Page

30 Mei 2011

Politik dan Kekuasaan

Berita olahraga sekarang santer memberitakan kisruh di tubuh PSSI, badan sepakbola tertinggi di negara kita. Kisruh bermula dari ketidakpuasan pencinta sepakbola terhadap era kepemimpinan Nurdin Halid (NH). Delapan tahun NH menjabat sebagai ketua PSSI (2003-2011) tidak menghasilkan sebiji prestasi untuk sepakbola kita. Hebatnya, NH pernah memimpin PSSI dibalik terali besi akibat kasus dugaan korupsi. Lebih hebatnya lagi, NH masih getol mencalonkan diri sebagai ketua PSSI berikutnya. Entah di mana rasa malunya? Tak ayal, para pecinta sepakbola tanah air berdemo menyuarakan reformasi PSSI, dengan mengusung nama George Toisutta (GT) dan Arifin Panigoro (AP) sebagai calon ketua dan wakil ketua. Belakangan, kisruh semakin memanas, meski FIFA sudah mengintervensi PSSI. Kisruh yang terjadi sekarang dikarenakan GT dan AP tidak diperbolehkan oleh FIFA menjadi calon ketua dan wakil ketua PSSI. Pada awalnya, kelompok simpatisan GT dan AP sangat mendambakan intervensi FIFA untuk menyelesaikan carut-marut sepakbola kita, tetapi sekarang malah berbalik menggugat FIFA. Pada awalnya juga, banyak kalangan memuja-muji GT dan AP, namun kini mulai banyak juga yang menghujat mereka, menilai mereka sebagai sosok ambisius, tak jauh beda dengan NH dan kroninya.

Saya hanya sebagai spectator dalam kasus PSSI. Saya tak punya pengetahuan memadai untuk menilai siapa yang salah dan siapa yang benar. Tetapi, satu hal yang saya ketahui adalah manusia memiliki motif untuk berkuasa. GT, AP, atau pun NH adalah cerminan dari motif manusia untuk berkuasa. David McClelland, seorang psikolog Amerika sudah memasukkan kekuasaan sebagai salah satu dari tiga kebutuhan manusia, yang dikenal sebagai need to power, selain kebutuhan berprestasi (need of achievement) dan kebutuhan berafiliasi (need of affiliation).

Untuk mencapai kekuasaan, tidak jarang manusia menghalalkan segala cara. Maka, istilah omnivora yang melekat pada manusia, adalah benar adanya. Manusia memang omnivora, pemakan segalanya, termasuk ”makan” sesamanya. Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia itu seperti serigala yang menyerang sesamanya. Istilah ini dikenal sebagai homo homini lupus est.

Serang-menyerang, perang-berperang terlihat sudah jadi hakikat manusia. Ketika manusia masih hidup di dalam kesukuan, perang antarmanusia sudah bukan sesuatu yang asing. Tak heran Freud memasukkan agresi sebagai salah satu dorongan primitif manusia, selain seks.

Ketika terjadi perang, minimal akan ada dua kelompok yang saling bertempur memperebutkan kekuasaan. Kelompok pertama, adalah kelompok rezim, yaitu kelompok yang sedang berkuasa saat itu. Kelompok kedua, adalah kelompok yang menentang rezim. Saya menyebut kelompok kedua ini dengan istilah saya sendiri, yaitu kelompok reformis. Di dalam kasus PSSI, NH dan kroninya dianggap sebagai rezim. Masyarakat pencinta sepakbola sudah muak dengan rezim NH, yang selain sudah terlalu lama, tidak menuai hasil memuaskan sama sekali. Kemudian, masyarakat ini hendak melancarkan perubahan. GT dan AP adalah bagian dari kelompok reformis tersebut. Tiga belas tahun yang lalu di negara kita, pernah juga terjadi hal yang sama, rezim Soeharto dilengserkan oleh kelompok mahasiswa yang menuntut reformasi.

Ketika kelompok rezim digulingkan, dan kekuasaan diduduki oleh kelompok reformis, kelompok reformis akan beralih menjadi kelompok rezim. Kelompok rezim nantinya akan menjadi kelompok reformis, atau akan muncul kelompok-kelompok reformis yang baru. Begitulah, saling ribut dan saling rebut kekuasaan akan terus-menerus berulang.

Bagaimana kelompok-kelompok tersebut dapat tercipta? Timbulnya kelompok-kelompok dalam kehidupan manusia dikarenakan adanya persamaan pandangan dan tujuan, selain terkadang juga dikarenakan ada unsur persamaan nasib. Manusia-manusia yang merasa memiliki kesamaan selalu membentuk kelompok, karena sudah menjadi hakikatnya juga bahwa manusia adalah makhluk sosial, atau makhluk berafiliasi. Afiliasi ialah salah satu kebutuhan manusia, seperti yang sudah disebutkan oleh McClleland. Makanya, ada kelompok pecinta sepeda, kelompok pecinta fotografi, dan sebagainya. Negara pun adalah suatu kelompok, dan berdiri dengan cara yang sama pula, yaitu dikarenakan adanya persamaan-persamaan.

Di dalam teori sosiologi, W. G. Sumner menjelaskan adanya klasifikasi kelompok yang dinamakan in-group (kelompok dalam) dan out-group (kelompok luar). Saya pribadi menerjemahkannya dengan istilah kelompok ”kita” (in-group) dan kelompok ”mereka” (out-group). Klasifikasi Sumner inilah yang dapat menjelaskan mengapa seringkali terjadi pertentangan dan permusuhan antarkelompok, contoh sederhananya tawuran antarpelajar SMA. Ketika kita merasa ”satu” dan merasa ”sama” dalam kelompok (in-group), kita cenderung menjalin solidaritas dengan rekan-rekan sekelompok kita. Sebaliknya, kita cenderung menaruh perasaan bermusuhan dengan orang-orang yang di luar atau berbeda dengan kelompok kita (out-group), apalagi yang berbeda pandangan dan tujuan. Pada permusuhan di level kronis, tak jarang permusuahan itu diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, kaderisasi dilakukan untuk mempertahankan eksistensi kelompok.

Persaingan antardua kelompok atau lebih yang hendak memperebutkan kekuasaan, tak bisa lepas dari yang namanya politik. Politik adalah seni meraih kekuasaan. Salah satu teknik politik yang biasa digunakan adalah lobi, yaitu kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, biasanya terkait dengan pemungutan suara menjelang pemilihan ketua organisasi.

Politik sebenarnya sudah menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Disadari atau tidak, saat kita mau mencari pasangan hidup, kita juga melakukan politik. Pedekate itu sebenarnya tak beda dengan kampanye atau ”menjual” diri. Contoh lain yang biasa dilakukan adalah lobi kepada calon mertua. Hanya saja, di politik pasangan hidup, adalah hati pasangan kita yang ingin kita menangkan dan kuasai. Tetapi, ada juga orang yang mencari pasangan hidup untuk menguasai harta keluarganya. Hal ini kembali ke individu masing-masing.

Di kampus juga ada politik, yang kita kenal sebagai politik kampus. Di Tarumanagara sendiri, saya mendengar ada isu mengenai beberapa kelompok mahasiswa underground yang ingin menguasai organisasi mahasiswa. Underground yang dimaksud di sini karena sifatnya yang memang rahasia, diam-diam, dan tidak terlegitimasi. Saya sempat menemukan nama-nama kelompok underground ini dari blog seorang mahasiswi Untar (bukan mahasiswi Psikologi). Tak perlu saya kasih link-nya, karena ketika saya telusuri kembali, posting-annya sudah dihapus. Mungkin dihapus karena komentar-komentar di posting tersebut. Ya, komentar-komentarnya sangat menyudutkan sang penulis blog tersebut. Mahasiswi ini dibilang ”sok tahu”, ”gak eksis ya”, ”kasian deh gak punya teman”, dan banyak lontaran caci-maki lainnya. Demi alasan keamanan diri saya, saya juga tidak mau menyebut nama-nama kelompok itu di sini. Hehehe.

Politik bukan sesuatu yang buruk. Politik ada di mana-mana. Ibarat pisau dapur, dia bisa digunakan untuk hal yang baik, maupun untuk hal yang buruk. Saya sempat menyinggung perlunya kita memiliki kecerdasan politik dalam tulisan di sini.

Politik erat kaitannya dengan kekuasaan. By the way, dari tadi saya membicarakan kekuasaan, atau bahasa Inggrisnya adalah power, mohon tidak menerjemahkan kekuasaan seperti raja yang ingin menguasai sawah petani, atau lintah darah yang ingin menguras harta seseorang. Saya tidak sedang membicarakan kekuasaan pada zaman pertengahan, tetapi kekuasaan pada zaman modern. Di zaman modern, orang-orang yang berkuasa bukanlah orang yang memiliki power dalam hal fisik atau finansial. Tapi, mereka adalah mereka yang punya pengetahuan, atau mereka yang pintar. Itu bahasa halusnya. Bahasa kasarnya, mereka yang punya kelicikan.

Saat kita bicara kekuasaan, kita tak bisa lagi mengenal kawan atau lawan, semuanya akan menjadi abu-abu. Itu karena power atau kuasa adalah bagian dari eksistensi manusia. Makanya tak salah jika urusan kekuasaan itu urusan eksistensi. Manusia kebanyakan ingin ”terlihat”. Dan, untuk ”terlihat”, manusia harus menunjukkan power-nya ke hadapan orang lain. Dan, siapa yang rela terus-menerus tunduk di bawah power seseorang? Untuk meraih eksistensi tersebut, menyingkirkan orang-orang yang menghambat kita untuk berkuasa, dan merekrut orang-orang yang mendukung kita untuk berkuasa adalah kewajaran.

Yang namanya persahabatan pun menjadi ilusi saat disandingkan dengan kata ”kekuasaan”. Sangat sulit untuk meraba ketulusan saat kita membicarakan kekuasaan, karena semua mengarah pada kepentingan-kepentingan tertentu. Tak heran, selain urusan eksistensi, kekuasaan juga dekat dengan urusan kepentingan. Kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok? Kepentingan positif atau negatif? Biar semua jawaban tersebut dikembalikan ke hati nurani orang-orang yang sedang berkuasa...

17 Mei 2011

Waisak

Hari ini 17 Mei 2011, adalah hari raya Waisak. Salah satu dari 4 hari besar Umat Buddha, dan satu-satunya pula hari yang menjadi hari libur nasional. Oleh karena itu, tidaklah salah, hari Waisak selalu dirayakan gegap gempita oleh umat Buddha di Indonesia, mungkin di seluruh dunia, meskipun kegempitaannya tidak menggema seperti agama lain.

Sejak TK saya sudah merayakan Waisak. Bisa dibilang saya merayakan Waisak hampir setiap tahun, meskipun saya sebenarnya sudah tidak lagi rutin ke vihara sejak SMA. Walaupun saya beragama Buddha, sebenarnya keluarga saya bukanlah keluarga Buddhis. Papa dan Mama saya tidak pernah mengunjungi ke tempat ibadah baik itu gereja atau vihara di hari Minggu. Apa orangtua saya atheis? Saya tidak pernah menanyakan hal itu ke mereka, dan sepertinya saya tidak perlu mempertanyakan keyakinan seseorang, sekalipun orangtua saya.

Meskipun demikian, adalah Papa dan Mama saya yang membuat saya menjadi beragama Buddha. Itu karena mereka memasukkan saya ke salah satu sekolah Buddhis di bilangan Jembatan Tiga. Kalau mau tahu nama sekolahnya, silakan saja melintasi tol Tomang, karena sekolah tersebut selalu dapat terlihat ketika melewati tol Tomang.. hehehe. Saya bersekolah di situ dari TK sampai dengan SMP.

Ketika naik ke SMA, saya pindah sekolah. Tetapi, tetap beragama Buddha karena sekolah itu memberlakukan 3 agama, yaitu Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Buddha. Ketika naik tingkat menjadi mahasiswa, lagi-lagi saya mengambil matakuliah agama Buddha. Meski sudah menjadi mahasiswa, saya tetap merayakan Waisak yang diadakan di Dharmayana (nama dari organisasi mahasiswa Buddhis di Universitas saya). Untuk tahun 2011 ini, saya merayakan pertama kalinya Waisak di Vihara Pluit Dharma Sukha (vihara yang tidak terlalu jauh dari rumah saya), dan pertama kalinya saya merayakan Waisak dengan menyaksikan prosesi dan ceramah via layar kaca... haha.. rame bener tempatnya bo..

Itu artinya sedari TK sampai dengan sekarang saya tetap beragama Buddha. Maka dari itu, tidak heran sampai sekarang saya tidak pernah menginjakkan kaki di gereja atau masjid, dan tidak heran konsep Tuhan dari agama lain tidak ada di kepala saya.

Saya tetap bangga beragama Buddha, meskipun umat lain mungkin bingung, kenapa umat Buddha menyembah patung. Saya katakan agama Buddha tidak menyembah patung, tetapi menghormati sifat luhur Buddha yang dicitrakan dalam patung, seperti halnya kita menghormati bendera Merah Putih. Aah, sudah dijelaskan berkali-kali, tudingan itu tetap datang bertubi-tubi. Ya, sudahlah. Lebih baik disebut menyembah patung, daripada menyembah setan, alkohol, dan obat-obatan terlarang.

Saya tetap bangga beragama Buddha, meskipun umat lain mungkin bingung, kenapa agama Buddha tidak mengenal kata Tuhan. Saya katakan agama Buddha memang tidak mengenal kata Tuhan. Sang pencipta alam semesta adalah semesta itu sendiri. Sang pemberi keajaiban dan keselamatan kepada manusia adalah manusia itu sendiri. Tanpa ada Tuhan, agama Buddha tetap berdiri kokoh, dipuja, dan disanjung. Terlebih lagi, tiada peperangan yang beratasnamakan agama Buddha sampai sekarang.

Itulah agama Buddha, meskipun bungkusnya bermacam-macam (terdiri dari bermacam-macam aliran) dan terkadang sulit dipahami (baik itu teori. ataupun ritualnya), tetapi intinya adalah satu, yaitu cinta kasih dan kebahagiaan untuk semua makhluk.

Di hari raya Waisak ini, saya ingin mendoakan:

Semoga kebahagiaan menyertaiku

Semoga kebahagiaan menyertai Anda


Semoga semua makhluk hidup berbahagia


Selamat hari raya Waisak 2555 B. E./2011