhan tanpa berani memetiknya, karena aku tak mau terluka oleh durinya *curhat nih*.

Mungkin ini makna bunga mawar dan cinta. Di balik usaha mendapat keindahan cinta, harus ada luka yang akan kita terima… Jika ada peribahasa: Ada gula, ada semut. Maka: Ada cinta, ada luka.

8 Februari 2010

Hadiri Simposium "Kembalikan Kejayaan Bulu Tangkis"

Demi kejayaan bulu tangkis Indonesia yang kini harumnya tidak sewangi dulu, Universitas Tarumanagara (Untar) sebagai salah satu perguruan tinggi swasta di Indonesia akan mengadakan simposium untuk membahas persoalan bulu tangkis Indonesia dari aspek psikologis yang akan dilangsungkan pada tanggal 11 Februari 2010. Simpsoium tersebut diberi judul "Mengembalikan Kejayaan Bulu Tangkis Indonesia".

Adapun, telah dilaksanakan Press Conference mengenai simposium tersebut pada tanggal 8 Februari 2010 di Gedung Utama Universitas Tarumanagara lantai 6, Ruang Seminar I, pada pukul 14.00. Hadir sejumlah pembicara, di antaranya Bapak Muhammad Nisfiannoor selaku Wakil Panitia Kegiatan Simposium, Bapak Monty P. Satiadarma selaku Ketua Ikatan Psikologi Olahraga Indonesia dan Rektor Untar, Bapak Jacob Rusdianto selaku Sekjen PBSI, Ibu Lilik Sudarwati selaku
Kepala Bidang Litbang PBSI, dan hadir pula mantan atlit nasional bulutangkis kita, yaitu Ibu Ivana Lie. Bertindak sebagai moderator adalah Ibu Arni Gusniarni.

Sejumlah jurnalis dari berbagai macam media turut hadir meliput Press Conference yang dilangsungkan selama 1 jam, di antaranya dari Media Indonesia, Suara Pembaruan, Tabloid Bola, Top Skor, Buletin Psikologi Untar, dan lain-lain.

"Adanya simposium diawali dengan keprihatinan Untar terhadap menurunnya prestasi olaharaga di Indonesia, khususnya bulu tangkis. Sesuai dengan salah satu amanat dari Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat, maka Lembaga Pengabdian Masyarakat Untar menggagas sebuah simposium,"
jelas Pak M. Nisfiannoor mengawali Press Conference. "Simposium bertujuan memafisilitasi semua pihak yang peduli dengan olahraga bulu tangkis Indonesia agar memberikan sumbangan berupa ide, masukan, dan solusi untuk meningkatkan kualitas dan prestasi atlit bulu tangkis nasional," imbuh beliau.

Ibu Ivana melihat bahwa penurunan prestasi bulu tangkis harus dilihat dari berbagai macam faktor. "Tapi, jika ditanya bedanya atlit jaman sekarang dan jaman dulu, saya melihat bedanya lebih ke arah mental dan karakter. Atlit jaman sekarang suka nawar latihan, suka ngeluh." Ibu Ivana menyambut baik adanya simposium sebagai langkah tepat untuk menjawab permasalahan bulu tangkis Indonesia.

Ibu Lilik yang juga seorang sarjana psikologi menjelaskan bahwa ada beberapa indikator yang perlu diperhatikan jika mau mengembalikan kejayaan bulu tangkis di Indonesia. "Pendanaan yang terbatas, keterlibatan pemerintah yang kurang, regenerasi atlit yang lamban, peran sains dalam pembinaan atlit yang belum maksimal, dan generasi era sekarang yang maunya serba instan, " ungkap Ibu Lilik.

Pak Jacob mengatakan bahwa PBSI sangat senang menerima dukungan dan bantuan yang diberikan Untar. Pada kesempatan yang sama, Pak Jacob menambahkan bahwa PBSI akan melaksanakan semua masukan yang diberikan dari berbagai macam pihak. "Semua masukan tentu kami dengar. Tetapi, PBSI adalah organisasi mandiri di mana kami tak bisa menggelontorkan sejumlah dana dengan asal."

Pak Monty menekankan bahwa simposium sangatlah penting untuk menyediakan ragam solusi menyelesaikan permasalahan di dunia olahraga, khususnya bulu tangkis. "Negara-negara, seperti Cina, Denmark, Korea sudah melaksanakan simposium secara rutin.
Tetapi, tetap perlu diingat, simposium hanyalah sebuah langkah awal. Ide-ide yang keluar dari simposium perlu ditindaklanjuti, seperti dengan membuat ceramah dan sarasehan membahas topik-topik tertentu."

Simposium 11 Februari nanti akan diwakili oleh kelompok bidang psikologi sehingga akan hadir sejumlah pembicara dari kalangan psikologi. Mengapa psikologi? Hal ini disebabkan olahraga sangat terkait dengan beberapa disiplin ilmu, seperti Psikologi dan Kedokteran. "Kalau atlit kita kalah, ujung-ujung permasalahannya pasti kembali ke psikologi, yaitu rasa percaya diri dan motivasi. Kita sudah tahu jawabannya itu, tetapi bagaimana cara meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi itulah yang perlu dibahas," ujar Pak Monty.

Demikian, beberapa keterangan yang saya dapat dari Press Conference. Tentu, diskusi akan semakin menarik saat di hari H karena sejumlah pakar akan menganalisis sejumlah masalah sesuai dengan kapabilitas mereka masing-masing. Oleh karena itu, jangan dilewatkan.

Simposium yang diselenggarakan Lembaga Pengabdian Masyarakat Untar akan diadakan tanggal 11 Februari 2010, Pukul 09.00 - 16.30, bertempat di Auditorium Gedung Lantai 3, Universitas Tarumanagara. Akan hadir sejumlah profesional dari bidang psikologi dan bidang olahraga yang mengkaji sejumlah permasalahan dari aspek fisik, klinis, serta kepribadian atlit. Acara ini GRATIS, terbuka untuk UMUM, khususnya bagi mereka yang peduli dengan kejayaan bulu tangkis Indonesia.

Mari hadiri kegiatan simposium "Mengembalikan Kejayaan Bulu Tangkis Indonesia" demi kejayaan bulu tangkis kita!!!

Informasi lebih lanjut dapat dicek di
sini