Page

21 Desember 2019

ULASAN BUKU IQ84 - Jalinan Cinta di Dunia yang Berbahaya

Pengarang: Haruki Murakami
Penerjemah: Ribeka Ota
Tahun Terbit Asli: 2009 (jilid 1 dan 2), 2010 (jilid 3)
Tahun Terbit Terjemahan: 2013 (cetakan pertama)
Penerbit Indonesia: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Ketika melihat judul buku IQ84, ingatan saya langsung meluncur ke novel George Orwell 1984 yang terkenal itu. Kenyataannya memang Haruki Murakami mengambil inspirasi dari mahakarya tersebut. Novel ini dibagi ke dalam tiga jilid. Setiap jilidnya berkisar 500-an halaman (buku terjemahan( sehingga totalnya 1500-an halaman! Wow.

Jika Anda membaca deskripsi belakang buku, Anda tidak akan mendapat secuil informasi yang jelas tentang apa sih novel ini.

Latar waktu cerita adalah tahun 1984. Cerita dibuka dengan Aomame yang terjebak macet di jalan tol saat menumpangi taksi. Karena ada urusan penting, Aomame mendapat saran dari sopir taksi untuk turun melalui tangga darurat. Setelah turun dari sana, Aomame yang memiliki ingatan saat bagus menyadari dunia sekitarnya telah berubah. Ia lalu menyebutnya dunianya saat ini sebagai IQ84.

Nun jauh dari tempat Aomame, seorang guru matematika yang berambisi menjadi penulis bernama Tengo diminta Komatsu, editor sebuah majalah, untuk menulis ulang naskah berjudul Kepompong Udara, yang dikarang oleh gadis berusia 17 tahun.

Kisah Tengo dan kisah Aomame nantinya akan saling bertaut. Novel jilid pertama dan kedua akan saling bergantian menceritakan kehidupan Aomame yang cenderung kelam dan kehidupan Tengo yang biasa-biasa saja. Keduanya mendapati bahwa kehidupan mereka tidak lagi sama. Sesuatu akan mengancam mereka.

Tema keagamaan mendapat sorotan utama dari novel ini. IQ84 menyorot sebuah organisasi keagamaan yang kaku, yang mengalienasi perilaku anggotanya dari kehidupan sosial masyarakat. Nantinya kita akan diperkenalkan dengan detektif partikelir bernama Ushikawa. Organisasi keagamaan ini akan meminta Ushikawa menyelidiki sebuah pembunuhan yang melibatkan Aomame dan juga Tengo.

Ini pertama kalinya saya membaca novel Murakami. Saya akui Murakami sangat terampil dalam menulis deskripsi tokoh, latar belakang tokoh, serta tingkah laku tokoh. Bahkan, menurut saya sangat teramat detail. Adegan pergi buang air kecil saja sampai ditulis di novel ini. Maka, meski novel ini terbilang tebal, sebetulnya tidak terlalu membosankan untuk dibaca. Tidak seperti dialog serial J-drama yang cenderung sulit, dialog-dialog IQ84 mengalir dengan lancar dan mudah dipahami. Terjemahan novel ini pun sangat baik.

 Hanya saja, saya menemukan beberapa kesalahan ketik:
  • Pada jilid pertama, halaman 109, di paragaf terakhir, Komatsu berbicara kepada Tengo, "Lakukanlah, Tengo. Aku mengandalkanmu. Kamu dan aku bekerja sama mengantarkan suami dan anaknya ke stasiun dengan mobil. Siang itu rencananya dia akan datang ke apartemen menggulingkan dunia." Paragraf ini terasa aneh dan benar saja, kalimat Komatsu yang saya cetak tebal terulang lagi pada paragraf selanjutnya. Pukul 9 lewat . . .  setelah dia mengantarkan suami dan anaknya ke stasiun dengan mobil. Siang itu rencananya dia akan ke apartemen Tengo. . .
  • Pada jilid kedua, halaman 401, kata setelah ditulis setela.3h
  • Pada jilid ketiga, halaman 309, tanda persentase (%) diberi spasi setelah angka, padahal seharusnya tidak usah.
  • Pada jilid ketiga, halaman 509, bergeraknya ditulis bergerakny (kurang 1 huruf).

Terlepas kesalahan ketik kecil itu, bagi kalian yang senang membaca novel tebal dan sedikit mengandung misteri dan thriller, novel ini cocok untuk Anda yang sudah dewasa.

Banyak Adegan Dewasa

Kata dewasa memang perlu saya tebalkan. Di dalam forum Goodreads, seorang pembaca mempertanyakan tentang hiperseksualitas dalam kisah IQ84. Memang banyak sekali adegan seks dalam buku ini yang ditutur secara frontal sehingga novel ini kurang cocok untuk dikonsumsi anak maupun remaja.

Adegan yang absurd adalah hubungan seks antara seorang gadis remaja, bahkan praremaja, dengan orang dewasa. Timbul perdebatan adegan ini di internet. Sebagian besar mengatakan hal tersebut terkait dengan jalan cerita. 

Sebagian justru terganggu dengan fantasi seksual berlebih dari sang penulis. Entah apa alasannya Murakami sepertinya memiliki obsesi dengan buah dada wanita. Penjelasan ukuran buah dada banyak diperbincangkan di buku ini.

Novel Romansa, Bukan Novel Thriller

Sudah saya singgung di paragraf-paragraf awal: "Sedikit mengandung misteri dan thriller..." Jilid pertama sebenarnya sudah menarik. Kita akan dibawa ke dalam misteri buku yang ditulis Tengo dan kehidupan rahasia Aomame. Tensi meningkat di jilid kedua. Tengo dan Aomame benar-benar masuk ke dalam situasi berbahaya.

Tetapi, masuk ke dalam jilid ketiga. Cerita menjadi antiklimaks, dan menurut saya pribadi, membosankan. Kita hanya mendapati Aomame dan Tengo terjebak dalam rutinitas menjemukan di lokasi yang itu-itu saja. Untunglah kehadiran Ushikawa sebagai tokoh sentral di jilid ketiga menjadi penghangat kebosanan.

Menjelang akhir jilid ketiga, saya malah tidak mau berharap banyak dengan ending-nya seperti apa. Sudah saya duga lubang besar pasti akan sengaja ditinggalkan. Simpulan akhir terserah pembaca saja, barangkali begitu jawaban Murakami jika ditanya.

Jadi, ini cerita romansa. Ini adalah kisah antara Aomame dan Tengo yang terjebak dalam dunia yang berbahaya.

Bukan Dunia yang Baik-Baik Saja

IQ84 tidak seperti 1984. Tidak ada Big Brother yang mengawasi. Tetapi, yang mengawasi adalah seseorang dalam diri masing-masing. IQ84 adalah sebuah realita yang lebih kejam. Murakami seakan ingin mengatakan bahwa dunia sesungguhnya tidak pernah baik-baik saja. Selalu ada kegelapan di balik nurani yang bersih.

Bukankah kita sering membaca, seorang pemimpin agama yang seharusnya menjadi teladan malah menyalahgunakan kharismanya untuk melakukan aksi pencabulan? Isu ini disentil Murakami. Bukan hanya itu, organisasi keagamaan yang membatasi, perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, hubungan orang tua-anak, hingga perasaan kesepian merupakan tema-tema yang diangkat pada buku ini, dan Murakami membuatnya lebih jelas.

16 Desember 2019

ULASAN FILM Frozen 2 - Sudah Bagus Semoga Tidak Dilanjutkan Lagi


Poster rilis. Sumber: en.wikipedia.org
Sutradara: Chris Buck dan Jennifer Lee
Pengisi Suara: Kristen Bell, Idina Menzel, Josh Gad, Jonathan Groff
Rumah Produksi:Walt Disney Animation Studios
Tahun Produksi: 2019
Durasi: 103 menit

Ketika gema film Frozen (pertama), saya tidak menontonnya di bioskop, malah menontonnya di rumah teman saya. Tentu saja mohon maaf, saya menonton versi bajakan.

Intermezzo sedikit. Untuk film yang tidak terlalu bikin saya penasaran, saya biasanya tidak tertarik menonton di bioskop. Lebih baik menunggu keluar di aplikasi film streaming berbayar atau errr (mohon maaf lagi) yang ilegal. Menurut saya, film-film besutan Disney apalagi bertemakan tuan puteri dan kerajaan pasti hanya menceritakan romansa pria-wanita, happy ending. Bisa ditebak jalan ceritanya. Bagi pria, premis cerita seperti ini kurang menarik untuk adrenalin kami. It's not a guy movie.

Biarpun begitu, saya cukup kepincut dengan lagu Frozen yang berjudul Let It Go. Saya tahu lagu ini karena sempat trending di Youtube dan banyak orang yang meng-cover-nya. Harus saya akui lagu Let It Go sangat catchy, apalagi dinyanyikan dalam bermacam-macam bahasa.

Oke, balik lagi ke film Frozen pertama.

Sesudah menonton di rumah teman saya, prasangka saya langsung berubah. Harus saya akui, premis ceritanya agak unik, bukan romansa pria-wanita yang ditonjolkan, melainkan persaudarian (sisterhood). Semakin menarik karena film Frozen juga menampilkan beberapa aksi laga. Cerita tentang puteri-puterian, tetapi ada bumbu-bumbu sihir. Keren.

Dan yang paling menarik adalah lagu-lagunya. Beberapa film Disney selalu populer berkat lagu soundtrack-nya. Tetapi, Frozen ini beda. Lagu-lagu yang dihadirkan jumlahnya lebih dari satu. Seluruhnya lagunya disajikan dalam bentuk teatrikal (khas Disney), tetapi sangat menghibur.

Akhirnya, saya paham kenapa Frozen bisa meledak di pasaran. Lagu yang enak didengar dan jalan cerita yang tidak biasa. Saya yakin Elsa, Anna, dan Olaf menjadi tokoh-tokoh yang melekat di hati anak-anak generasi 2000-an. Kelihatannya Disney cukup berhasil meramu sebuah dongeng baru.

Keberhasilan film pertama tentu ingin dilanjutkan kembali oleh Disney. Frozen 2 dirilis di pasar Indonesia pada 20 November 2019.

Maka, saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini saya benar-benar ingin menikmati Frozen 2 melalui layar lebar.

Ending film Frozen pertama sudah berakhir dengan bahagia. Kita lantas akan bertanya-tanya: Apa lagi yang mau ditawarkan dari Frozen 2? Tidak cukupkah Disney mengganggu kita (orang tua) dengan nyanyian Let It Go?

Cerita yang Lebih Gelap

Ketika cuplikan film keduanya muncul, kita diberikan suguhan adegan Elsa dalam pekatnya malam sedang berusaha mengarungi ombak ganas.

Dari situ saja, kita sudah tahu bahwa film Frozen 2 memiliki tema cerita yang lebih gelap dan dewasa dari film pertamanya. Toh, wajar-wajar saja. Film ini dirilis 6 tahun sesudah film pertamanya. Anak-anak yang menonton pada saat itu pasti sudah lebih besar.

Jalan ceritanya sendiri bermula dari suara-suara misterius yang mengusik Elsa sampai kemudian terjadi bencana yang menghancurkan Kerajaan Arandelle. Elsa memutuskan mencari sosok di balik suara-suara misterius itu. Elsa tidak sendirian bertualang. Ia masih ditemani adiknya Anna, boneka salju Olaf, Kristoff bersama rusa kutub sahabatnya Sven. Tidak ada tambahan tokoh baru yang signifikan. Cerita masih berkutat di antara kelima tokoh tersebut.

Frozen 2 akan mendekatkan kita pada latar belakang keluarga Arandelle. Tokoh-tokoh utama digambarkan lebih dewasa. Kita akan dibuat terpingkal dengan aksi Kristoff yang mencoba merayu Anna. Olaf lebih bawel di film kedua ini. Bahkan ada adegan kocak dari Olaf, yaitu saat Olaf mengenang kembali cerita Frozen pertama dan saya yakin pasti akan mengundang tawa kalian. Kalau ada pemeran pendukung terbaik, saya akan lebih memilih Olaf daripada Anna atau Kristoff.

Oke, dengan premis cerita seperti ini, apakah Frozen 2 menjadi lebih baik?

Secara umum, tidak bisa dikatakan lebih baik. Dari segi special effect, jauh lebih keren. Sihir es Elsa kali ini jauh lebih memukau dan bikin berdecak kagum. Tetapi, plot ceritanya agak mudah ditebak. Malah, ada sedikit kesamaan antara plot cerita Brave (karya Pixar) dan Frozen 2.

Disney kelihatannya mengerti benar tentang kekuatan sebuah lagu. Maka, lagu-lagu dijejalkan sejak pembukaan film, termasuk lagu andalannya Into The Unknown yang bisa kita didengar di awal-awal. Sebetulnya lagu-lagu OST Frozen 2 lebih bagus dan lebih bertenaga, tetapi perlu diakui memang masih kalah catchy dengan lagu Frozen pertama.

Konflik yang Kurang Mengigit

Pada dasarnya film Frozen bukan film petualangan sejati. Memang sih ada beberapa aksi laga, yang kali ini lebih sengit. Apa yang membuat saya memasukkan Frozen ke dalam film keluarga, karena film Frozen tidak memiliki antagonis kuat seperti dalam cerita Aladdin atau Aurora.

Coba ingat-ingat siapa antagonis film Frozen pertama? Si mantan kekasih Anna? Bukan, bukan dia. Antagonis film Frozen sesungguhnya adalah Elsa sendiri. Bahkan di film kedua ini, tokoh antagonis masih terlihat samar. Bahkan, kita seolah-olah sedang menyaksikan Elsa sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Kata "fear"atau ketakutan beberapa kali disebut, baik itu di film pertama maupun film kedua.

Film heroik mudah "terangkat" dengan kehadiran antagonis yang superkeren. Sementara itu, film keluarga sangat mengandalkan konflik yang terjadi antara para tokoh utama. Itulah mungkin satu titik lemah dalam film Frozen 2. Tidak seperti film pertama, di sekuelnya ini tidak ada konflik yang membuat kita jadi bersimpati. Malah, mungkin di penghujung cerita, kita akan bergumam, "Oh jadi begitu saja..."

Benar-Benar Film Keluarga

Melihat Elsa, saya jadi teringat dengan Avatar: Legend of Aang. Elsa ini mungkin bisa disebut sebagai pengendali es. Saya lalu membayangkan Elsa dengan kekuatan esnya mengalahkan seorang penyihir dengan kekuatan api. Bakal terlihat keren. Tetapi, kalau nanti seperti itu, saya yakin malah akan merusak genre cerita. Jadi, lebih tidak, tidak, dan tidak.

Frozen adalah benar-benar film keluarga. Benar-benar film tentang persaudarian.

Saya malah sedikit gemas dengan tingkahnya Anna. Saya yakin Anna ini benar-benar puteri sejati. Bahkan, main pedang pun pasti tidak bisa. Tetapi, kok berani-beraninya mencoba melindungi Elsa? Lalu, kehadiran Kristoff sebagai satu-satunya pria tidak banyak membantu. Bukannya melindungi kedua tuan puteri ini, malah sibuk dengan urusannya sendiri.

Oya, yang agak saya bingung, kenapa Ratu dan Tuan Puteri bisa berjalan-jalan ke luar istana tanpa pengawalan ketat? Apakah Arandelle cuman sebesar kelurahan? Lalu, kenapa Kristoff bisa masuk ke dalam lingkungan istana dengan hanya berbekal peran pacar tuan puteri?

Ah sudahlah, tidak usah dipusingkan. Film keluarga sebaiknya tidak usah berbelit-belit. Sekarang mari kita biarkan saja Anna dan Elsa menjalani kehidupan normal sebagai tuan puteri. Jangan kita ganggu mereka dengan konflik remeh, seperti rebutan suami, rebutan warisan, atau masyarakat Arandelle yang berdemo karena kenaikan harga pangan.

Ending Frozen 2 menurut saya sudah bagus dan sepantasnya seperti itu. Lebih baik kita sudahi akhir cerita Frozen seperti ini, dan berharap jangan ada kelanjutannya lagi.

By the way, di akhir film Frozen 2, ada post-credit scene, tetapi jika mau dilewatkan pun tidak ada masalah kok.

25 April 2019

ULASAN FILM Avengers: End Game - Sebuah Akhir yang Hebat

Saya berani jamin 100 persen TIDAK ADA SPOILER. 

Theatrical Poster Movie. Source: wikipedia

Sutradara: Anthony Russo dan Joe Russo
Pemeran: Robert Downey Jr., Chris Evans, Mark Ruffalo, Chris Hemsworth, Scarlet Johansson
Rumah Produksi: Marvel Studios
Tahun Produksi: 2019  
Durasi: 181 menit


Baru kali ini saya ada bioskop yang buka pagi-pagi gara-gara sebuah judul film. Bahkan, tiket untuk penayangan di minggu pertamanya banyak yang ludes. Luar biasa banget. Film Avengers: End Game (2019) memang dinanti-nantikan tidak hanya publik di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Saking ditunggu-tunggunya film ini, pihak Marvel melalui akun Instagram mereka harus menulis pesan peringatan: Jangan bocorkan cerita End Game. #DontSpoilTheEndgame.

Cerita End Game sendiri merupakan kelanjutan dari Avengers: Infinity War (2018). Superhero yang tersisa mencoba mencari cara untuk menyelamatkan kawan-kawan mereka, termasuk mengalahkan Thanos. Ya seperti itu saja sih inti ceritanya. Simpel. Tetapi penggambarannya sangat memikat.

Ingatan tentang Buku Harry Potter Ketujuh

Saya jadi teringat novel Harry Potter. J.K Rowling, sang penulis, sudah memastikan kisah Harry Potter akan tamat di seri yang ke-7. Maka, seri ke-7 menjadi seri yang ditunggu-tunggu para fans Harry Potter di seluruh dunia. Banyak spekulasi bermunculan pada saat itu apakah Harry Potter akan mengorbankan nyawanya?

Karena Harry Potter adalah sebuah buku, terjemahannya tentu saja butuh waktu sampai ke tangan pembaca luar negeri seperti saya ini. Kalau tidak salah, butuh waktu satu tahun novel terjemahan ketujuh ini terbit di Indonesia. Selama setahun saya harus menahan diri untuk tidak mencari  tahu bagaimana akhir dari bocah penyihir berkacamata ini. Meski pada akhirnya, saya "kebelet" juga. Saya kemudian membalik halaman terakhir novel Harry Potter yang berbahasa Inggris di sebuah toko buku. Untunglah pada saat itu media sosial belum segencar sekarang. Kalau buku Harry Potter hidup di zaman sekarang, saya jamin bakalan banyak yang kepo memposting bocoran cerita.

Dan ini terjadi di serial Avengers ini. Bagi yang belum menonton dan tidak suka spoiler, jangan coba-coba membaca kolom komentar di media sosial atau review berita. Sebaiknya jangan. Jika tidak suka spoiler, sebaiknya tonton sesegera mungkin.

Campur Aduk

Saya sendiri sudah menonton dan rasanya campur aduk setelah menonton film ini. Drama di awal dan tensi di akhir cerita sangat berimbang. Meski saya merasa greget dengan dua jam pertama film ini. Gregetnya karena miskin laga. Ya namanya film superhero, tentu saya berharap jedar-jeder sejak awal seperti di seri sebelumnya Avengers: Infinity War (2018). Bagaimana pun saya sadar karena film ini merupakan film pamungkas serial Avengers, dua jam pertama di film ini adalah penting untuk menyimak perjalanan (membangkitkan memori) para superhero Marvel. Yang benar-benar sudah mengikuti cerita buatan Marvel dari film Iron Man hingga sekarang akan dibuat nostalgia sejenak dengan beberapa adegan dan dialog cerita.

Di film ini alm. Stan Lee, si kreator, tetap muncul sebagai cameo. Sayang sekali mungkin beliau tidak sempat melihat hasil akhir dari film yang menakjubkan ini.

Sama lah dengan kisah Avengers, apakah ada tokoh utama yang mengorbankan nyawa? Isu kematian tokoh utama selalu menjadi isu menarik. Jika di Harry Potter, isu kematian Harry Potter gara-gara pernyataan J.K. Rowling yang ingin membunuh karakter utamanya. Kemungkinan pernyataan ini muncul mungkin (sekali lagi mungkin) J.K Rowling  tidak mau ada kisah lanjutan Harry Potter setelah seri yang ketujuh. Menutup sebuah serial yang panjang dengan kematian tentu adalah penutupan yang menarik.

Tapi, lain dengan serial film Avengers ini. Aktor atau aktris yang memerankan tokoh cerita terus menua, meski sudah ada teknologi yang canggih untuk membuat wajah aktor dan aktris terlihat muda. Jadi, pada akhirnya kita harus sadar para pemeran film ini harus menemui akhir dari kontrak mereka, hehehe. Toh, mereka juga pastinya ingin mencari karir di bidang film lain.

Sesuai namanya, End Game adalah akhir dari sebuah perjalanan film yang hebat. Saya tidak akan berharap lebih lagi, lebih dari ini tentang kelanjutan film Avengers sesudah ini: Apakah menjadi lebih baik atau lebih buruk? Apa pun nantinya ke depan, Avengers: End Game sudah menjadi salah satu torehan film yang hebat dan saya bersyukur merupakan salah satu orang pernah menyaksikan sejarah serial film ini.

Sudah itu saja yang bisa saya sampaikan. Daripada keterusan, nanti bocor juga. Kan sudah diwanti-wanti sama yang bikin film tidak boleh membocorkan cerita. Haha.

18 Maret 2018

Apakah Benar Orang-Orang Jakarta Suka Nyampah?


Kemarin saya membaca berita tentang Teluk Jakarta yang penuh dengan sampah. Miris sekali siapa pun yang pasti membacanya. Namun, miris tinggal miris. Tak usahlah jauh-jauh membahas sampah di lautan, sering saya amati sambil berkendara dengan motor, saya melihat sopir-sopir angkutan umum dengan mudahnya membuang sampah plastik ke jalan raya. Sedikit kesal melihatnya.

Kesal saya tidak hanya ke sopir tadi, tetapi merembet juga ke seorang kawan. Kawan saya yang senang merokok dengan entengnya membuang puntung rokok di jalan. Dalam satu hari dia bisa merokok lebih dari satu batang. Berarti bisa 2-3 puntung yang dia buang ke jalan. Waktu saya menegur, kurang lebih jawabannya begini, “Ah, nanti juga dibersihkan.” Saya tidak begitu tahu pendidikan sopir angkutan umum tadi, yang pasti kawan saya ini berpendidikan (baca: S1).

Ada lagi kawan saya lain, pernah saya tegur karena membuang sampah plastik ke jalan waktu berada di mobil. Dengan tanpa nada penyesalan, jawabannya begini, “Banyak juga yang buang sampah di jalan…” Kawan saya ini berpendidikan juga. Bisa saya tambahkan satu hal lagi: Rajin ibadah.

Pernah gak kadang-kadang kita merasa malas bertengkar dengan kawan sendiri hanya karena persoalan buang sampah? Kayak gak ada urusan yang lebih penting aja.

Pendidikan dan rajin beribadah memang tidak ada kaitannya dengan perilaku menjaga kebersihan. Saya masih ingat ketika saya SMP, saya pulang-pergi rumah sekolah dengan bus jemputan. Namanya anak-anak sekolah sering jajan dan membawa jajanan ke dalam bus. Sering sopir bus ini mengingatkan agar anak-anak tidak buang sampah ke luar jendela. “Buang sampah di dalam bus saja!” Sebuah pendidikan moral yang bagus. Lebih baik buang sampah sembarangan di rumah sendiri, daripada di tempat umum. Eh, memangnya ada yang suka buang sampah sembarangan di rumah sendiri?

Mengatakan semua orang Jakarta suka nyampah tidak benar sepenuhnya. Pernahkah kalian melihat mall besar di Jakarta, koridornya penuh dengan sampah? Atau pernahkah kalian lihat orang-orang buang sampah sembarangan di mal. Sebuah keanehan bukan? Bisa bersih-bersih di dalam mal, tetapi kok susah bersih-bersih di jalan. Padahal sama-sama tempat umum.

Saya menemukan teori yang bagus untuk menjelaskan fenomena ini, namanya Broken Windows Theory. Teori ini menjelaskan pengrusakan ruang publik (perilaku antisosial) dan kejahatan tercipta karena rendahnya pengawasan dan penegakan aturan. Istilah Broken Windows (Jendela Pecah) diambil untuk menggambarkan bahwa ketika ada kerusakan di suatu tempat (katakanlah ada rumah yang tidak ditempati dengan jendela-jendela yang pecah) akan memicu masyarakat untuk melakukan aksi pengrusakan yang sama (ikut memecahkan jendela) dikarenakan persepsi tempat itu pantas dan aman untuk dirusak. Dengan kata lain, ketika suatu lingkungan dibiarkan rusak atau kotor, akan muncul persepsi bahwa lingkungan itu layak dirusak atau dikotori.

Mari kita amati kembali perilaku buang sampah sembarangan. Orang-orang di Jakarta harusnya pernah belajar waktu di sekolah membuang sampah sembarangan itu tidak boleh. Hanya saja, karena sering melihat orang-orang di sekitar membuang sampah ke jalan namun tidak ditegur dan dihukum, hal ini akan muncul persepsi bahwa membuang sampah adalah hal yang wajar dan diperbolehkan. Jadi bukan karena tidak tahu malu atau tidak punya rasa bersalah, tetapi karena masalah konformitas (ikut-ikutan).

Ini menjadi alasan mengapa di mall besar begitu bersih dan bebas dari sampah. Mudahnya karena ada pengawasan dan penegakan aturan. Coba-coba saja buang sampah sembarangan di mall. Mungkin Anda akan ditegur oleh security. Sekali pun Anda tidak ditegur (katakanlah tidak ketahuan), pasti akan ada cleaning service yang akan memungut sampah tersebut dan membersihkannya. Karena sudah ada standar SOP, mall harus bersih. Selain itu, sudah menjadi norma sosial, orang-orang yang datang ke mall tidak akan berani membuang sampah begitu saja ke jalan.

Maksud dari Broken Windows Theory adalah ketika seseorang berada di suatu lingkungan yang selalu diawasi kebersihannya, akan muncul rasa segan untuk mengotorinya. Kita bisa menggunakan teori ini untuk perilaku antre. Mungkin kita suka kesal melihat pengendara motor dan mobil di Jakarta suka serobot sana-sini apalagi pas lampu merah. Tetapi, menjadi anomali ketika berada di loket pembayaran bank, orang-orang di Jakarta langsung berubah menjadi super taat.

Jadi, mengatakan orang-orang Jakarta (atau orang-orang Indonesia) tidak bisa buang sampah pada tempatnya atau tidak bisa antre adalah salah besar. Ini hanyalah masalah pembiasaan.

Saya membaca di situs berita yang mengabarkan bahwa Pemprov DKI Jakarta berencana memasang jaring-jaring untuk menangkal sampah masuk ke laut. Usaha pencegahan ini perlu diapresiasi, tetapi sebetulnya usaha pencegahan paling benar adalah yang menyentuh sisi perilaku manusia, yaitu mencegah orang-orang untuk membuang sampah di mana pun dan ke mana pun. Aturan dan pengawasan harus selalu ditegakkan. Tidak boleh ada kompromi. Bisa itu karena dibiasakan.

Lalu, cobalah untuk selalu ingat, “Jika bisa bersih-bersih di rumah sendiri, mengapa tidak bisa bersih-bersih di tempat umum.”

Atau mungkin kita perlu lelucon seperti ini, “Yaudah besok-besok gue buang sampah ke rumah lo aja ya. Toh nanti juga dibersihkan sama lo…”

18 Februari 2015

Menjadi Tua = Anugerah

Tulisan ini saya posting sewaktu saya berulang tahun yang ke-26.

Sumber gambar: www.beautyanalysis.com
"Kamu sudah tua." Tiba-tiba saja kata "tua" menjadi sebuah ledekan di dalam sebuah obrolan, terutama kalau mengobrol persoalan usia. Orang-orang yang sudah tua sering dianggap sebagai sosok yang tak berdaya, perlu dikasihani, dan perlu dibantu. Maka, dibilang tua rasanya seperti cobaan berat.

Lalu, apakah salah menjadi tua? Menjadi tua bagi saya justru adalah anugerah. Karena mereka yang sudah tua, sudah pasti pernah muda. Sementara itu, yang masih muda, belum tentu menjadi tua.
Banyak orang sepertinya takut dibilang tua apalagi kalau dia diminta menyebut berapa usiannya saat ini. Tak heran sebagian orang berusaha mencari kosmetik terhebat untuk menutupi keriput-keriputnya. Ada juga yang mencari obat penghitam rambut untuk menutupi uban di kepalanya. Dandanan di luar tak boleh ketinggalan, biar tua, tampilan tetap harus segar dan muda. Semua itu dilakukan hanya berusaha membuat satu kesan, "Aku masih muda." Lucunya ketika mereka melakukan hal itu semua, mereka masih meniup lilin ulang tahun, mereka masih merayakan pesta ulang tahun mereka. Bukankah merayakan ulang tahun berarti Anda mengakui Anda sudah tidak muda lagi? Bukankah ulang tahun sebetulnya adalah satu langkah lebih dekat menuju pintu kematian?

Menjadi tua bukanlah keburukan, melainkan pengalaman berharga, karena kita mendapat kesempatan lebih lama untuk dapat hidup menyaksikan perubahan zaman. Begitulah sedikit ulasan saya tentang menjadi tua...

15 Februari 2015

Tentang Profesi Guru

Gelar akademik itu tidak menentukan pekerjaanmu kelak. Bukan hal yang aneh sekarang (atau mungkin sejak dulu), lulusannya apa, tetapi pekerjaannya kok beda. Lulusan psikologi, tapi malah kerjanya jadi sales. Lulusan akuntansi, tapi malah kerjanya jadi wartawan. Lulusan arsitektur, tapi malah jadi agen asuransi. Ada juga nih lulusan teknik, tapi malah jadi... ibu rumah tangga atau bapak rumah tangga! Kalau dibahas mengapa kok bisa begini, bisa menjadi pembahasan yang lebih panjang nih. Tetapi saya cuman mau mengambil satu contoh profesi yang kelihatannya bisa digeluti tanpa background sesuai dengan jurusannya (atau sebenarnya tidak ada jurusan terkait dengan profesi ini?)

Dulu (sewaktu SD) saya berpikir menjadi guru itu harus kuliah Jurusan Keguruan, Pendidikan Guru, atau apa pun itu lah namanya. Tetapi setelah dewasa dan mulai sedikit banyak menyelami dunia pendidikan, baru tahu saya tidak semua orang yang jadi guru berangkat dari latar belakang pendidikan guru yang sesuai. Misal guru matematika. Belum tentu guru matematika ini dulu kuliah jurusan matematika. Bisa saja dia dulu kuliah jurusan teknik. Yaa... ada sih yang kuliah jurusan matematika akhirnya menjadi guru matematika. Tapi, bisa dibilang macam-macamlah latar belakang mereka yang jadi guru, ada yang berasal dari jurusan psikologi, arsitektur, akuntansi, sastra, dan lain-lain. Menjadi guru seolah mendapat satu perlakuan unik: Tidak penting lah jurusannya apa, yang terpenting kamu bisa transfer ilmu ke peserta didik, bisa berkomunikasi dengan peserta didik dengan baik dan luwes, punya sikap yang baik (kamu enggak mau kan peserta didikmu meniru sikap burukmu kelak dan apakah kamu mau bertanggung jawab atas hal ini?), dan paling penting di atas segala-galanya, kamu punya wawasan dan pengetahuan yang oke sip. Jangan konyol lah, mau jadi guru fisika, tetapi ditanya rumus, jawabannya adalah lupa!

Jadi kalau guru-gurumu itu dulu berasal dari berbagai macam latar belakang pendidikan, mengapa harus heran kalau pekerjaanmu saat ini tidak ada kaitan dengan gelar akademikmu. Sebagai peserta didik yang baik, kan kita harus meniru jejak guru kita. Haha.

Sekarang saya mau masuk ke pembahasan yang lebih serius. Bekerja itu bagian dari kehidupan manusia. Manusia yang menganggur (tidak bekerja atau melakukan hal yang produktif) itu katanya bermasalah secara psikologis, kata pakar psikologi mana gitu. Seingat saya seperti itu. Koreksi saya jika saya salah. Macam-macamlah motivasi orang melamar kerja. Ada yang karena uang, karena kepepet (soalnya lamar sana-sini gak dapat pekerjaan, jadi embat saja pekerjaan yang ada), karena coba-coba (ingin mencari tantangan baru atau problem baru?), atau karena kecintaannya pada pekerjaan itu.

Balik lagi ke soal profesi guru, bagaimana mungkin jika seorang guru yang berasal dari latar belakang "gado-gado" itu bisa memahami peran seorang guru? Apakah jurusan Sastra mengajarkan lulusannya tentang peran sebagai guru? Jurusan Teknik? Jurusan Akuntansi? Sudah perannya saja tidak tahu, alasannya melamar sebagai guru karena... coba-coba. Apa!??? Tidak punya passion menjadi guru ditambah juga belum menghayati sepenuhnya perannya sebagai guru. Apakah tidak mampus pendidikan negara kita kalau guru kita diisi orang-orang semacam ini? Tolong doakan semoga orang-orang kayak gini tidak banyak jumlahnya.

Saya mulai bertanya-tanya: Apa jadinya pendidikan jika orang-orang yang menjadi guru adalah mereka yang tidak total dalam mengajar, hanya datang menyapa, lalu memberikan materi PR yang banyak, tanpa memberi feedback yang jelas? Apa jadinya pendidikan jika mereka yang jadi guru yang hanya menetapkan standar ketuntasan yang tinggi tanpa memperhatikan keunikan dan kualitas peserta didik secara individu? Apa jadinya pula pendidikan jika para guru ini adalah orang-orang yang tidak mengerti perkembangan psikologis peserta didik, yang dikejar hanya target nilai dan nilai? Dan apa jadinya jika mereka yang menjadi guru sebenarnya tidak pernah membayangkan diri mereka akan bekerja sebagai guru, tapi karena kepepet, akhirnya mengambil haluan menjadi guru? Orang-orang yang sesungguhnya tidak memiliki passion bekerja sebagai guru tetapi malah ditarik paksa menjadi guru hanya karena dituntut mengisi lowongan yang ada.

Oya, saya sempat menyebut soal passion. Pembahasan tentang passion ini bisa jadi pembahasan panjang tersendiri juga. Intinya, pekerjaan yang dilandasi dengan passion akan memberi output yang berbeda dengan pekerjaan yang hanya dilandasi oleh nilai-nilai eksternal, seperti uang, ketenaran, gengsi, dsb. "Mengajar itu butuh passion tersendiri," begitulah kata kandidat yang pernah saya wawancarai. Saya pun menyetujuinya.

Pendidikan bagi saya itu penting sekali. Karena pendidikan adalah tonggak kehidupan. Pendidikan lah yang memampukan manusia hidup berbudaya. Maka itu, pendidikan dan kebudayaan memang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan yang bagus lahir dari guru yang bagus. Guru yang bagus akan melahirkan peserta didik yang bagus.

Menurut saya, menjadi guru bukanlah profesi main-main. Sekali saja kamu jadi guru, jadilah kamu guru seumur hidup. Coba kamu ingat-ingat kembali wajah-wajah gurumu dulu. Betapa kamu merindukan momen-momen di saat dia mengajarmu atau mungkin memarahimu. Jika kamu bertemu lagi dengannya di tengah jalan, tak sungkan kamu mengucap Pak atau Bu. Jika kamu adalah sosok guru yang baik, yakinlah kamu akan terus diingat oleh muridmu. Dan percayalah, terdengar aneh jika kita mengatakan, "Eh, itu dia mantan guruku" atau "Itu bekas guru saya". Jadi cap guru itu adalah cap yang bisa menempel seumur hidup. Bagaimana dengan bos-bosmu dulu di kantor? Mantan-mantan bos itu (nah ini lebih cocok kan!)... lupakan saja lah. Please, jangan samakan bos dengan guru.

Karena begitu mulia dan sekaligus beratnya tugas seorang guru, seharusnya memang ada kriteria khusus tentang profesi guru ini. Mungkin sejalan dengan pemikiran saya (eh, kok jadi sombong), pemerintah mencetus ide tentang sertifikasi guru. Tetapi malah muncul keluhan bahwa sertifikasi guru ini hanya merepotkan dan menyulitkan mereka yang ingin bekerja sebagai guru. Sudah gajinya pelit, lho mau kerja kok ya sulit. Saya kurang tahu sih tentang pedoman pelaksanaan sertiifkasi guru ini. Yaaa... mungkin saja prosedurnya yang harus disederhanakan. Tapi bagi mereka yang telah mencintai pekerjaannya, harusnya menjadi tidak sulit dalam memperjuangkannya.

Sebagai penutup, saya tidak sedang menyinggung atau mengkritik siapa pun, apalagi yang bekerja sebagai guru. Toh, saya pernah mengemban profesi ini juga. Tetapi bagi mereka yang sedang menggeluti karir sebagai guru dengan alasan apa pun, teruskanlah... jika itu bisa diteruskan dengan sepenuh hatimu. Lakukan yang terbaik di atas yang terbaik. Perlu diingat, peserta didik itu tidak memiliki banyak kuasa dalam memilih gurunya. Dalam contoh perkuliahan, mahasiswa terkadang harus pasrah karena mata kuliah tertentu harus ketemu dengan dosen yang tidak disukainya. Mereka itu sudah pasrah memilihmu, lalu ditambah uang pendidikan yang makin kurang ajar, mereka tentu berharap mendapat pengajaran yang menarik. Jadi bayarlah keringat usaha mereka (lebih tepatnya sih keringat usaha orangtua yang membayar uang pendidikan mereka) dengan harga yang setimpal.

31 Januari 2015

Jangan Hidup di Social Media Saja

sumber gambar: queenscouncilarts.org
Dulu waktu zaman awal-awal munculnya Facebook (FB), rasanya seperti mendapat mainan baru. Orang-orang sibuk ke warnet cuman untuk buka FB. Malah, saya masih ingat sewaktu pengisian jadwal kuliah via online, satu angkatan bisa hampir semua online FB (padahal kan mau isi mata kuliah, mengapa kok buka FB?). Sekarang teknologi semakin canggih, ide pun semakin kreatif. Aplikasi social media berkembang pesat, dari sekadar yang hanya bisa berbagi video, berbagi foto, cuman bisa punya sedikit teman... ada semua. Lalu, sekarang saya malah jadi pusing. Misal, mau update status. Enaknya di LINE, di BB, atau di Twitter? Kan repot kalau semua situs social media di-update statusnya satu per satu. Sementara kita ngebet mau kasih kabar gembira nih. Kulit pepaya sekarang ada esktraknya. Okelah, ini tidak lucu.

Update status cuman satu hal. Ada hal (tidak) lucu lain yang pernah saya alami. Ceritanya saya mau SMS seseorang. Maksudnya pakai SMS karena sinyal internet di lokasi saya saat ini memang tidak stabil. Jadi berharap saya dibalas pakai SMS juga. Eh, yang terjadi. Dia malah balas saya pakai WhatsApp. Untung saja masuk. Kalau tidak? Ribut nanti. Ada lagi cerita lain. Saya kirim pesan pakai WhatsApp, malah dibalasnya pakai BBM. Aneh banget kan ya.

Memang sekarang banyak banget saluran untuk berkirim pesan, sampai saya bingung, enaknya ngobrol pakai ini atau pakai itu. Nanti coba deh kapan-kapan saya tulis pesan pakai surat. Awas saja, jangan-jangan dibalasnya pakai... email! Hahaha. Tetapi tetap saja dengan banyaknya situs social media, kualitas pertemanan yang sesungguhnya hanya bisa dilihat secara nyata di dunia nyata. Akrab di FB, belum tentu akrab di dunia nyata. Menurut saya, FB, Twitter, dkk itu cuman miniatur kehidupan sosial. Interaksi manusia secara langsung itu tak pernah terganti.