Page

25 Oktober 2012

Orang Istimewa - Dua Kepingan

Apakah perjumpaan kita memang dirancang sementara dan tak pernah bisa selamanya?

Memasuki semester akhir, menjelang hari kelulusanku, rasanya aku akan kehilanganmu. Pertemuan kita tidak akan sesering dulu. Aku tak akan bisa lagi melihatmu dari dekat. Hanya memerhatikanmu dari kejauhan.

Aku pikir segala kedekatan ini akan selesai sampai kemudian kau dilanda tugas akhir bernama skripsi yang nyaris membuatmu frustrasi.

”Kak, judulku kan begini... jadi latar belakangku harus bicara apa saja ya?”

Sejak dulu kau memang sering meminta bantuanku saat kau mengalami kesulitan dalam tugas kuliah. Entah berapa banyak tugas-tugas kuliahmu yang pernah kubantu atau sekadar mengoreksinya. Aku tidak mempersoalkan. Bagiku itu adalah sebuah kehormatan. Waktu itu tidak jadi soal, tetapi sekarang...

Aku menjadi penasaran. Aku belum bekerja. Aku masih bisa mampir ke kampusku tersayang. Jadi, kujadwalkan pertemuanku denganmu, demi obrolan skripsimu, meski sebenarnya...

”Eh, boleh tanya gak? Kamu menganggapku sebagai apa?” tanyaku penasaran.

”Maksudnya?” tanyamu heran.

”Yaaaa, kita kan sudah lama mengenal, cuman mau tahu saja, kamu menggangapku seperti apa.” Ada rasa deg-degan saat aku mengutarakannya. Aku takut kau bisa membaca isi hatiku.

”Hmm... Senior yang pintar dan baik hati,” jawabmu.

Jawaban yang membuatku senang sekaligus kecewa. Aku bersyukur bahwa aku pintar dan baik hati di matamu. Tetapi, apakah aku hanya pantas menjadi seniormu?

Tahukah kamu bahwa di hidup ini tidak pernah ada ”satu” terlebih dulu, melainkan selalu ada ”dua”. Dari dua, barulah menjadi satu. Ibarat dua keping puzzle, disatukan untuk menjadi satu gambar yang utuh. Kamu dan aku adalah dua buah kepingan itu. Namun, apakah kita dapat bersatu dan menyatu?

Sekarang aku tahu apa itu galau sejak timbul rasa itu... Hari-hari berikutnya memang adalah kegalauan. Hari-hari berikutnya aku senang mengutip kata-kata romantis untuk kupasang di status jejaring sosial. Aku memasangnya kadang hanya sebagai penyemangat, kadang berharap kamu membacanya, walau ku tahu itu kecil kemungkinannya.

Saat aku sudah diterima bekerja, seharusnya itu menjadi hari membahagiakan bagi kebanyakan sarjana. Dari mesin penghabis uang, kami bertransformasi menjadi mesin pengumpul uang. Tetapi, tidak untukku. Aku merasa bekerja membuat sebagian hidupku hilang. Misalnya, jumlah waktu luang untuk bersenang-senang. Yang lainnya adalah kehilangan waktu untuk bertemu dengan kamu.

Biasanya kau yang sering menghubungiku dulu saat butuh pertolongan. Tetapi, kini aku yang rajin menanyai kabarmu. Kenapa begini? Karena aku tidak ingin lepas darimu meski keadaan memisahkan kita.

Aku pun sering menolongmu tanpa dimimta. Kenapa aku bisa bertindak bagai malaikat? Apakah saat tertembak panah asmara oleh cupid, benih-benih malaikat ikut tertanam di hati seseorang? Lucu sekali aku memikirkan pertanyaan ini.

”Aku sudah menemukan jurnal yang bisa menjadi referensi skripsimu. Dan aku juga sudah mendapatkan alat ukur yang cocok untuk variabelmu itu. Coba cek email kamu. Aku sudah kirimkan.”

”Wah, thanks a lot, Kak. Kakak baik sekali ya... Aku selalu tertolong berkat Kakak. Mengapa Kakak sebaik ini ya padaku?”

”Aku baik pada setiap orang. Bukankah kamu pernah bilang bahwa aku senior yang pintar dan baik hati.”

”Eh, iya ya... Hehe...”

Coba dianalisis dengan cara seperti ini.... Sini ku bantu sebar kuesionernya... Boleh pakai analisis statistik itu asalkan bla-bla... Begitulah seterusnya, aku terus memberikan sentuhan-sentuhan pertolongan untukmu sampai kamu akhirnya... lulus. Senyummu cerah merekah saat kamu menerima piagam kelulusan. Itu adalah sentuhan terakhirku... untuk kamu.

Aku tidak pernah tahu apakah namaku ada dalam Kata Pengantar skripsimu. Tetapi, bagiku itu tidaklah penting. Aku hanya ingin tahu apakah namaku bisa menjadi sebuah kata untuk pengantar tidurmu atau pengantarmu kala kau terjatuh.

Apa aku bisa?

bersambung

19 Oktober 2012

Orang Istimewa - Pertemuan Pertama

Mengapa aku mendadak jadi kangen kamu?

Aku terhenti pada sebuah CV. CV yang kumaksud ialah Curriculum Vitae atau biodata singkat pelamar kerja. Pekerjaanku sekarang adalah menyortir CV dan memanggil pelamar yang masuk kualifikasi untuk kuberikan tes dan wawancara. Menjadi seorang staf rekrutmen membuatku harus gesit. Jumlah CV yang masuk bisa puluhan per hari. Apalagi sekarang, di acara jobfair, aku bisa menerima ratusan CV. Aku tak boleh berlama-lama memelototi satu CV saja karena aku akan kehilangan banyak waktu untuk mengerjakan hal yang lain.

Tetapi, CV yang satu ini buatku terpaku cukup lama. Bukan karena latar belakang pendidikannya, bukan pula fotonya. Ehm, kuakui pelamar ini terlihat cukup manis. Tetapi, tidak semanis orang itu. Aku terpaku karena namanya... Namanya persis sama dengan orang itu.

Orang itu adalah kamu... Aku teringat kembali kepada dirimu. Dan, aku teringat pula bahwa hari ini adalah hari bersejarah untukmu. Wisuda. Dari seorang pelajar, kamu akan menjelma menjadi seorang terpelajar. Kamu akan menghadapi kehidupan yang lebih keras. Atau, mungkin kamu sekarang sudah mengalaminya?

Aku masih ingat betapa lugunya dirimu kala itu. Di perpustakaan kamu masih kebingungan mencari-cari buku yang kamu inginkan. Lalu, kamu minta bantuanku yang kebetulan ada di sana. Aku yang sudah terbiasa berkunjung ke perpustakaan dengan mudahnya menemukan buku yang kau inginkan.

Tetapi itu, bukan pertemuan kita yang pertama. Pertemuan kita yang pertama adalah di dunia maya. Memang canggih teknologi zaman sekarang. Aku tak mengenalmu, tak pernah tahu tentang dirimu sebelumnya. Mungkin kamu yang tahu tentangku lebih dulu. Hanya karena kita satu fakultas, jadi aku tak mempermasalahkan ketika aku menerimamu sebagai teman di salah satu situs jejaring sosial.

Tidak ada yang membuat kamu tampak luar biasa meski kamu wanita, meski kamu lajang. Tidak ada yang istimewa saat pertama kali kumelihat profil dirimu di situs itu. Di situs itu jugalah kita pernah bercakap-cakap sampai takdir membuat kita bisa kontak secara langsung.

Adalah organisasi kemahasiswaan itu yang membuatku dapat mengenalmu lebih jauh. Ya, kita pernah sama-sama berjuang di organisasi itu. Jatuh-bangun menyukseskan sebuah acara. Bekerja sama denganmu membuat diriku banyak tahu tentang dirimu, jauh lebih banyak dari apa yang kamu cantumkan di profil situs jejaring sosialmu itu. Aku jadi tahu makanan favoritmu, warna kesukaanmu, domisilimu, IPK-mu, kepribadianmu, dan sebagainya.

Aku jadi seniormu karena kamu juniorku. Kita jadi partner dalam sebuah kepanitiaan. Kita jadi teman saat kita sedang berbagi cerita. Seharusnya tidak ada yang salah dengan itu semua. Tidak ada yang salah dengan peran-peran yang kujalani denganmu. Tetapi kemudian, perlahan-lahan aku rasanya ingin menjalani peran yang lain tanpa engkau tahu. Aku telah hanyut ke dalam kehidupanmu. Dan, keinginan ini adalah sebentuk kesalahan yang terjadi pada diriku. Maafkan aku...

Hari-hari berikutnya menjadi seperti siksa bagiku. Kau selalu hadir di kepalaku dan hatiku. Mengganggu hari-hariku. Meski kucoba menghindarimu, kau tetap ada. Jejak dirimu telah membekas di sudut ingatanku. Aku seperti terserang penyakit kronis. Tetapi, lucunya aku tak ingin sembuh. Dan, aku tak tahu caranya mengatakan padamu tentang penyakit yang sedang kudera ini kepadamu.

bersambung