Page

28 Juli 2012

Have Fun in Jogja

Yang paling asyik di hidup ini adalah jalan-jalan. Jalan-jalan ke tempat baru pasti mendapat pengalaman baru. Seperti apa yang saya alami di tanggal 19 Juli - 23 Juli. Itu adalah tanggal saya berlibur ke Jogja.

Keinginan ke Jogja, Jogjakarta, atau Yogyakarta gara-gara baca artikel di internet. Katanya hanya Rp 250.000 sudah bisa menikmati liburan 3 hari di Jogja. Wah, rasanya jadi pengen ke sana. Jadi, saya mulai merencanakan waktu libur ke sana. Pertama-tama, saya mulai mencari teman dan saya beruntung karena teman saya, Endy, mau ikut serta menjadi bolang (bocah petualang) selama 3 hari di Jogja. Lalu, waktu yang diambil adalah setelah saya mengakhiri kontrak magang. Hanya sayang nasib budget berkata lain, bukan Rp 250.000 yang saya keluarkan, melainkan empat kalinya.

Ke Jogja adalah pengalaman pertama saya berlibur keluar kota dan saya belum pernah ke sini sebelumnya. Sama halnya dengan Endy, dia juga belum pernah ke Jogja. Jadi, benar-benar kami menjelma menjadi bolang. Modal kami hanyalah artikel di internet, cerita seru dari teman-teman dan orangtua.

Kami pergi naik kereta api kelas bisnis. Sembilan jam waktu yang diperlukan dari Jakarta sampai ke Jogja. Lama sekali. Celakanya, kami tidak bisa tidur selama di kereta. Kursi kereta bisnis memang tidak enak untuk dibawa ngantuk. Yang enak tuh sebenarnya kereta kelas eksekutif. Tetapi, demi menjaga pengeluaran, ya beginilah derita yang mesti ditanggung.

Kami berangkat pukul 19.30 dari Stasiun Pasar Senen dan tiba di Stasiun Tugu sekitar pukul 5 pagi. Kami mencoba mencari penginapan murah versi internet, tetapi setelah bertanya ke seorang security, lokasinya jauh-jauh semua. Seorang bapak tua penarik becak menyelamatkan kami dari kebingungan mencari penginapan. Dari bapak tua itu, kami mendapatkan hotel murah dengan tarif Rp 100.000/malam dengan kapasitas 2 orang, ada kamar mandi di dalamnya, dan ada kipas angin. Sebenarnya hotel kami tidak bisa disebut hotel sih jika ditinjau dari fasilitasnya. Namun, sekadar untuk tidur, sudah cukup nyaman kok. Nama hotel kami adalah Dewi Rahayu 2 di Jalan Jlagran Lor.

Gara-gara tidak bisa tidur di kereta, hari pertama tiba dihabiskan dengan tidur sebentar. Jam 10 kami bangun. Jogja terkenal dengan nasi gudegnya. Jadi, petualangan kami dimulai dengan berburu nasi gudeng sebagai pengganti sarapan sekaligus makan siang. Kami berhasil mendapatkan nasi gudeg setelah menerima tawaran seorang penarik becak. Penarik becak kami ini menawarkan diri mengantar kami ke tempat nasi gudeg yang enak, sekalian berkeliling ke alun-alun, keraton, sampai diantar ke tempat kerajinan wayang, lukisan, dan penjualan kaos dan batik. Biaya berkelilingnya adalah Rp 30.000. Tetapi, di akhir perjalanan berkeliling malah kita mesti kasih tambahan Rp 5.000 karena dia meminta lebih. Hadeuh....

Karena tidak mungkin sering datang ke Jogja, kami cukup sadis memesan nasi gudeng. Bukan nasi gudeng isi lauk tahu/tempe saja, kami malah memesan nasi gudeg komplit dengan isi lauk tempe, ayam, ati ampela, dan krecek. Harganya juga sadis yaitu Rp 26.000.

Nasi Gudeng Krecek Komplit
Sehabis kenyang makan nasi gudeng, kami diantar ke tempat workshop pembuatan wayang, rumah pelukis surealis Bapak Suhardi, distro kaus kreatif Jogja, distro batik, dan toko Bakpia 99. Sebenarnya kami tidak berniat belanja, apa daya sang penarik becak kami membawa kami ke tempat-tempat perbelanjaan. Usut punya usut, penarik becak yang ada di Jogja akan mendapat kupon jika mereka dapat membujuk penumpangnya membeli 1 barang atau dalam jumlah tertentu ke tempat-tempat yang mereka tunjuk. Kupon itu nanti dapat ditukar dengan baju koko atau sarung. Mungkin diliputi perasaan tidak enak hati karena sudah susah-payah diantar, saya dan Endy akhirnya memutuskan membeli bakpia 10 kotak. Masing-masing dari kami mengambil 5. Mengapa 10 kotak? Ya itu syarat agar penarik becak kami mendapat 1 kupon. Bakpianya sih enak, tetapi ada perasaan bersalah juga kepada si dompet. Per kotak itu Rp 18.000. Karena masing-masing beli 5, jadinya tiap orang sudah mengeluarkan Rp 90.000. Lumayan juga kan tuh. Terus, saya juga beli emping untuk keluarga. Pengeluaran oleh-oleh saya saja di hari pertama sudah mencapai Rp 186.000. Benar-benar deh, tukang becak bisa bikin dompet cekak. Benar-benar menyesal, tetapi apa daya, makanan sudah siap-siap masuk ke perut. Hehehe.

Setelah berkeliling Jogja naik becak, kami memutukan kembali ke hotel untuk tidur siang karena hari pertama kami tidur cuman 4 jam. Lalu, jam 5-an kami bangun lagi. Kami kemudian berjalan kaki menuju alun-alun. Di alun-alun, saya sedikit kecewa. Katanya biasa di sana ada keramaian. Tapi, yang saya lihat tidak ada ramai kaki lima. Tidak ada sajian khas berselera (lagu banget ya, hehe).

Di Benteng Vredeburg, kami mencicipi sate ayam. Hanya Rp 5.000 sudah dapat 10 tusuk. Jika ditambah lontong, cukup keluarkan Rp 2.000. Daging ayamnya lembut dan enak. Lalu, kami juga mencoba ronde (sejenis sekoteng), hanya Rp 2.000 per mangkuk. Wah, murah dan enak juga.

Di Jalan Pangeran Mangkubumi kami juga mencoba sate kuda. Awalnya Endy menolak coba karena masih kenyang, tetapi saya paksa dia untuk temani saya mencoba. Sate kuda ini lebih keras dagingnya dari sate ayam. Satu porsinya Rp 15.000, sudah dapat 6 tusuk sate @Rp 2.500.

Sate Kuda
Masih berjalan kaki, kami menyambangi Jalan Cik Di Tiro dan menemukan kafe bernama Coklat. Kafe ini menyediakan kue, minuman, dan es krim dengan menu utama cokelat. Informasi kafe ini didapat dari Tabloid Bintang. Kebetulan saya senang cokelat dan saya sengaja mencari tempat ini.

Sundae Molucas

Fresh Chocolate Milk

Blueberry Cheese Pancake
Setelah bersantap ria dengan makanan manis, kami mau mencari lotek. Lotek itu sejenis gado-gado. Sayangnya sudah malam, lotek pun sudah tidak ada yang menjual. Jadi, kami memutuskan pulang saja.

Di hari kedua, sekitar jam 9 kami baru bangun. Di hari kedua ini kami memutuskan bepergian naik motor sewaan, tidak lagi naik becak atau berjalan kaki. Namun, hampir saja kami tidak jadi menyewa motor. Biaya sewanya sih murah hanya Rp 60.000/hari. Tetapi, kami perlu memberi uang jaminan 1 juta rupiah, bahkan di tempat lain ada yang mencapai 2 juta rupiah. Alamak! Kami di Jakarta saja tidak mungkin bawa uang kas sebanyak itu. Akhirnya, di salah satu tempat rental motor, setelah proses tawar-menawar yang alot, kami bisa menyewa motor dengan uang jaminan cukup Rp 500.000.

Kami memulai perjalanan ke keraton. Di keraton ini kami mendapat pengetahuan mengenai sekelumit kehidupan keraton, dimulai dari busana, tarian, upacara, silsilah sultan dari pertama sampai kesembilan, ruangan-ruangan penting, sampai koleksi barang berharga milik keraton. Sultan Hamengku Buwono X adalah satu-satunya sultan yang beristrikan 1 orang, sisanya beristrikan lebih dari 1 orang, bahkan ada yang mencapai 40 orang. Mengejutkan.



Kejutan saya ditambah lagi dengan pertemuan yang tidak disangka-sangka di keraton. Saya bertemu dengan adik kelas saya angkatan 2008, Josephine. Dia datang bersama temannya. Pertemuan yang sungguh mengejutkan.

Setelah puas berkeliling keraton, kami makan siang dan kali ini kami beruntung mendapatkan lotek. Tujuan kami berikutnya adalah Kebun Binatang Gembiraloka. Harga tiket masuknya Rp 15.000/orang. Karena bulan Ramadhan, kami mendapat kesempatan mencoba Perahu Katamaran secara cuma-cuma alias dapat tiket gratis. Harga tiket aslinya Rp 5.000/orang. Sayang, kami tidak mencobanya karena keburu lelah mengelilingi Gembiraloka yang luasnya minta ampun.

Bermacam-macam aneka binatang dipamerkan di Gembiraloka, seperti aneka reptil (ular, kobra, komodo, buaya, soa, bunglon, kura-kura, dll), aneka unggas (elang, burung kakaktua, burung hantu, alap-alap, ayam mutiara, merak, dll), aneka mamalia (tapir, harimau, gajah, zebra, onta, rusa, kijang, dll), dan masih banyak lagi. Sayangnya, tidak semua binatang saya tengok. Entah mungkin ada yang memang tidak di tempat (binatangnya sedang jalan-jalan kali, hehe) atau lagi bersembunyi. Yang agak mengesalkan karena banyak binatang lagi tidur siang, seperti di bawah ini, hehehe.


Sayang, kamera saya kehabisan baterai dan tidak membawa charger sehingga tidak banyak gambar yang saya abadikan. Setelah dari Gembiraloka, kami berdua menuju Pantai Parangtritis. Ada sekitar 1,5 jam perjalanan. Jalanannya memang tidak macet, tetapi jaraknya jauh minta ampun. Tiupan angin kencang menyambut kedatangan kami. Ombak lautnya cukup ganas. Tidak boleh berenang di sana karena ada ubur-ubur yang racunnya mematikan. Kami di sana hanya memandangi laut dan berfoto-foto, dengan kamera Endy tentunya.


Dari Pantai Parangtritis, kami balik ke hotel. Kalau dari Pantai Parangtritis sampai ke hotel, kami hanya butuh 1 jam. Acara malam-malam kami habiskan tidak begitu jelas. Hanya nongkrong ke 1 kafe kopi dan berkeliling saja.

Di hari ketiga, kami naik TransJogja menuju ke Prambanan yang lama tempuhnya juga tidak ada 1 jam. Prambanan tidak beda jauh dengan Gembiraloka, luasnya minta ampun. Belum lagi kami datang saat tengah hari. Panas matahari dan kaki-kaki pegal-pegal jadi teman perjalanan.

Prambanan punya 4 candi: Candi Prambanan atau Roro Jonggrang, Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu. Akibat gempa yang melanda Jogja, banyak bagian dari candi runtuh dan rusak. Yang paling parah tentunya Candi Bubrah yang tidak bisa dikunjungi sama sekali.

Saya di depan Candi Prambanan atau Roro Jonggrang

Candi Lumbung

Candi Bubrah

Candi Sewu


Setelah berkeliling Prambanan, acara berikutnya adalah makan siang bersama Josephine dan temannya Meri di Mal Malioboro. Kami berdua bertukar pengalaman. Kelar makan siang, saya harus membeli oleh-oleh untuk teman kerja saya, yaitu miniatur sepeda onthel dan becak. Matian-matian saya mencari harga murah dan beruntung saya menemukannya.

Jam 5 sore kami checkout dari hotel dan menunggu kereta kami yang membawa pulang pukul 18.30. Ada cerita menarik, Endy ingin sekali minum Kopi Joss setelah diceritakan ibu penjaga warung bahwa rasanya nikmat. Sayang, minuman itu hanya ada pada malam hari. Mungkin Endy akan kecewa karena akan meninggalkan Jogja tanpa mencicipi Kopi Joss. Eh, tahunya pas makan malam terakhir (lebih tepatnya sore, karena belum terlalu malam) di warung dekat Stasiun Tugu, kami berhasil mendapat Kopi Joss. Si penjaga warung rupanya menjual minuman itu. Kegalauan teman saya terhapuskan sudah. Apa itu Kopi Joss? Minuman kopi yang dicelupkan arang panas. Entah sehat atau tidak, yang penting enak pisan.

Kopi Joss

Pas di kereta, kembali lagi kami tidak bisa tidur. Saya pulang ke rumah sekitar jam 5 subuh, sementara saya bangun pagi sehari sebelumnya adalah jam 5 pagi juga. Hampir saja saya mencetak rekor 24 jam tidak tidur. Hahaha. Begitulah segelintir pengalaman seru saya ke Jogja. Sebenarnya masih banyak yang belum dikunjungi, seperti Taman Sari, Pusat Kerajinan Perak, Borobudur. Ya... Semoga masih ada kesempatan untuk pulang ke kotamu... Jogja.

11 Juli 2012

Kata-kata Hubung yang Sering Disalah(guna)kan

Kata hubung atau konjungsi adalah kata yang berfungsi menyatukan dua buah kalimat atau lebih sehingga terbentuk kalimat majemuk. Kalimat majemuk itu sendiri ada bermacam-macam. Ada kalimat majemuk setara, bertingkat, dan campuran. Lho, ini pelajaran bahasa Indonesia? Bukan kok, hanya mencoba kilas balik ingatan pas SMA. Hehe.

Selama menjadi asisten mahasiswa yang ditugaskan mengoreksi pekerjaan mahasiswa dan membantu meninjau skripsi teman (Jangan ditiru! Bukan perbuatan baik), saya sering menemukan ada sejumlah kata hubung yang sering keliru penggunaannya dalam makalah ilmiah.

1.                  Sedangkan

Banyak mahasiswa yang sering meletakkan kata “sedangkan”di awal kalimat, termasuk dosen.  Contoh kasus:

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu.

Padahal, kata ”sedangkan” tidak dapat diletakkan di awal kalimat. Secara gramatika, kalimat yang mengandung kata “sedangkan” tersebut agak menyalahi logika. Mengapa? “Sedangkan” adalah kata hubung yang berfungsi mempertentangkan 2 buah kalimat yang memiliki level setara. Logikanya, jika ada yang menentang, harus ada pula yang ditentang.

Pada kasus contoh, jika “sedangkan” diletakkan di awal kalimat, pertanyaan selanjutnya, siapa yang berlawanan/bertentangan dengan faktor eksternal? Pak/Bu, yang dipertentangkan itu ada di kalimat sebelumnya. Lah, tidak bisa seperti  itu. Satu kalimat harus mengandung satu ide yang utuh. Tidak bisa main dipisah-pisah begitu saja, Nak.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kalimat pada contoh kasus? Beberapa caranya:

1. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu.

2. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Sementara itu, faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu.


Kata “sementara itu” disebut sebagai kata transisi (dapat diletakkan di awal kalimat). Selain kata “sementara itu”, beberapa kata transisi pertentangan yang juga dapat digunakan, yaitu “namun”, “akan tetapi”, “sebaliknya”, “lain halnya”, atau ”lain halnya dengan ....”

Catatan tambahan: Sama halnya dengan kata “sedangkan” , kata “dan” dan “atau” juga tidak boleh diletakkan di awal kalimat.

2.                  Sehingga

Kata  “sehingga” ini juga sering keliru. Contoh kasus:

Penelitian ini baru terbatas pada subjek berjenis kelamin pria. Sehingga penelitian selanjutnya dapat menggunakan subjek berjenis kelamin wanita.

Kata “sehingga” adalah kata hubung sebab-akibat yang tidak bisa diletakkan di awal kalimat. Jika kata “sehingga” diletakkan di awal kalimat, kita akan bertanya-tanya mana penyebabnya? Pak/Bu, penyebabnya itu lho bisa dibaca di kalimat sebelumnya. Sebuah cara ngeles yang pintar, tetapi tidak logis, Nak.

Lalu, bagaimana kita dapat mengakali kalimat contoh kasus tersebut? Caranya:

1. Penelitian ini baru terbatas pada subjek berjenis kelamin pria sehingga penelitian selanjutnya dapat menggunakan subjek berjenis kelamin wanita.

2. Penelitian ini baru terbatas pada subjek berjenis kelamin pria. Oleh sebab itu, penelitian selanjutnya dapat menggunakan subjek berjenis kelamin wanita.


Kata hubung “oleh sebab itu” adalah kata transisi sebab-akibat yang dapat diletakkan di awal kalimat. Selain “oleh sebab itu”, kata transisi lain yang dapat digunakan adalah “akibatnya” dan “maka”.

3.                  Di Mana

Bahasa Indonesia tidak mengenal relative pronouns, seperti who, which, whom, whose, where, when, atau that. Semua relative pronouns tersebut tidak boleh diterjemahkan menjadi kata “di mana”. Bahasa Indonesia tidak mengenal kata “di mana” sebagai kata hubung.

Bagaimana menerjemahkan kalimat bahasa Inggris yang memiliki relative pronouns? Salah satu caranya dapat diganti dengan kata “yang”.

Do you know the boy whose mother is a nurse?
Kenalkah kamu dengan anak laki-laki yang Ibunya seorang perawat?

Online game designers create virtual communities in which players can assume any role they desire . . .
Para perancang online game menciptakan komunitas-komunitas virtual yang pemain-pemainnya dapat mengambil peran apa saja yang mereka sukai . . .

4.                  Jika…, maka…

Bahasa matematika dan bahasa pemrograman komputer mengenal pernyataan persyaratan (conditional statement) berupa if…, then…. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya adalah jika…, maka…  Di dalam bahasa Indonesia, “jika” dan “maka” kedua-keduanya adalah kata hubung untuk level kalimat majemuk bertingkat.

Sayangnya, aturan kebahasaan Indonesia tidak mengizinkan dua buah kata hubung level kalimat majemuk bertingkat berada dalam satu kalimat karena dapat membingungkan. Singkatnya, pasangan jika-maka tidak bisa digunakan.

Jadi, pada contoh kasus:

Jika langit mendung, maka hujan sebentar lagi turun.

Kita dapat memperbaikinya dengan menghilangkan salah satu kata hubung.

Jika langit mendung, hujan sebentar lagi turun. --> jika ingin membentuk kalimat syarat

Langit mendung maka hujan sebentar lagi turun. --> jika ingin membentuk kalimat sebab-akibat

Sebetulnya ketika SMA, saya sudah diajarkan demikian. Jika-maka tidak boleh digunakan berpasangan. Namun, beberapa dosen yang saya kenal mengimbau menggunakan pasangan kata itu. Saya pun jadi keasyikan menggunakannya. Hehe. Akan tetapi, saya putuskan akan kembali lagi kepada aturan yang berlaku. Jika saja atau maka saja. Lebih hemat, lebih baik.

Catatan tambahan: Beberapa pasangan kata berikut sudah benar adanya oleh aturan kebahasaan Indonesia, seperti

Baik… maupun…
Antara… dan…
Tidak hanya…, tetapi juga…
Bukan…, melainkan…

Bahasa Inggris pun tidak mengenal if…, then… Untuk membuat conditional sentence, cukup gunakan if saja.

Penutup

Di dalam konteks nonilmiah (cerpen, buku harian, puisi, dsb), kata “sehingga” dan “sedangkan” masih boleh diletakkan di awal kalimat. Begitu pun dengan kata “di mana”, “jika…, maka…”, dan lain sebagainya. Lain halnya, pada makalah ilmiah yang menuntut adanya logika. Mengapa? Karena dalam makalah ilmiah, seperti skripsi, setiap kalimat mesti dapat dipertanggungjawabkan dan itu dipertanggungjawabkan secara pribadi (bukan malah dipertanggungjawabkan oleh pengarang-pengarang yang dikutip ya).

Akibat sering ditemukan kata-kata hubung yang tidak tepat guna, saya membuat tulisan ini. Dengan demikian, apa yang salah bisa diluruskan kembali. Saya juga tidak perlu lagi menerangkan berjuta-juta kali ke orang-orang yang naskahnya pernah saya periksa. Jujur, memperbaiki hal-hal yang sama berkali-kali itu…sangat membosankan!

Sumber tulisan yang digunakan antara lain, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi karangan E. Zainal Arifin dan S. Amran Tasai, Wikipedia, ingatan ketika SMA, dan sumber-sumber lain yang tidak saya catat.

Selamat bermakalah

8 Juli 2012

Lewat Djam Malam: Sebuah Mahakarya

Seminggu yang lalu, saya ke Plaza Senayan menonton film di bioskop. Lah, nonton film kok sampai jauh ke Senayan? Karena film yang akan saya tonton pasti tidak akan menambah minat teman-teman saya untuk ikut serta. Tidak seperti orang pada umumnya, saya lebih suka nonton film di bioskop sendiri saja. Alasannya, kalau bawa teman, pasti banyak celotehan yang terkadang membuat saya tidak fokus. Lagipula, saya lebih terbiasa menonton tanpa bicara sehingga bisa lebih fokus mencerna jalan cerita. Kalau pergi bersama teman-teman, saya lebih suka aktivitas yang ada ngobrolnya, seperti nongkrong, bermain kartu, atau makan-makan. Tetapi nanti, kalau pergi nonton bersama pacar? Ah, itu belum tahu akan menjadi seperti apa. Haha.

Oke, jadi film apa yang saya tonton? Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, film produksi tahun 1954. Kalau dlihat tahun produksinya, sudah jelas film ini film hitam-putih. Film ini ditayang ulang setelah dilakukan pemugaran kembali (restorasi) oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation. Bisa sampai dipugar ulang, jelas film ini berkualitas pada eranya saat itu.


Sutradara: Usmar Ismail
Penulis Cerita: Asrul Sani
Pemain: A.N. Alcaff, Netty Herawati, Dahlia
Durasi: 101 Menit    
   
Bagaimana sih film jadul berkualitas itu, tentu membuat saya tertarik menonton. Jangan bandingkan dengan film Soegija yang sama-sama mengambil latar cerita tahun 1950-an, dari segi sinematografi, Lewat Djam Malam tentu kalah kualitas. Tidak ada pergerakan kamera, kameranya cenderung statis mengambil 1 titik saja. Alunan musiknya juga kalah kelas. Gambarnya juga agak buram. Tetapi, jalan ceritanya tidak bisa dianggap remeh.

Berikut sinopsis versi saya sendiri. Awas ada spoiler (bocoran) akhir cerita.

Diceritakan Iskandar (A.N. Alcaff) sedang mengalami kegalauan sepeninggal ia dari dunia ketentaraan. Ia bermimpi berusaha ternak ayam, tetapi malah disuruh kerja di kantor pemerintahan. Belum ada sehari ia bekerja, ia langsung dipecat. Kemudian, ia mencari teman-teman seperjuangan dan mantan komandannya untuk curhat. Dari cerita Gafar, temannya yang sekarang jadi pemborong, ia mendapati bahwa mantan komandannya, Gunawan, menjarah harta keluarga pemberontak untuk modal usahanya. Eksekutor keluarga pemberontak itu adalah Iskandar sendiri!

Meletus amarah Iskandar mengetahui mantan komandannya itu telah mengkhianati perjuangannya. Bersama Puja, temannya yang sekarang menjadi germo, Iskandar mencoba menuntut balas. Iskandar kemudian meninggalkan pesta besar-besaran yang diadakan oleh tunangannya Norma (Netty Herawati) yang dibuat khusus untuk merayakan kepulangannya dari dunia ketentaraan.

Jiwa revolusi yang masih bersemayam di dada Iskandar membuatnya melakukan tindakan bodoh, menembak mati Gunawan. Iskandar merasa menyesal dengan tindakannya itu dan memutuskan kembali ke rumah Norma. Ia lupa Indonesia pada masa itu memberlakukan Jam Malam, yang mana orang-orang tidak boleh keluyuran di atas jam 10 malam. Kalau tidak menepati, akan ditangkap atau ditembak mati. Benar saja, ia ditembak mati oleh pasukan jaga malam, tepat di depan rumah Norma.

Film ini mencoba mengingatkan kita untuk tidak lupa pada jasa-jasa tentara yang gugur demi mempertahankan kemerdekaan, dan untuk memberikan rasa hormat kepada mantan tentara yang maju ke medan perang. Tampak jelas pesan itu di akhir cerita, "Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri."

Salah satu tokoh yang menarik perhatian adalah Laila (Dahlia), pelacur yang mencoba menarik simpati Iskandar sampai perlu melepas baju luarnya. Aktingnya sebagai pelacur yang dicampakkan oleh suaminya sangat memikat dan sedikit mengiris-iris hati. Makanya, pada Festival Film Indonesia tahun 1955, ia diganjar piala Aktris Utama Terbaik. Selain Dahlia, A.N. Alcaff memenangkan piala Aktor Utama Terbaik. Lewat Djam Malam juga memenangkan piala Penulis Naskah Terbaik (Asrul Sani) dan Film Terbaik.

Oya, salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah penggunaan bahasa dalam dialog. Jangan harap, ada bahasa lo dan gue. Bahasanya itu amat-sangat puitis, seperti:

"Ke mana-mana, kau kucari."

"Pikiranku tak tetap."

"Hatiku tak bisa sentosa."

"Barangsiapa yang tidak dapat melupakan masa lalu, akan hancur." (saya agak kurang setuju, terkadang masa lalu bisa dijadikan pelajaran)

Penggunaan bahasanya itu pasti bisa membuat ABG zaman sekarang pada mikir. Haha. Di tengah-tengah cerita, ada nyanyian Rasa Sayang-Sayange dan Potong Bebek Angsa yang semakin menambah cita rasa Indonesia. Tidaklah mengejutkan, salah satu tabloid menyebut film ini sebagai mahakarya, bukan lagi karya.

Mudah-mudahan, akan semakin banyak film jadul berkualitas yang tayang di bioskop kita. Semoga.

4 Juli 2012

Kesimpulan vs Simpulan: The Conclusion is...

Dulu yang sering dipakai adalah kesimpulan. Mengapa sekarang harus simpulan? Memang apa bedanya? Untuk mengetahuinya, mesti memerrhatikan pola berikut

Kata dasar      Kata kerja                Pelaku               Proses                Hasil

Tulis               Menulis                      Penulis                Penulisan             Tulisan
Tanam            Menanam                  Penanam            Penanaman          Tanaman
Layan             Melayani                    Pelayan              Pelayanan            Layanan
Pecah             Memecahkan              Pemecah            Pemecahan          Pecahan
Simpul            Menyimpulkan            Penyimpul           Penyimpulan        Simpulan

Pola imbuhan ke- + -an digunakan untuk mengubah kata dasar berupa adjektiva (kata sifat) menjadi kata benda (nomina). Contoh, lelah menjadi kelelahan, berani menjadi keberanian, malu menjadi kemaluan. Ups. Haha. Proses ini sama halnya dengan yang ada dalam bahasa Inggris, misal brave menjadi bravery atau shy menjadi shyness. Dalam bahasa Inggris, bravery atau shyness disebut sebagai abstract noun (kata benda abstrak). Tetapi, kemaluan bisa abstrak, bisa konkret dalam bahasa Indonesia lho. Aduh, mengapa dibahas. Hehe.

Jadi, mana yang benar: kesimpulan atau simpulan?

Jawabannya, simpulan, bukan kesimpulan. Sudah sangat jelas, simpul bukan adjektiva.

2 Juli 2012

Pidato yang Bernilai 80

Ada satu pidato yang pernah saya bawakan ketika SMA kelas 3 dan mendapat aplaus meriah dari teman-teman dan pujian dari guru bahasa Indonesia saya. Pidato tentang apakah itu? Tidak seperti teman-teman saya yang lain yang membawakan tema pidato "go green", "narkoba", atau "kenakalan remaja", saya membawakan pidato dengan tema tidak umum, yang bisa membuat wah para remaja, yaitu tema tujuan hidup.

Berikut ringkasan pidatonya (dengan sedikit editing) yang kebetulan masih saya simpan.

Selamat siang Ibu Damayanti dan teman-teman. Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kita masih dapat berkumpul di tempat ini. Pidato yang akan saya bawakan adalah mengenai (cara mencapai) tujuan hidup.

Apa tujuan hidup teman-teman? Saya punya seorang teman. Impian terbesarnya adalah membangun perusahaan besar, menjadi seorang CEO. Kalian pasti sudah mengenal orang tersebut. Sudahkah kalian seperti dia, menentukan tujuan hidup? Berbahagialah bagi yang sudah.

Pertanyaan berikutnya, seberapa besarkah tujuan hidup Anda? Orang besar tentunya lahir dari impian besar. Impian yang besar dapat terwujud bila didukung dengan cara berpikir yang besar dan tindakan besar.

Apa itu cara berpikir besar? Berpikir besar bukanlah membesarkan suatu masalah, melainkan membesarkan image yang melekat pada diri kita, yaitu dengan sebuah keyakinan. Namun sayang, masalah yang paling pelik yang sering menimpa orang adalah sindrom inferioritas. Suatu penyakit di mana kita mencela diri sendiri. Maksudnya begini, kita sering kali mengucapkan kata "tidak bisa" pada diri kita.

Coba Anda hitung berapa kali Anda mengatakan "tidak bisa" pada diri sendiri dibandingkan dengan kata "bisa"? Pasti lebih banyak yang "tidak bisa". Bayangkan bila dalam sebuah rapat seorang manager beserta anak buahnya dimintai menangani proyek besar. Lalu, sang manager tersebut mengatakan "tidak bisa". Tentu saja, yang terjadi adalah aura kekalahan akan menyelimuti ruangan rapat itu.

Memang, yang namanya kegagalan sering datang bertubi-tubi. Misalkan, ada seorang cowok yang ingin mendapatkan pujaan hatinya. Cara yang bisa dia lakukan adalah 3B. Pertama, Berusaha. Berusaha dengan segala jenis bujuk rayu. Kedua, Berdoa. Berdoa siang-malam. Namun, dia telah berusaha dan berdoa, tetap saja gagal mendapat pujaan hatinya. Itu artinya dia mesti melakukan B yang ketiga, yaitu Bercermin. Maksudnya, lihat ke diri sendiri. Mungkin ada yang salah dengan dirinya.

Tetapi, lihat ke diri sendiri itu harus yang seperti apa? Cermin itu juga digunakan untuk berdandan, agar kita tampil lebih baik. Jadi, kita jauh lebih ganteng/cantik, pintar, hebat dari yang kita duga. Contohnya saja, ulangan mate barusan, ngomongnya "tidak bisa" mengerjakan, eh ternyata pas tahu hasilnya dapat 70 atau 80. Ternyata "bisa", kan. Jadi, mengapa harus sering bilang "tidak bisa"? Jadi, hapus kata "tidak bisa" menjadi "bisa".
Baiklah, jika ada yang merasa memang punya banyak ketidakbisaan. Namun, kita itu kan punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Terlepas dari itu, sebetulnya kita punya kesempatan yang sama.

Apalah artinya punya impian besar dan keoptimisan bila tidak disertai tindakan. Impian besar bila ditindaklanjuti, tak akan menjadi apa-apa. Impian besar membutuhkan pengorbanan yang besar dalam meraihnya. Namun, sering kali kita tak ingin berkorban, tak pernah memulai sebuah tindakan, atau malah memikirkannya saja.

Perlu kalian ketahui, setiap tindakan akan mengundang risiko dan setiap tujuan akan mengandung hambatan. Kita tak akan bisa menghapus risiko dan hambatan yang muncul. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapinya, atau... baiknya pergi sejauh mungkin.

Ketahuilah sahabat, yang paling penting untuk kalian pikirkan saat ini bukan di mana Anda berada sekarang, melainkan ke mana Anda akan berada nantinya.

Apa lagi yang Anda tunggu? Tutup mata Anda dengan segala kemungkinan dan hasil yang akan Anda dapati. Bila ada impian yang ingin Anda capai, segeralah tentukan langkah-langkahnya dan kemudian lakukanlah!

Demikian, pidato dari saya. Atas perhatian teman-teman, saya ucapkan terima kasih. Salam sukses.

Itulah pidato yang mendapat nilai 80, nilai tertinggi di antara nilai teman-teman saya yang lain. Pidato yang tampaknya membuat reaksi teman saya sebentar mereka terpingkal-pingkal (versi live-nya cukup mengundang tawa), sebentar mereka mungkin berpikir panjang (atas masa depan). Waktu itu, kata galau belum ngetren.

Pidato tersebut jika disimak ulang memang memiliki ide pikiran yang melompat-lompat. Hehehe. Soalnya hanya semalam saya membuat kerangka serta ringkasan naskahnya. Pidatonya sendiri terinspirasi dari buku Berpikir dan Berjiwa Besar karya David J. Schwartz, salah satu buku favorit saya, yang memupuk benih-benih kepercayaan diri saya, yang menancapkan pemikiran di benak saya bahwa saya harus menjadi orang berhasil (sukses) suatu hari nanti.

Pidato tersebut rupanya masih relevan untuk keadaan saya saat ini, dan mungkin untuk keadaan teman-teman. Ayo sama-sama kita jadi orang berhasil!


Note:
Saya punya seorang teman. Impian terbesarnya adalah membangun perusahaan besar, menjadi seorang CEO. Teman di sini adalah teman sekelas saya yang waktu itu sering berkata bahwa 25 tahun mendatang dia akan jadi seorang bos besar.