Page

18 Februari 2015

Menjadi Tua = Anugerah

Tulisan ini saya posting sewaktu saya berulang tahun yang ke-26.

Sumber gambar: www.beautyanalysis.com
"Kamu sudah tua." Tiba-tiba saja kata "tua" menjadi sebuah ledekan di dalam sebuah obrolan, terutama kalau mengobrol persoalan usia. Orang-orang yang sudah tua sering dianggap sebagai sosok yang tak berdaya, perlu dikasihani, dan perlu dibantu. Maka, dibilang tua rasanya seperti cobaan berat.

Lalu, apakah salah menjadi tua? Menjadi tua bagi saya justru adalah anugerah. Karena mereka yang sudah tua, sudah pasti pernah muda. Sementara itu, yang masih muda, belum tentu menjadi tua.
Banyak orang sepertinya takut dibilang tua apalagi kalau dia diminta menyebut berapa usiannya saat ini. Tak heran sebagian orang berusaha mencari kosmetik terhebat untuk menutupi keriput-keriputnya. Ada juga yang mencari obat penghitam rambut untuk menutupi uban di kepalanya. Dandanan di luar tak boleh ketinggalan, biar tua, tampilan tetap harus segar dan muda. Semua itu dilakukan hanya berusaha membuat satu kesan, "Aku masih muda." Lucunya ketika mereka melakukan hal itu semua, mereka masih meniup lilin ulang tahun, mereka masih merayakan pesta ulang tahun mereka. Bukankah merayakan ulang tahun berarti Anda mengakui Anda sudah tidak muda lagi? Bukankah ulang tahun sebetulnya adalah satu langkah lebih dekat menuju pintu kematian?

Menjadi tua bukanlah keburukan, melainkan pengalaman berharga, karena kita mendapat kesempatan lebih lama untuk dapat hidup menyaksikan perubahan zaman. Begitulah sedikit ulasan saya tentang menjadi tua...

15 Februari 2015

Tentang Profesi Guru

Gelar akademik itu tidak menentukan pekerjaanmu kelak. Bukan hal yang aneh sekarang (atau mungkin sejak dulu), lulusannya apa, tetapi pekerjaannya kok beda. Lulusan psikologi, tapi malah kerjanya jadi sales. Lulusan akuntansi, tapi malah kerjanya jadi wartawan. Lulusan arsitektur, tapi malah jadi agen asuransi. Ada juga nih lulusan teknik, tapi malah jadi... ibu rumah tangga atau bapak rumah tangga! Kalau dibahas mengapa kok bisa begini, bisa menjadi pembahasan yang lebih panjang nih. Tetapi saya cuman mau mengambil satu contoh profesi yang kelihatannya bisa digeluti tanpa background sesuai dengan jurusannya (atau sebenarnya tidak ada jurusan terkait dengan profesi ini?)

Dulu (sewaktu SD) saya berpikir menjadi guru itu harus kuliah Jurusan Keguruan, Pendidikan Guru, atau apa pun itu lah namanya. Tetapi setelah dewasa dan mulai sedikit banyak menyelami dunia pendidikan, baru tahu saya tidak semua orang yang jadi guru berangkat dari latar belakang pendidikan guru yang sesuai. Misal guru matematika. Belum tentu guru matematika ini dulu kuliah jurusan matematika. Bisa saja dia dulu kuliah jurusan teknik. Yaa... ada sih yang kuliah jurusan matematika akhirnya menjadi guru matematika. Tapi, bisa dibilang macam-macamlah latar belakang mereka yang jadi guru, ada yang berasal dari jurusan psikologi, arsitektur, akuntansi, sastra, dan lain-lain. Menjadi guru seolah mendapat satu perlakuan unik: Tidak penting lah jurusannya apa, yang terpenting kamu bisa transfer ilmu ke peserta didik, bisa berkomunikasi dengan peserta didik dengan baik dan luwes, punya sikap yang baik (kamu enggak mau kan peserta didikmu meniru sikap burukmu kelak dan apakah kamu mau bertanggung jawab atas hal ini?), dan paling penting di atas segala-galanya, kamu punya wawasan dan pengetahuan yang oke sip. Jangan konyol lah, mau jadi guru fisika, tetapi ditanya rumus, jawabannya adalah lupa!

Jadi kalau guru-gurumu itu dulu berasal dari berbagai macam latar belakang pendidikan, mengapa harus heran kalau pekerjaanmu saat ini tidak ada kaitan dengan gelar akademikmu. Sebagai peserta didik yang baik, kan kita harus meniru jejak guru kita. Haha.

Sekarang saya mau masuk ke pembahasan yang lebih serius. Bekerja itu bagian dari kehidupan manusia. Manusia yang menganggur (tidak bekerja atau melakukan hal yang produktif) itu katanya bermasalah secara psikologis, kata pakar psikologi mana gitu. Seingat saya seperti itu. Koreksi saya jika saya salah. Macam-macamlah motivasi orang melamar kerja. Ada yang karena uang, karena kepepet (soalnya lamar sana-sini gak dapat pekerjaan, jadi embat saja pekerjaan yang ada), karena coba-coba (ingin mencari tantangan baru atau problem baru?), atau karena kecintaannya pada pekerjaan itu.

Balik lagi ke soal profesi guru, bagaimana mungkin jika seorang guru yang berasal dari latar belakang "gado-gado" itu bisa memahami peran seorang guru? Apakah jurusan Sastra mengajarkan lulusannya tentang peran sebagai guru? Jurusan Teknik? Jurusan Akuntansi? Sudah perannya saja tidak tahu, alasannya melamar sebagai guru karena... coba-coba. Apa!??? Tidak punya passion menjadi guru ditambah juga belum menghayati sepenuhnya perannya sebagai guru. Apakah tidak mampus pendidikan negara kita kalau guru kita diisi orang-orang semacam ini? Tolong doakan semoga orang-orang kayak gini tidak banyak jumlahnya.

Saya mulai bertanya-tanya: Apa jadinya pendidikan jika orang-orang yang menjadi guru adalah mereka yang tidak total dalam mengajar, hanya datang menyapa, lalu memberikan materi PR yang banyak, tanpa memberi feedback yang jelas? Apa jadinya pendidikan jika mereka yang jadi guru yang hanya menetapkan standar ketuntasan yang tinggi tanpa memperhatikan keunikan dan kualitas peserta didik secara individu? Apa jadinya pula pendidikan jika para guru ini adalah orang-orang yang tidak mengerti perkembangan psikologis peserta didik, yang dikejar hanya target nilai dan nilai? Dan apa jadinya jika mereka yang menjadi guru sebenarnya tidak pernah membayangkan diri mereka akan bekerja sebagai guru, tapi karena kepepet, akhirnya mengambil haluan menjadi guru? Orang-orang yang sesungguhnya tidak memiliki passion bekerja sebagai guru tetapi malah ditarik paksa menjadi guru hanya karena dituntut mengisi lowongan yang ada.

Oya, saya sempat menyebut soal passion. Pembahasan tentang passion ini bisa jadi pembahasan panjang tersendiri juga. Intinya, pekerjaan yang dilandasi dengan passion akan memberi output yang berbeda dengan pekerjaan yang hanya dilandasi oleh nilai-nilai eksternal, seperti uang, ketenaran, gengsi, dsb. "Mengajar itu butuh passion tersendiri," begitulah kata kandidat yang pernah saya wawancarai. Saya pun menyetujuinya.

Pendidikan bagi saya itu penting sekali. Karena pendidikan adalah tonggak kehidupan. Pendidikan lah yang memampukan manusia hidup berbudaya. Maka itu, pendidikan dan kebudayaan memang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan yang bagus lahir dari guru yang bagus. Guru yang bagus akan melahirkan peserta didik yang bagus.

Menurut saya, menjadi guru bukanlah profesi main-main. Sekali saja kamu jadi guru, jadilah kamu guru seumur hidup. Coba kamu ingat-ingat kembali wajah-wajah gurumu dulu. Betapa kamu merindukan momen-momen di saat dia mengajarmu atau mungkin memarahimu. Jika kamu bertemu lagi dengannya di tengah jalan, tak sungkan kamu mengucap Pak atau Bu. Jika kamu adalah sosok guru yang baik, yakinlah kamu akan terus diingat oleh muridmu. Dan percayalah, terdengar aneh jika kita mengatakan, "Eh, itu dia mantan guruku" atau "Itu bekas guru saya". Jadi cap guru itu adalah cap yang bisa menempel seumur hidup. Bagaimana dengan bos-bosmu dulu di kantor? Mantan-mantan bos itu (nah ini lebih cocok kan!)... lupakan saja lah. Please, jangan samakan bos dengan guru.

Karena begitu mulia dan sekaligus beratnya tugas seorang guru, seharusnya memang ada kriteria khusus tentang profesi guru ini. Mungkin sejalan dengan pemikiran saya (eh, kok jadi sombong), pemerintah mencetus ide tentang sertifikasi guru. Tetapi malah muncul keluhan bahwa sertifikasi guru ini hanya merepotkan dan menyulitkan mereka yang ingin bekerja sebagai guru. Sudah gajinya pelit, lho mau kerja kok ya sulit. Saya kurang tahu sih tentang pedoman pelaksanaan sertiifkasi guru ini. Yaaa... mungkin saja prosedurnya yang harus disederhanakan. Tapi bagi mereka yang telah mencintai pekerjaannya, harusnya menjadi tidak sulit dalam memperjuangkannya.

Sebagai penutup, saya tidak sedang menyinggung atau mengkritik siapa pun, apalagi yang bekerja sebagai guru. Toh, saya pernah mengemban profesi ini juga. Tetapi bagi mereka yang sedang menggeluti karir sebagai guru dengan alasan apa pun, teruskanlah... jika itu bisa diteruskan dengan sepenuh hatimu. Lakukan yang terbaik di atas yang terbaik. Perlu diingat, peserta didik itu tidak memiliki banyak kuasa dalam memilih gurunya. Dalam contoh perkuliahan, mahasiswa terkadang harus pasrah karena mata kuliah tertentu harus ketemu dengan dosen yang tidak disukainya. Mereka itu sudah pasrah memilihmu, lalu ditambah uang pendidikan yang makin kurang ajar, mereka tentu berharap mendapat pengajaran yang menarik. Jadi bayarlah keringat usaha mereka (lebih tepatnya sih keringat usaha orangtua yang membayar uang pendidikan mereka) dengan harga yang setimpal.