Apakah mungkin kita bisa bertemu lagi?
Kukendarai
motorku dengan kecepatan tinggi. Tiba di parkiran, aku langsung berlari
secepat-cepatnya menuju ke tempatmu. Aku sampai di sana tepat ketika acara
berakhir dengan peluh di sekujur tubuhku.
Sebelum kumasuki ruangan aula, aku membeli sebuah merchandise di counter penjualan suvenir. Sebuah boneka beruang yang memakai toga. Aku tidak paham mengapa beruang
diidentikkan dengan wisuda. Mungkin karena rupanya yang imut dan ia dapat
berdiri dengan dua kaki. Setidaknya lebih mending daripada jika harus memakai
boneka kera. Karena tak ada kertas kado, jadilah kertas koran yang digunakan untuk
membungkus. Ah, malu rasanya. Tetapi demi seseorang yang istimewa di hati, apa
boleh buat. Yang penting tujuannya.
Para wisudawan
tumpah ruah mengisi seluruh ruangan. Mereka sibuk berfoto-foto, entah dengan
dosen, orangtua, atau teman-teman terdekat. Manusia memang senang menyimpan
sesuatu untuk dikenang. Seperti halnya diriku sekarang... Aku juga ingin
memiliki kenangan bersama dirimu di momen bersejarahmu ini.
Ketika aku
melangkahkan kaki ke dalam aula, aku merasa seolah kembali ke masa lalu. Dulu
aku pernah di sini dengan balutan toga yang persis sama. Rasa haru
menyelimutiku. Rasanya baru kemarin aku bahagia. Kebahagiaanku kini sekali lagi
terulang, tetapi itu karena aku merasakan kebahagiaanmu.
Tidak butuh waktu
lama ketika ada yang memanggil namaku. Teman-temanmu. Mereka keheranan kenapa
aku bisa ada di sini. Begitu pun dirimu.
Akhirnya aku
kembali melihatmu setelah sekian lama. Dengan balutan kebaya, kamu tampak
semakin berbeda. Kamu bagaikan putri raja. Memang harusnya begitu. Ini hari
kemenanganmu. Dan, kamu layak merayakan dengan cara seperti ini.
Dan, tidak butuh
waktu lama pula, aku terseret ke dalam arus foto-foto bersama. Dalam kesempatan
ini, aku meminta izin untuk berfoto berdua denganmu. Percayalah, lama berhubungan
denganmu, aku tak pernah berfoto bersamamu. Tentu saja menjadi agak aneh kalau
tiba-tiba aku meminta foto berdua denganmu kala itu. Tetapi untuk momen seperti
ini, siapa yang tidak mengizinkan. Semua orang diliputi kegembiraan. Semua
orang sedang tidak peduli dengan masalah yang lain. Jadilah ini foto pertamaku
yang bisa berdua denganmu.
Tetapi,
penantianku bukan tentang berfoto atau bertemu denganmu.
”Eh, boleh kita
bicara sebentar?”
”Hah? Ada apaan
Kak?”
”Ada yang ingin
kusampaikan, tetapi lebih baik di sana saja. Tidak akan lama kok.” Aku menujuk
ke arah koridor yang berada di samping aula.
Kamu awalnya
enggan, tetapi aku tahu bahwa kamu tidak akan menolak. Kamu anaknya lugu dan
tidak pernah menaruh curiga. Itu salah satu yang kusuka darimu.
”Ada apa ya Kak?”
”Ini,” aku lalu
memberikan bungkusan kertas koran itu untukmu. Seperti yang kuduga, kamu pasti
terkejut. Terkejut karena bungkusannya, aku rasa.
”Aku kan belum
berulang tahun.”
”Memang kalau
kasih hadiah, harus tunggu ulang tahun ya.”
”Ehm, jangan
dibuka sekarang ya,” kataku saat kau menerimanya.
”Isinya apaan sih?
Gorengan ya?”
”Ya, ini gorengan
mahal. Aku minta Abangnya goreng khusus untukmu. Terdengar sangat garing tidak?”
Kamu lalu nyengir mendengar leluconku. ”Iya,
sangat garing,” katamu. ”Terima kasih ya Kak. Kakak baik banget padaku,” katamu
lagi.
Aku tersenyum
mendengarnya. Aku baik pada setiap orang, seperti katamu bahwa aku ini senior yang
pintar dan baik hati. Tetapi, untukmu, aku akan selalu baik. Aku rela menjadi
orang baik demimu. Setiap bantuan yang kuberikan adalah bentuk ketulusanku.
Di saat seperti
ini aku membayangkan ada dentingan piano yang mengalun lembut. Mengiringi
percakapan di antara kita berdua.
”Ada sesuatu lain
lagi yang ingin kuberikan kepadamu. Tetapi, ini bukan sebuah benda.”
Di saat seperti
ini aku membayangkan dentingan piano berpadu dengan gesekan biola. Ada tensi
tinggi yang tercipta. Tensi itu mencapai klimaksnya saat kumulai mengatakan...
”Sejak dulu aku ingin
sekali mengatakan hal ini,” aku diam sebentar. Kupastikan tidak ada keributan
yang dapat membuatmu tidak jelas mendengar, lalu kukatakan, ”aku suka kamu.”
Di saat seperti
ini aku membayangkan musik orkestra mengalun megah. Suara drum bergemuruh
memberikan efek kejut kepada siapa pun yang mendengarkan, termasuk dirimu.
Lalu, musik berhenti. Kemudian hening. Aku bisa merasakan jeda begitu panjang
karena kamu pasti mencoba mencerna isi pernyataanku, meski tadi sudah sangat
jelas kukatakan.
Aku tak ingin
kamu jadi salah tingkah, maka biarkan diriku yang memecah kebisuanmu itu.
”Kamu enggak
kaget kan,” kataku mencoba menerka bahwa kau sudah tahu mengenai isi hatiku.
”Ee... Gak sih...
Banyak cowo yang emang suka aku kok,”
katamu akhirnya. Aku tidak menganggapnya sebagai jawaban yang jujur darimu. Kamu
bermaksud melucu, aku tahu. Jawabanmu mengartikan bahwa terkaanku salah. Kamu
tidak tahu isi hatiku selama ini.
”Aku tidak peduli
dengan cowo yang lain. Tetapi, aku serius bilang yang tadi itu kepadamu,”
tegasku.
Kemudian hening
lagi. ”Tapi, Kakak sudah seperti Kakak bagiku...”
Sebuah alasan klasik.
Aku tidak
menganggap alasan itu sebagai penolakan. Tidak sama sekali tidak. ”Kamu pasti
butuh waktu memikirkan apa yang kukatakan, sebaiknya kamu kembali. Tuh, teman-temanmu
memanggil.”
Kamu menoleh ke
aula dan memang benar teman-temanmu memanggilmu.
”Pergilah. Tidak
enak bila kau dan aku di sini terus. Aku juga harus segera pergi. Nanti kita
lanjut dengan SMS-an aja ya,” ujarku sambil melirik jam.
Kulihat dirimu
enggan beranjak, tetapi perlahan kamu pun memutuskan pergi.
Di saat seperti
ini aku membayangkan hanya gesekan biola saja yang mengalun. Mengiringi kepergianmu.
Bahkan, di saat seperti ini aku membayangkan kamu bergerak pergi dengan sangat
lambat karena aku tidak ingin kamu begitu cepat hilang dari pandanganku.
Jangan pergi,
teriakku dalam hati. Kemudian, aku memanggil namamu lagi, ”Apakah kelak kita
dapat bertemu kembali?”
”Gak tahu. Semoga aja deh Kak.”
Inilah sentuhan
terakhir yang dapat kuberikan kepadamu... sebuah cinta.
selesai?...