Page

29 September 2013

Arti Sebuah Harga Diri

Saya kutip sebuah cerita dari yang di-share oleh seorang romo di Facebook-nya. Ceritanya sangat bagus.

Seorang biksu dengan pakaian dekil datang memohon sumbangan ke rumah seorang saudagar kaya. Saudagar kaya itu merasa sebal dengan penampilan si biksu dan mengusirnya pergi dengan kata-kata kasar.

Beberapa hari kemudian seorang biksu besar datang dengan jubah keagamaan yang mewah dan berkilauan, memohon sedekah ke saudagar kaya tersebut. Si saudagar kaya segera menyuruh anak buahnya untuk menyiapkan makanan (vegetarian tentunya) mewah untuk si biksu. Lalu ia mengajak si biksu untuk menikmati makanannya.

Si biksu meninggalkan jubah keagamaannya yang mewah, melipatnya dengan rapi dan meletakkannya di atas kursi meja makan. Katanya, "kemarin AKU datang dengan pakaian usang dan anda mengusirku. Hari ini AKU datang dengan pakaian mewah, dan anda menjamuku. Tentunya makanan ini bukan untukKu tapi untuk jubah ini". Setelah berkata demikian si biksu tersebut berlalu, meninggalkan si saudagar yang kaget.

Lantas biksu itu menyimpulkan:
"Kalau ternyata bukan diriKu,
melainkan pakaianKu yang dihormati,
mengapa AKU mesti senang?"
"Dan, kalau ternyata bukan diriKu,
melainkan apa yang Kupakai yg dihina,
mengapa AKU mesti sedih?"

Demikianlah manusia, lebih sering menghormati yang melekat pada diri orang,seperti:
- apa yang dipakai atau pakaian yang dipakai atau
- kekayaan atau
- jabatan seseorang.

BUKAN PRIBADI keberadaan orang itu sendiri

Maka...
Jika engkau dihormati orang,
jangan bangga diri...
 

Dan kalau pun jika engkau tidak dihormati,
jangan kecewa dan bersedih diri,
sebab....
Engkau tetap sebuah harga.

Siapa pun yang merendahkan kamu saat ini... Jangan membuat kamu runtuh
 

Cerita di atas mengingatkan saya tentang uang yang jatuh ke got. Katakanlah nominalnya seratus ribu. Jatuh ke got yang sangat kotor. Anda mau ambil? Tidak mau? Lah, tetapi itu uang seratus ribu lho. Biarpun kotor dan dekil, ketika dipakai untuk bertransaksi, harganya tetap seratus ribu. Tak kan kurang. Masalah kotor, tinggal dicuci saja. Beres toh, repot amat.

Pada dasarnya semua manusia itu harganya tidak ada. Tidak ada bukan berarti tidak berharga sama sekali. Waktu seseorang lahir, kan tak ada yang melabeli, "oh ini manusia harganya sejuta, satu miliar." 

Sumber gambar: intentblog.com
Yang menentukan harga diri ini adalah diri sendiri. Anda mau hargai diri Anda berapa? Susahnya ketika orang-orang menentukan harga dirinya dengan apa yang dipakai dan apa yang dimiliki, termasuk penilaian orang (wah, kamu hebat, kamu cantik, kamu ganteng, kamu kaya, dsb).  

Keberhargaan diri manusia memang seringkali mengacu apa yang dipakai dan apa yang dimiliki. Banyak orang mengejar kemewahan: membeli gadget mahal, rumah besar, pakaian bagus. Sebagian lainnya mengejar pendidikan atau jabatan yang tinggi. Kesemuanya hanya untuk menambah keberhargaan diri ini. Namun, jangan sampai itu membuat kita angkuh atau terlena. Karena apabila itu semua hilang, habislah kita.

Jangan biarkan apa yang ada di luar menghancurkan kita. Lebih konyolnya, bila kita menghancurkan diri kita sendiri. Jadilah manusia yang berharga!

27 September 2013

Buku Pertama

Saya sering mengidam-idamkan membuat sebuah novel (buku fiksi), malah yang terjadi, saya lebih dulu menerbitkan buku nonfiksi, yang berjudul "Mahir Menggunakan SPSS Secara Otodidak". Saya tulis buku ini bersama sahabat kampus saya yang sekarang menetap di Karawang, Yonathan Natanael.



Perjalanan menulis buku ini terbilang unik. Awalnya tidak ada hasrat mengajukan buku ke penerbit, apalagi berangan-angan agar buku ini diterbitkan di penerbit PT Elex Media Komputindo. Ya, sama sekali tidak ada tujuan ke arah sana. Buku ini sebelumnya dibuat dalam versi yang terbilang "berani", yaitu Gaul dengan SPSS. Menuliskan buku tutorial dalam bahasa gaul. Haha. Sebuah ide yang aneh. Sebagian orang pun sudah pernah membaca tulisan awal itu.

Iseng-iseng, saya mengajukan "Gaul dengan SPSS" ini ke PT Elex Media Komputindo dan tentu saja hasilnya ditolak untuk diterbitkan. Tetapi, yang kemudian terjadi adalah kami ditawari membuat buku dengan judul baru. Itulah buku yang sekarang dijual di toko-toko buku.

Saya senang sekali melihat karya saya sendiri bisa dipegang dan dilihat oleh banyak orang. Cita-cita saya sejak dulu menjadi penulis kini telah terwujud. Tapi, ini hanya langkah awal. Karena masih banyak ide di kepala saya untuk dapat diwujudkan menjadi kenyataan, dan saya mau berkarya lebih banyak lagi.

15 September 2013

Kerja Keras

Kalau menyimak komentar teman-teman saya dulu, sepertinya saya ini dianggap sebagai orang yang cerdas. Tetapi, kalau diingat-ingat sewaktu saya SD dulu, saya pernah dapat ranking 1 baik di rapor bulanan maupun di rapor caturwulan. Perlu saya kasih tahu, semasa saya SD, saya tidak pernah les. Jadi, saya belajar sendiri. Untuk kategori orang yang tidak les, bisa ranking 1, luar biasa bukan? Dan itu terjadi pas kelas 4 SD, yang merupakan masa-masa jaya saya. Artinya, memang bawaannya saya pintar ya. Hehe.

Karena dapat ranking 1, saya menjadi sorotan. Dikagumi para guru dan teman (Hmmm.... sepertinya sih gitu :D). Ketika naik kelas 6 SD, terjadi penurunan nilai. Rasanya semenjak saat itu, saya tidak pernah mencicipi ranking 1, boro-boro dapat 3 besar. Lalu, masuk SMP, SMA, saya cuman jadi medioker.

Lanjut ke masa kuliah, saya menjadi sorotan lagi. Dikagumi para dosen, junior, dan teman seangkatan (Kayaknya sih, gitu ya :D). Saya punya nilai IPK yang memuaskan sampai kemudian berakhir menjadi lulusan terbaik di wisuda. Beberapa teman kampus saya mungkin iri dengan kepintaran saya (lagi-lagi sepertinya gitu ya). Ada teman kampus saya yang berkata jujur, dia iri dengan kepintaran saya, "Aduh, rasanya pengen deh punya otak pintar kayak lu."

Saya cuman menanggapi santai pernyataan lucu itu. Saya hanya menjawab, "Rasanya gue juga mau bisa pintar main musik kayak lu." Kebetulan teman saya yang bertanya ini piawai dalam memainkan instrumen musik.

Sebenarnya mudah sekali untuk punya otak pintar. "Belajarlah dengan tekun, hai kawan. Maka, kamu akan punya otak pintar sepertiku."

Banyak orang yang mengabaikan apa itu kerja keras. Saya percaya tidak ada instan di dunia ini. Semua butuh proses. Bahkan, memasak mie instan juga perlu proses. Orang-orang pintar semacam saya, janganlah beranggapan saya belajar hanya menghabiskan hitungan menit apalagi ditambah dengan keluhan-keluhan.

Segala sesuatu yang berhasil selalu diawali dengan sikap mau berhasil. Jadi, ketika kuliah dimulai, saya datang tidak terlambat apalagi pakai acara bolos. Saya menahan diri untuk mengobrol dengan teman sebelah, membuka handphone, dan mencoba mencatat atau mencerna sebanyak mungkin omongan dosen. Mengerjakan tugas kuliah pun dengan sungguh-sungguh. Tidak menyontek dan tidak seadanya. Yang penting tugas kumpul, nilai nomor sekian... ah... gak begitu cara pikir saya.

Ketika ujian, saya menghabiskan waktu belajar lebih lama, berjam-jam. Ada juga yang berhari-hari, artinya saya menyicil bahan dari hari-hari sebelumnya. Untuk istilah yang tidak saya mengerti, saya mencari tahu baik lewat Mr. Google atau membaca buku. Saya benar-benar fokus.

Buku-buku kuliah itu kebanyakan menggunakan bahasa Inggris. Orang-orang mengeluh pusing membaca buku bahasa Inggris. Tapi, saya tidak mau mengeluh. Istilah-istilah yang tidak saya mengerti, saya cari di kamus. Kadang-kadang saya baca berkali-kali sampai saya mengerti. Ada juga yang tidak saya mengerti, terus saya kira-kira sendiri saja artinya. Hehe.

Belajar lebih keras, belajar lebih lama, bukan artinya saya tidur jadi lebih sedikit. Salah besar. Saya juga tidur lebih lama kok. Apalagi saya ini yang tipenya suka bangun siang. Makanya, kuliah pagi-pagi saya sering ngantuk. Hehehe. Banyak orang belajar gila-gilaan. Bahan segepok dipelajari seharian penuh. Ya salah besarlah. Memang otak manusia itu robot, tidak butuh istirahat. Kerja keras itu benar. Tetapi, harus dipahami bahwa kita harus bekerja dengan cerdas pula.

Untuk soal ujian yang nantinya berbentuk Pilihan Ganda tentu punya strategi belajar yang berbeda untuk soal ujian yang berbentuk Esai. Kepandaian tidak datang dari soal besar usaha, tetapi juga menyangkut kecerdikan dalam mencari jalan keluar. Ketika satu cara tidak berhasil, segera cari cara baru. Begitulah. Jadi, orang yang pintar dengan orang yang bekerja keras itu saling berhubungan, bukan?

Untuk mencapai hasil yang lebih baik, sudah barang tentu ada pengorbanan yang setimpal. Saya yakin kepandaian teman saya itu dalam memainkan alat musik pasti juga lahir dari kerja keras. Andaikan ia juga menerapkan cara yang sama dalam belajar di dunia kuliah. Atau minimal ia mau meningkatkan sedikit kadar usahanya itu. Ahhh... Andai saja ya...

Seringkali kita mendengar istilah, "Semua indah pada waktunya." Ya, saya percaya semua akan indah... tetapi saya lebih percaya yang indah-indah itu baru bisa terjadi bila diusahakan. Semua indah pada waktunya bila kita mau bekerja keras.