Page

30 Desember 2012

Cewek Cool

Saya bertanya pada Mariyana suatu kali lewat YM, ”Kapan pertama kali kita bertemu?” Dia jawab, ”Lupa.” Mungkin saat di kelas Psikologi Orang Dewasa atau kelas Agama Buddha, saya kurang berkesan di matanya. Haha. Di kedua kelas itu, saya pertama kali melihatnya. Harusnya bagi dia juga, pertama kali melihat saya. Saat itu kami semester 2. Tidak ada perkenalan secara formal sebetulnya. Tetapi, saya cukup mengingatnya. Gadis yang berbadan kecil, tetapi saat presentasi, nada bicaranya meyakinkan dan ada semangat. Busana yang sering ia kenakan kalau ke kampus adalah kaus berkerah dan celana jeans. Namun, tidak ada kesan tomboy atau cowo banget, tetapi memang saya rasa dia tidak menyukai gaya feminin atau anggun. Menurut saya, dia itu cool.

Siapa yang tahu selanjutnya di semester 5, kami baru mulai akrab. Pertemanan dimulai saat semester itu. Karena apa bisa akrab? Karena BEM F.Psi. Whew... Organisasi ”menyebalkan” itu yang sudah sempat disinggung di sini, di sana, dan eeeh di sana juga ada ya, rupanya ada sedikit manfaat selain mudaratnya. Setidaknya, saya bisa bertambah beberapa teman, dan... kayaknya beberapa ”musuh” juga sih. Haha. Jadi, di tahun ketiga menjadi mahasiswa, Mariyana diajak gabung serta ke dalam BEM F. Psi. dan terpilih menjadi Koordinator Seksi Hubungan Masyarakat. Otomatis, dimulailah saat-saat saya mesti bekerja sama dengannya menyukseskan sejumlah acara.

Kemudian, nanti pas semester 7 dan 8, kami menjadi teman senasib dan seperjuangan. Kami mengajukan proposal skripsi di bawah supervisi dosen yang sama. Hanya saja, di penghujung perjuangan drama skripsi, saya tidak senasib dengannya. Maksudnya adalah nasib akhir. Dia wisuda lebih dulu. Melangkahkan kaki lebih dulu untuk masuk ke dalam dunia kerja.

Itulah sedikit cerita tentang Mariyana. Asalnya Tanjung Pinang. Seorang anak yatim. Seorang pecinta game. Hobinya dulu di Facebook adalah bermain game. Mafia Wars adalah favoritnya saat itu. Saya bisa tahu karena saya dulu juga mantan mafia ”di sana”. Hehe. Anaknya sederhana dan penuh perhitungan.

Dia adalah teman chatting yang asyik, karena bisa diajak bicara apa saja. Selain itu, tentu saja sebagai anak kos-an yang kadang waktu tidurnya tidak menentu, sehingga dia bisa diajak ngobrol pas malam-malam jenuh atau galau. Tentu saja, itu kejadian sewaktu kami berdua masih mahasiswa. Masih punya semangat untuk begadang. Lain cerita sekarang, dia sudah sibuk mengais uang. Senin sampai Sabtu bekerja. Bahkan, hari yang semestinya bisa libur di kantor lain, dia juga malah bekerja. Tetapi, saya tidak melihat dia mengeluh dengan kondisi apa yang dihadapi. Meski dia wanita, dia jarang curhat. Jarang mengutarakan masalahnya. Dia selalu berusaha untuk tetap menikmati hidup. Satu hal yang bisa saya petik pelajaran darinya. Maka, di saat-saat saya butuh masukan, Mariyana adalah orang yang tepat. 

Foto diambil pas tanggal 14 Februari. Foto yang cukup menggemparkan. Gara-gara ini jadi ada gosip di antara kita. Gak apa-apalah biar hidup sedikit lebih renyah.

27 Desember 2012

Cewek Bahagia

Felicia sudah pernah disinggung dalam posting sebelumnya, teman baik Riske. Felicia dalam bahasa Latin artinya kebahagiaan. Nama ini jelas bertolak belakang dengan nama saya yang dalam bahasa Spanyol yang artinya adalah menderita. Haha. Sepertinya, kita memang bertolak belakang. Dia wanita, saya pria... *lah. Haha.

Saya kenal Felicia sejak Psycamp (Psychology Camping) sebetulnya. Psycamp adalah acara camping (yang diharuskan tetapi tidak wajib) untuk mahasiswa-mahasiswi angkatan baru. Tetapi, saya belum tahu namanya saat itu. Jadi, begini… Waktu itu ada acara jurit malam. Di acara jurit malam (acara mencari jejak di malam mencekam itu lhoo), saya mesti memegang senter dan serangga aneh yang mesti dibawa ke satu pos. Kemudian, di tengah jalan mendaki yang dilalui kali yang cukup deras, saya terpleset, karena jalan licin dan karena kedua tangan yang tidak leluasa akibat memegang barang. Ada seorang cewek yang pegang tangan saya untuk bantu saya mendaki jalanan itu. Saya tidak tanya namanya siapa. Tetapi, saya ingat suaranya. Dia Felicia. Dia... orang yang sudah menyelamatkan nyawa saya. *lebay.

Perkenalan kami dimulai sejak/karena saya mendaftarkan diri menjadi Anggota Muda BEM Fakultas Psikologi (F. Psi.). Ada Endy juga. Tetapi, saya belum terlalu dekat dengannya juga waktu itu. Ya, sekadar saling tahu nama saja. Cuman sekadar tahu, oh dia punya cowo yang lebih tua darinya, satu kampung dengannya (Batam), satu jurusan dengannya, dan cowonya menjadi anggota BEM F. Psi. juga. Oh, so sweet... dulunya sih.

Saya dan Felicia tampaknya semakin dekat sejak semester 3. Tetapi, itu pula gara-gara BEM F. Psi.. Waktu itu kami masih sama-sama melanjutkan ”perjuangan” kami di organisasi mahasiswa tersebut. Dia di BEM F. Psi., lalu saya pindah haluan ke DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) F. Psi. Ada intrik, konflik, dan berbagai masalah pelik di dalam kedua organisasi itu, yang membuat mau gak mau saya (akhirnya) dekat dengan Felicia.

Foto saat Psycamp 2008. Jadi seksi konsumsi, tetapi bukan lagi masak, justru lagi makan. Kelaperan. Anaknya doyan makan.
Rupanya anaknya menarik. Matanya cukup bulat. Badan dan pipinya chubby. Senyumannya itu lebar. Jadi keinget Doraemon nih. Entah mau setuju atau tidak, sama seperti Doraemon, dia model orang yang bisa menggembirakan banyak orang. Pantas kan namanya Felicia.

Kami semakin dekat lagi pas semester 5. Waktu itu gara-gara sekelompok bareng di tugas Metpen Kualitatif. Karena Metpen Kualitatif ini, jadinya kami berdua mengatur supaya dapat kelas yang sama. Jadi di semester 5, kami sekelas di Kesehatan Mental, Psikologi Klinis, Psikologi Eksperimen, Psikologi Abnormal, dan Psikometrika. Lumayanlah dapat teman ngobrol baru.

Felicia juga adalah panitia yang mengurusi administrasi untuk perlombaan yang saya ikuti di Surabaya dan Bandung. Dia sempat frustrasi mengurusi administrasi di kedua acara tersebut. Untunglah pesertanya tidak sampai ikutan frustrasi. Kami malah bisa senang-senang. Hehe. Saya mewakili peserta, ”Terima kasih banyak Felicia untuk kerjanya saat itu.”

Namun, sayangnya pertemanan kami tidak cukup kuat membuat saya mau jadi calon Ketua BEM, meski dia sudah memohon. Banyak pertimbangan saat itu sih. Kalau saya bilang alasannya, pasti salah. Kalau enggak bilang, salah juga. Nah, mending nyanyi saja. Lagu Maaf Aku Harus Jujur dari Kerispatih kayaknya bisa menggambarkan perasaan saya. Eh, itu lagu cinta. Kurang cocok ya. Ah, tetapi ada bagian yang cocok kok.

Itu adalah cerita lalu saya yang tidak berhasil menggembirakan hati Felicia dan mungkin sejumlah orang lainnya. Jadi pas kan kalau nama saya adalah Sufren (penderitaan). Rupanya saya memang ”telah berhasil” membuat sejumlah orang saat itu menderita. Haha. 

Jadi, Felicia yang wisuda lebih dulu dari saya dan sudah mendapat cowo yang lebih baik, semoga selalu bisa membahagiakan orang di sekitarnya, jangan seperti saya yang sudah mengecewakan orang-orang. Semoga hidupmu selalu bahagia.

Felicia, Alethea (sahabat karib Riske), Riske, saya, Endy saat merayakan ultah Riske yang ke-23

23 Desember 2012

Profesor Karawang

Dulu aku menganggap kejadian ini paling memalukan. Ceritanya waktu  UAS (Ujian Akhir Semester) semester pertama. Kebiasaan waktu zaman SMA, meski aku mencatat jadwal UAS di buku, aku lebih suka mengingatnya ketimbang membuka catatan. Padahal, ingatan itu bisa salah, kan?

Terjadillah di sebuah hari Kamis kelabu, tubuhku lemas saat aku melihat jadwal UAS mata kuliah Dinamika Kelompok adalah di hari Rabu! Aku ingatnya itu hari Jumat. Padahal, pas di hari Rabu itu, aku masih bersantai-santai di rumah, main DotA pula. Hahaha. Benar-benar lemas, sampai 2 UAS terakhir: Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan, aku tidak semangat belajar. Tidak mengikuti UAS pasti jaminan tidak lulus. Dan, benar saja pas mengambil Kartu Hasil Studi, tertulis huruf D di mata kuliah itu.

Berarti, saya mesti mengulang mata kuliah itu tahun depan (karena cuman dibuka di semester ganjil). Memalukan sekali harus mengulang mata kuliah yang notabene untuk anak-anak semester pertama. Benar-benar memalukan. Yang bikin malu sebenarnya adalah cara saya tidak lulus. Salah jadwal! Teman-teman seangkatan saya kebanyakan tahu dengan kejadian memalukan ini. Mereka dulu suka menertawakan dengan apa yang aku alami waktu itu.

Sekarang, aku tidak lagi menganggap itu sebagai kejadian paling memalukan, tetapi itu kejadian yang membuatku bersyukur. Karena mengulang mata kuliah itu, saya bisa mengenal seseorang yang kelak menjadi sahabat dan penyemangat saya. Dialah Yonathan Natanael.

Yonathan Natanael, pindahan dari jurusan Teknik Mesin ke jurusan Psikologi. Dia pindah jurusan karena tidak nyaman dengan lingkungan di jurusan Teknik Mesin. Jurusan Psikologi, rupanya tepat baginya. Awalnya bukan siapa-siapa, tetapi lalu dia menjadi orang paling disegani di kalangan mahasiswa psikologi. Karena hanya dialah yang benar-benar menyukai angka. Psikometrika dan SPSS adalah jagonya. Para junior dan teman seangkatan meminta bantuannya untuk diajari psikometrika atau mengolah data penelitian. Kemampuannya menggunakan SPSS bisa dibilang dua kali lebih baik dari saya, eh dari semua teman yang saya kenal. Makanya, dia sering mendapat bayaran untuk mengolah data SPSS atau pun sekadar meng-input kuesioner dari banyak orang.

Gitar yang tercampakkan
Sebetulnya, alasan pertama aku ingin berteman dengannya sangat sederhana. Aku memintanya mengajariku bermain gitar. Tetapi, sayang aku tidak bisa memainkan gitar itu sampai sekarang. Maaf ya Tan. Hehehe. Tampaknya gue emang gak bakat dalam bermusik.

Meski gitarnya itu (sampai sekarang) saya campakkan, untunglah mentornya tidak. Dia menjadi bagian penting dalam hidup saya. Menjadi teman bicara yang baik.

Yonathan tipikal anak gereja ya. Hidup adalah pelayanan. So, dia bisa melayani teman-temannya dengan baik. Makanya, Yonathan menjadi orang yang menemani saya sejak proposal skripsi sampai skripsi saya lulus. Bahkan kita yudisium bersama-sama. Entah apa jadinya jika saya tak bertemu dengannya. 

Yudisium bersama Ibu Henny (Dekan) dan Ibu Tia (Ketua Program S2)
Pertama, dialah yang menemani saya ke PMI (Palang Merah Indonesia), tempat saya mengambil data. Kedua, dialah yang memberikan banyak masukan berharga untuk kemajuan skripsi saya. Dan, terakhir dialah penyemangat saat saya benar-benar hampir down mengerjakan skripsi. Dia benar-benar orang yang dapat saya andalkan. Jika orang-orang lain berbagi galau, dia justru berbagi semangat.

Dia adalah orang yang sering saya ajak diskusi dalam hal akademik atau penelitian. Bahkan, kami pernah mengerjakan penelitian di luar skripsi yang kemudian akan mendapat sanjungan dari sejumlah dosen.

Di acara Temu Ilmiah Nasional, SDG Award, dan Kongres IPPI
Kami pun sering bermimpi ini-itu ketika mengobrol di chatting. Kami juga bercita-cita melanjutkan kuliah di S-2. Sangat seru jika kembali mengingat masa-masa itu.

Namun, jalan hidup orang tak bisa ditebak. Ketika ia memutuskan kembali ke Karawang dan berkarir di sana, aku tahu bahwa ada yang harus ia perjuangkan di luar mimpi-mimpi lamanya itu. Dibandingkan dengan hidup di Jakarta, aku melihat Yonathan jauh lebih bahagia dan berhasil di sana. Ada keluarganya di sana, ada teman-teman kecilnya di sana, dan ada sesuatu yang besar yang dapat ia capai. Kabar terakhir, aku mendengar ia mendapat undangan gathering ke Bangkok dan Bali karena kinerja karirnya yang baik. Congratz, Tan.

Karawang bukan kota besar. Tetapi, Karawang hebat sudah melahirkan satu orang luar biasa seperti dia. Teman saya, Siti Syarifah bahkan sering menyebutnya sebagai Profesor. Kalau saya, mungkin Profesor dari Karawang. Hehehe.

Saya bersyukur bisa mengenal Yonathan. ”Thanks, Tan. Loe telah mengenalkan gue kota Karawang, lalu teman-teman loe di sana, keluarga loe di sana, dan tentu saja diri loe sendiri. Gue banyak belajar dari loe. Apa pun yang loe jalani, semoga loe selalu sukses dan terberkati :)”

21 Desember 2012

Menunggu Kedatangan Cewek Tangerang

Teman wanita saya yang satu ini banyak peminatnya. Bukan, dia bukan idola dalam arti sesungguhnya. Dia adalah idola untuk digoda. Haha. Bukan persoalan dia cantik atau tidak, gaul atau tidak, baik atau tidak, perempuan yang satu ini memang enak diajak ngobrol atau dikerjain. Hehehe. Cowok-cowok banyak yang ”ngefans” dengan dia.

Anaknya agak polos, sedikit tomboy, sederhana, dan perhatian terhadap teman-temannya. Dia senang menulis. Menulis memang hobinya. Karya-karyanya pernah dimuat di sini, meski tidak update lagi. Dulu dia juga senang hal-hal yang berbau horor dan pembunuhan. Koleksi novel dan DVD-nya adalah tentang 2 hal itu. Di tahun terakhirnya dia tobat sejak ikut Adhyatmaka (Unit Kegiatan Rohani Katolik di UNTAR) dan sejak saat itu dia menjadi senang hal-hal yang berbau religi. Eh, dia bukan dulu tidak suka religi. Setidaknya sekarang jadi semakin suka saja. Hehehe.

Oh ya, saya belum mengenalkan namanya. Riske Adventia. Namanya unik dan bagus. Riske mungkin berasal dari kata risky yang artinya penuh risiko. Kata risky mirip kata rizki artinya rezeki atau keuntungan. Mungkin maksudnya, kalau mau untung, harus ambil risiko. Hehe. Lalu, Adventia dari kata advent yang artinya kedatangan. Advent adalah masa menyambut Natal. Ulang tahun Riske memang dekat Natal, jadi wajarlah nama belakangnya Adventia. Jadi, Riske Adventia artinya kedatangan rezeki. Maksa.com.

Kapan saya mengenal Riske? Sewaktu semester 3, kuliah Psikologi Perkembangan 2, saya sekelas dengannya. Jadi, mulai tahu siapa dia. Tetapi, tidak cukup untuk saling mengenal. Sewaktu di semester 5, itulah perkenalan kami yang sesungguhnya. Tepatnya, karena saya diajak Felicia untuk sekelas bareng-bareng di mata kuliah Metpen Kualitatif. Eh, mana tahu bertemu dengannya dan sekelompok dengannya. Catatan: Riske adalah teman baik Felicia. Sewaktu di semester 5 pula, saya, Riske, dan Endy akan bergabung di kelompok Bupsi (Buletin Psikologi) UNTAR. Nantinya, kami bertiga bersama Felicia dan Natalia akan menjadi tulang punggung Bupsi yang kelak kan bersinar di masa-masa yang akan datang.

Gara-gara mengerjakan Metpen Kualitatif yang mengharuskan menginap di rumahnya di Tangerang, saya mulai tahu sosoknya. Orangtua, adiknya, lalu bagaimana karakternya kalau ia mendekam di rumah. Karakter-karakternya itu seperti yang telah saya sebutkan di awal.

Dia juga menjadi tempat yang enak kalau diajak ngobrol via YM. Dia sering cerita masalah-masalah tujuan hidupnya, masalah pekerjaannya, dan tentu saja masalah C-I-N-T-A. Haha. Baik masalah yang berkaitan dengan orang yang sedang didekatinya atau yang sedang mendekati dia. Mendengar dia curhat, saya banyak belajar, belajar untuk terbuka dan jujur dengan apa yang kita rasakan. Belajar juga untuk menjadi lebih kuat.

Saya sama Riske sama saja. Sama-sama suka galau, tetapi kami juga sama-sama punya mimpi. Salah satunya, seperti buka usaha sendiri. Berkali-kali dia ragu mencoba berbisnis, tetapi saya percaya dan yakin dia bisa. Itulah gunanya teman dekat membuat kita menjadi tidak lupa untuk bersemangat menjalani hidup.

Jadi, para pembaca yang ingin membeli baju, macaroni, dan/atau membeli produk antibodi, bisa hubungi saya. Nanti akan saya kenalkan dengannya. Atau, mungkin para pembaca yang barangkali mau bekerja sama dalam berbisnis dengan teman saya ini, bisa hubungi saya juga.

Karena sekarang kami sudah lulus dan punya job masing-masing, kami jarang kontak lagi. Rumahnya jauh di Tangerang sehingga dia tidak bisa setiap saat datang ke Jakarta. Tapi, kalau dia datang ke Jakarta, pasti sering terjadi hal-hal heboh dan menarik. Jadi, saya akan menunggu kedatangannya ke Jakarta lagi. Mungkin karena namanya Adventia sehingga banyak yang menunggu-nunggu kedatangannya. Hehe.

Saya masih ingat salah satu pesan di email-nya. ”Terus menulis, terus berkarya walaupun asa melayang-layang, kadang tinggi kadang rendah.  Jangan sampai angin menjatuhkan asamu. Biarkan angin justru menyongsong asamu untuk terbang lebih tinggi”. Tulisan ini salah satu cara saya untuk berkarya. Semoga ada yang terhibur dengan tulisan ini, terutama yang orang yang sedang dibicarakan. :)

16 Desember 2012

Teman Gila Kedua

Aku kira hanya menemukan 1 teman gila. Rupanya masih ada 1 lagi. Dia cuman orang biasa, tetapi dengan nama tidak biasa. Charles Darwin. Mengenal namanya, Anda berpikir dia orang hebat dalam ilmu pasti. Pasti orang keren. Oh, tidak sama sekali. Tetapi, untunglah dia hebat dalam ilmu musik, yaitu musik Cina.

Kepiawaiannya memainkan guzheng (alat musik kecapi Cina) membawa dia banyak keberuntungan. Salah satunya bisa tampil dalam acara seminar atau pentas seni kampus, kemudian tampil di acara nikahan atau acara-acara khusus lainnya. Gara-gara alat musik itu, dia bisa jadi salah satu mahasiswa yang bisa tampil di depan 2 orang mantan Rektor UNTAR. Gara-gara alat musik itu, dia bisa dapat, ehm uang. Dan, gara-gara alat musik itu, dia bisa terkenal. Charles Darwin Indonesia memang tidak paham ilmu evolusi, tapi setidaknya paham bagaimana memainkan dawai.

Kalau di-flashback, aku sudah kenal Darwin, panggilannya (dia kurang suka dipanggil Charles), sejak Mabimaru. Waktu itu ya, dandanannya dengan rambut dicat kuning dan memakai anting. Aku kira dia seorang preman. Haha. Tetapi, pada saat ngomong, nada bicaranya tidak sangar. Agak kontras gitu.

Ketika masih semester-semester awal, aku sudah tahu siapa dia. Charles Darwin dengan pemilik NIM 07-02. Aku ragu dia kenal aku sebelumnya. Namun, saat facebook mewabah dan kita berdua menjadi teman di sana, aku rasa dia sudah tahu siapa aku. Aku add YM-nya. Pembicaraan pertamaku dengannya adalah mengajak dia bergabung dengan kelompok Metpen Kualitatif. Tetapi, rencananya kandas. Aku tidak tahu bagaimana jikalau aku sekelompok dengannya di mata kuliah itu. Catatan:  Metpen Kualitatif, mata kuliah yang banyak menguras tenaga dan emosi. Hehehe. Dan, Darwin, ehm agak mudah terpancing emosinya.

Aku semakin dekat dengannya sewaktu semester 4, saat aku tergabung dalam panitia Pensi dan Seminar BEM Fakultas Psikologi tahun 2009, sementara dia menjadi pengisi acara. Saat melihat dia menggotong guzheng ke kampus untuk gladi resik acara seminar Terapi Musik, aku berkata, WOW (dalam hati saja)... ada temanku yang bisa memainkan benda itu. Eh, sebelum diberi tahu itu alat musik apa, gini-gini saya sudah tahu guzheng itu apa, karena sudah pernah melihat alat musik ini waktu SD.

Aku temani dia selama gladi resik bersama Alexandra juga, teman saya yang lain. Aku rasa benih-benih pertemanan timbul sejak saat itu. Uhuk-uhuk. Lalu, sampai sekarang aku tetap berhubungan baik dengannya. Meski, terkadang pertemananku dengannya beberapa kali diwarnai pertengkaran kecil. Banyak hal yang terkadang aku tidak punya jalan pikiran serupa dengannya. Misalnya, aku tidak begitu peka dengan penampilan. Lain hal dengan dirinya. Setidaknya, kita masih punya kesamaan. Kita berdua ini adalah orang yang suka bicara blak-blakan dan kadang menusuk hati. Hehehe.

Di seminar Terapi Musik (2009)
Dia adalah teman saya juga di saat jenuh apalagi galau. Jalan-jalan ke mall baeng-bareng, fitness bareng-bareng, berenang bareng-bareng, meski saya gak bisa berenang. Kayaknya dia sudah frustrasi mengajariku berenang. Hehe.

Bicara soal hobi, bukan cuman senang musik Cina, dia tuh pokoknya senang sekali dengan hal-hal yang berbau Cina. Dia kadang memintaku bercakap-cakap bahasa mandarin, padahal aku tidak bisa sama sekali lah ya.

Dimulai dari semester 5 adalah saat aku mulai mengenal baik siapa dia. Orang Jambi asli. Menyukai musik dan anak-anak. Punya kedua kakak perempuan yang sama-sama dokter. Dia adalah ”sang pembangkang” di keluarganya, karena tidak mau jadi dokter apalagi pebisnis. Passion-nya jelas: Musik.

Aku senang melihatnya mengikuti passion-nya. Kemampuannya bermain guzheng semakin lama semakin baik. Sekarang ditambah dia sedang belajar erhu (sejenis rebab). Portofolionya ada perkembangan. Dia tidak hanya jadi penampil kalau ada undangan acara, tetapi pernah menjadi guru musik guzheng privat dan di sekolah. Yang paling spesial adalah waktu dia jadi pengiring musik di pentas Sie Jin Kwie besutan Teater Koma, salah satu kelompok teater beken di Indonesia. Saya cukup tersanjung karena diberikan undangan gratis menonton oleh Darwin. Hehe. Thanks ya brother.

Setelah sekian lama tampil di dunia nyata, kini Darwin mencoba memamerkan dirinya di dunia maya. 


Nah, para pembaca yang mau seorang pemain alat musik kecapi Cina bisa tampil di acara-acara nikahan atau acara-acara spesial lainnya, bisa segera hubungi saya. Akan saya atur jadwal dengannya.

Mungkin suatu hari nanti dia bisa tampil di TV. Siapa yang tahu? Kalau Charles Darwin yang itu mempelajari evolusi, semoga Charles Darwin yang ini justru yang berevolusi. Berevolusi menjadi lebih hebat lagi.

12 Desember 2012

Teman Gila Pertama

Waktu hendak pulang dari kantor, aku kehilangan kunci motorku. Lalu, di tengah kepanikan tersebut, aku tertolong oleh seorang yang baik hati yang ikhlas mengambilkan kunci cadangan motorku di rumahku, kemudian menyerahkannya kepadaku. Dari rumahku di bilangan Pluit menuju tempat kantorku di kawasan Thamrin, butuh waktu sekiranya 1 jam jika jalanan lancar. Tidak mengharapkan apa-apa, rela bolak-balik buang waktu demi menolong temannya, padahal esoknya mesti terbang ke luar kota. Orang itu sungguh baik.

Aku sudah kenal orang baik ini, Endy, sejak acara Mabimaru (Masa Pembinaan Mahasiswa Baru). Lalu, masih ingat juga di acara Mabimaru itu, dia berperan sebagai penculik di drama Snow White yang aneh bukan main. Lalu, masih ingat juga dia duduk di sebelah saya di kuliah Antropologi, kuliah pertama saat kami jadi mahasiswa. Lalu, masih ingat juga sebetulnya dia kurang akrab dengan saya pertama kali. Adalah BEM (Badan Eksekutif Mahasiwa) Fakultas Psikologi yang buatku jadi bisa lebih dekat dengannya. Ya, kita berdua berkiprah bersama-sama di BEM Fakultas Psikologi sebagai Anggota Muda. Suka-duka kita jalani bersama-sama di organusasi yang cukup pelik itu.

Endy, asli Pematang Siantar, tetapi dia lebih ”Jakarta” daripada saya. Sekilas anaknya pendiam. Tetapi, setelah lama mengenal dia, ”bocor” juga anaknya. Hehehe. Dibandingkan denganku, dia itu lebih bawel. Kalau mendengar dia bercerita, banyak hal menakjubkan yang tidak aku ketahui sebelumnya. Dia sering membukakan mata saya tentang banyak hal di dunia luar. Dari perkara politik, budaya, bisnis, sampai ehm... cinta. Mengetahui dia pernah jatuh cinta dengan temanku yang lain, membuat aku sekarang paham: Cinta memang gila!

Dan, dia pula adalah orang yang bisa aku ajak menggila kalau lagi jenuh. Ngobrol hal-hal yang tidak jelas tanpa arah. Petualangan tergilaku dengannya adalah bertualang di Jogja selama 4 hari 3 malam, hanya dengan bermodalkan peta dan cerita-cerita seru dari orang lain. Keseruan yang tak terlupakan.

Berfoto berdua di Pantai Parangtritis

Bisa dibilang dia salah satu kawan kuliah yang masih bertahan berhubungan baik dengan saya sampai sekarang. Susah senang di kuliah dan di BEM sampai akhirnya di wisuda pun, kita jalani bareng-bareng.

Bicara sosoknya, orang yang pertama kali melihatnya, pasti tidak ada yang pernah menyangka bahwa dia adalah seorang seniman. Dalam hal musik, dia bisa sedikit-sedikit memainkan biola. Dan, salah satu kehebatannya yang bisa bikin banyak wanita berteriak WOW, adalah keahliannya menggambar bentuk/wajah menyerupai aslinya. Ini salah satu gambarnya.


 

Mirip aslinya, kan!?
 
Meski punya orangtua juragan elektronik, Endy ingin mengadu nasibnya di Jakarta. Mungkin karena kesenangannya mempelajari berbagai macam budaya dan bahasa negeri orang (dia lagi ingin sekali belajar bahasa Spanyol), dia mencoba mencari peruntungan hidupnya di kota lain.

Kami masih menggalau, masih belum tahu jelas apa masa depan kami. Tetapi, saya yakin masa depannya pasti akan menakjubkan, semenakjubkan cerita-cerita yang sering ia bagi kepada saya.

Note: Bagi teman-teman yang mukanya mau digambar dengan pensil seperti muka saya, bisa hubungi saya. Nanti akan saya kasih kontak teman saya ini.

3 Desember 2012

Sebuah Renungan Tentang Waktu Kehidupan

Ketika kamu anak-anak, kamu berpikir hidupmu sudah bahagia.
Sampai kemudian, kamu merasa tersiksa karena harus mengerjakan PR setiap hari, harus mengikuti les ini-itu, harus mematuhi perintah dan larangan guru dan orangtua, tidak boleh keluar rumah tanpa pamit, tidak boleh bermain game setiap hari, tidak selalu bisa mendapatkan mainan yang kamu suka, dan masalah-masalah anak-anak lainnya yang kamu hadapi.
Kehidupanmu tidak bebas, sehingga kamu berdoa, semoga aku cepat beranjak remaja. Alangkah enaknya menjadi remaja, karena kamu bisa melakukan apa pun sendirian.

Kamu pun beranjak remaja. Kamu berpikir hidupmu sudah bahagia.
Sampai kemudian, kamu kembali merasa tersiksa mengapa penampilan temanmu lebih menarik daripada penampilanmu, mengapa dia menjadi idola di sekolahmu, mengapa dia berpacaran dengan orang yang kamu suka, mengapa dia punya gadget yang lebih keren darimu, dan masalah-masalah remaja lainnya yang kamu hadapi.
Kehidupanmu penuh dengan perbandingan, sehingga kamu berdoa, semoga aku cepat beranjak dewasa.
Alangkah enaknya menjadi dewasa, karena kamu bisa bekerja dan mulai bisa mendapatkan apa yang kamu suka.

Kamu pun beranjak dewasa. Kamu berpikir hidupmu sudah bahagia.
Sampai kemudian, kamu merasa galau akan karirmu yang tidak menanjak, frustrasi memikirkan biaya hidup semakin tinggi tetapi tidak dibarengi dengan pendapatanmu, tertekan karena beban kerja yang selalu menumpuk, masalah-masalah kantor, dan tidak punya waktu libur yang panjang, dan masalah-masalah orang dewasa lainnya yang kamu hadapi.
Apalagi, karena kamu sudah menikah, kamu juga semakin pusing mengelola masalah rumah tangga, meliputi anak dan pasanganmu.
Kehidupanmu penuh dengan tekanan, sehingga kamu berdoa, semoga aku cepat beranjak tua.
Alangkah enaknya sudah tua, karena kamu tidak perlu lagi memusingkan masalah kantor dan keluarga, dan sudah ada orang yang akan menyokongmu.

Kamu pun beranjak tua. Kamu berpikir hidupmu sudah bahagia.
Sampai kemudian, kamu kembali merasa galau karena tubuhmu kini melemah. Kamu kehilanganmu kekuatan dan kelincahan yang dulu kamu punya. Satu per satu orang yang kamu sayangi telah lebih dulu meninggalkanmu. Satu per satu memori manis yang tersimpan di otakmu juga mulai memudar. Kesehatanmu memburuk. Berbagai penyakit menderamu.
Kehidupanmu penuh dengan rasa kehilangan, sehingga kamu berdoa, semoga aku cepat ma...ti.

Tunggu sebentar!
Mengapa kamu begitu ingin cepat meninggalkan dunia ini, meninggalkan setiap masa yang kamu pikir itu tidak menyenangkan?

Kehidupan ini tidak harus selalu berlari. Kamu juga perlu beristirahat. Berhenti sejenak. Perhatikan sekelilingmu. Perhatikan juga apa yang ada di belakangmu. Renungkan sejenak. Banyak momen indah dan ajaib yang dulu pernah kamu rasakan.

Kamu pernah mendapatkan hadiah ulangtahun saat kamu masih kecil. Mungkin sekarang masih demikian.
Kamu pernah dipuji oleh guru, orangtuamu, atau atasanmu. Mungkin sekarang masih demikian.
Kamu pernah punya pacar yang dulu pernah sayangmu. Mungkin sekarang masih demikian.
Kamu pernah punya teman-teman yang selalu menggila bersamamu. Mungkin sekarang masih demikian.
Kamu pernah punya pasangan hidup yang menjadi tempatmu berbagi. Mungkin sekarang masih demikian.

Nikmati setiap detik, menit, jam apa yang sudah kamu lewati. Bila itu hal yang tidak menyenangkan, terimalah dengan ikhlas. Karena apa yang terjadi, sudah terjadi. Tiada guna selalu membawa beban masalah di bahumu, karena itu hanya melambatkan perjalananmu.

Setiap momen buruk yang sedang atau akan kamu alami, tidak pernah hadir selamanya. Hal itu akan berakhir. Kamu tidak perlu berdoa supaya hari ini cepat berakhir, karena itu hanya akan membuat momen indahmu juga ikut cepat berakhir.

Nikmati saja semua masa, karena nantinya masa-masa itu tidak akan pernah terulang kembali...

Bersyukurlah agar kamu tidak selalu merasa menyesal.

11 November 2012

Orang Istimewa - Sentuhan Akhir

Apakah mungkin kita bisa bertemu lagi?


Kukendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Tiba di parkiran, aku langsung berlari secepat-cepatnya menuju ke tempatmu. Aku sampai di sana tepat ketika acara berakhir dengan peluh di sekujur tubuhku.

Sebelum kumasuki ruangan aula, aku membeli sebuah merchandise di counter penjualan suvenir. Sebuah boneka beruang yang memakai toga. Aku tidak paham mengapa beruang diidentikkan dengan wisuda. Mungkin karena rupanya yang imut dan ia dapat berdiri dengan dua kaki. Setidaknya lebih mending daripada jika harus memakai boneka kera. Karena tak ada kertas kado, jadilah kertas koran yang digunakan untuk membungkus. Ah, malu rasanya. Tetapi demi seseorang yang istimewa di hati, apa boleh buat. Yang penting tujuannya.

Para wisudawan tumpah ruah mengisi seluruh ruangan. Mereka sibuk berfoto-foto, entah dengan dosen, orangtua, atau teman-teman terdekat. Manusia memang senang menyimpan sesuatu untuk dikenang. Seperti halnya diriku sekarang... Aku juga ingin memiliki kenangan bersama dirimu di momen bersejarahmu ini.

Ketika aku melangkahkan kaki ke dalam aula, aku merasa seolah kembali ke masa lalu. Dulu aku pernah di sini dengan balutan toga yang persis sama. Rasa haru menyelimutiku. Rasanya baru kemarin aku bahagia. Kebahagiaanku kini sekali lagi terulang, tetapi itu karena aku merasakan kebahagiaanmu.

Tidak butuh waktu lama ketika ada yang memanggil namaku. Teman-temanmu. Mereka keheranan kenapa aku bisa ada di sini. Begitu pun dirimu.

Akhirnya aku kembali melihatmu setelah sekian lama. Dengan balutan kebaya, kamu tampak semakin berbeda. Kamu bagaikan putri raja. Memang harusnya begitu. Ini hari kemenanganmu. Dan, kamu layak merayakan dengan cara seperti ini.

Dan, tidak butuh waktu lama pula, aku terseret ke dalam arus foto-foto bersama. Dalam kesempatan ini, aku meminta izin untuk berfoto berdua denganmu. Percayalah, lama berhubungan denganmu, aku tak pernah berfoto bersamamu. Tentu saja menjadi agak aneh kalau tiba-tiba aku meminta foto berdua denganmu kala itu. Tetapi untuk momen seperti ini, siapa yang tidak mengizinkan. Semua orang diliputi kegembiraan. Semua orang sedang tidak peduli dengan masalah yang lain. Jadilah ini foto pertamaku yang bisa berdua denganmu.

Tetapi, penantianku bukan tentang berfoto atau bertemu denganmu.

”Eh, boleh kita bicara sebentar?”

”Hah? Ada apaan Kak?”

”Ada yang ingin kusampaikan, tetapi lebih baik di sana saja. Tidak akan lama kok.” Aku menujuk ke arah koridor yang berada di samping aula.

Kamu awalnya enggan, tetapi aku tahu bahwa kamu tidak akan menolak. Kamu anaknya lugu dan tidak pernah menaruh curiga. Itu salah satu yang kusuka darimu.

”Ada apa ya Kak?”

”Ini,” aku lalu memberikan bungkusan kertas koran itu untukmu. Seperti yang kuduga, kamu pasti terkejut. Terkejut karena bungkusannya, aku rasa.

”Aku kan belum berulang tahun.”

”Memang kalau kasih hadiah, harus tunggu ulang tahun ya.”

”Ehm, jangan dibuka sekarang ya,” kataku saat kau menerimanya.

”Isinya apaan sih? Gorengan ya?”

”Ya, ini gorengan mahal. Aku minta Abangnya goreng khusus untukmu. Terdengar sangat garing tidak?”

Kamu lalu nyengir mendengar leluconku. ”Iya, sangat garing,” katamu. ”Terima kasih ya Kak. Kakak baik banget padaku,” katamu lagi.

Aku tersenyum mendengarnya. Aku baik pada setiap orang, seperti katamu bahwa aku ini senior yang pintar dan baik hati. Tetapi, untukmu, aku akan selalu baik. Aku rela menjadi orang baik demimu. Setiap bantuan yang kuberikan adalah bentuk ketulusanku.

Di saat seperti ini aku membayangkan ada dentingan piano yang mengalun lembut. Mengiringi percakapan di antara kita berdua.

”Ada sesuatu lain lagi yang ingin kuberikan kepadamu. Tetapi, ini bukan sebuah benda.”

Di saat seperti ini aku membayangkan dentingan piano berpadu dengan gesekan biola. Ada tensi tinggi yang tercipta. Tensi itu mencapai klimaksnya saat kumulai mengatakan...

”Sejak dulu aku ingin sekali mengatakan hal ini,” aku diam sebentar. Kupastikan tidak ada keributan yang dapat membuatmu tidak jelas mendengar, lalu kukatakan, ”aku suka kamu.”

Di saat seperti ini aku membayangkan musik orkestra mengalun megah. Suara drum bergemuruh memberikan efek kejut kepada siapa pun yang mendengarkan, termasuk dirimu. Lalu, musik berhenti. Kemudian hening. Aku bisa merasakan jeda begitu panjang karena kamu pasti mencoba mencerna isi pernyataanku, meski tadi sudah sangat jelas kukatakan.

Aku tak ingin kamu jadi salah tingkah, maka biarkan diriku yang memecah kebisuanmu itu.

”Kamu enggak kaget kan,” kataku mencoba menerka bahwa kau sudah tahu mengenai isi hatiku.

”Ee... Gak sih... Banyak cowo yang emang suka aku kok,” katamu akhirnya. Aku tidak menganggapnya sebagai jawaban yang jujur darimu. Kamu bermaksud melucu, aku tahu. Jawabanmu mengartikan bahwa terkaanku salah. Kamu tidak tahu isi hatiku selama ini.

”Aku tidak peduli dengan cowo yang lain. Tetapi, aku serius bilang yang tadi itu kepadamu,” tegasku.

Kemudian hening lagi. ”Tapi, Kakak sudah seperti Kakak bagiku...”

Sebuah alasan klasik.

Aku tidak menganggap alasan itu sebagai penolakan. Tidak sama sekali tidak. ”Kamu pasti butuh waktu memikirkan apa yang kukatakan, sebaiknya kamu kembali. Tuh, teman-temanmu memanggil.”

Kamu menoleh ke aula dan memang benar teman-temanmu memanggilmu.

”Pergilah. Tidak enak bila kau dan aku di sini terus. Aku juga harus segera pergi. Nanti kita lanjut dengan SMS-an aja ya,” ujarku sambil melirik jam.

Kulihat dirimu enggan beranjak, tetapi perlahan kamu pun memutuskan pergi.

Di saat seperti ini aku membayangkan hanya gesekan biola saja yang mengalun. Mengiringi kepergianmu. Bahkan, di saat seperti ini aku membayangkan kamu bergerak pergi dengan sangat lambat karena aku tidak ingin kamu begitu cepat hilang dari pandanganku.

Jangan pergi, teriakku dalam hati. Kemudian, aku memanggil namamu lagi, ”Apakah kelak kita dapat bertemu kembali?”

Gak tahu. Semoga aja deh Kak.”

Inilah sentuhan terakhir yang dapat kuberikan kepadamu... sebuah cinta.

selesai?...

3 November 2012

Orang Istimewa - Tiga Kata

Tidak bisakah kau berikanku sebuah kesempatan?


”Hei, kok bengong....” Suara temanku seketika menghapus semua nostalgiaku.

Aku kembali ke sini... Kembali ke hadapan CV itu. Aku tahu kamu sekarang ada di JCC, tak jauh dariku yang sekarang ada di Istora Senayan.

Aku melirik jam tanganku. Jam 3 sore. Ini adalah saat namamu dipanggil untuk menaiki panggung, lalu menerima tabung wisuda. Masih ada waktu 1 jam lagi sebelum upacara berakhir.

”Hei, kenapa dari tadi gue lihat loe kayak uring-uringan?” tanya teman kantorku. ”Lagi sakit!?”

Gak ada apa-apa kok,” jawabku sekadar menenangkan perasaanku dan kebingungan temanku.

Seorang pemuda lalu mendatangi booth perusahaanku. Dia melihat daftar lowongan yang terpampang di standing banner. Ia bertanya padaku macam-macam, seputar profil perusahaan, alamat, dan sebagainya. Kemudian, ia menyerahkan sebuah amplop yang pastinya berisikan CV dan macam-macam kelengkapan lamaran lainnya. Satu CV lagi untuk kepelototi.

Sebelum meninggalkan tempat, ia bertanya, ”Kapan saya bisa mendapat kabar?”

”Ya, nanti kami akan memberi kabar jika Mas masuk kualifikasi. Akan kami kabari via telepon.”

”Oke, baik Pak. Terima kasih ya.”

Belum ada sepuluh menit, pemuda itu balik lagi ke booth.

”Maaf, saya lupa mencantumkan nomor ponsel saya. Boleh minta CV-nya lagi.” Aku menyerahkan kembali amplop cokelat yang berisikan CV-nya itu. Dia mencoba mencari-cari pulpen di tasnya, tetapi tampaknya tidak ketemu.

”Haduh... Mas mau melamar kerja tapi tidak ada persiapan. Lupa cantumin nomor telepon, lupa bawa pulpen. Bagaimana ini...,” ujarku sedikit galak sambil meminjamkan pulpen kepadanya.

”Maaf Mas, soalnya saya menyeberang pulau. Saya datang dari Kepulauan Seribu.”

Hah? Kepulauan Seribu. Sungguh niat pemuda ini demi mencari sebuah pekerjaan.

Setelah kupastikan ia pergi dan tak kembali, aku melihat CV-nya. Asalnya memang benar dari Kepulauan Seribu. Ia tinggal di Pulau Pramuka. Latar belakangnya cukup wow, penuh dengan prestasi. Pernah menang lomba catur, lomba karya tulis, dan sebagainya. Ia pun aktif dalam organisasi, seperti Karang Taruna, Pramuka, dan sebagainya.

Aku jadi teringat dengan diriku sendiri. Aku pun berprestasi, meski tidak dalam perlombaan, melainkan dalam studi. Aku pun aktif dalam organisasi. Namun, pencarian pekerjaan tidak segampang yang kukira. Prestasi dan pengalaman organisasi itu rupanya tidak membantu banyak. Betapa usahaku mencari sebuah pekerjaan impian di sebuah perusahaan impian seringkali kandas. Hanya karena aku tidak mau menyerah, aku akhirnya mendapatkan pekerjaanku ini sekarang.

Tidak boleh menyerah. Tiga kata yang sering kuucapkan kepada diriku sendiri ketika aku hampir putus asa. Aneh sekali aku bisa untuk tidak menyerah dalam hal apa saja, kecuali untuk kenyataan perasaanku sendiri.

Aku segera teringat pada satu pernyataan sahabatku. Jangan menyerah 'tuk perjuangkan isi hatimu sampai kamu tahu gambaran perasaan yang sesungguhnya kepadamu. Itu adalah kalimat yang sahabatku ucapkan saat aku curhat kepadanya mengenai pendaman perasaanku kepada seseorang.

Aku mempelajari CV pemuda dari seberang pulau itu. Sepintas saja aku bisa melihat bahwa kualifikasinya tidak cocok dengan perusahaanku meski ia berprestasi dan punya pengalaman organisasi. Tetapi, setidaknya ia berusaha daripada tidak sama sekali, pikirku dalam hati.

Pikiranku barusan itu membuatku jadi merenungi diriku sendiri. Aku menghela nafas. Pemuda seberang pulau itu sungguh sialan. Mungkin aku kena karma karena tadi aku sedikit galak padanya, sekarang giliranku yang seperti tertampar. Tamparan keras karena sekian lama, aku seorang pengecut.

Kini aku tersadar aku harus perjuangkan perasaanku meskipun mungkin akan berakhir tidak sesuai harapanku.

Bro... Gue ingin pergi keluar sebentar. Mau pergi nyari cemilan. Secepatnya gue balik.” Aku berpamitan kepada temanku yang pasti makin terheran-heran dengan tingkahku.

Aku merasa bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk dapat bertemu denganmu. Jika aku dulu menganggap pertolongan untuk skripsimu adalah sentuhan terakhir, terpaksa aku meralatnya. Masih ada satu sentuhan yang ingin kutunjukkan kepadamu. Dan, aku sudah memutuskan...

Banyak memori yang aku simpan tentang dirimu, meski aku tahu mungkin kamu hanya menganggapku kerikil yang sering terlewatkan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku bukanlah kerikil, melainkan sebuah batu berharga.

Dan, aku ingin kamu juga tahu tentang tiga kata yang seringkali didengungkan oleh para penyair dalam puisi-puisi mereka.

bersambung

25 Oktober 2012

Orang Istimewa - Dua Kepingan

Apakah perjumpaan kita memang dirancang sementara dan tak pernah bisa selamanya?

Memasuki semester akhir, menjelang hari kelulusanku, rasanya aku akan kehilanganmu. Pertemuan kita tidak akan sesering dulu. Aku tak akan bisa lagi melihatmu dari dekat. Hanya memerhatikanmu dari kejauhan.

Aku pikir segala kedekatan ini akan selesai sampai kemudian kau dilanda tugas akhir bernama skripsi yang nyaris membuatmu frustrasi.

”Kak, judulku kan begini... jadi latar belakangku harus bicara apa saja ya?”

Sejak dulu kau memang sering meminta bantuanku saat kau mengalami kesulitan dalam tugas kuliah. Entah berapa banyak tugas-tugas kuliahmu yang pernah kubantu atau sekadar mengoreksinya. Aku tidak mempersoalkan. Bagiku itu adalah sebuah kehormatan. Waktu itu tidak jadi soal, tetapi sekarang...

Aku menjadi penasaran. Aku belum bekerja. Aku masih bisa mampir ke kampusku tersayang. Jadi, kujadwalkan pertemuanku denganmu, demi obrolan skripsimu, meski sebenarnya...

”Eh, boleh tanya gak? Kamu menganggapku sebagai apa?” tanyaku penasaran.

”Maksudnya?” tanyamu heran.

”Yaaaa, kita kan sudah lama mengenal, cuman mau tahu saja, kamu menggangapku seperti apa.” Ada rasa deg-degan saat aku mengutarakannya. Aku takut kau bisa membaca isi hatiku.

”Hmm... Senior yang pintar dan baik hati,” jawabmu.

Jawaban yang membuatku senang sekaligus kecewa. Aku bersyukur bahwa aku pintar dan baik hati di matamu. Tetapi, apakah aku hanya pantas menjadi seniormu?

Tahukah kamu bahwa di hidup ini tidak pernah ada ”satu” terlebih dulu, melainkan selalu ada ”dua”. Dari dua, barulah menjadi satu. Ibarat dua keping puzzle, disatukan untuk menjadi satu gambar yang utuh. Kamu dan aku adalah dua buah kepingan itu. Namun, apakah kita dapat bersatu dan menyatu?

Sekarang aku tahu apa itu galau sejak timbul rasa itu... Hari-hari berikutnya memang adalah kegalauan. Hari-hari berikutnya aku senang mengutip kata-kata romantis untuk kupasang di status jejaring sosial. Aku memasangnya kadang hanya sebagai penyemangat, kadang berharap kamu membacanya, walau ku tahu itu kecil kemungkinannya.

Saat aku sudah diterima bekerja, seharusnya itu menjadi hari membahagiakan bagi kebanyakan sarjana. Dari mesin penghabis uang, kami bertransformasi menjadi mesin pengumpul uang. Tetapi, tidak untukku. Aku merasa bekerja membuat sebagian hidupku hilang. Misalnya, jumlah waktu luang untuk bersenang-senang. Yang lainnya adalah kehilangan waktu untuk bertemu dengan kamu.

Biasanya kau yang sering menghubungiku dulu saat butuh pertolongan. Tetapi, kini aku yang rajin menanyai kabarmu. Kenapa begini? Karena aku tidak ingin lepas darimu meski keadaan memisahkan kita.

Aku pun sering menolongmu tanpa dimimta. Kenapa aku bisa bertindak bagai malaikat? Apakah saat tertembak panah asmara oleh cupid, benih-benih malaikat ikut tertanam di hati seseorang? Lucu sekali aku memikirkan pertanyaan ini.

”Aku sudah menemukan jurnal yang bisa menjadi referensi skripsimu. Dan aku juga sudah mendapatkan alat ukur yang cocok untuk variabelmu itu. Coba cek email kamu. Aku sudah kirimkan.”

”Wah, thanks a lot, Kak. Kakak baik sekali ya... Aku selalu tertolong berkat Kakak. Mengapa Kakak sebaik ini ya padaku?”

”Aku baik pada setiap orang. Bukankah kamu pernah bilang bahwa aku senior yang pintar dan baik hati.”

”Eh, iya ya... Hehe...”

Coba dianalisis dengan cara seperti ini.... Sini ku bantu sebar kuesionernya... Boleh pakai analisis statistik itu asalkan bla-bla... Begitulah seterusnya, aku terus memberikan sentuhan-sentuhan pertolongan untukmu sampai kamu akhirnya... lulus. Senyummu cerah merekah saat kamu menerima piagam kelulusan. Itu adalah sentuhan terakhirku... untuk kamu.

Aku tidak pernah tahu apakah namaku ada dalam Kata Pengantar skripsimu. Tetapi, bagiku itu tidaklah penting. Aku hanya ingin tahu apakah namaku bisa menjadi sebuah kata untuk pengantar tidurmu atau pengantarmu kala kau terjatuh.

Apa aku bisa?

bersambung

19 Oktober 2012

Orang Istimewa - Pertemuan Pertama

Mengapa aku mendadak jadi kangen kamu?

Aku terhenti pada sebuah CV. CV yang kumaksud ialah Curriculum Vitae atau biodata singkat pelamar kerja. Pekerjaanku sekarang adalah menyortir CV dan memanggil pelamar yang masuk kualifikasi untuk kuberikan tes dan wawancara. Menjadi seorang staf rekrutmen membuatku harus gesit. Jumlah CV yang masuk bisa puluhan per hari. Apalagi sekarang, di acara jobfair, aku bisa menerima ratusan CV. Aku tak boleh berlama-lama memelototi satu CV saja karena aku akan kehilangan banyak waktu untuk mengerjakan hal yang lain.

Tetapi, CV yang satu ini buatku terpaku cukup lama. Bukan karena latar belakang pendidikannya, bukan pula fotonya. Ehm, kuakui pelamar ini terlihat cukup manis. Tetapi, tidak semanis orang itu. Aku terpaku karena namanya... Namanya persis sama dengan orang itu.

Orang itu adalah kamu... Aku teringat kembali kepada dirimu. Dan, aku teringat pula bahwa hari ini adalah hari bersejarah untukmu. Wisuda. Dari seorang pelajar, kamu akan menjelma menjadi seorang terpelajar. Kamu akan menghadapi kehidupan yang lebih keras. Atau, mungkin kamu sekarang sudah mengalaminya?

Aku masih ingat betapa lugunya dirimu kala itu. Di perpustakaan kamu masih kebingungan mencari-cari buku yang kamu inginkan. Lalu, kamu minta bantuanku yang kebetulan ada di sana. Aku yang sudah terbiasa berkunjung ke perpustakaan dengan mudahnya menemukan buku yang kau inginkan.

Tetapi itu, bukan pertemuan kita yang pertama. Pertemuan kita yang pertama adalah di dunia maya. Memang canggih teknologi zaman sekarang. Aku tak mengenalmu, tak pernah tahu tentang dirimu sebelumnya. Mungkin kamu yang tahu tentangku lebih dulu. Hanya karena kita satu fakultas, jadi aku tak mempermasalahkan ketika aku menerimamu sebagai teman di salah satu situs jejaring sosial.

Tidak ada yang membuat kamu tampak luar biasa meski kamu wanita, meski kamu lajang. Tidak ada yang istimewa saat pertama kali kumelihat profil dirimu di situs itu. Di situs itu jugalah kita pernah bercakap-cakap sampai takdir membuat kita bisa kontak secara langsung.

Adalah organisasi kemahasiswaan itu yang membuatku dapat mengenalmu lebih jauh. Ya, kita pernah sama-sama berjuang di organisasi itu. Jatuh-bangun menyukseskan sebuah acara. Bekerja sama denganmu membuat diriku banyak tahu tentang dirimu, jauh lebih banyak dari apa yang kamu cantumkan di profil situs jejaring sosialmu itu. Aku jadi tahu makanan favoritmu, warna kesukaanmu, domisilimu, IPK-mu, kepribadianmu, dan sebagainya.

Aku jadi seniormu karena kamu juniorku. Kita jadi partner dalam sebuah kepanitiaan. Kita jadi teman saat kita sedang berbagi cerita. Seharusnya tidak ada yang salah dengan itu semua. Tidak ada yang salah dengan peran-peran yang kujalani denganmu. Tetapi kemudian, perlahan-lahan aku rasanya ingin menjalani peran yang lain tanpa engkau tahu. Aku telah hanyut ke dalam kehidupanmu. Dan, keinginan ini adalah sebentuk kesalahan yang terjadi pada diriku. Maafkan aku...

Hari-hari berikutnya menjadi seperti siksa bagiku. Kau selalu hadir di kepalaku dan hatiku. Mengganggu hari-hariku. Meski kucoba menghindarimu, kau tetap ada. Jejak dirimu telah membekas di sudut ingatanku. Aku seperti terserang penyakit kronis. Tetapi, lucunya aku tak ingin sembuh. Dan, aku tak tahu caranya mengatakan padamu tentang penyakit yang sedang kudera ini kepadamu.

bersambung

30 September 2012

Tidak Harus Kaya Demi Cinta Berjaya

Judul: Honey Money
Pengarang: Debbie
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2010
 
"Debbie telah memperlihatkan kepada kita bahwa pengalaman pahit kehidupan (khususnya percintaan) bisa diubah menjadi sebuah karya yang manis, semanis madu (honey) dan tentunya membuahkan uang (money) untuk dirinya sendiri." 

Itu adalah kalimat yang saya tulis sebagai testimoni novel teenlit Honey Money, karya Debbie.

Honey Money adalah novel yang sangat remaja. Remaja yang masih dengan pemikiran bahwa mewah adalah segalanya. Maka, cerita ini mengetengahkan ketiga tokoh: Cewe sederhana yang mau cari pacar tajir, cowo tajir tetapi matre, dan seorang cowo lain yang juga belakangan diketahui mau memacari cewe tajir. Ketiganya dibelit oleh satu persoalan, yaitu cinta.

Prity "Dee" Diana. Ia cewe sederhana, meski dengan kehidupan yang hampir sempurna. Punya sahabat-sahabat, tetangga, dan keluarga yang baik dengannya. Tetapi, kesempurnaannya terusik oleh satu hal: Ia tidak punya pacar (honey) dengan uang (money) yang banyak. Untungnya, kehidupannya berjalan bak kejatuhan bintang. 
 
Dee menemukan pacar idealnya itu di pesta ultah temannya. Rendy Alexander: Cowo tajir yang keren, romantis, dan hal-hal sempurna lainnya. Jika susah membayangkan cowo demikian, boleh bayangkan Edward Cullen deh. Awalnya, Dee mengira Rendy adalah cowo impiannya. Segalanya sudah mau berjalan sempurna. Namun, sampai meninggalnya ibu tiri Rendy menguak sebuah kebenaran, Rendy tidak sekaya yang Dee pikir. 

Novel remaja kebanyakan menghadirkan kisah berakhir bahagia. Bukan akhirnya yang penting, melainkan bagaimana penulis mengakhiri kisahnya, itulah yang penting. Dan menurut saya pribadi, Debbie memberikan akhir kisah yang sedikit mengandung kejutan bagi mereka yang baru membaca pertama kali tulisannya. Sayangnya, bagi saya kejutan itu tidak terlalu mengejutkan. Karena proses ending-nya tidak berbeda jauh dengan novel perdananya, Not Just A Fairy Tale. Yaitu, sepasang kekasih yang saling mencintai, kemudian harus saling berpisah karena suatu hal, lalu bertemu kembali. Sebuah repetisi. Repetisi terkadang bisa menjadi gaya khas penulis, tetapi bisa pula menjadi kelemahan. Mari kita tunggu seperti apa kelak novel ketiganya.
 
Hanya saja, Honey Money dari segi konsep karakter, dialog, sampai plot memang sudah lebih terkemas lebih apik daripada Not Just A Fairy Tale, yang menurut saya lebih mirip cerita pendek, tetapi dibuat panjang-lebar. Sebuah kemajuan yang baik. Good job, Deb. I really like this novel.  
 
Honey Money jelas menjadi oke, karena segala hal yang terkait dengan isi ceritanya tersangkut paut dengan kisah hidupnya. Setengah kisah Honey Money adalah setengah kisah hidup Debbie. Setengah kisah hidup Debbie hanyalah seperempat kisah hidup saya. Jangan langsung berpikir yang macam-macam dulu. Membaca Honey Money membuat saya terkenang kembali dengan kehidupan SMA saya. Ya, saya dan penulis bersekolah di SMA yang sama. 

Ah, Permata Cup, permusuhan anak IPS dan anak IPA, ada segerombolan anak yang rela telat masuk sekolah demi merayakan ultah seorang temannya, kemudian prom nite dengan bertukar api lilin (meski aslinya tidak di Bali), semuanya adalah nyata dan pernah ada. Terlebih lagi, nama-nama teman-teman Dee: Liana, Sandra, Suhendra, Tutut, Anthony, sampai nama-nama guru Dee: Pak Kusnandar, Ibu Damayanti, Ibu Hastuti, Ibu Julita, juga semuanya nyata dan pernah ada. 

Ah, hati saya pun menjadi ngilu. Kisah hidup saya di SMA memang tidak seseru Debbie. Memang kan nama saya tidak ada di novel ini. Seperti yang sudah saya katakan, saya hanya menjadi seperempat kisah hidup Debbie. Bagian yang kecil, mungkin sangat kecil. Tetapi, saya tetap bangga pernah punya teman seperti Debbie. Dia adalah teman yang hebat yang pernah saya kenal. Dia telah membuat sebuah mahakarya yang akan selalu diingat oleh semua orang yang pernah ambil bagian dalam hidupnya. 
 
Oya, jika saya perhatikan Not Just A Fairy Tale terinspirasi dari ceritanya pas SMP, lalu Honey Money terinspirasi dari ceritanya pas SMA, bisa dibilang kisah novelnya berkembang seiring kisah hidupnya. Mari kita doakan semoga kisah hidupnya selalu bahagia. Dengan demikian, kita kan membaca kisah-kisah bahagia di novel selanjutnya. 
 
Meski tidak dijadikan sponsor, banyak tempat-tempat makan yang disebutkan dalam novel ini lho, seperti Pancious, Cheese Cake Factory, Mie Tarik Laiker, Warung Tekko, dan lain-lain. Jadi, novel ini pun bisa dijadikan rujukan tempat nongkrong atau tempat kencan anak muda. Hahaha.

P.S. Ilustrator dalam Honey Money adalah Sandra P. K. Saya kenal Sandra memang pandai menggambar karikatur. Gak ada salahnya kan, kalau Sandra dan Debbie berkolaborasi membuat sebuah komik. Hehehe.

11 September 2012

Para Motivator Itu...

Andrie Wongso, dijuluki sebagai Motivator No. 1 di Indonesia. Gaya bicaranya yang berapi-api kerap mengundang decak kagum banyak orang. Salam Luar Biasa, itu adalah salam khasnya. Kisahnya seringkali jadi acuan sejumlah motivator muda lainnya, yaitu Sekolah Dasar Tidak Tamat (SDTT), tetapi bisa sukses. Wajarlah, bisa saya sebut Andrie Wongso adalah motivator generasi tua atau bisa dibilang pionir profesi motivator. Kesuksesan yang diraih Andrie Wongso tak terbilang mudah. Andrie memang tidak tamat SD karena sekolahnya ditutup akibat peristiwa G30S. Ia yang asli Malang datang ke Jakarta untuk mengubah nasib. Awal karirnya di Jakarta dimulai dari mendirikan perguruan kungfu bernama Hap Kun Do, menjadi pelayan toko, sesekali menjadi model pemotretan kaos, sempat menjadi bintang film laga Taiwan (cita-citanya sejak dulu). Tetapi, Andrie tidak bahagia berperan sebagai bintang film. Kembali lagi ke Jakarta, Andrie Wongso kembali galau.

Kesukesan Andrie Wongso dimulai saat ia menerbitkan kartu ucapan bermerk Harvest. Kartu ucapan ini berisikan kata-kata mutiara, kata-kata bijak, kata-kata semangat. Ide bisnis ini pun awalnya karena seorang teman kos Andrie yang menyontek kata-kata mutiara di buku hariannya karena merasa sangat bagus dan bisa memotivasi. Andrie memang gemar menuliskan kata-kata mutiara dan motivasi di buku hariannya sebagai pelecut semangat. Dengan bantuan kekasih yang juga nanti jadi istrinya Lenny Wongso, ia mulai mengumpulkan modal menerbitkan kartu ucapan untuk dijual. Awal-awalnya tidak mudah menjual kartu ucapan ke toko-toko. Banyak yang merasa tidak perlu membeli barang seperti ini. Tetapi, Andrie dan Lenny tidak menyerah. Akhirnya, mereka pun mendapatkan 1 toko yang mau membeli kartu ucapan mereka. Lambat laun, kartu ucapan merek Harvest semakin populer sampai memunculkan Harvest Fans Club tahun 1989. Namun, tahun 2000 teknologi SMS berkembang yang membuat penggunaan kartu ucapan tidak lagi efektif. Tahun 2003, Harvest ditutup. Dan Andrie Wongso menjajaki babak baru, sebagai motivator. Kini kata-kata mutiara tidak lagi hadir dalam kartau ucapan, tetapi hadir langsung lewat gaung keras soundsystem dari ucapan seorang Andrie Wongso. Andrie Wongso kemudian mendirikan AW Motivation, AW Success Shop, AW Publishing, dan lain-lain. Slogan khasnya adalah Success is My Right! Sukses adalah Hak Saya!


Merry Riana, dijuluki Motivator Wanita No.1 di Asia. Merry Riana salah satu motivator wanita tanah air kita. Kesukesannya justru diraihnya di negara lain, yaitu di Singapura. Kerusuhan Mei tahun 1998 membawanya ke Singapura. Ia kuliah di Nanyang Technology University (NTU). Tetapi, masa-masa awal kuliah Merry di NTU amat pelik. Ia hanya punya uang saku 10 dolar per minggu, sementara kesulitan ekonomi keluarganya sejak kerusahan Mei membuat Merry juga tidak tega meminta uang jajan lebih. Maka, dimulai penghematan gila-gilaan ala Merry Riana. Sarapan roti tawar di toilet, minum air keran, sesekali memesan nasi, sayuran, tahu dicampur kuah kaldu seharga 1 dolar saja (makanan termurah), dan memasak mi instan jika malam hari kelaparan. Namun, perkenalannya dengan Alva (yang kelak jadi suaminya) memberikan Merry penguatan baru. Pada ulang tahun yang ke-20, ia pun berani membuat resolusi: Ingin bebas finansial pada usia yang ke-30. Perjuangan mewujudkan resolusinya dimulai dari liburan tahun kedua kuliah. Ia kemudian mengawali karir sebagai penyebar brosur di tempat umum, lalu beralih ke pegawai toko bunga, pramusaji di hotel, mencoba berbisnis penjilidan skripsi, MLM, dan jual beli saham. Kesuksesannya baru direngkuhnya saat ia bekerja sebagai penjual asuransi. Merry bekerja dengan tekun dan disiplin ketat, yaitu bekerja 14 jam sehari dengan target 20 kali presentasi setiap harinya. Pada tahun 2004, ia sukses mendapatkan penghasilan 1 juta dolar dalam usianya yang ke-26. Resolusinya terwujud. Kemudian, Merry Riana mendirikan Merry Riana Organization, sebuah organisasi  yang bertujuan menjadikan anak muda sesukses dirinya. Tagline-nya adalah Touching Heart, Changing Lives. Pada ulang tahunnya ke-30, Merry membuat resolusi baru yang lebih berani, yaitu memberi dampak positif pada satu juta orang di Asia, terutama di tanah kelahirannya, Indonesia.

Bong Chandra, dijuluki sebagai Motivator Termuda di Asia. Bong berani sebut ia muda karena ia sendiri belum genap berusia 25 tahun (ia kelahiran Oktober 1987). Masa kecilnya tidak terbilang menyenangkan. Usia 4 tahun, ia terdiagnosis kelainan paru-paru. Tubuhnya kurus dan ia sering sakit-sakitan. Keterpurukannya bertambah karena perusahaan keluarganya bangkrut dan terlilit utang. Tetapi, Bong ingin jadi orang sukses. Ia pun menjadi salesman. Apa pun yang bisa dijual, ia jual dari CD, boneka, cokelat, sampai dengan tank top wanita. Kesuksesan Bong dimulai saat ia berusia 22 tahun, ketika ia mampu berbicara di hadapan 50.000 orang. Bong Chandra tidak hanya menjajal diri sebagai motivator, ia pun merambah ke bisnis cuci mobil, pijat refleksi, mendirikan sekolah Bong Chandra School of Billionaire, dan menjadi developer perumahan Ubud Village di daerah Ciledug. Kisah hidup Bong Chandra memang belum tergali lebih banyak, tetapi sepak terjangnya dalam membagikan rahasia sukses terbilang inspiratif.

Benang Merah
Ketiga motivator itu memiliki penderitaan yang berbeda-beda. Tetapi, kesamaannya adalah mereka punya tekad bulat: ingin sukses. Kisah hidup mereka mengajarkan tidak ada kesuksesan yang bisa diraih secara instan. Mereka menjalani seluruh karir awal dengan tabah dan sabar. Mereka berjuang mengerjakan apa saja karena mereka tahu apa yang mereka lakukan itu hanya sementara. Kelak mereka akan mendapat karir dan tujuan hidup yang mereka impikan.

Usia, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, dan lain sebagainya bukan penghalang untuk sukses. Kesuksesan dimulai dari satu niat, dilanjutkan dengan sebuah tekad kuat, dan sikap positif yang ketat bahwa kesuksesan yakin bisa didapat. Tidak ada satu pun yang dapat menghalangi diri kita untuk sukses, kecuali diri kita sendiri.

1 September 2012

Merry Riana dan Cerita Impian Saya

Titik awal keberhasilan adalah impian. Itu adalah kalimat yang tertera di sampul belakang buku biografi Merry Riana, Mimpi Sejuta Dolar yang diklaim sebagai No. 1 National Best Seller.

Merry Riana adalah motivator yang sedang naik daun di Indonesia. Tweet-tweet-nya selalu mendapat sambutan dari followers-nya. Merry Riana sudah saya kenal sebelum ia menerbitkan buku Mimpi Sejuta Dolar yang ditulis oleh Alberthiene Endah, penulis kawakan yang sudah menuliskan biografi-biografi selebritas terkenal, seperti Chrisye, Krisdayanti, Titiek Puspa, Ani Bambang Yudhoyono, dll. Maksudnya kenal, bukan kenal secara personal ya. Saya mengenalnya terlebih dulu lewat seminar Mbak Merry yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Untar tahun 2011.

Merry Riana? Nama yang asing saat itu. Tetapi, berdua bersama teman saya, Yonathan, saya nekat saja mengikuti seminar yang bertempat di Central Park. Dengan memakai blus warna merah, Mbak Merry mengawali acara itu dengan menyanyikan Indonesia Raya. Sangat patriotik. Seminar motivasi Mbak Merry tipikal seminar motivasi kebanyakan. Diawali dulu dengan kisah-kisah "memprihatinkan" selama ia menjadi mahasiswa di Singapura, lalu dilanjutkan dengan tekad Mbak Merry di hari ulang tahunnya yang ke-20 untuk sukses di usia 30 tahun. Kemudian, seminar berlanjut ke value-value apa yang perlu dimiliki oleh seseorang yang mau sukses.

Namun, uniknya di setiap beberapa segmen pembahasan, Merry selalu mengambil jeda untuk meminta para peserta seminar mengucap semacam sumpah. Salah satu sumpah yang sempat saya catat:

Saya akan memberikan 100 persen dari saya untuk acara seminar ini. Saya adalah orang sukses!

Para peserta seminar harus mengucap kalimat sumpah itu dengan lantang.

Menjelang akhir seminar, Mbak Merry mengundang 1 pria dan 1 wanita yang pandai berakting untuk naik ke panggung. Mereka disuruh memeragakan skenario yang disusun oleh Mbak Merry. Skenario itu bercerita tentang sepasang suami istri yang bersiap memasuki rumah baru mereka yang terletak di lantai paling atas sebuah apartemen. Saya lupa lantai berapa. Yang pasti di atas lantai 50. Karena lift rusak, mereka harus naik tangga. Selama proses perjalanan menaiki tangga, mereka kerap mengeluh capai, tetapi mereka tidak mau menyerah, karena ini rumah impian mereka. Saat mereka sudah sampai tepat di depan pintu kamar mereka, mereka baru sadar bahwa kunci kamarnya ketinggalan. Cerita stop di sana. Mbak Merry memberikan refleksi bahwa saat kita ingin menuju ke puncak kesuksesan, kita tidak boleh lupa dengan kunci tersebut. Kunci tersebut berupa inti sari seminar Merry Riana, yakni Personal Excellence dan Social Excellence. Itulah yang mesti kita bawa jika ingin sukses.

Saya membuka catatan handout seminar tersebut dan tersenyum geli melihat tujuan karir saya. Ya, Mbak Merry meminta peserta seminar menuliskan impian kita tanpa malu-malu dan target yang harus dicapai, seperti halnya beliau dulu. Jadi, apakah yang saya tulis itu? Ada 3 tujuan karir saya: Pengusaha, Penulis Buku, dan Psikolog dengan target akan tercapai dalam kurun waktu 10 tahun.

Tetapi di bawah ketiga target karir saya itu, saya kembali menuliskan impian saya yang lain dalam tulisan lebih kecil. Need more money dan need more time. Sebetulnya impian tertinggi saya adalah memiliki banyak uang dan banyak waktu untuk saya nikmati. Saya ingin menikmati hidup saya tanpa takut merasa khawatir akan adanya kekurangan. Itulah impian terbesar saya di atas ketiga impian itu.

Persis di tanggal 1 September 2012 ini, saya ingin memperbaiki resolusi saya. Saat usia saya yang ke-30, saya juga mau dapat mencapai kebebasan finansial, meski saya belum tahu bagaimana caranya mencapai target itu.

Impian jelas bukan mimpi. Mimpi adalah bunga tidur. Sebaliknya, impian adalah bunga di saat kita terjaga. Dan, saya ingin memetik bunga terindah saya dengan lebih cepat dan lebih baik demi kebahagiaan hidup saya dan kebahagiaan orang-orang yang sayangi.

Saya mau jadi orang sukses! Saya yakin Anda juga mau. Ayo, sama-sama jadi orang sukses!

31 Agustus 2012

Mengintip Kamar Fiksi Profesor Dali S. Naga

Judul: Kamar Dua Ratus Empat Belas
Pengarang: Dali Santun Naga
Penerbit: Unit Penerbitan Universitas Tarumanagara
Tahun Terbit: 2008

Cerita fiksi ilmiah adalah genre yang mungkin, sepengetahuan saya, adalah genre yang agak langka di perbukuan Indonesia, karena perlu menggumuli sejumlah referensi demi memantapkan ide dan logika cerita. Dewi Lestari melejit dengan karyanya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, serta Andrea Hirata lewat karya tetralogi Laskar Pelangi adalah sebagian pengarang cerita fiksi ilmiah di Indonesia. Di luar tanah air, kita mengenal ada Michael Crichton, H.G. Wells, dan Jules Verne. Nama terakhir kabarnya dikenal sebagai bapak cerita fiksi ilmiah.

Namun, saya kembali menemukan seorang pengarang cerita fiksi ilmiah tanah air. Profesor Dali Santun Naga. Oh, pantas saja pengarangnya profesor tuh. Bagaimana ceritanya tidak akan tidak ilmiah? Sayangnya, saat itu beliau belum menjadi profesor. Saya bisa berkata demikian karena ceritanya sendiri ditulis pada tahun 1976, yang mana beliau baru meraih gelar S-1 Teknik Elektro. Informasi latar belakang pendidikan beliau ini saya dapatkan dari penelusuran di internet. Semoga tidak keliru.

Cerita ini awalnya dimuat di Harian Kompas berupa cerita bersambung dari tanggal 21 April 1980 sampai dengan 13 Mei 1980. Kemudian, pada tahun 2008, cerita bersambung ini disatukan kembali oleh Unit Penerbitan Universitas Tarumanagara ke dalam sebuah buku. Menjadi sebuah novel, jika boleh disebut demikian.

Amat menarik rasanya membaca sebuah tulisan era ’80-an. Telepon genggam, internet, dan komputer yang saat itu masih menjadi barang mewah dan tidak secanggih sekarang. Tetapi, cerita yang ditulis pengarang melampaui segala teknologi dan pemikiran era ’80-an. Justru, kita dibawa ke tahun 18547. Bulan saat itu telah lenyap, suhu permukaan bumi memanas, dan penduduk yang tersisa tinggal di dalam tanah dengan hanya membentuk satu bangsa tanpa ada fungsi pemerintahan.

Kejutan demi kejutan akan Anda dapati seiring mengikuti penuturan tokoh saya. Adalah kejutan tersendiri di luar cerita barangkali, pengarang tidak menggunakan kata ”aku”, tetapi kata ”saya”. Entah kata ”saya” menjadi sebuah kata yang lebih populer dibandingkan kata ”aku” pada saat itu, atau mungkin pengarang lebih menyukai kata ”saya” daripada ”aku”. Entahlah.

Diceritakan di awal, tokoh saya tiba-tiba terbangun dan terkejut mendapati dirinya dikelilingi oleh manusia-manusia berbadan kecil. Ia berkenalan dengan Profesor Rubarta, Profesor Andarido, dan Indani. Kejutan berikutnya, tokoh saya mendapati bahwa manusia tahun 18547 sudah memiliki emosi yang tumpul. Cinta dan maaf sudah tidak ada dalam kamus mereka. Tokoh saya yang seingatnya masih ada di tahun 1976 tentu saja heran bukan main mendapati dirinya sudah jauh di masa depan. Cerita kemudian bergulir ke dalam diskusi-diskusi menarik antara tokoh saya dan Indani.

Cerita Kamar Dua Ratus Empat Belas ini sebetulnya boleh dimasukkan ke dalam genre post-apocalyptic fiction. Sebuah genre untuk cerita dengan setting pascabumi mengalami kehancuran atau bencana besar. Ceritanya juga mengingatkan saya pada film City of Ember. Tapi, jangan harap ada petualangan seperti Doon dan Lina, penduduk dalam tanah, yang mencoba berjuang ke permukaan bumi. Cerita Kamar Dua Ratus Empat Belas terasa membosankan bagi mereka yang menyukai kisah petualangan. Kisahnya dituturkan seperti perkuliahan. Tokoh saya melempar pandangan A, Indani membalas dengan pandangan berbeda. Begitu seterusnya.

”Perkuliahan” Kamar Dua Ratus Empat Belas menyeret nama Sigmund Freud, Newton, Archimedes, Charles Darwin, dan tokoh-tokoh besar asing lainnya. Topik ”perkuliahannya” sendiri beraneka ragam dari pelajaran astronomi, fisika, kimia, arti hidup, dan lain sebagainya.

Untung saja, penat materi ”perkuliahan” diselingi kenakalan tokoh saya, yaitu saat tokoh saya berusaha beberapa kali merayu Indani, gadis yang tumpul emosi, dengan nyanyian dan puisi...

Bulan perbani
Menanti di sudut langit
Pada saat paling mesra
Pada saat paling sejahtera

...

Puisi khas ’80-an dengan struktur rima yang rapi.

Tidak disangka pengarang yang sudah menerbitkan sejumlah jurnal penelitian dengan aneka disiplin ilmu ini rupanya cukup lincah berbicara soal cinta. Iya, ada cinta dalam Kamar Dua Ratus Empat Belas. ”Cinta seorang pria terhadap wanita ibarat air dalam gelas. Gelas itu bisa sebagian penuh, penuh, ataupun luber. Tetapi kaum wanita telah menganut suatu pengertian bahwa tidak boleh ada alternatif lain kecuali gelas penuh tetapi tidak luber.” Begitulah deskripsi cinta Profesor Dali lewat tuturan tokoh saya. Sangat filosofi.

Sayangnya, cerita seakan dipaksa selesai. Ibarat nonton sebuah film di TV yang lagi seru-serunya, eh tau-tau mati lampu. Begitulah, akhir cerita ini terasa menggantung dan menyisakan banyak pertanyaan. Hubungan tokoh saya dan Indani berlanjut sampai ke mana juga terasa mengambang.

Hanya saja, membaca cerita ini membuat kita dapat melihat sisi lain seorang Profesor Dali. Seorang dosen yang jarang bercanda, jarang melontarkan amarah, yang dikenal sebagai mantan Rektor Untar, penulis jurnal ilmiah, dosen filsafat dan psikometrika—mata kuliah kesayangan anak psikologi Untar. Saya sebut kesayangan karena ada yang ikhlas bersedia mengulang mata kuliah itu lebih dari sekali.

Catatan: Buku ini tampaknya belum dijual bebas, saya sendiri menemukannya dari perpustakaan Untar (Tarumanagara Knowledge Center)