Page

19 November 2014

Tentang Seseorang

Hari ini ulang tahunmu.
Tetapi, tidak ada sebaris ucapan selamat.
Tidak ada doa, tidak juga hadiah.
Yang ada hanyalah sebuah kalimat...
"Aku merindukanmu."

16 November 2014

Buku Kedua

Ketika buku pertama meluncur di rak-rak buku, sebenarnya saya tidak punya optimisme yang tinggi terhadap hasil penjualannya. Ah, buku semacam ini selain banyak pesaingnya, juga tidak akan selaku buku novel, begitu pikiran saya.

Rupanya saya salah. Dari data yang saya dapatkan dari PT Elex Media Komputindo, penjualan buku pertama itu hingga Juni 2014 sudah mencapai 1.550 eksemplar dari 2.000 eksemplar yang dicetak. Artinya, persentase penjualannya sudah mencapai sekitar 78%. Wow... fantastis.

Maka tidak heran bila saya kemudian ditawari PT Elex menulis kembali buku dengan topik sejenis. Kebetulan kami merasa kurang puas dengan buku pertama itu, terutama dikarenakan banyak kesalahan kecil (bagi pembaca yang merasa bingung dengan sejumlah instruksi atau penjelasan pada buku pertama itu, kami mohon maaf). Kemudian, kami bermaksud melakukan penyempurnaan buku tersebut.

Jadilah, buku kedua kami seperti yang dapat dilihat di bawah ini:



Perbedaan mendasar antara buku pertama dan kedua adalah ditambahkannya satu bab mengenai analisis perbedaan lebih dari dua kelompok dengan covariate.

Secara pribadi, saya menyukai layout tulisan dalam buku kedua ini. Tentu saja, saya berharap buku kedua ini bisa lebih laris dari buku pertama. Semoga...

13 Oktober 2014

Buka-Bukaan Artis Barat Di Depan Kamera

Saya baru saja menonton sebuah video klip sebuah grup band ternama. Grup band ini dari Amrik. Namanya pun sudah populer di Indonesia. Tak usah lah disebutkan namanya. Di dalam video klipnya itu mengandung sejumlah adegan vulgar di antaranya adegan penuh darah dan ketelanjangan.

Yang mau saya sorot saat ini adalah tentang ketelanjangan di video klip. Saya melihat belakangan ini, bukan belakangan ini sih, tetapi sudah cukup lama, ada tren baru dari video klip artis-artis barat, yaitu adegan buka-bukaan. Lebih "mematikan" lagi, buka-bukaannya bisa dikombinasikan dengan adegan goyang pinggul atau pun adegan di atas ranjang. Pasti "panas" dan bikin "gerah".

Rihanna, Miley Cyrus, Katy Perry, Lady Gaga lalu entah siapa lagi tidak malu-malu untuk buka-bukaan di depan kamera. Ada yang buka semua, ada yang buka sebagian. Berapa banyak yang dibuka mungkin tergantung dari bayarannya. Sebagian penyanyi bahkan tidak malu-malu untuk buka-buka sedikit (ya sedikit saja) di depan penggemarnya secara langsung.

Britney Spears enggak ada buka-bukaannya di video klip pada waktu dia ngehits di akhir tahun 90-an sampai awal 2000-an. Coba dikoreksi kalau saya salah. Tetapi sekarang ya lain cerita. Lagu terbarunya... hmm, tak usah lah diungkapkan. Judulnya saja sudah kasar apalagi videonya.

Saya sebagai orang yang sudah berumur seperempat abad tentu bisa lebih bijaksana dalam menyaksikan adegan semacam itu. Lalu, bagaimana dengan abege-abege? Saya tidak bilang semua abege tidak bijaksana. Namun, melihat karakteristik remaja, Anda tahu sendiri seperti apakah mereka.

Tidak sedikit abege-abege kita lebih ngefans sama artis barat ketimbang artis korea atau mungkin lokal. Dan untuk menyaksikan video klip artis-artis kesukaan kita, sekarang lebih mudah. Buka saja youtube. Yang jadul dan yang tergress tersedia semua. Coba bandingkan dengan kehidupan sebelum ada internet. Untuk menonton video klip, harus tongkrongin MTV, itu pun belum tentu full video alias bisa dipotong di tengah jalan karena paksaan iklan.

Begitu mudahnya menyaksikan video-video klip yang "panas" dan "gerah" itu, apakah generasi selanjutnya akan menjadi generasi berani buka-buka di depan kamera?

Sementara itu, saya lihat video klip artis lokal masih inferior kualitasnya dibandingkan dengan artis barat atau korea. Musiknya saja sudah dibuat seadanya dengan nada-nada mellow dan lirik membosankan, apalagi video klipnya. Tapi, tentu saja ada yang bagus, contohnya Noah, Maliq & D'essentials, atau Nidji. Grup-grup band yang saya sebutkan itu masih terbilang serius dalam menggarap lagu dan video klipnya. Setidaknya saya masih bersyukur, biarpun video klip penyanyi kita masih kalah keren dibandingkan dengan artis-artis luar, segerombolan penyanyi anak muda di tanah air ini masih belum sampai buka-bukaan di depan kamera.

11 Oktober 2014

Era Di Atas Tahun 2020, Bagaimana Jadinya

Era sebelum tahun 90-an: Papa saja sudah cukup menghidupi keluarga.

Era tahun 90-an sampai 2000-an: Rupanya Papa saja tidak cukup menghidupi keluarga, mesti ditambah Mama.

Era di atas tahun 2000-an: Rupanya Papa dan Mama masih saja tidak cukup menghidupi keluarga, mesti ditambah Anak.

Ah, yang bener lo Fren? Masak anak juga harus menopang perekonomian keluarga. Ini sih namanya eksploitasi anak. Begini ya... Lu gak ingat ya belakangan ini lagi ngetren acara kontes ini-itu yang pesertanya khusus anak-anak. Ada Idola Cilik, AFI Junior, Master Chef Junior, Da'i Cilik, The Master Junior, dan masih banyak lagi. Ada juga acara macam Indonesia Mencari Bakat yang pesertanya bisa dari anak-anak dan remaja selain orang dewasa. Terus lu masak lupa dengan kehadiran segerombolan anak muda yang hanya bermodalkan goyangan dan suara-suara seala kadarnya (karena kebanyakan nyanyinya lip sync) tapi bisa sampai bikin konser sendiri. Gak cuman satu, ada banyak. Ada yang mengatasnamakan diri sebagai boyband, girl band, idol group, atau apa lah namanya. Gue rasa honor mereka sudah cukup untuk bayar uang sekolah mereka. Percaya kan, kalau sekarang anak bisa juga menghidupi keluarga. Mungkin istilah KB bisa diganti. Kalau dulu singkatannya Keluarga Berencana, sekarang bisa jadi Keluarga Berkarir.

Era industri sekarang telah beralih ke era industri kreatif. Bukan mereka yang terlalu pandai yang bisa sukses (baca: menghasilkan banyak uang), melainkan mereka yang punya bakat dan kemampuan unik. Contohnya anak-anak yang ikut lomba ini-itu tadi. Jadi, hei para ortu, apakah mulai berpikir untuk mengembangkan bakat anak dalam bidang lain, misalnya kesenian?

Tapi mana tahu era di atas tahun 2020-an, Papa, Mama, Anak rupanya masih saja tidak cukup menghidupi keluarga, mungkin mesti ditambah Pembantu. Oh, tidak...!!! Jangan sampai itu terjadi.

15 September 2014

Pernikahan Bukan Perkara Cinta dan Agama Saja

Media nasional sedang dihebohkan oleh berita tentang gugatan hukum pernikahan di Indonesia. Seperti kita tahu bersama, salah satu aturan menikah di Indonesia harus seagama. Lalu, bagaimana nantinya jika kedua pasangan berbeda agama? Akhirnya yang harus dilakukan adalah salah satu pasangan harus mengalah. Dengan kata lain pindah agama, apakah ikut suami atau istri. Apakah pasangan tersebut hanya pindah agama sebatas meloloskan urusan administrasi (supaya pernikahannya sah) atau memang sudah mantap berpindah agama (berarti menjalankan keyakinannya yang baru) itu adalah lain persoalan. 

Kalau menurut saya, dilegalkan aturan pernikahan beda agama itu tidak masalah. Tuh, apa sih kerugian bagi negara bagi pasangan berbeda agama yang menikah? Tidak ada kan. Menikah beda agama juga bukan sebuah perbuatan kriminal. Lagi pula kita juga enggak tahu ke depannya akan bertemu dengan siapa, jatuh cinta dengan siapa, seperti kata orang ini.

Tapi, apakah dengan demikian pernikahan beda agama menjadi sesuatu yang mudah dijalani? Menurut saya tidak. Pernikahan di Indonesia (dan di negara-negara budaya Timur) bukan sekadar pernikahan antardua insan, melainkan pernikahan antarkeluarga besar. Jadi, saat kita menikahi seseorang, sebetulnya kita menikahi keluarganya. Mungkin pasanganmu yang beda agama bisa menerima keyakinanmu, tetapi apakah keluarga besarnya bisa menerima? Biasanya hubungan beda agama kerap mendapat tentangan atau tantangan dari orang-orang terdekat, keluarga salah satunya. Tapi, bisa juga dari sahabat.

Juga perlu diingat budaya Indonesia itu kental dengan kebersamaannya. Silaturahmi itu penting. Orang-orang Indonesia senang sekali kumpul-kumpul. Namanya kumpul-kumpul bukan cuman makan-makan dong, pasti cuap-cuap juga kan. Apa yang biasa dicuap-cuapkan? Ya macam-macamlah, "kapan nikah?", "kapan punya anak?" dan lain-lain. Misal saja, pada saat kumpul-kumpul entah itu pas Waisakan, Natalan, Lebaran, atau pun momen yang lainnya, mungkin bisa terdengar celetukan, "Kok, lakimu/binimu tidak diajak ke ... (nama tempat ibadah)? Sesekali biar dia bisa mengenal Tuhan bla-bla-bla..." Mungkin itu hanya basa-basi, tetapi kalau terdengar terus-menerus, bukankah itu tidak nyaman juga.

Perbedaan itu emang indah, tetapi ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Apa itu? Perbedaan itu indah, jika dapat saling menerima. Jika tidak bisa menerima, perbedaan ya cuman jadi perbedaan.

Terakhir yang penting digarisbawahi, pernikahan bukan hanya soal cinta, melainkan soal restu. Mau agamanya sama, warna kulit sama, bentuk hidung sama, atau ukuran mata sama, kalau tidak mendapat restu dari keluarga, ya sulit...

8 September 2014

Mau Marah-Marah di Situs Sosial Media? Baca Ini Dulu

Anda masih ingat kasus Dinda yang mencela ibu hamil hanya karena ia tidak mendapat tempat duduk di kereta, padahal ibu hamil yang datang telat bisa-bisanya mendapat tempat duduk? Atau Anda masih mengikuti kasus Florence yang menghina orang Jogja hanya karena ia tidak diperbolehkan mengantre bensin Pertamax di tempat pengisian bahan bakar mobil. Keduanya punya satu kesamaan. Sama-sama diawali dengan menuliskan uneg-uneg di Path, lalu di-screen capture, dan disebarluaskan.

Path, situs sosial media yang sedang populer di kalangan pengguna smartphone. Path, situs sosial media yang hanya bisa menjalin pertemanan dengan 150 orang (kabarnya sekarang sudah bisa mencapai 500 orang). Dibandingkan dengan Facebook atau Twitter yang bisa menjalin pertemanan lebih dari seribu orang, seharusnya pengguna Path bisa lebih selektif dalam memilih teman. Dalam artian, teman-teman kita di Path seharusnya adalah mereka yang benar-benar kita kenal dan ketahui.


Di sinilah letak persoalannya. Di dunia internet, "Orang bisa jadi anjing. Anjing bisa jadi orang." Tidak usah di sosial media, di dunia nyata saja, orang yang dekat dengan kita, bisa saja menjatuhkan kita. Lalu, salahkah orang yang memfoto tulisan kita sekaligus menyebarluaskan. Hmmm... mengapa tidak berkaca pada diri sendiri lebih dulu?


Pertama-tama, kita harus ingat Facebook, Path, Twitter, dan situs sosial media lainnya yang sejenis bukanlah BUKU HARIAN PRIBADI, termasuk situs Blogger ini. Kita harus ingat bahwa situs sosial media itu tempat di mana semua orang bisa membaca tulisan kita dan bebas berkomentar apa pun. Jadi, harusnya jangan marah kalau nanti tulisan kita diserang balik apalagi disebarluaskan. Kalau tak mau hal seperti itu terjadi, lebih baik berhati-hati dalam menulis di situs sosial media, misalnya menggunakan kalimat ambigu atau tidak menyebutkan secara terang-terangan nama, tempat, atau merk tertentu jika ingin menyudutkan seseorang/sesuatu.

Biarpun ada situs sosial media yang bisa membatasi jumlah teman atau mengatur tulisan yang hanya bisa dibaca oleh orang-orang tertentu atau pun ada situs chat yang katanya bisa menghapus pesan sesudah lewat sehari, JANGAN LUPAKAN ponsel sekarang sudah bisa melakukan screen capture atau screen shot. Jadi adakah situs sosial media yang dapat menjaga privasi? Menurut saya, tidak ada. Semua situs sosial media tidak aman. Yang paling privasi tentu saja adalah tidak menceritakannya kepada siapa pun alias jadikan saja R-A-H-A-S-I-A.


"When you write something offensive, and your writing have been screen shot and shared, get ready if someday you will be shot and scared..." Saya tidak terlalu pintar berbahasa Inggris ya, hehe... Tetapi maksudnya adalah, kalau Anda menuliskan sesuatu yang menyerang/buruk, dan tulisanmu itu di-screen capture dan disebarluaskan, bersiap-siaplah jika suatu hari nanti Anda akan kena masalah.


Sekarang ini saja, juga lagi marak pemberitaan Ridwan Kamil, wali kota Bandung, melaporkan ke polisi sebuah akun di twitter hanya karena tulisannya yang menghina kota Bandung termasuk dirinya. Nah, lho. Jadi, salahkah mengekspresikan kemarahan lewat situs sosial media? Salah benar tentu tergantung siapa yang melihat masalah.


Begini deh. Kalau lagi ngumpul dengan teman-teman, kadang-kadang teman kita bisa saja tersinggung dengan ucapan kita, yang mungkin pada saat itu sedang bercanda. Ngumpul-ngumpul saja bisa berbuah perselisihan. Nah, bagaimana jika ada ratusan bahkan ribuan orang yang melihat tulisan Anda lalu merasa tersinggung? Jadi saya hanya bisa mengingatkan kalau marah-marah lewat situs sosial media, Anda juga harus siap sedia dengan risiko terburuk yang terjadi. Menurut saya sih, jika ada keluhan atau amarah atau dendam, sebaiknya dengan berbicara langsung kepada orang-orang terdekat atau pihak-pihak yang profesional, semacam psikolog atau pendeta (Syukur-syukur ucapan kita tidak direkam ya, hehehe). 


Jadi, hal yang harus kita ingat sekarang lidah bukan satu-satunya yang bisa jadi pedang, mulut juga bukan satu-satunya yang bisa jadi harimau. Jari-jemari kita sekarang pun bisa menjadi harimau dan pedang. Maka itu, bijaklah dalam menggunakan jari-jemari kita.

3 Agustus 2014

Sebuah Kisah Cinta Sejati: Seorang Wanita Karena Kanker Ingin Mencarikan Kekasih Baru Untuk Suaminya

Saya pernah membaca suatu pernyataan bahwa yang dinamakan cinta sejati itu sebetulnya bukanlah cinta yang memiliki, bukanlah cinta yang posesif, melainkan cinta yang melepas. Karena itu, ketika seseorang betul-betul cinta, dia harusnya membiarkan cintanya terbang sejauh mungkin mengejar apa yang dia inginkan. Bila dia memang benar-benar jadi milikmu, pasti suatu hari nanti dia akan kembali kepadamu.

Mencintai dengan hasrat memiliki, menurut saya, adalah cinta yang bercampur dengan nafsu. Sementara itu, mencintai tanpa rasa memiliki adalah level cinta yang paling tinggi. Sebuah cinta yang murni. Salah satu orang yang mempraktikkan cinta semacam ini adalah Bunda Teresa. Dengan setulus hati, beliau mau menolong orang-orang sakit di negeri India. Tak peduli siapa mereka, agamanya apa, dari mana mereka berasal, apa timbal balik yang kan beliau dapat, beliau hanya ingin mencintai mereka sepenuh hati.

Rupanya bukan hanya Bunda Teresa yang dapat mempraktikkan cinta semacam ini, nun jauh di negeri Tiongkok, seorang wanita ingin mencari kekasih baru untuk suaminya karena ia menderita kanker otak stadium 4. Untuk mengetahui kisah selengkapnya, coba klik link di bawah ini. Anda akan terhubung ke sebuah laman Facebook. Ada cuplikan videonya yang sudah diberi teks bahasa Indonesia.

Jangan lupa siapkan tisu bagi yang tak kuat menahan sedih.

Apakah Anda sudah selesai menonton? Terharu?

Penasaran dengan kelanjutan nasib Feng Ying, saya mencoba mencari tahu di internet. Dan, ternyata operasinya berhasil. Saya rasa ia mendapatkan kekuatan dan mujizat dari seluruh orang yang mendoakannya.

Keputusan Feng Ying untuk mencarikan kekasih baru untuk suaminya jelas sulit diterima bagi mereka yang menganut paham bahwa cinta adalah sehidup semati dan tak terpisahkan. Tetapi, bukankah cinta adalah memberi kebahagiaan bagi orang yang dicinta? Untuk apa Anda paksakan diri mencintai seseorang atau menjalin hubungan dengan seseorang, hanya diri Anda yang bahagia, tetapi pasangan Anda tidak. Bukankah itu menjadi sangat egois?

Saya enggak tahu apakah suami Feng Ying sudah tahu tentang impian istrinya? Sulit membayangkan reaksinya, apakah ia bisa menerima atau tidak? Tetapi, Feng Ying pastinya berpikir bukankah lebih baik suaminya bisa hidup bahagia dengan wanita lain yang sehat ketimbang dengannya yang hanya memberi banyak beban? Feng Ying pasti merasa saat itu dirinya terlalu buruk untuk dicintai suaminya yang sangat baik.

Jadi, jikalau pasangan Anda ketahuan selingkuh dengan orang lain, tidakkah Anda harus berbahagia? Atau jikalau pasangan Anda sudah tidak lagi mencintai Anda, malah lebih mencintai orang lain, tidak jugakah Anda harus berbahagia? Berbahagia karena ia lebih bahagia (menemukan kebahagiaannya yang lebih), meskipun tidak bersama dengan Anda.

Aah... Pastinya ini tidak semudah diucapkan. Hasrat manusia ingin selalu memiliki sesuatu/seseorang. Kita sudah memiliki naluri seperti ini sejak dari dulu. Tetapi, belajar untuk mencintai dengan ikhlas rela (tanpa rasa memiliki) patut diupayakan. Dan satu lagi, mencintai tanpa memiliki itu benar-benar ada, nyata, dan bisa diterapkan.

29 Juni 2014

Anakku Tak Mau Belajar Di Rumah

"Anak saya kalau di rumah gak mau belajar" adalah keluhan orangtua yang saya dengar di tempat kerja saya.

Sebelum saya lanjutkan tulisan saya ini, saya teringat dengan sebuah ceramah di vihara yang dibawakan oleh seorang Suhu (dalam tradisi buddhis Mahayana, umat Buddha memanggil biksu atau biksuni dengan sebutan Suhu yang berarti guru). Dalam ceramah itu, Suhu tersebut prihatin dengan pendidikan keluarga zaman sekarang, salah satunya mengenai makan bersama. Menurut Suhu itu, "Yang namanya keluarga itu harus makan di atas satu panci yang sama. Artinya, apa yang disediakan itulah yang dimakan pada hari itu. Tapi kenyataannya sekarang ini anak bisa pilih-pilih makan. 'Ma, aku mau Indomie' atau 'Ma, aku mau makan nasi goreng'."

Lanjut Suhu, "Itu rumah atau restoran? Kok anak bisa-bisanya pilih makan sendiri." Saya tertawa geli mendengar pernyataan ini. Jadi, menurut Suhu tersebut, yang disebut rumah (keluarga), harus makan makanan yang sama yang sudah dimasak pada hari itu.

Kalau saya boleh ikut berkomentar, anak memiliki lidah yang lebih sensitif dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga pahit sedikit atau asam sedikit, anak bisa rewel. Memang urusan makan, harus pintar-pintar orangtua mengatur dan membujuk anak agar dia mau makan yang menyehatkan meski tidak disukainya (misalnya, sayur)

Jadi, kalau saya boleh menggunakan analogi dari pernyataan Suhu itu, dikaitkan dengan urusan anak belajar di rumah, saya jadi ingin berkata seperti ini, "Itu rumah atau playground? Kok anak bisa-bisanya tidak mau belajar di rumah."

Kan aneh, meski anak belajar hampir setiap hari ke sekolah, anak tentu istirahat di rumah. Liburan pun mereka akan di rumah. Masak sih liburan ke sekolah!? Kan tidak. 

Orangtua harus berpikir mengapa anaknya lebih mau belajar di sekolah atau di tempat les, tetapi serasa enggan belajar di kamar atau rumahnya sendiri? Apakah karena di sekolah atau di tempat les ada guru galak sehingga anak jadi mau belajar? Tentu saja bukan itu jawabannya. Lebih tepatnya, orangtua tidak mau mengkondisikan rumahnya sebagai tempat belajar untuk anak.

Saya khawatir ada orangtua yang berpikir bahwa belajar (mengerjakan PR, me-review materi ulangan) itu adalah di sekolah atau di tempat les. Rumah bukan tempat untuk semacam itu. Rumah adalah tempat anak untuk istirahat dan bermain. Wah, kalau benar ada yang berpikir begitu. Itu sangat menyedihkan.

Pendidikan adalah sinergi, kerja sama antara guru di sekolah dan orangtua di rumah. Tidak bisa hanya dibebankan kepada salah satu pihak. Anak tidak selamanya berada di sekolah. Betul!? Suatu hari, dia akan keluar dari lingkungan sekolah dan berpindah ke lingkungan lain. Menurut saya, yang namanya belajar di rumah (mengerjakan PR, me-review materi ulangan) adalah suatu bentuk latihan kepada anak agar dia kelak nantinya bisa mengurus dirinya sendiri atau bertanggung jawab pada kewajibannya.

Mari lupakan dulu soal aspek hasil belajar. Mungkin ada anak yang sudah mati-matian belajar sendiri di rumah, tetapi hasilnya tidak seoptimal seperti dia belajar di tempat les. Tentu saja itu lain persoalannya. Persoalan itu lebih kepada pemahaman materi belajar. Di sini saya membahas lebih ke persoalan sikap belajar.


Kunci agar anak mau belajar di rumah adalah kedisplinan. Anak bukanlah superman yang tahu-tahu bisa sesuatu dengan sendirinya. Segala sesuatu itu dipelajari, termasuk persoalan mau belajar sendiri di rumah. Orangtua harus tegas, bahwa ini saatnya belajar, bukan saatnya bermain. Dan harus lebih tegas lagi, ketika anak tak mau belajar serius di rumah harus ada konsekuensinya, entah itu pemotongan uang jajan, larangan keluar rumah, dan lain sebagainya.

Kedisiplinan itu mengandung dua kata kunci: pembiasaan atau pembiaran. Kalau Anda membiarkan anak Anda bisa nonton seharian di rumah atau bermain game seharian di rumah, anak tak akan terbiasa untuk belajar. Sebaliknya, jika anak dibiasakan untuk belajar, anak tak akan membiarkan tugas-tugasnya sebagai seorang pelajar.

Dan di atas kata kedisplinan, ada satu kata lagi yaitu kesabaran. Proses belajar tak bisa dipukul rata. Ada anak yang cepat memahami, ada yang tidak. Termasuk juga memahami tanggung jawabnya. Orangtua harus sabar sesabar-sabarnya untuk mengajari anaknya untuk mengerti akan tanggung jawabnya.

26 Juni 2014

Ayah Ibu Kok Tidak Kompak

Dalam membesarkan anak, pernah saya bahas sedikit bahwa itu adalah kerja sama. Tidak bisa salah satu pihak saja. Begitu pun dalam mendisiplinkan anak, harus dilakukan berdua dan kompak jalan pikirannya.

Saya beri contoh kasus berikut:

Mama: Nak, jangan main game terus. Ayo belajar!
Anak: Sebentar Ma.
Mama: Gak ada kata sebentar. Belajar atau Mama buang game-nya.
Papa: Udah lah Ma. Kasih main sebentar dulu saja.

Kasus di atas menunjukkan ada perbedaan pikiran antara Ibu dan Ayah. Yang satu menuntut anak untuk belajar. Yang satu lebih santai, tak mau anaknya stres belajar. Hal-hal seperti ini bisa terjadi di kasus-kasus yang lain. Semisal, Ayah melarang anaknya memiliki ponsel sendiri. Tetapi, karena Ibu kasihan, makanya dia belikan juga anaknya sebuah ponsel. Ceritanya diperparah, karena Ibu membelikan ponsel tanpa ngomong dulu kepada Ayah. Memang si Ayah tidak marah besar, tetapi cukup memnacing konflik di antara Ayah dan Ibu. Yang kasihan tentu adalah anak, ketika ia mungkin saja tahu bahwa dirinya adalah sumber masalah antara papa dan mamanya.

Perselisihan di antara Ayah dan Ibu seringkali terjadi dikarenakan masalah anak. Perbedaan dalam membesarkan anak bukan persoalan jenis kelamin, melainkan persoalan siapa yang merasa lebih tahu yang terbaik kepada anak. Masing-masing merasa tahu benar harusnya anak dibesarkan dengan cara seperti apa, entah itu cara yang lembut atau cara yang tegas. Kalau tidak ada win-win solution atau jalan keluar yang terbaik di antara keduanya, tidaklah heran di kemudian hari bila nanti akan ada konflik-konflik antara pihak Ayah atau Ibu.

Oleh karena itu, dalam membesarkan anak harus ada komunikasi di antara orangtua dalam segala hal, baik itu urusan kedisiplinan, urusan pemberian hadiah, urusan sekolah, urusan les, dan lain sebagainya. Terkadang masalah dalam membesarkan anak bisa muncul adalah ketika Ayah dan Ibu sama-sama keras kepala, tidak mau mengalah, dan tidak mau mengkomunikasikan pendapat atau perasaannya dengan clear.

Jadi seperti apakah yang disebut kompak membesarkan anak. Contohnya sebagai berikut:
Mama: Nak, jangan main game terus. Ayo belajar!
Anak: Sebentar Ma.
Mama: Gak ada kata sebentar. Belajar atau Mama buang game-nya.
Papa: Iya Nak. Ayo belajar dulu.
Terlihat di atas antara Mama dan Papa sama-sama kompak. Mungkin Mama bicara dengan nada lebih tegas, sementara Papa lebih lembut. Tetapi inti pemikirannya keduanya sama, yaitu mau anaknya belajar dulu.

Mama dan Papa dalam satu rumah bisa saja tidak kompak. Apalagi jika ada pembantu, baby sitter, atau mertua di rumah? Wah, biasanya itu lebih rumit lagi. Oleh karena itu, membesarkan anak harus ada komunikasi di antara orang serumah.

7 Juni 2014

Hidup dalam Kekinian

Sumber: ronniespirit.com
Sepanjang saya lahir hingga sekarang, saya cuman belajar satu agama saja: Agama Buddha. Saya tidak tahu secara detail dan jelas filosofi agama lain seperti apa. Tetapi, dalam buddhis, saya belajar sebuah filosofi yang saya sukai, meski sulit dipraktikkan. Filosofi itu adalah mindfullness. Dalam buku-buku buddhis sering diterjemahkan sebagai "penyadaran penuh". Dengan kata lain, sadar sepenuhnya dengan segala laku dan pikiran kita.


Contoh nyata praktik mindfull adalah hidup di saat ini. Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk hidup dalam kekinian (living in a present moment). Artinya, tidak larut dalam lamunan masa lalu dan tidak cemas dengan khayalan masa depan. Karena yang berlalu, sudah berlalu. Sementara yang belum datang, belum dapat dipastikan. Hiduplah kini dan di sini (here and now).

Okelah, saya harus ingetin blog ini bukan blog dakwah. Saya tidak sedang berkotbah. Saya cuman mau menjelaskan lebih lanjut konsep kini dan di sini dari sudut pandang saya.

Seberapa penting sih hidup dalam kekinian? Penting banget kalau menurut saya. Banyak orang yang punya masalah psikologis atau masalah-masalah lain terkait hidupnya biasanya bersumber dari masa lalu. Orang-orang yang punya fobia biasa karena mereka punya pengalaman kurang menyenangkan terhadap objek fobianya. Atau, orang-orang yang kurang percaya diri juga biasa dikarenakan ada pengalaman yang kurang enak di masa lalu (mungkin karena kerap mendapat verbal abuse, diremehkan, atau ditolak). Orang-orang seperti ini tanpa sadar membawa benih-benih masa lalu ke dalam memori sehingga membentuk diri dan perilaku mereka seperti saat ini. Sebagian dari mereka sadar dengan masa lalunya, apa yang mereka alami saat itu, tetapi mereka adalah orang-orang yang hmm... pakai istilah gaul, gagal move on. Mereka gagal beranjak dari masa lalu.

Lalu, orang yang terus mencemaskan masa depan juga bukan orang yang dibilang sehat. Kita belum tahu apa yang terjadi, eh tetapi kita sudah ketakutan duluan. Biasanya suka dialami pelajar yang mau menghadapi ujian nih. Bolak-balik mereka membuka halaman-halaman buku mereka bahkan di detik-detik ujian mau dimulai masih saja membaca catatan, karena mereka takut lupa atau takut bila soal itu susah. Padahal belum tentu sesusah yang dibayangkan. Orang-orang yang terlalu mengkhawatirkan apa yang terjadi bisa dibilang juga... gagal move on. Gagal melangkah menghadapi masa depan yang tak pasti.

Jadi, bagaimana seharusnya menghadapi hidup? Yang harus kita lakukan ya itu tadi... hidup dalam kekinian. Banyak orang yang terlalu sibuk memikirkan masa lalu atau masa depan sampai lupa apa yang sedang ia lakukan saat ini. Saat mereka terbangun dari lamunan dan khayalan itu (baca: tersadar), waktu telah berlalu begitu cepat. Lalu... nyesel.

Dalam bidang psikologi, ada terapi yang dikenal terapi Gestalt. Terapi ini meminta klien untuk melihat dan memahami apa yang sedang ia rasakan dan apa yang sedang ia pikirkan. Kemudian, terapis akan menuntun klien untuk dapat menangani masalahnya dengan penuh rasa tanggung jawab. Terapi Gestalt ini jelas mengandung pemikiran bahwa seseorang harus hidup dalam kekinian.

Terus, pertanyaannya: Jadi apakah boleh memikirkan masa lalu? Tentu saja boleh. Masa lalu adalah pelajaran. Soekarno pernah mengatakan jas merah yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah. Keberadaan kita tak pernah lepas dari masa lalu. Setiap detik yang kita lewati sebetulnya sudah jadi masa lalu.

Apakah boleh memikirkan masa depan, semisal merencanakan karir? Tentu saja boleh. Bahkan, Buddha yang mengajarkan hidup dalam kekinian juga memperbolehkan manusia punya keinginan, seperti keinginan untuk hidup kaya atau terlahir di surga.

Hidup dalam kekinian bukan berarti tidak memikirkan masa lalu atau masa depan sama sekali. Hidup dalam kekinian bukan berarti juga hidup seperti tidak memiliki tujuan. Sebenarnya hidup dalam kekinian adalah hidup yang bertujuan.

Sebenarnya bagaimana sih menerapkan hidup di saat ini atau hidup di dalam kekinian? Caramya dengan menanyakan kepada diri sendiri, "Sedang apa aku sekarang?", "Apa yang harus aku lakukan ke depannya?", "Apa yang harus aku lakukan saat ini?" Kebanyakan orang tidak sadar dia telah menghabiskan waktunya dengan kegiatan tak berguna, seperti melamun dan berandai-andai.

Misal "Sedang apa aku sekarang? Aku sedang mengerjakan tugas sekolah/kuliah. Apa yang harus aku lakukan ke depannya? Aku harus mengerjakannya sampai tuntas. Jadi, apa yang harus aku lakukan saat ini? Aku mengerjakan tugas-tugas ini sekarang juga."

Atau, kasus lain. "Aku sedang patah hati, baru saja diputuskan pacar. Apa yang harus aku lakukan ke depannya? Aku ingin mengatasi kesedihan ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang untuk mengatasi kesedihan ini? Aku perlu menghubungi teman-temanku untuk bercerita. Jadi yang ku lakukan sekarang adalah mengambil ponsel dan menghubungi salah satu dari temanku."

Orang yang hidup di saat ini adalah orang yang jelas-jelas memiliki tujuan. Mereka sangat fokus dengan apa yang sedang mereka kerjakan.

Jangan biarkan pikiran disibukkan dengan hal-hal yang sudah berlalu atau pun hal-hal yang belum datang. Ibarat mau ke pantai seberang, celakanya tak bisa maju-maju. Rupanya karena kita masih belum melepas jangkar dari perahu kita. Atau, pas kita sudah menaiki perahu, tetapi lagi-lagi kok tak maju-maju. Rupanya karena kita selalu terbayang-bayang badai yang ada di depan. Orang yang tak bisa maju-maju ini bisa disebut... lagi galau. Jadi lakukan yang terbaik untuk saat ini.


1 Juni 2014

Ini Ceritaku dan Karyaku

Selamat datang bulan Juni 2014. Tidak seperti bulan Mei, bulan Juni 2014 adalah bulan yang tidak ada tanggal merahnya selain hari Minggu. Begitulah nasib para pekerja. Selalu mendambakan hari libur lebih dari Sabtu dan Minggu.

Belakangan ini saya mulai aktif meng-update blog. Kebanyakan isi blog ini lagi seputar tentang pengasuhan anak (parenting). Itu karena saya kerja di sebuah tempat les sehingga banyak bersinggungan dengan dunia anak dan dunia parenting. Saya mengamati orangtua zaman sekarang agak frustrasi dalam mendidik anak. Sebenarnya saya juga sih (maaf, ikutan curhat). Pertama-tama, pelajaran sekolah sekarang lebih susah. Mosok anak kelas 4 SD sudah harus belajar tentang tugas-tugas presiden, DPR, MPR, DPD, BPK, dan lain-lain. Kayaknya dulu saya enggak deh. Saya sendiri yang sekarang sudah sarjana saja tidak begitu menguasai masalah tata negara.

Lalu, perilaku anak sekarang pun (kebanyakan yang saya temui sih) lebih susah diatur. Hal yang memprihatinkan bagi saya selanjutnya: anak-anak sekarang seperti kebanyakan les/belajar. Bahkan, anak usia 3 tahun pun sudah dileskan atau disekolahkan. Apakah benar belajar sejak dini memberikan manfaat kepada anak, entah itu secara intelektual, gerak motorik, atau psikologis? Adakah yang bisa berikan tanggapan? Silakan jika ada...

Ya itu sekelumit tentang dunia yang sedang saya hadapi. Tulisan-tulisan seperti itu kelihatannya masih akan bertambah. By the way, blog saya memang agak sedikit random. Kadang isinya tentang curhat, kadang isinya tentang humor, kadang isinya tentang motivasi, dan macam-macam. Blog saya ibarat cap cai atau gado-gado kali ya. Hehe.

Blog ini memang tidak dikhususkan untuk berbicara satu topik. Blog ini memang dibuat untuk mendokumentasikan pikiran-pikiran saya. Saya senang berpikir dan senang menulis sejak dulu. Bahkan waktu kecil saya ingat saya sering mencoret-coret sesuatu di kertas, lalu habis itu saya buang. Hehe. Banyak ide/curahan hati yang sering muncul, terlintas begitu saja, biasanya sih paling sering muncul pas menjelang tidur. Sayang juga kalau ide-ide atau curahan-curahan itu tidak dituliskan. Oleh sebab itu, saya gak pernah pusing apakah blog ini dibaca atau enggak, dikomentari atau enggak. Syukur-syukur kalau ada yang diam-diam ngefans tulisan saya. Hehehe.... Blog ini sengaja dibuat hanya demi menyimpan buah pikiran atau buah perasaan saya. Amit-amit... barangkali saya amnesia suatu hari nanti. Blog ini bisa mengingatkan siapa saya, apa sepak terjang saya di kala dulu.

Blog ini bisa dibaca oleh siapa saja, jadinya saya gak akan menulis sesuatu yang sifatnya terlalu pribadi atau terlalu aib di sini. Yang lebih aib, lebih rahasia saya punya semacam catatan tersendiri yang gak boleh dibaca siapa pun...

Orang yang pandai melukis membuat lukisan. Orang yang pandai bermain alat musik membuat lagu. Setiap orang punya keahliannya masing-masing. Jadilah, saya sebagai orang yang pandai menulis membuat tulisan. Sebenarnya dibilang pandai, gak juga sih. Cuman daripada menggambar atau memainkan instrumen musik, ya kemampuan saya merangkai kalimat masih lebih baik lah.

Saya mau cerita sedikit mengenai apa yang terjadi di tahun 2013 yang mungkin belum sempat diceritakan. Sebagian besar kawan saya di Facebook sudah mengetahui saya telah menghasilkan satu karya yang telah dipublikasikan. Di tahun 2013 itu sebenarnya saya juga sudah menghasilkan sebuah novel komedi. Saya berikan hard copy novel komedi ini ke beberapa teman terdekat saya. Komentar dari mereka sih, katanya lucu dan menghibur. Iseng-iseng saja, saya mengajukan novel ini ke dua penerbit besar. Hasilnya saya mendapat surat cinta penolakan dari kedua penerbit itu. Haha. Saya sih gak sedih waktu mendapat surat cinta penolakan. Soalnya saya juga gak merasa itu novel yang bagus. Toh, Debbie (teman saya yang penulis betulan) yang saya daulat untuk baca memberikan komentar langsung di depan muka saya. Katanya, dia sama sekali gak dapat pesan setelah baca novel itu. Lalu novel itu garing, katanya. Bermaksud lucu tetapi gak lucu sama sekali. Tuh kan benar. Gak bagus. Tetapi dia menyemangati saya. Katanya, saya pasti bisa menulis lebih dari itu. Ya, Deb. Suatu hari, gue akan buktikan gue bisa menulis novel yang nantinya membuat lu terpukau.

Ah, bicara tentang membuat novel, yang saya idam-idamkan sejak dulu, kadang-kadang ya bikin saya sakit kepala juga. Meski ide besar sudah ada, tetapi meramunya menjadi matang... ah susah sekali. Passion oh passion. Mengejarnya bak mengejar bintang di langit.

Nah, di tahun 2013 itu saya juga sempat membukukan karya-karya saya ke dalam bentuk naskah yang dijilid. Ada dua. Saya beri judul 25 Karya Kumpulan Puisi dan 25 Karya Kumpulan Tulisan. Naskah itu saya berikan secara gratis ke beberapa teman terdekat saya sebagai hadiah pertemanan. Mengapa 25 karya? Itu untuk memperingati usia saya yang ke-25 di tahun 2013. Kalau lihat jumlahnya, wah... sudah banyak ya, tulisan-tulisan saya. Belum lagi tulisan di blog, tulisan di majalah kampus, dan tulisan di catatan pribadi tentunya.... banyak banget ya... Hahaha....

Sekarang saya mau ceritakan kesibukan saya. Sehabis lulus kuliah, ngapain saja? Kerja. Tapi, mosok kerja-kerja saja. Ya enggak lah. Sekarang saya lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca dan menonton film di internet. Untuk selingan, bermain game dan ngemil. Kalau hari Minggu, sesempat-sempatnya pergi ke tempat ibadah.

Bila orang-orang bertanya kepada saya, ngapain ke tempat ibadah? Masuk surga? Ah, enggak lah. Terlalu jauh. Gak kepikiran sampai ke sana. Dapat pahala? Ah itu kok tujuannya terdengar egois amat ya. Saya akan jawab begini: Untuk mengingatkan diri saya untuk selalu berbuat baik. Manusia gak pernah lepas dari kesalahan kan ya. Menurut saya, kita ke tempat ibadah untuk menyadarkan kita bahwa kita sebagai manusia seharusnya berbuat hal-hal yang baik, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Terus, kalau ada jodoh, saya akan pergi hangout dengan teman-teman saya. Tetapi, kalau enggak jodoh, ya sudah saya habiskan waktu saya sendirian dengan cuci mata ke mall terdekat. Kehidupan setelah lulus kuliah memang berbeda dengan kehdupan ketika kuliah.

Sekarang orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang sibuk berbisnis, ada yang sibuk les bahasa, ada yang sibuk dengan anak-anaknya. Yang dulunya dekat, sekarang gak dekat lagi. Tetapi, biasanya akan ada sedikit orang yang masih dekat dengan kita.

Oh, saya mesti cerita, teman baik saya di Tangerang telah menikah Februari lalu dan dalam waktu dekat ini akan punya anak. Teman saya ini dari jomblo, putus... eh sekarang menikah dan bakalan jadi seorang Ibu. Kalau saya.... masih jomblo-jomblo saja. Haha...

Hidup ini memang berubah. Gak cuman saya, ya kamu juga berubah. Lalu mereka dan semuanya. Yang merasakan gak cuman saya, yang lain juga begitu. Nih saya temukan satu gambar menarik dari Path.


Kurang-lebih itu dulu yang saya bisa saya ceritakan. Besok hari Senin soalnya. Hehe... nantikan tulisan-tulisan saya berikutnya ya...

27 Mei 2014

Anakmu, Anakku, atau Anak Kita

Mungkin ada yang pernah (atau sering) mendengarkan pernyataan seperti ini di keluarga, "Mami... anakmu ini gak bisa bantu orangtua," keluh seorang ayah. Atau, kali ini giliran ibu yang berkata, "Papa... Anakmu itu lho... nonton TV terus kerjaanya," Yang saya tekankan di sini adalah kata anakmu.

Terdengar lucu ya, padahal anak itu adalah anak mereka. Anak hasil bikinan berdua. Kok, pakai kata anakmu? Harusnya kan anak kita. Hehe.

Secara alamiah, manusia memang paling senang menyalahkan orang lain. Jadi, ketika mengalami sebuah masalah, yang disalahkan ialah orang lain. Ketika anak bermasalah, lalu menuding adalah kesalahan itu adalah karena salah satu pihak, "Anakmu..." Coba kalau anak itu membanggakan, misalnya dapat juara kelas, maka yang dikatakan adalah, "Ini baru namanya anak Papa...", "Hebat nih anak Mama..." Tuh kan. Kalau yang bagus-bagus, diakui sebagai hasil jerih payah usahanya. Yang jelek-jelek, kasih ke orang lain saja. Hehehe.

"Anakmu" atau "anakku" bukanlah istilah yang tepat. Harusnya itu "anak kita". Mungkin terlalu berlebihan saya memperkarakan istilah "anakmu" dan "anakku". Yang ingin saya sorot di sini adalah saya sekadar mengingatkan bahwa anak adalah hasil buah cinta Ayah dan Ibu, dari soal fisik hingga soal perilaku. Baik-buruk anak adalah bentukan dari Ayah dan Ibunya. Tidak bisa menyalahkan salah satu pihak.

Masyarakat yang masih konvesional memang berpendirian Ayah adalah pencari nafkah sementara Ibu adalah pengurus rumah tangga dan pengasuh anak. Karena itu ada sentimen bila anak tidak bertumbuh kembang dengan baik, pastinya itu salah asuh Ibunya. Tidak mengherankan bila anak lebih dekat dengan Ibu daripada Ayah. Tetapi, apakah itu mengharuskan Ayah cuek-cuek saja dengan perkembangan perilaku anak, entah itu persoalannya di sekolah, persoalannya di rumah, maupun di tempat lain?

Namun di kehidupan modern sekarang menuntut Ibu juga harus menjadi pencari nafkah. Karena kehidupan keluarga zaman sekarang tidak cukup bila hanya mengandalkan pemasukan salah satu pihak. Nah, kalau kasus yang begini, siapakah yang harus terlibat dalam membesarkan dan merawat anak?

Pendapat saya, sebagaimana anak diciptakan karena kerja sama antara Ayah dan Ibu plus ditambah cinta, demikianlah membesarkan juga mendidik sang anak haruslah kerja sama antara Ayah dan Ibu.

Ayah, Ibu jangan menuding kesalahan kepada salah satu pihak bila itu terkait dengan anak. Marilah saling berkomunikasi lalu mengupayakan yang terbaik untuk anak.

24 Mei 2014

Sejenak Curhat

Aku tak pandai berkata-kata
Aku tak pandai mengungkapkan perasaan

Tapi,
Ketika kau berada di sebelahku
Atau berada jauh dariku sekalipun
Aku memperhatikanmu
Aku mendengarkanmu

Aku cuek ya, tapi aku peduli kok

17 Mei 2014

Kemandirian Itu Dipelajari

"Anak saya ini gak bisa mandiri..."

Tersenyum dalam hati saja saya mendengarnya. Lho, senyum dalam hati, maksudnya gimana toh? Hehehe. Karena saya bekerja di tempat les anak-anak, sedikit banyak saya mendengarkan curhatan atau keluhan orangtua. Salah satunya seperti bunyi kalimat di atas.

Mengapa saya senyum-senyum mendengarnya? Menurut saya, anak tak akan bisa mandiri jika ia tak pernah diajari untuk mandiri.

Adakah anak yang setelah ia lahir bisa cebok duburnya sendiri sehabis buang air besar? Tidak ada.
Adakah anak yang setelah ia lahir bisa makan sendiri tanpa disuapi? Tidak ada.
Adakah anak yang setelah ia lahir bisa berhitung, membaca, dan menulis? Tidak ada.

Dunia ini serba belajar. Anak bisa cebok sendiri sehabis buang air besar, makan sendiri, menyusun buku sendiri, sampai ia belajar tanpa perlu diteriaki dulu semuanya itu adalah pembelajaran. Tentu saja, ada pihak yang membantu mengajari anak itu untuk dapat seperti itu.

Kemandirian seperti halnya keahlian berhitung, membaca, menulis. Semuanya adalah proses belajar. Sayang sekali, kebanyakan orangtua agak menyepelekan hal ini. Mereka pikir mungkin belum saatnya anak saya untuk mandiri. Makanya, bisa-bisanya ada orangtua dengan sangat baik hati membawakan tas anaknya ke sekolah. Ya kalau sangat berat, mungkin masih dimaklumi. Ini tas isinya ringan dan anak bisa bawa dengan tenaga sendirinya, mengapa harus repot-repot dibawakan. Ada pula orangtua yang menyuapi anaknya ketika ia makan. Kalau bayi, masih wajarlah. Ini anak sudah besar, tangannya sudah bisa menggunakan sendok, mengapa juga masih disuapi. Terlalu baik terhadap anak bisa menjadi masalah tersendiri lho.

"Kamu sudah mau kelas enam. Sudah harus punya tanggung jawab", begitu teriak orangtua kepada anaknya. Dalam hati saya, iya sih, benar. Dia sudah mau kelas enam dan harusnya bertanggung jawab. Tetapi Bu, anak ini kan gak bisa bertanggung jawab dengan sendirinya kalau ia tidak pernah diusahakan untuk bertanggung jawab. Sama saja dengan kemandirian atau sifat-sifat lainnya. Anak tidak bisa paham kemandirian bila ia tidak pernah diajarkan demikian.

Anak itu makhluk egosentris seperti yang sudah saya bahas di beberapa postingan sebelumnya. Anak sedari kecil ketika ia masih bayi, apa-apa selalu disediakan, apa-apa selalu dibantu, kalau ada apa-apa selalu dilayani. Ketika ia sudah masuk usia sekolah, tiba-tiba saja ia harus mengerjakannya sendiri. Dia harus membawa tasnya sendiri, dia harus menyusun bukunya sendiri, dan lain sebagainya. Tentu ini menimbulkan rasa frustrasi tersendiri untuk anak.

Tetapi, kita sebagai orangtua tidak boleh menyerah hanya karena kasihan terhadap anak-anak kita. Kemandirian adalah bentuk kedewasaan. Kemandirian adalah bentuk pertahanan hidup. Orang pada satu momen tidak bisa terus-terus mengharapkan bantuan orang lain.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus memberi kepercayaan kepada anak-anak kita untuk mengerjakan sesuatu dengan sendirinya. Dan kita harus sabar dengan amat-sangat mengamati proses kemandiriannya.

Misal, membiasakan anak menyusun buku-buku pelajarannya sendiri (termasuk alat tulis dan perlengkapan lainnya) untuk hari esok.
  • Kita beritahukan kepada anak bahwa inilah saatnya ia harus bertanggung jawab terhadap segala perlengkapan yang harus ia bawa untuk esok hari. 
  • Dia harus memeriksa sendiri buku-buku apa yang harus ia bawa termasuk alat tulis dan perlengkapan lainnya. Dia harus mencoba melakukannya sendiri. 
  • Mungkin awal-awal anak akan kebingungan dengan kewajibannya ini. Dia pasti tidak terbiasa. "Ah, malas," gerutu anak.
  • Jangan tegur dia terlalu keras. Katakan kepadanya bahwa kita sebagai orangtua akan membantunya, seperti membantunya mengambil dan mengeluarkan buku di dalam tasnya sembari meminta si anak juga tetap mengeceknya sendiri. 
  • Dalam proses inilah, kita harus sabar. Sabar itu maksudnya jangan cepat-cepat memarahi anak kala ia melakukan kesalahan, semacam ini "Salah, besok bawa buku mate, bukan buku Indonesia. Agendanya dicek dong!" Perkataan kayak begitu justru cuman membuat anak makin stres. Jika ada kesalahan, jangan langsung memarahinya apalagi dengan nada tinggi. Cukup katakan dengan nada lembut. Ingat, dalam proses belajar, pasti ada benar dan salah. Kebisaan muncul karena terbiasa.
  • Sesudah dua-tiga hari, barulah orangtua lepaskan bantuan dan biarkan ia melakukannya sendiri. 
  • Jika sesudah dilepaskan bantuannya, ia melakukan sebuah kesalahan (misal, salah membawa buku), katakanlah, mulai sekarang itu akan jadi kesalahannya. Dan bila ia dihukum guru karena kesalahannya sendiri, katakanlah bahwa ia harus dapat berlapang dada menerimanya.
Proses belajar menuntut kesabaran dan tidak pernah ada yang terjadi dalam waktu instan. Di sinilah letak keindahan dalam mendidik anak. Dari seorang bocah kecil yang tak bisa apa-apa dulunya, lalu ia bertumbuh kembang menjadi sosok yang luar biasa. Bukankah itu sangat membanggakan? Mengapa tidak kita mencoba mendidik anak kita menjadi demikian?

Susah? Tidak pernah susah selama kita mau terus berusaha dan bersabar. 

Daripada mengisi hari-hari anak dengan kata-kata, "kamu SELALU saja SALAH.... kamu TIDAK BISA apa-apa," dan kata-kata "menghukum" lainnya yang hanya membuat anak tidak percaya diri; daripada mengisi hari-hari anak dengan manjaan yang hanya membuat anak-anak menjadi egois dan selalu minta diperhatikan... bukankah lebih baik mendidik anak dengan dukungan, motivasi, dan apresiasi, serta ketegasan.

13 Mei 2014

Sepuluh Pelajaran Berharga di Usia 20-an

Pas di tempat kerja, iseng-iseng browsing internet, saya menemukan artikel yang menarik dan menginspirasi. Judulnya 10 Pelajaran Hidup Berharga di Usia 20-an yang saya baca dari vemale.com. Situs vemale.com memang lebih banyak membahas tentang dunia wanita. Begitu juga artikel yang saya baca itu memang lebih untuk wanita, tetapi para pria juga bisa mengambil pesan-pesannya.

Berikut intisari dari sepuluh pelajaran berharga tersebut. Tulisan di dalam kurung yang saya cetak miring adalah kata-kata tambahan dari saya.

  1. Anda bukanlah kegagalan atau perasaan terbuang yang Anda miliki. Pria (atau orang yang Anda cintai) di sana yang tidak mencintai Anda, pekerjaan (terutama pekerjaan impian atau melamar ke perusahaan impian) yang tidak berhasil Anda dapatkan, sekolah yang tidak berhasil Anda lalui tesnya. Kegagalan bukanlah hal yang mendefinisikan bagaimana kehidupan Anda kok. Justru saat satu pintu tertutup, Anda punya 1.000 pintu lain yang menunggu untuk dibuka.
  2. Membuang orang-orang yang mendorong Anda untuk membenci diri Anda adalah hal yang sulit. Tapi Anda perlu melakukannya. Barangkali rasa sesal pernah menyusup dalam diri Anda saat melakukannya, but you will ultimately rejoice in a toxic-free life.
  3. Milikilah keberanian untuk menjadi diri Anda sendiri, kapan pun (dan di mana pun)
  4. Tunjukkan cinta Anda kepada orang-orang di sekitar, terutama orang tua Anda. Sementara Anda semakin sibuk dengan pencapaian-pencapaian diri, orang tua Anda juga semakin menua. Sempatkan waktu berbincang dengan mereka setiap hari, don't waste the moment (duh... benar banget nih).
  5. Ketahuilah kapan Anda harus marah, harus terus berusaha, dan kapan harus berhenti.
  6. Setiap orang punya kisah dan jalan hidupnya sendiri, jadi jangan membandingkan diri Anda dengan kisah hidup orang lain. Respect yourself.
  7. Tuhan akan "berbicara" pada Anda melalui orang lain, mimpi-mimpinya, pengalaman hidupnya, bahkan lagu yang dinyanyikan oleh orang lain kepada Anda. So, listen it. (lagu-lagu galau itu sama sekali tidak membunuh kok...)
  8. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan bertumbuh.
  9. Belajar memaafkan, memaafkan diri sendiri, dan orang lain.
  10. Anda memang harus memaafkan orang lain yang menyakiti hati Anda, tetapi memberikan mereka kesempatan kedua untuk hadir kembali ke kehidupan Anda adalah pilihan. So, you decide :)

11 Mei 2014

Mendisiplinkan Anak

Mendisiplinkan anak itu gampang-gampang susah. Gampang sebetulnya asal ada kemauan. Tetapi susahnya itu suka berbenturan dengan hati nurani. Wajarlah orangtua selalu ingin yang terbaik untuk anak, termasuk menjadi orangtua yang baik. Tetapi kadang perlakuan baiknya suka berlebihan (baca ini).

"Anak itu tidak boleh dikerasin, anak tidak boleh digalakkin, anak tidak boleh dihukum". Semuanya itu menurut saya salah besar. Perilaku anak haruslah dibentuk dan dikendalikan. Anak tidak paham mana yang benar, mana yang salah ketika ia lahir. Ia hanya bertingkah laku sesuai dorongan-dorongan yang ada di dalam dirinya. Bahasa kasarnya, ia bertindak sesuai dengan nalurinya. Kedisiplinan bertujuan supaya anak dapat berperilaku yang tepat sesuai dengan waktu dan keadaan. Sebagai contoh, anak tahu kapan waktu belajar, kapan waktu bermain. Ketika waktunya belajar, ia akan belajar. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Hal-hal seperti ini dibentuk melalui kedisplinan. Kedisiplinan juga bertujuan membangun karakter dan perilaku yang baik pada diri anak. Tanpa kedisiplinan, anak akan menjadi liar dan berperilaku sesuka-sukanya.

Kedisiplinan bukan berarti hukuman. Kedisplinan justru adalah ketegasan. Ketegasan inilah yang sayangnya dilupakan oleh banyak orangtua. Bagaimana cara menerapkan ketegasan? Menurut saya caranya adalah penegakkan aturan yang jelas dan konsistensi dalam menerapkannya.

Menghadapi Rengekan Anak

Anak seringkali merengek-rengek dan kadangkala orangtua pusing menghadapinya. Saya beri contoh kasus sebagai berikut:

Anak: Ma, pergi ke mall.
Mama: Enggak. Minggu lalu sudah pergi. Hari ini di rumah dulu. Belajar.
Anak: Pengen pergi... pengen pergi! (merengek-rengek sambil menangis)
Pilihan apa yang Anda ambil ketika anak sudah merengek-rengek bahkan sambil mengamuk?

A: Ya sudah, nanti pergi, tetapi cuman sebentar saja.
B: Sekali Mama bilang enggak tetap enggak. Hari ini kamu belajar.
Kalau Anda orangtua tegas dan tahu yang terbaik untuk anak, Anda akan pilih yang B.

Pilihan A hanya membuat anak belajar sesuatu: "Dengan merengek lalu menangis atau mengamuk, aku bisa membuat Mama mengubah keputusannya."

Pilihan B membuat anak belajar:  "Meski aku merengek, menangis, dan melakukan berbagai macam cara, Mama tidak mengubah keputusannya."

Orangtua tidak boleh dengan mengubah keputusan awal atau mengabulkan permintaan anak hanya karena ia menangis atau melakukan perilaku-perilaku sulit lainnya (membanting-banting barang, marah-marah, dan sebagainya). Di sinilah letak ketegasan orangtua, yaitu konsisten dengan kata-katanya sendiri apa pun perilaku sulit yang ditunjukkan anak.

Di sinilah ketegasan orangtua juga dipertaruhkan, apakah mau mengalah dengan permintaan anak atau tetap teguh pada pendirian? Banyak orangtua yang tidak tahan dengan rengekan anak sehingga memilih mengalah. Pada akhirnya itu hanya menjadi bumerang bagi orangtua. Anak akan belajar menggunakan jurus rengekan ketika permintaannya tidak dikabulkan. Padahal kalau orangtua berani teguh dengan pendiriannya, percayalah rengekan anak akan hilang dengan sendirinya di kemudian hari. Dia akan belajar bahwasanya merengek tiada gunanya ketika orangtua sudah mengatakan TIDAK pada permintaannya. Ketika orangtua sudah bilang TIDAK, seratus persen tidak dan tak ada keputusan lainnya.

Pembiasaan vs Pembiaran

Perilaku itu dibentuk secara berulang-ulang melalui pembiasaan. Saya beri contoh kasus sebagai berikut:

Mama: Nak, habis main, rapikan mainanmu sendiri.
Anak: Ah, capek.

Dalam situasi seperti ini, pilihan apa yang sebaiknya diambil?

A: Duh, udah dibilang berkali-kali enggak ngerti juga (sambil ngomong demikian, sambil si Mama merapikan mainan anaknya).
B: Rapiin mainanmu segera. Kalau dalam 10 menit, Mama lihat mainannya gak rapi. Mainannya Mama buang saja!
Jika Anda memilih pilihan A, anak akan belajar: "Perintah Mama cuman gertak sambal, Mama kan baik. Mama selalu membantu aku."

Bagaimana jadinya jika sudah memilih B, berteriak dengan nada tinggi disertai ancaman, tetap anak tidak mau merapikan mainannya? Di sinilah kembali letak ketegasan orangtua dipertaruhkan, apa mau konsisten dengan kata-kata yang diucapkan?

Kalau Anda sudah mengancamnya akan membuang mainannya, tetapi tidak dilakukan (karena kasihan atau pertimbangan lainnya), ya percuma saja. Pada akhirnya, akan kembali lagi ke pilihan A. Anak akan belajar bahwa Mama cuman bisa ngomong saja, tetapi tidak berani berbuat lebih jauh.

Jika Anda sudah mengancamnya dalam 10 menit, dia tidak merapikan mainannya sendiri, ya Anda harus konsisten dengan apa yang Anda harus lakukan, yaitu membuang mainannya. Dengan demikian, anak akan belajar bahwa ada konsekuensi yang harus ia tanggung ketika ia bertingkah laku tidak sesuai dengan harapan orangtua. Anak akan belajar: "Kalau aku tidak merapikan mainanku segera, mainanku akan dibuang." Selain itu, anak akan belajar bahwa orangtua tidak main-main dengan ancaman dan hukuamnnya.

Dan hal ini harus dilakukan konsisten terus-menerus. Kala Anda menemui kasus semacam ini, Anda harus melakukan yang serupa, sehingga anak belajar untuk terbiasa merapikan mainannya sendiri.

Oleh karena itu, kedisiplinan adalah pembiasaan, bukan pembiaran. Untuk berperilaku baik, anak harus dibiasakan. Tetapi, terlebih dahulu orangtua harus terbiasa menerapkan aturan dan hukuman. Kita tidak boleh memaklumi perilaku anak yang seharusnya tidak perlu dimaklumi. Kita tidak boleh begitu saja membiarkan perilaku buruk anak, karena itu akan menjadi awal yang tidak baik untuk perkembangan anak untuk di kemudian hari.

Jika anak Anda protes dengan hukuman Anda, katakan saja, "Mama kan sudah memperingatkan..." Berikan penjelasan bahwa Anda sudah memperingatinya. Hal ini menunjukkan bahwa Anda sebagai orangtua sebetulnya memberikan kesempatan bagi anak untuk berubah. Namun, anak tidak mematuhinya sehingga ia harus menanggung konsekuensinya. Mungkin anak tidak akan senang dengan hukuman Anda, tetapi yakinilah bahwa Anda melakukan hal ini demi kebaikan anak Anda di masa yang akan datang.

Sumber: familyfrugalfun.com

10 Mei 2014

Profesi Suami Terbaik


 

Benar-benar profesi yang terbaik.... Lalu apa ya profesi terbaik untuk sang istri?

7 Mei 2014

Jangan Terlalu Baik Sama Anak

Judul postingan ini mungkin bisa menuai protes. Lho, maksudnya apa nih? Sama anak kok gak boleh baik. Boleh baik, tapi harus ditegaskan jangan terlalu baik.

Saya melihat fenomena orangtua di perkotaan mudah memanjakan anak dengan berbagai macam hal yang menyenangkan. Meski baru berusia SD, anak-anak sekarang sudah terbiasa bermain tablet, memiliki ponsel sendiri, berekreasi ke mal-mal besar. Kehidupan anak zaman sekarang memang terasa lebih menyenangkan dibandingkan dengan keadaan di 10-20 tahun sebelumnya. Menyenangkan anak bukan sesuatu yang salah. Namun menjadi sesuatu yang sangat salah, jika menyenangkan anak menjadi sesuatu yang dibiasakan oleh orangtua. Ada jenis orangtua yang saya temui teramat gampang memberikan atau membelikan sesuatu kepada anak.

Tapi pada kasus yang lebih jauh, saya melihat ada orangtua yang baiknya sudah melampaui batas. Ambil contoh, anak itu merengek-rengek meminta sesuatu, dengan mudahnya saja orangtua itu memberikan. Orangtua semacam ini sangat sulit mengatakan TIDAK kepada anak.

Saya bisa paham, ada orangtua yang tidak tahan bila anaknya menangis atau cemberut.  Jadi, mereka pun lebih rela mengabulkan permintaan anak mereka meski dalam hati enggan.

Nah, di sinilah menurut saya kesalahan besar bagi orangtua yang berpikir bahwa mencintai atau menyayangi anak adalah selalu menyenangkan mereka.


Orangtua mengerjakan PR anak. Ada beberapa orangtua yang melakukannya, meski itu sangat tidak mendidik.

Anak adalah makhluk yang bersifat egosentris. Yang mereka tahu sejak lahir adalah mereka harus dilayani dan dimengerti. Yang mereka tahu dengan menangis mereka akan diperhatikan. Mereka belum bisa mengerti dengan terang bahwa ada sesuatu yang harus diperjuangkan sendiri; bahwa ada sesuatu yang diinginkan, namun tidak bisa didapatkan. Bahasa sederhananya, anak-anak belum bisa merasakan yang namanya "galau".

Menjadi terlalu baik kepada anak hanya menebalkan sifat egosentris mereka dan ini tentu tidak bagus untuk perkembangan mental mereka. Karena itu mendidik anak harus profesional. Adakalanya harus baik. Adakalanya anak harus dihukum karena kenakalan mereka. Adakalanya anak harus dimarahi karena kesalahan mereka. Adakalanya kita harus berkata TIDAK untuk sesuatu yang tidak dirasa perlu untuk anak seusia mereka.

Jangan tertipu dengan muka innocent anak atau keluguan mereka. Dalam mendidik, jangan melihat tampang atau usia. Kita tidak boleh mentolerir diri dengan hal-hal seperti itu. Kalau kita sebagai orangtua terlalu baik dengan anak, justru hal itu bisa saja melemahkan posisi kita sebagai orangtua. Anak pun menjadi penguasa di atas kaki kita. Bila terjadi hal seperti itu, sangat gawat. Anak tak akan punya respek pada orangtua dan bisa bertingkah semau-maunya.

Lihat saja nanti. Kalau kita sudah terbiasa baik dengan anak, lalu pada suatu ketika, kita tidak mau menuruti keinginan mereka, biasanya anak akan mengeluarkan jurus jitunya: menangis, mengambek, mengamuk, dll. Reaksi yang akan muncul dalam diri orangtua biasanya adalah sebagai berikut:
1. Daripada dia rewel terus, berikan saja apa yang dia mau
2. Daripada saya dibenci oleh anak saya, berikan saja apa yang dia mau.
3. Saya tidak bisa memberikan apa yang dia mau. Lalu, saya berkata dengan tegas ke hadapannya. Tetapi, sejenak kemudian, saya merasa bersalah. Lalu, saya memutuskan memberikan apa yang dia mau.
4. Saya kali ini dengan tegas tak akan memberikan apa yang dia mau.

Pilihan nomor 1-3 adalah piliihan yang terjadi karena sudah terbiasa baik dengan anak, membuat kita mengalami kesulitan untuk bersikap tidak baik (mengalah) pada anak suatu hari nanti.

Pilihan nomor 4 adalah pilihan yang bijak. Sebagai orangtua, kita punya hak untuk menentukan apa yang baik untuk anak.

Menjadi orangtua yang baik di mata anak adalah dambaan semua orang dan harapan masyarakat. Harus diingat, apa pun yang kita lakukan menurut saya harus sewajarnya. Jangan terlalu baik dengan anak, seperti menuruti semua keinginannya. Tetapi juga jangan terlalu bersikap tidak baik dengan anak, sedikit-sedikit memukul anak padahal hanya kesalahan kecil yang ia lakukan.

1 Mei 2014

Antara Les, Orangtua, dan Anak

"Ma... aku gak mau les terus... Bosen."

Begitu bunyi curhat seorang anak ketika ia harus pasrah mendapati dirinya les hampir setiap hari. Entah itu les mata pelajaran, les piano, les balet, les sempoa, les bahasa Mandarin, les bahasa Inggris, dan les-les apa lagi entah sekarang. Belum lagi, di sekolah mewajibkan anak untuk ikut ekstrakurikuler. Artinya bertambah banyak kegiatan anak seusai sekolah. Beginilah fenomena anak zaman sekarang: Anak banyak les!

"Tapi, Nak... Kamu yakin bisa belajar sendiri di rumah?"

"Kamu yakin bisa dapat nilai bagus?"

"PR anak-anak zaman sekarang susah-susah minta ampun. Terpaksa deh masukin anak ke tempat les."

Begitu bunyi curhat orangtua. Lebih tepatnya bunyi curhat Mama (di sini saya masih pakai prinsip Mama lebih bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak, karena yang saya temui di masyarakat masih seperti ini). Mama zaman sekarang memang bukan Mama zaman dulu yang hanya mengurusi tiga hal: Dapur, Sumur, Kasur. Mama zaman sekarang lebih mobile, dengan gadget di tangan, mereka terjun ke lapangan, mencari tempat nongkrong. Tentu yang saya maksud adalah Mama-Mama Mall. Itu hanya satu fenomena. Fenomena lain: Mama-Mama Kantoran (baca: Wanita Karir). Intinya sih mengerucut kepada satu hal: Mama zaman sekarang lebih sibuk daripada Mama zaman dulu. Jadi, beginilah fenomena Mama zaman sekarang: Tak ada waktu (lebih) untuk mengajari atau memantau kegiatan belajar anak di rumah!

Memasukkan anak ke tempat les tentu bukanlah dosa. Les bahasa Inggris, les piano, les menyanyi, les-les yang berkaitan dengan kesenian tentu sangat baik untuk menambah kelebihan anak. Syukur-syukur rupanya anak itu punya talenta di bidang seni.

Saya dulu dikatakan hampir tidak pernah ikut les pelajaran dan les-les lainnya. Hanya dua kali saya ikut les, yaitu kelas 1 SMA dan kelas 3 SMA menjelang Ujian Nasional. Itu pun hanya les matematika. Dan itu pun karena saya meminta. Alasan saya tidak dileskan karena alasan finansial. Orangtua saya tak mau buang uang percuma memasukkan anak-anaknya ke tempat les. Untunglah, saya bukan anak susah diatur dan dapat bertanggung jawab sejak kecil. Untuk urusan PR, saya bisa mengerjakannya sendiri. Untuk urusan ulangan, saya bisa belajar mandiri tanpa dibantu. Jika ada kesulitan, saya proaktif mengandalkan teman-teman sebagai tempat bertanya.

Akan tetapi, ketika sudah dewasa, sedikit banyak saya menyesal juga. Memang sih, saya bisa menggunakan waktu luang saya sepulang sekolah untuk menonton kartun, jalan-jalan bersepeda, atau membaca komik. Tetapi, saya seperti anak yang kekurangan keahlian di luar bidang pelajaran sekolah, entah itu bidang olahraga atau seni.

Hmm.... Mari kita skip saja curhat tentang diri saya...

Seperti saya sudah katakan memasukkan anak ke tempat les bukanlah dosa besar. Menurut saya, ada beberapa alasan orangtua memasukkan ke tempat les:

1. Kedua orangtua sibuk bekerja sehingga tak bisa memantau kegiatan belajar anak di rumah.
Alasan seperti ini masih bisa diterima mengingat mengandalkan penghasilan salah satu pihak saja terasa tidak cukup untuk kehidupan zaman sekarang. Tetapi pada kasus yang ekstrem, orangtua tersebut begitu percaya pada guru les sehingga sampai-sampai ia tak mau tahu atau tak mau terlibat dengan perkembangan akademis anak. Ada lho yang kayak gini. Hari libur adalah hari untuk keluarga, hari untuk anak bermain. Karena dianggapnya anak sudah belajar bersama guru les, tidak perlu lah anak belajar lagi bersama orangtua. Wah, wah... kacau sekali.... Anak bisa pintar kan bukan tanggung jawab guru, tetapi tanggung jawab orangtua juga.

2. Meski Mama/Papa di rumah, Mama/Papa tidak bisa mengajari anak pelajaran tersebut.
Alasan seperti ini masih boleh diterima mengingat bobot pelajaran anak zaman sekarang terasa lebih berat daripada waktu saya sekolah dulu. Tetapi sebenarnya alasan ini masih bisa disanggah. "Ini sih ortunya aja yang malas untuk ikut belajar bersama anak." Jika mau sedikit capek saja, ikut membaca dan memahami isi pelajaran anak, mau membantu anak belajar, sesungguhnya hal ini bisa memperat hubungan orangtua dan anak.

3. Ortu ingin memberikan sebuah investasi mulia kepada anak.
Les Mandarin sedari kecil, les piano sedari kecil agar anak itu punya kemampuan lebih, tidak bernasib naas menjadi orang dewasa yang medioker (seperti saya ini). Tentu ini adalah baik. Sayangnya, kadang orangtua terlalu memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Anak itu jelas-jelas tidak suka bermain piano, tidak suka pelajaran mandarin, tetapi tetap saja dipaksa-paksa untuk ikut les. Sayang duitnya, katanya sih begitu. Harusnya orangtua menyesuaikan bakat dan minat anak terlebih dahulu ketika memasukkan anak ke tempat les non mata pelajaran.

Peranan orangtua bukan hanya membesarkan dan merawat anak, tetapi juga sebagai guru bagi anak di rumah. Bahkan, sebenarnya menjadi guru seumur hidup bagi anak. Menjadi guru memang tidak mudah. Tidak semua orang bisa menjadi guru yang baik dan hebat. Karena itu ada sekolah, karena itu ada tempat les yang tugasnya membantu mendidik dan mengajari anak berbagai macam hal.

Karena les bukan sesuatu yang sifatnya wajib, tentu harus disikapi secara bijak, apakah les akan menjadi sesuatu yang menyenangkan atau memberatkan bagi anak? Apakah Anda (calon ortu) sudah memikirkan mengenai kegiatan anak ketika ia sudah bersekolah, les apa yang dia akan ikuti atau ia tak perlu lah les sama sekali?

5 April 2014

Teman Lokasi

Saya pernah berkata kepada seseorang, "Ketika kita sudah selesai kuliah, akan kelihatan mana yang sesungguhnya teman, mana yang bukan..."

Sebagian dari kita tentu masih ingat ketika masa sekolah, ada orang-orang yang sering diajak berkumpul bersama, pergi ke suatu tempat bersama, makan bersama di kantin, lalu bermain-main atau saling bercanda saat istirahat, sampai meminta orang-orang itu menuliskan biodatanya dalam sebuah buku bernama diari, menuliskan untaian kata persahabatan, diakhiri dengan kalimat friends forever.

Di masa kuliah kata-kata semacam friends forever mungkin terdengar hiperbola. Tetapi, sebagian dari kita tentu masa ingat semasa kuliah ada orang-orang sering diajak berkumpul bersama untuk makan bareng atau mengerjakan tugas bareng, saling menguatkan ketika mengerjakan tugas akhir.

Di masa-masa seseorang mulai bekerja tidak ada lagi cerita tentang nilai IPK atau ke mana saja ketika liburan semester tiba. Sebagian dari kita yang sudah bekerja di sebuah kantor tentu masih ingat ada orang-orang sering diajak makan siang bersama, membahas tugas-tugas kantor, sampai bergosip tentang teman sekerja.

Setelah pindah kantor, orang-orang yang sering diajak makan siang menjadi berbeda.... Termasuk beda menu makannya, tempat makannya, suasananya, sampai pembicaraannya....

Pertanyannya, ke manakah orang-orang itu? Saya ingin kembali ke momen itu, tetapi rasanya-rasanya sudah jarang bertemu dan berkumpul bersama-sama, apalagi berhubungan via SMS atau media sosial. Sudah sibuk dengan urusan masing-masing, begitulah jawaban standarnya.

Hidup ini tidak sekadar berjalan, tetapi berpindah. Kita berpindah-pindah dari suatu masa ke suatu masa, dari suatu tempat ke tempat lain. Setiap kali berpindah dari suatu tempat, kita mendapat pengalaman baru juga teman baru. Teman-teman lama di masa-masa sekolah, di masa-masa kuliah, atau di kantor lama (entah satu, dua atau tiga kantor lama) arti kehadirannya akan menyusut, meski tidak hilang atau terlupakan.

Kalau saya membuka Facebook, ada ribuan teman saya. Meski tidak semuanya, saya masih ingat sebagian besar orang ini, saya bertemu dengannya dalam kegiatan ini. Teman yang satu ini saya kenal karena bersama-sama ikut dalam organisasi ini. Lama kelamaan ada yang hampir mulai terlupakan, "Aduh, saya kenal orang ini dari mananya? Atau mungkin saya tidak pernah bertemu dengannya sama sekali (saya tidak mengenalnya, mungkin dia yang mengenal saya). Atau kita hanya secara tidak sengaja menjalin pertemanan di Facebook."

Berkurangnya atau hilangnya interaksi dengan teman-teman lama memang tidak bisa kita hindari. Karena setiap orang merangkai pilihan hidupnya masing-masing. Sebagian dari mereka memilih untuk tidak kuliah selepas lulus sekolah, mungkin langsung bekerja membantu orangtua. Sebagian dari mereka baru memilih bekerja selepas kuliah. Sebagian lagi memilih melanjutkan kuliah. Sementara sebagian lagi memilih untuk menikah. Jelas kalau sudah menikah, waktu yang dihabiskan lebih banyak untuk keluarga tercinta.

Pernah dengar istilah cinlok? Cinlok atau cinta lokasi sering dipakai dalam dunia hiburan. Dua artis karena syuting bareng, karena sering bertemu dalam lokasi yang sama kemudian jatuh cinta dan jadilah mereka sepasang kekasih. Maka saya rasa ada juga yang bernama temlok atau teman lokasi. Teman yang hadir sebatas lokasi.

Contohnya, ketika masa kuliah, kita punya teman dekat bernama A, B, C. Lalu setelah lulus kuliah, kita memiliki teman baru: D, E, F. Ke mana si A, B, C? Karena sudah tidak berada di lokasi yang sama (kampus), jadinya pertemanan itu merenggang dan tidak pernah berhubungan lagi.

Lokasi memang salah satu penentu terjadinya hubungan. Tak jarang, waktu kita SD, teman dekat kita adalah teman sebangku kita, atau teman yang ada di samping kiri, kanan, depan, belakang tempat duduk kita. Orang yang lebih dekat duduknya dengan kita akan lebih memungkinkan untuk jadi teman dekat, meski tidak selalu.

Apakah pertemanan hanya sebatas lokasi? Tidak juga. Tentu saja ada teman yang tak terpengaruh lokasi, teman yang tak terikat ruang dan waktu. Mungkin inilah teman sesungguhnya. Atau istilah lainnya "sahabat sejati".

Teman-teman yang meski sudah tidak berada di lokasi yang sama, tetapi masih sering bertemu (jalan-jalan bareng) atau sekadar menanya kabar. Teman-teman yang meski sudah tidak berada di lokasi yang sama, namun masih ingat dengan ultah kita atau malah memberikan kejutan di hari ulang tahun kita. Meski usia sudah kepala 2 atau kepala 3, tapi dengannya yang sudah kita kenal sejak kepala 1 masih keep in touch, masih saling bertemu dan saling kontak. Pertemanan yang luar biasa. Kita setidaknya memiliki satu atau dua orang seperti itu.

Teman-teman ini, orang-orang ini, tidak datang dan pergi begitu saja. Kita harus bersyukur dengan kehadiran mereka. Teman-teman seperti ini adalah aset yang berharga. Mereka menjadi orang-orang yang bisa kita percaya dan andalkan ketika kita berada dalam masa-masa yang sulit atau masa-masa yang sepi.

Sementara itu, orang-orang yang datang dan pergi begitu saja, apakah mereka begitu hina? Tentu saja tidak. Ibarat cerita novel, ada tokoh-tokoh utama, ada pula tokoh-tokoh pendukung. Teman-teman lokasi itu memang tidak menjadi tokoh-tokoh utama dalam cerita hidup kita, tetapi mereka akan selalu menjadi tokoh-tokoh pendukung terbaik yang pernah kita temui. Dengan mereka, kita belajar banyak dari rasa kebersamaan hingga rasa kehilangan. Dengan mereka, kita juga harus bersyukur karena telah mendapatkan pengalaman dan kenangan yang bisa menjadi kisah-kisah lucu atau kisah-kisah sedih di masa depan.

Sumber: picslava.com

P.S.: Tulisan ini TIDAK mendiskreditkan atau menyinggung orang-orang tertentu, kesannya seolah-olah saya sedang dikhianati atau kesepian. Tulisan ini cuman membahas fenomena bahwa ada sejumlah orang yang entah bagaimana caranya selalu berada dekat dengan hidup kita, sedangkan sebagian lainnya tidak demikian.

30 Maret 2014

Beli Minuman Di Sini Harus Ngutang

Saya mau posting lagi sebuah gambar lucu. Kali ini gambarnya saya dapatkan secara tidak sengaja.

Sumber gambar: Gambar milik pribadi. Lokasi pengambilan gambar: Hmm... kasih tahu enggak ya.
            











Maksud tulisan yang menempel pada kulkas tersebut apa ya? Mungkin kira-kira begini bacanya....

Minuman bayar cash dilarang!!!!

Ooh... mau beli minuman dalam kulkas itu dilarang atau gak boleh bayar cash tuh. Jadi bayarnya gimana?

Ngutang.......!!!!

Bayarnya mesti ngutang ternyata....  Atau sekalian gak usah bayar aja gimana, hehehe.

29 Maret 2014

Selingkuh Udah Nggak Zaman

Sesekali sepertinya saya ingin mem-posting isi tulisan yang tidak serius-serius amat. Baca blog orang jangan sampai kayak baca jurnal ilmiah gitu... Penting juga buat orang tahu Sufren itu sebetulnya humoris. Ehm.

Saya mau share sebuah gambar yang saya culik dari Path seseorang.


Wah, benar banget kata entah siapa yang tulis. Pastinya calon atau mungkin pelaku tukang selingkuh. Saya juga setubuh.... eh, setuju.... Selingkuh emang udah gak zaman, karena selingkuh sudah jadi tren masa kini. Lho?!

28 Februari 2014

Bahasa Cinta

Sebelum mengakhiri bulan Februari yang katanya penuh cinta ini, saya mau sharing sedikit mengenai bahasa cinta yang dikemukakan oleh Dr. Gary Chapman.

Di dunia ini ada lima bahasa universal tentang cinta. Kelima bahasa ini dapat dipraktikkan kepada siapa pun, untuk orangtua, untuk saudara, untuk sahabat, untuk pasangan, dan lain sebagainya. Berikut adalah kelima bahasa cinta tersebut:

1. Kata-kata positif
        Yang paling mudah dalam mengungkapkan cinta adalah melalui kata-kata. Misal, “Aku sayang kamu”. Kata-kata positif tidak selalu harus ada kata “sayang”. Kata-kata positif juga dapat berupa pujian. Intinya, ungkapkan cinta dengan kata-kata yang dapat memberi rasa percaya diri kepada seseorang.

2. Waktu untuk bersama-sama
        Rasanya agak aneh apabila orang-orang yang saling mengasihi tidak dapat menghabiskan waktu bersama. Sempatkanlah untuk meluangkan waktu dengan orang yang kita sayang, seperti makan bersama, bermain bersama, atau rekreasi ke tempat-tempat hiburan.

3. Pelayanan
        Yang dimaksud pelayanan adalah melakukan sesuatu untuk orang lain. Saya ambil contoh di dalam keluarga, seperti anak dapat membantu Ayah atau Ibu membersihkan rumah. Ayah atau Ibu dapat membantu anak dalam mengerjakan PR. Kalau untuk pasangan, misalkan mengantar-jemput, membantu pekerjaannya, dan lain-lain. Alangkah indahnya dunia apabila hidup dapat saling membantu.

4. Sentuhan fisik
        Sentuhan fisik ini dapat berupa rangkulan, kecupan, belaian, atau pelukan. Berikan sentuhan sewajarnya. Jangan berlebihan.

5. Pemberian hadiah
        Bukan berarti harus memberikan barang-barang mahal atau mewah. Berikan barang yang berkesan atau barang yang ia suka.

Inilah kelima bahasa cinta yang harus diterapkan jika Anda mencintai seseorang, siapa pun dia yang Anda cimtai. Namun, perlu diingat level bahasa cinta setiap orang tidak sama. Ayah, Ibu, bahkan anak memiliki level bahasa cinta yang berbeda. Anak sangat senang bila diberi hadiah. Ibu lebih senang bila diberikan waktu untuk berkumpul bersama daripada hadiah. Ayah mungkin lain lagi. Ayah lebih senang bila anak dapat membantu Ayah, misal membawakan tas atau minum daripada harus setiap hari menghabiskan waktu dengan anak. Untuk kasus orang yang berpacaran pun sama. Ada pasangan yang lebih senang diberi hadiah kejutan, ada pasangan yang lebih senang bila dirangkul, namun ada juga yang lebih mengutamakan waktu untuk bersama-sama. Kenali bahasa cinta setiap orang.

15 Februari 2014

Sepotong Cerita Cinta di 14 Februari

Ada satu tanggal di bulan Februari membuat orang sibuk mengumbar cinta dengan berbagai macam cara. Tanggal 14 Februari, sejumlah orang menyebutnya Hari Valentine. Hari Valentine bukan hari nasional tetapi dirayakan secara nasional. Tanggal penting bagi sebagian orang yang sudah punya pasangan. Cokelat, bunga, kencan adalah aktivitas yang lazim dilakukan. Lalu, sebagian orang mengecamnya, bahwasanya jangan hanya mengungkap cinta kepada pasangan. Ingatlah juga memberikan tanda sayang kepada orangtuamu, saudaramu, temanmu. Sebagian orang lainnya lagi dengan tegas mengatakan Hari Valentine tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia, jadi tak pantas dirayakan.

Meski ada pro kontra, Hari Valentine belum dicekal di Indonesia. Untunglah. Saya sendiri menganggap Hari Valentine hari biasa-biasa saja. Sampai kini, entah dikarenakan belum punya pasangan, saya tak pernah sibuk membeli cokelat atau bunga untuk diberikan kepada siapa pun. Meski begitu, saya tetap mendapat cokelat dari cewek. Yaa... cokelat persahabatan sih. Haha. Di tahun ini pun saya tetap mendapat cokelat dari teman kerja saya, bahkan murid-murid saya.

Jauh dari ibu kota, ada bencana menyertai Hari Valentine tahun ini. Gunung Kelud di Jawa Timur meletus di tanggal 13 Februari 2014. Sampai hari ini abu vulkanik tersebar ke mana-mana (di antaranya ke kota Jogja, Solo, Madiun, Kediri), menutupi jalan hingga menghentikan penerbangan. Bahkan, abu vulkaniknya sampai melawat ke Bandung dan Bogor. Hari Valentine 2014 bolehlah dijadikan momentum berbagi rasa kemanusiaan kepada mereka yang tertimpa bencana Gunung Kelud. Mari berdoa semoga tidak ada petaka lain yang melanda negeri ini.

Walau saya tidak merayakan Hari Valentine secara spesial, di tanggal 14 Februari saya mendapat undangan ngumpul-ngumpul dari salah satu teman kampus saya. Undangan ngumpul-ngumpul-nya tidak berkaitan dengan Hari Valentine sih. Tetapi, menjadi spesial karena ajang ngumpul-ngumpul terakhir untuknya dengan status lajang. Minggu depan statusnya akan berubah.

Keputusannya untuk menikah mengejutkan banyak orang. Namun, sebagai sahabat, saya mendukung penuh keputusan dan kehidupan yang dia jalani. Melihat satu per satu teman saya telah atau akan melenggang ke altar pernikahan... Ah, saya malas bertanya, "Kapan giliran saya?"

Yang bisa saya katakan, kehidupan di sekitar saya semakin dewasa.

Kartu undangan pernikahan