Memasuki semester akhir, menjelang hari kelulusanku, rasanya aku akan kehilanganmu. Pertemuan kita tidak akan sesering dulu. Aku tak akan bisa lagi melihatmu dari dekat. Hanya memerhatikanmu dari kejauhan.
Aku pikir segala
kedekatan ini akan selesai sampai kemudian kau dilanda tugas akhir bernama
skripsi yang nyaris membuatmu frustrasi.
”Kak, judulku kan
begini... jadi latar belakangku harus bicara apa saja ya?”
Sejak dulu kau
memang sering meminta bantuanku saat kau mengalami kesulitan dalam tugas
kuliah. Entah berapa banyak tugas-tugas kuliahmu yang pernah kubantu atau
sekadar mengoreksinya. Aku tidak mempersoalkan. Bagiku itu adalah sebuah
kehormatan. Waktu itu tidak jadi soal, tetapi sekarang...
Aku menjadi
penasaran. Aku belum bekerja. Aku masih bisa mampir ke kampusku tersayang.
Jadi, kujadwalkan pertemuanku denganmu, demi obrolan skripsimu, meski
sebenarnya...
”Eh, boleh tanya
gak? Kamu menganggapku sebagai apa?” tanyaku penasaran.
”Maksudnya?”
tanyamu heran.
”Yaaaa, kita kan
sudah lama mengenal, cuman mau tahu saja, kamu menggangapku seperti apa.” Ada
rasa deg-degan saat aku mengutarakannya. Aku takut kau bisa membaca isi hatiku.
”Hmm... Senior
yang pintar dan baik hati,” jawabmu.
Jawaban yang
membuatku senang sekaligus kecewa. Aku bersyukur bahwa aku pintar dan baik hati
di matamu. Tetapi, apakah aku hanya pantas menjadi seniormu?
Tahukah kamu
bahwa di hidup ini tidak pernah ada ”satu” terlebih dulu, melainkan selalu ada ”dua”.
Dari dua, barulah menjadi satu. Ibarat dua keping puzzle, disatukan untuk menjadi satu gambar yang utuh. Kamu dan aku
adalah dua buah kepingan itu. Namun, apakah kita dapat bersatu dan menyatu?
Sekarang aku tahu
apa itu galau sejak timbul rasa itu... Hari-hari berikutnya memang adalah
kegalauan. Hari-hari berikutnya aku senang mengutip kata-kata romantis untuk
kupasang di status jejaring sosial. Aku memasangnya kadang hanya sebagai
penyemangat, kadang berharap kamu membacanya, walau ku tahu itu kecil
kemungkinannya.
Saat aku sudah
diterima bekerja, seharusnya itu menjadi hari membahagiakan bagi kebanyakan
sarjana. Dari mesin penghabis uang, kami bertransformasi menjadi mesin
pengumpul uang. Tetapi, tidak untukku. Aku merasa bekerja membuat sebagian
hidupku hilang. Misalnya, jumlah waktu luang untuk bersenang-senang. Yang
lainnya adalah kehilangan waktu untuk bertemu dengan kamu.
Biasanya kau yang
sering menghubungiku dulu saat butuh pertolongan. Tetapi, kini aku yang rajin
menanyai kabarmu. Kenapa begini? Karena aku tidak ingin lepas darimu meski
keadaan memisahkan kita.
Aku pun sering
menolongmu tanpa dimimta. Kenapa aku bisa bertindak bagai malaikat? Apakah saat
tertembak panah asmara oleh cupid,
benih-benih malaikat ikut tertanam di hati seseorang? Lucu sekali aku
memikirkan pertanyaan ini.
”Aku sudah
menemukan jurnal yang bisa menjadi referensi skripsimu. Dan aku juga sudah
mendapatkan alat ukur yang cocok untuk variabelmu itu. Coba cek email kamu. Aku
sudah kirimkan.”
”Wah, thanks a lot,
Kak. Kakak baik sekali ya... Aku
selalu tertolong berkat Kakak. Mengapa Kakak sebaik ini ya padaku?”
”Aku baik pada
setiap orang. Bukankah kamu pernah bilang bahwa aku senior yang pintar dan baik
hati.”
”Eh, iya ya...
Hehe...”
Coba dianalisis
dengan cara seperti ini.... Sini ku bantu sebar kuesionernya... Boleh pakai
analisis statistik itu asalkan bla-bla... Begitulah seterusnya, aku terus memberikan
sentuhan-sentuhan pertolongan untukmu sampai kamu akhirnya... lulus. Senyummu
cerah merekah saat kamu menerima piagam kelulusan. Itu adalah sentuhan
terakhirku... untuk kamu.
Aku tidak pernah tahu
apakah namaku ada dalam Kata Pengantar skripsimu. Tetapi, bagiku itu tidaklah
penting. Aku hanya ingin tahu apakah namaku bisa menjadi sebuah kata untuk pengantar
tidurmu atau pengantarmu kala kau terjatuh.
Apa aku bisa?
bersambung