Page

31 Agustus 2012

Mengintip Kamar Fiksi Profesor Dali S. Naga

Judul: Kamar Dua Ratus Empat Belas
Pengarang: Dali Santun Naga
Penerbit: Unit Penerbitan Universitas Tarumanagara
Tahun Terbit: 2008

Cerita fiksi ilmiah adalah genre yang mungkin, sepengetahuan saya, adalah genre yang agak langka di perbukuan Indonesia, karena perlu menggumuli sejumlah referensi demi memantapkan ide dan logika cerita. Dewi Lestari melejit dengan karyanya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, serta Andrea Hirata lewat karya tetralogi Laskar Pelangi adalah sebagian pengarang cerita fiksi ilmiah di Indonesia. Di luar tanah air, kita mengenal ada Michael Crichton, H.G. Wells, dan Jules Verne. Nama terakhir kabarnya dikenal sebagai bapak cerita fiksi ilmiah.

Namun, saya kembali menemukan seorang pengarang cerita fiksi ilmiah tanah air. Profesor Dali Santun Naga. Oh, pantas saja pengarangnya profesor tuh. Bagaimana ceritanya tidak akan tidak ilmiah? Sayangnya, saat itu beliau belum menjadi profesor. Saya bisa berkata demikian karena ceritanya sendiri ditulis pada tahun 1976, yang mana beliau baru meraih gelar S-1 Teknik Elektro. Informasi latar belakang pendidikan beliau ini saya dapatkan dari penelusuran di internet. Semoga tidak keliru.

Cerita ini awalnya dimuat di Harian Kompas berupa cerita bersambung dari tanggal 21 April 1980 sampai dengan 13 Mei 1980. Kemudian, pada tahun 2008, cerita bersambung ini disatukan kembali oleh Unit Penerbitan Universitas Tarumanagara ke dalam sebuah buku. Menjadi sebuah novel, jika boleh disebut demikian.

Amat menarik rasanya membaca sebuah tulisan era ’80-an. Telepon genggam, internet, dan komputer yang saat itu masih menjadi barang mewah dan tidak secanggih sekarang. Tetapi, cerita yang ditulis pengarang melampaui segala teknologi dan pemikiran era ’80-an. Justru, kita dibawa ke tahun 18547. Bulan saat itu telah lenyap, suhu permukaan bumi memanas, dan penduduk yang tersisa tinggal di dalam tanah dengan hanya membentuk satu bangsa tanpa ada fungsi pemerintahan.

Kejutan demi kejutan akan Anda dapati seiring mengikuti penuturan tokoh saya. Adalah kejutan tersendiri di luar cerita barangkali, pengarang tidak menggunakan kata ”aku”, tetapi kata ”saya”. Entah kata ”saya” menjadi sebuah kata yang lebih populer dibandingkan kata ”aku” pada saat itu, atau mungkin pengarang lebih menyukai kata ”saya” daripada ”aku”. Entahlah.

Diceritakan di awal, tokoh saya tiba-tiba terbangun dan terkejut mendapati dirinya dikelilingi oleh manusia-manusia berbadan kecil. Ia berkenalan dengan Profesor Rubarta, Profesor Andarido, dan Indani. Kejutan berikutnya, tokoh saya mendapati bahwa manusia tahun 18547 sudah memiliki emosi yang tumpul. Cinta dan maaf sudah tidak ada dalam kamus mereka. Tokoh saya yang seingatnya masih ada di tahun 1976 tentu saja heran bukan main mendapati dirinya sudah jauh di masa depan. Cerita kemudian bergulir ke dalam diskusi-diskusi menarik antara tokoh saya dan Indani.

Cerita Kamar Dua Ratus Empat Belas ini sebetulnya boleh dimasukkan ke dalam genre post-apocalyptic fiction. Sebuah genre untuk cerita dengan setting pascabumi mengalami kehancuran atau bencana besar. Ceritanya juga mengingatkan saya pada film City of Ember. Tapi, jangan harap ada petualangan seperti Doon dan Lina, penduduk dalam tanah, yang mencoba berjuang ke permukaan bumi. Cerita Kamar Dua Ratus Empat Belas terasa membosankan bagi mereka yang menyukai kisah petualangan. Kisahnya dituturkan seperti perkuliahan. Tokoh saya melempar pandangan A, Indani membalas dengan pandangan berbeda. Begitu seterusnya.

”Perkuliahan” Kamar Dua Ratus Empat Belas menyeret nama Sigmund Freud, Newton, Archimedes, Charles Darwin, dan tokoh-tokoh besar asing lainnya. Topik ”perkuliahannya” sendiri beraneka ragam dari pelajaran astronomi, fisika, kimia, arti hidup, dan lain sebagainya.

Untung saja, penat materi ”perkuliahan” diselingi kenakalan tokoh saya, yaitu saat tokoh saya berusaha beberapa kali merayu Indani, gadis yang tumpul emosi, dengan nyanyian dan puisi...

Bulan perbani
Menanti di sudut langit
Pada saat paling mesra
Pada saat paling sejahtera

...

Puisi khas ’80-an dengan struktur rima yang rapi.

Tidak disangka pengarang yang sudah menerbitkan sejumlah jurnal penelitian dengan aneka disiplin ilmu ini rupanya cukup lincah berbicara soal cinta. Iya, ada cinta dalam Kamar Dua Ratus Empat Belas. ”Cinta seorang pria terhadap wanita ibarat air dalam gelas. Gelas itu bisa sebagian penuh, penuh, ataupun luber. Tetapi kaum wanita telah menganut suatu pengertian bahwa tidak boleh ada alternatif lain kecuali gelas penuh tetapi tidak luber.” Begitulah deskripsi cinta Profesor Dali lewat tuturan tokoh saya. Sangat filosofi.

Sayangnya, cerita seakan dipaksa selesai. Ibarat nonton sebuah film di TV yang lagi seru-serunya, eh tau-tau mati lampu. Begitulah, akhir cerita ini terasa menggantung dan menyisakan banyak pertanyaan. Hubungan tokoh saya dan Indani berlanjut sampai ke mana juga terasa mengambang.

Hanya saja, membaca cerita ini membuat kita dapat melihat sisi lain seorang Profesor Dali. Seorang dosen yang jarang bercanda, jarang melontarkan amarah, yang dikenal sebagai mantan Rektor Untar, penulis jurnal ilmiah, dosen filsafat dan psikometrika—mata kuliah kesayangan anak psikologi Untar. Saya sebut kesayangan karena ada yang ikhlas bersedia mengulang mata kuliah itu lebih dari sekali.

Catatan: Buku ini tampaknya belum dijual bebas, saya sendiri menemukannya dari perpustakaan Untar (Tarumanagara Knowledge Center)

14 Agustus 2012

There's No Place Like Campus

Tidak seperti orang kebanyakan yang mungkin memilih tempat kuliah karena faktor kualitas/mutu tempat kuliah tersebut atau karena faktor jurusan favoritnya hanya ada di kampus itu, saya malah memilih tempat kuliah mana yang dekat dengan rumah. Baru kemudian, saya melihat-lihat jurusan apa yang cocok yang bisa saya ambil di tempat kuliah itu. Aneh bener, bukan?

Untar (Universitas Tarumanagara) memang dekat dari rumah saya di bilangan Pluit (45 - 60 menit, cukup naik angkot sekali jalan). Saya tak peduli apa kata orang tentang Untar dan apa dan bagaimana universitas yang lain. Untar sudah cukup baik bagi saya dan saya bisa mengatakan Untar adalah rumah kedua saya.

Saya masih ingat ketika saya mengunjungi sekolah lama saya dulu. Meski berstatus alumni, tidak serta-merta saya mudah begitu saja menyelonong masuk ke dalam. Saya mesti menunjukkan KTP dan menyebutkan apa kepentingan saya kepada satpam sekolah. Saya mesti memakai tanda pengenal "Tamu". Saya merasa seperti orang asing, hahaha. Padahal, guru-guru saya belum asing terhadap saya lho.

Berbeda dengan kampus. Kampus sudah saya rasakan seperti rumah. Saya bisa masuk dan pergi begitu saja bagaikan saya pemiliknya saja. Tidak ada larangan bagi mereka yang bukan mahasiswa sekalipun untuk memasuki lingkungan kampus. Wah, kalau di sekolah, mungkin Anda sudah dicegat satpam dan ditanya ini-itu, kecuali Anda mungkin mengenal baik satpam yang bersangkutan.

Kampus juga memberikan candu tersendiri bagi sebagian orang. Keragaman orang-orang, keragaman kegiatan ekstrakurikuler, jadwal kuliah yang bisa disusun atau dipilih sendiri, kebebasan berbusana (asal tidak mengganggu mata orang yang memandang saja), dan berbagai keseruan lainnya yang mungkin sulit didapatkan jika dibandingkan dengan suasana sekolah. Anda bebas menjadi siapa diri Anda di lingkungan kampus, seperti halnya Anda di rumah. Ini mungkin salah satu faktor mengapa ada mahasiswa abadi (mahasiswa yang gak mau lulus-lulus), karena faktor homey tersebut.

Tidaklah heran, meski sudah lulus sarjana, terkadang saya masih mengunjungi kampus saya itu. Saya merasakan.... betapa suasana yang masih sama... meski orang-orang di dalamnya telah banyak yang berubah. Segelintir orang yang setia berada di kampus saya, di antaranya dosen dan petugas sekretariat masih mengenal saya, menyapa saya, menanyakan kabar. Akankah mereka masih mengenal saya ketika sudah berlalu 10 tahun?

Saya cuman mau bilang bahwa tidak ada tempat yang bisa memberikan sebuah kenangan manis seperti kampus.


Sumber gambar: http://3.bp.blogspot.com/-s10_nAEsQ3A/TfMs3-jc7LI/AAAAAAAAAGE/URIZvDI4USA/s1600/untar1.jpg

3 Agustus 2012

[Cerpen] Lelaki yang Lain - Bagian Tiga


Sebulan tanpa gangguan dari mantan membuat hidupku terasa lebih lega. Sejak pertemuan tak terduga di Minggu pagi, aku sudah tidak pernah melihat dia datang menemuiku, baik sengaja maupun tidak sengaja. Kupikir semuanya akan berjalan baik-baik saja sampai... dia, mantanku itu berada di depan pagar rumahku lagi.
Aku baru saja pulang dari kuliah. Perjalanan menuju rumah yang melelahkan. Tak sabar ingin memanjakan diriku dengan sepotong kue cokelat. Tetapi, dia membuat mood-ku rusak.
Aku lihat Mike sedang berbicara dengan pembantu rumahku. Aku mencoba mendengarkan.
”Ya, begitulah kira-kira, seperti Mas Mike bicarakan. Memang agak aneh. Tapi mana berani aku menegur. Salah-salah, Mbak yang dimarahi,” kata pembantu rumahku.
”Baik, terima kasih banyak untuk infonya Mbak,” kata Mike.
Aku tak mengerti apa yang mereka sedang bicarakan. Mike lalu membalikkan badannya. Aku pun ikut-ikutan membalikkan badan. Bodoh sekali, mestinya aku memilih untuk lari.
Mike menepuk pundakku. Aku segera berbalik.
”Kenapa kamu ke sini lagi? Gak pernah bosan mencariku,” aku menepis tangan Mike dari pundakku.
”Kamu ingin tahu tidak, kenapa cowo barumu itu bisa muncul begitu saja?”
”Hah!?” Aku memandangi Mike dengan heran.
”Aku tahu sekarang... Cowo barumu itu...”

”Jangan dengarkan dia!”
”Michael...” Michael di sini, gumamku. Tetapi, di mana? Aku segera melihat ke sekelilingku.
”Michael... Jadi namanya Michael,” sahut Mike.
”Cepat pergi dari sini. Jangan dekati lelaki pengkhianat!” Michael menyahut lebih keras. Dia ada di balik pepohonan. Kenapa harus pakai bersembunyi?
”Michael, bersikaplah sopan sedikit,” kataku kepadanya.
”Di mana cowo barumu itu? Bolehkah aku melihatnya?” tanya Mike.
Aku bingung dengan pertanyaan Mike tadi. Bolehkah aku melihatnya. ”Mike, apa maksud pertanyaanmu? Michael, dia benar ada di sini kok,” aku menunjuk ke pohon yang di seberang jalan kami. Tetapi, Michael sudah tidak ada di sana lagi.
”Michael, di mana kamu? Mike ingin berkenalan denganmu.” Aku melihat ke sekelilingku. Mataku mencari-cari sosok lelaki misterius itu.
Aku memanggil nama Michael berkali-kali. Tetapi, tidak ada jawaban dari Michael. Segera saja, aku pergi mencari-cari di sekitar kompleks rumahku.
Mike ikut menyusulku. Saat aku mulai lelah mencari Michael, Mike berkata hal yang mengejutkanku. ”Sudahlah, tak usah mencari dia lagi. Michael... dia tidak nyata. Dia hanya khayalanmu saja.”
”Ja-jangan bercanda. Apa kamu ingin mengatakan bahwa dirinya adalah hantu,” protesku. Aku mulai merasa ngeri. Michael-ku memang misterius, tetapi dia tidak mungkin tidak nyata.
”Bukan, kalau hantu itu masih nyata. Tapi, yang ini benar-benar tidak nyata,” balas Mike pelan.
”Michael adalah nyata. Aku pernah menyentuh wajahnya, memegang tangannya. Bahkan... ia pernah mengenakan hadiah yang kuberikan.”
Aku berlari meninggalkan Mike. Aku berlari menuju rumahku. Aku sampai ke rumahku dengan terengah-engah dan itu membuat Ibuku keheranan. Aku ingin membuktikan kebenaran.
”Ibu, apa Ibu masih ingat dengan lelaki yang pernah berkunjung ke rumah kita. Kami berbincang di teras depan.”
”Siapa ya? Rasa-rasanya tidak ada lelaki lain yang pernah kamu undang datang ke rumah kita, selain...,” Ibuku mencoba mengingat nama, ”selain Mike. Iya... Hanya dia saja lelaki yang pernah datang ke rumah kita.”
”Masa Ibu tidak ingat? Namanya Michael, pacarku sekarang. Ayo Ibu ingat-ingat lagi. Aku mengundangnya ke sini sebulan yang lalu. Aku sudah mengenalkannya pada Ibu, kok,” desakku.
”Yang mana ya? Sebulan lalu ya? Waduh, mana ingat ya. Kayaknya enggak ada deh. Kenapa gak namanya pembantu rumah kita, dia kan lebih sering di rumah daripada Ibu. Barangkali dia lebih tahu.”
Aku lalu berteriak memanggil pembantu rumahku.
”Iya, Non.” Pembantuku segera keluar dari dapur lalu menghadapku.
”Mbak, ingat tidak dengan lelaki yang pernah berkunjung ke rumah kita sekitar sebulan yang lalu, yang kuajak main ke teras depan itu lho,” tanyaku penuh harap. Semoga pembantu rumahku bisa membuktikan bahwa Michael adalah kenyataan.
”Oh yang itu ya...”
”Ada kan ya.” Aku mulai cemas.
Ndak ada Non. Waktu itu di teras depan ndak ada orang lain, selain Non sendiri. Non bicara sendiri dan senyum-senyum sendiri saja. Maaf ya Non, ndak bermaksud menuduh yang bukan-bukan. Tetapi, benar itu Mbak liat. Ndak ada maksud berbohong kok.”
Aku lemas mendengarnya. Jadi, selama ini aku berbicara dengan hantu. Tetapi, aku benar-benar memberikan hadiah jam tangan itu kepadanya dan melihatnya mengenakannya. Aku juga memberikan bunga mawar itu kepadanya. Kami pun pernah berciuman. Dia terlihat nyata.
Dengan penuh kebingungan aku menaiki loteng dan menuju ke kamarku. Aku mencari-cari hadiah dan bunga mawar yang kuberikan kepada Michael. Aku mencarinya ke seisi kamarku. Dari lemari baju, laci belajar, kotak perhiasan, semuanya kubongkar. Kamarku sekarang seperti kapal pecah.
Aku lalu duduk di atas tempat tidur. Pandanganku mendadak tertuju pada kotak kecil yang ada di pojok lemari bajuku. Aku cepat-cepat mengambilnya, kemudian membukanya...
Astaga! Di dalamnya aku menemukan berlembar-lembar fotoku bersama Mike. Ada juga foto Mike yang kuambil secara candid. Kenapa semuanya tersimpan di sini? Bukankah sudah kubuang?
Aku juga menemukan barang-barang pembelian Mike, seperti kalung, gelang, anting, dompet... Dan aku melihat sebuah jam tangan dan bunga mawar. Hadiah untuk Michael. Aku menggenggam kedua benda itu di tanganku. Raut mukaku tak percaya bahwa kedua benda itu masih ada di kamarku, bukan ada di Michael.
Bukankah aku sudah memberikan kepadanya? Aku mencoba mengingat-ingat kejadian ketika aku memberikan kedua barang ini kepadanya, tetapi yang muncul hanya rasa sakit di kepala.
Sekelebat bayangan hadir di belakangku. Michael kini di balik jendela kamarku. Aku segera pergi mendekatinya.
”Michael, katakan kepadaku siapa kamu sesungguhnya?”
”Kenapa kamu meragukan diriku? Namaku Michael dan aku adalah lelaki yang kaucinta. Tidakkah bisa kau lihat itu?”
”Tidak. Aku mulai tidak percaya kamu lagi. Kenapa barang yang kuberikan kepadamu tidak kau simpan?”
”Kamu ingin tahu kenapa? Kamu ingin tahu apa aku nyata atau tidak? Coba sedikit mendekat kepadaku?” Michael menyosongkan kedua tangannya. Dia seolah memintaku menyambutnya.
Rasa penasaran menggerakkanku mendekatinya. Aku membuka jendela kamarku. Angin berhembus kencang segera menerpaku. Aku berjalan perlahan mencoba meraih kedua tangan Michael. Aku menggengam kedua tangannya sekarang. Sungguh dia nyata.
Tetapi, saat kulihat ke bawah. Michael melayang. Aku terkejut setengah mati. Dan aku lebih terkejut ketika sadar bahwa aku berdiri di atas kusen jendela. Aku berada di lantai 2 dan perasaan kaget membuatku hilang keseimbangan. Aku terpleset jatuh ke bawah. Aku pikir ini adalah akhir riwayat hidupku. Namun, ada yang mencengkramku dan menarik diriku ke atas. Aku segera rebah di pelukannya.
”Apa yang kamu lakukan, bodoh?”
Suara Mike. Dia telah menyelamatkanku. Aku lalu menangis di pelukannya.

Mike bilang kepadaku bahwa dia tetap mengawasi gerak-gerikku sejak dia membuatku terluka. Dia mengamati keanehanku. Dia melihat ada sesuatu yang tidak beres denganku. Aku sendiri tidak menyadari mengapa aku bisa menciptakan ”hantu” bernama Michael.
Mike berkata bahwa aku menciptakan gambaran dirinya karena aku tidak bisa menerina kenyataan. Menurutnya, Michael adalah suara hatiku yang tersakiti.
Mike merasa bersalah dan meminta maaf karena telah membuatku sedikit ”rusak”. Dia berjanji tidak akan meninggalkanku lagi. Tetapi, sebetulnya akulah yang harus meminta maaf.
”Maafkan aku, Mike. Selama ini aku pasti sangat manja dan menyebalkan. Bahkan, saat hari di mana aku harusnya bisa melupakanmu, malah kaulah yang menolongku. Aku sungguh lemah. Pasti aku sering membuatmu susah selama ini,” kataku padanya suatu hari sambil terisak.
”Berhentilah menangis. Wajahmu terlihat jelek. Kamu memang menyebalkan, tetapi itulah yang membuatku suka.” Mike lalu mencubit kedua pipiku dan menariknya. ”Sekarang tersenyumlah seperti ini.”
Aku berteriak kesakitan. Air mataku lalu terhenti dan aku kini ingin menghajarnya karena membuatku pipiku kesakitan.

Michael masih kerap muncul. Michael masih terus memintaku untuk menjauhi Mike. Kadangkala frekuensi suaranya semakin sering kala ku sendiri. Hal itu membuatku tidak tahan dan aku terkadang meminta Mike menemaniku sampai aku benar-benar terlelap.
Mike memang lelaki yang kucinta. Dia terus memberiku kekuatan. ”Sampai hatimu benar-benar sembuh akibat luka yang kuberikan, dia pasti akan tetap muncul. Bersabarlah. Aku sudah berjanji akan memperbaiki hubungan kita yang sempat terputus.”
”Kamu itu istana pasirku. Akan kujaga kamu sekuat tenagaku. Meski perasaanmu hancur, percayalah aku akan memugarnya kembali hanya untukmu.”
Mike memberiku sebuah gelang yang harus kukenakan. Saat aku sedang berjalan sendirian, dia memintaku meraba gelang itu saat sosok Michael muncul di sekelilingku atau saat suara Michal bergema di pikiranku. Gelang pemberiannya cukup ampuh dan membuatku lebih berani menghadapi rasa takutku.

            ”Ini untukku?” Mike agak terkejut ketika aku memintanya menerima sebuah jam tangan dan setangkai mawar.
            ”Ya terimalah ini,” pintaku.
            ”Barang ini kan untuk...” Mike berniat melanjutkan, tetapi ragu-ragu.
            ”Tidak apa-apa Mike. Aku sudah lebih kuat dari sebelumnya. Jam tangan dan mawar itu memang diberikan untuk Michael pada awalnya. Tetapi, kan Michael adalah dirimu sebetulnya. Ilusi dirimu. Dia adalah kau. Jadi, kupikir yang terbaik dari cara melupakan Michael adalah dengan memberikan kepada dirimu apa yang seharusnya kuberikan kepadanya.”
            Mike mengangguk dan tersenyum. Mike pasti berpikir bahwa aku sudah lebih dewasa dari awal pertama ia mengenalku.
Samar-samar aku melihat Michael dari jauh masih mengawasiku. Tetapi, kuyakin dia tidak akan berani mengusikku. Seiring kepercayaanku pada Mike kembali, kemunculan sosok dan suara Michael mulai berkurang. Hatiku mulai pulih.
Mike memang pernah menjadi kekasihku. Tetapi, sekarang aku ingin memandangnya sebagai kekasihku yang baru. Aku ingin memulai kehidupan baru bersamanya. Kehidupan yang lebih kuat dan lebih erat.

[Cerpen] Lelaki yang Lain - Bagian Dua


Keesokan harinya, aku kembali mendapat kiriman SMS. Namun, yang mengirimnya kali ini adalah Mike yang menyatakan ingin bertemu denganku. Aku ingin menemuinya, tetapi kata-kata Michael tadi malam mengurungkan niatku. Jadi, kuputuskan mengajak Michael pergi ke sebuah mall bersama denganku. Aku memutuskan keluar rumah karena takut Mike akan mencariku sampai ke rumahku. Tetapi, yang namanya cinta sepertinya bisa melacakmu. Seperti kata orang-orang, kalau sudah jodoh, dia tak akan lari ke mana. Ketika aku dan Michael sedang berada di sebuah toko baju, ada yang tiba-tiba menarik tanganku.
”Kenapa kamu bisa di sini?” Aku terkejut, tetapi berusaha tenang melihat Mike muncul di hadapanku.
”Aku bertanya kepada pembantu rumahmu ke mana kau pergi.”
Sial, mestinya aku tidak memberitahukan ke mana aku pergi kepada orang-orang rumah.
”Aku berkeliling ke sana ke mari untuk mencarimu. Lega rasanya bisa menemuimu.” Aku bisa melihat usaha Mike mencariku dari wajah dan bajunya yang basah oleh keringat.
”Ini bukan waktu yang tepat bagi kita untuk bertemu.”
Aku melihat dari kejauhan Michael memberi tanda agar aku segera meninggalkan tempat ini. Aku juga ingin segera pergi, tetapi Mike langsung menyambar tanganku dan menyahut, ”Tidak bisakah kamu memberiku waktu sebentar saja? Apa aku terlihat seperti penagih utang!”
Aku belum sempat berkata apa-apa, tiba-tiba kulihat Michael mendatangi Mike. ”Dengar baik-baik, lelaki berengsek. Apa kamu tidak pernah belajar etika? Ini adalah waktu kencanku, bukan waktu kencanmu. Jadilah pergi dari sini!”
”Michael... Jangan berteriak seperti itu!” seruku kepadanya. Aku sungguh khawatir akan terjadi perkelahian di sini.
Mike agak terkejut, ”Maaf, a-aku tidak bermaksud begitu. Tenang saja, aku tidak akan lama. Aku janji.”
Michael geram. ”Tidak usah pakai kata janji. Tidak pernah ada waktu bagimu! Tidak sadarkah kau sudah mengkhianati waktu yang telah kau berikan pada orang yang kau cintai?” Michael menghampiri Mike lebih dekat. Rasa-rasanya dia benar-benar akan berkelahi jika Mike terus memaksa.
”Michael... kuminta kamu berhenti... berhenti,” pintaku kepadanya. Aku merasa agak takut sekarang.
Tetapi, Mike tak gentar ketika kulihat Michael maju perlahan mendekatinya.
”Aku tidak akan berhenti. Kamu pasti juga, iya. Kamu masih sayang kepadaku, kan.”
Kulihat tangan Michael sudah mulai terkepal. Untunglah, aku lebih sigap darinya. ”Cukup... cukup... aku sibuk sekarang. Aku tidak punya waktu denganmu Mike, benar-benar tidak ada waktu denganmu. Terima kasih banyak untuk pendapatmu tentang perasaanku.” Aku segera mengapit lengan Michael dan membawanya pergi. Aku tidak sempat melihat seperti apa reaksi Mike saat aku menggandeng lengan Michael. Aku tadi juga lupa mengenalkan kepadanya. Tetapi, ah sudahlah... Mengapa malah aku jadi memikirkan dia.

Pulang ke rumah, aku mendapati Mike mengirimiku dua buah SMS. Km tdk beri aq ksempatan bicara 4 mata. Kuharap km mau baca sms q ini. Pertunanganku bukan kemauanku. Aq pasti akan cr cara tuk membatalkannya.
Kemudian, SMS selanjutnya berbunyi, Hub qt blm berhenti. Km pasti terluka skali spanjang aq tdk ada. Biarkan aq memperbaiki sisi hatimu yg rusak krn q.
Aku membalas SMS Mike, Mike, kuharap km bs belajar nerima kenyataan, yg sdh rusak dibiarkan saja rusak. Mending kita beli yg baru deh.
Mike kemudian dengan cepat membalas SMS-ku lagi. Aq rasa km yg hrs belajar nerima kenyataan. Sampe kpn km mau b’sembunyi dr perasaanmu sndiri?
Km salah beli brg. Itu bukan brg baru, itu hny imitasi diriku.
SMS terakhir Mike tak kugubris. Aku lebih memilih memandangi jam tangan perak yang baru saja kubeli. Aku membelinya tanpa sepengetahuan Michael.
Dia pasti suka. Besok dia ulang tahun. Ini akan menjadi kejutan untuknya. Aku memejamkan mata, memandangi hari-hari esok yang menyenangkan, dan pelan-pelan aku terlelap.

            Ketika aku terbangun, aku mendapati bukan berada di kamar tidur. Aku berada di... ruang kelasku dulu. Ruang kelasku saat aku kelas 1 SMA.
Huh. Mengapa aku bisa berada di sini?
Aku bisa melihat teman-temanku di sana. Cherry, Winda, Susi... tetapi, tidak ada satu pun yang memerhatikan keberadaanku. Aku mencoba memanggil mereka satu per satu. Tak ada respons. Aku bergidik. Apakah aku sudah mati dan menjadi hantu? Aku mencoba menyentuh mereka, dan... tembus. A-a-apa yang terjadi? Aku ingin berteriak. Tetapi, mendadak ada yang menepuk bahuku dari belakang. Mike! Ah, dia satu-satunya yang dapat melihat dan menyentuhku. Aku langsung memeluknya.
Kemudian, dia menggenggam tanganku, mengajakku keluar kelas, meninggalkan teman-temanku. Aku merasakan sebuah ekstasi. Mike saat kelas 1 SMA masih tidak kehilangan pesonanya. Dan, aku berdua berjalan beriringan bersama Mike. Ke taman, ke bioskop, ke museum, ke semua tempat yang kusenangi. Ini momen yang kutunggu-tunggu. Serasa dunia punya kita berdua.
Langkah kami berdua terhenti pada sebuah gedung. Dia melepas genggaman tanganku. Lalu, aku melihat tunangan Mike berdiri di belakangnya mengenakan gaun pengantin. Mike tersenyum.
Mike, apa maksud dari senyuman itu? Lantai gedung itu sontak terbelah dua. Membelah tempat aku dan Mike berpijak. Mike dan tunangannya berada di belahan pijakan yang berbeda denganku. Kami berdua terpisah. Mereka di sana, aku di sini.
”Mike... tidakkk!” Aku menjerit.
Jeritanku itu membangunkan diriku yang sesaat aku menyadari aku masih berada di tempat tidurku semula. Sungguh sebuah mimpi buruk.

Keesokan harinya aku meminta Michael datang ke rumahku. Kami sekarang duduk di teras rumahku. Aku membahas mimpiku semalam dengannya. Michael mendengarnya sambil manggut-manggut saja. Ia sama sekali tidak terkesan dengan mimpiku. Ia hanya memberiku nasihat singkat yang sering kudengar.
”Lupakan dia.”
Aku mencoba melupakan. Tetapi, setengah mati berusaha keras, aku tak pernah bisa. Apa sulitnya melupakan, padahal aku sering melupakan rumus-rumus fisika, bahkan menjelang detik-detik ujian sekalipun. Apakah Mike benar, aku masih sayang dengannya?
Aku cepat-cepat menghilangkan perasaan semacam itu. Aku teringat dengan hadiah yang ingin kuberikan kepadanya.
”Michael, aku punya kejutan untukmu.”
”Kejutan apakah itu?” selidiknya.
Aku menyerahkan sebuah kado untuknya. ”Selamat ulang tahun”, lalu aku juga memberikan setangkai mawar kepadanya.
”Hei, kenapa jadi sekarang wanita yang memberikan mawar kepada pria?” Michael menerima kado dan mawarku dengan gembira.
”Bolehkah aku membuka kadonya sekarang?”
”Tentu saja.”
Michael segera merobek bungkusan kado itu, ”Wah, sebuah jam tangan yang bagus.” Michael segera mengenakannya.
”Kamu terlihat lebih keren,” pujiku kepadanya.
Kesenanganku kemudian sedikit diinterupsi oleh ponselku yang mendadak berdering. Sebuah SMS masuk. Kulihat sender-nya adalah Mike. Hah, apa maunya lagi?
Aq ingin bicara dg pacar barumu, bolehkah aq?
”Eee... Michael, Mike ingin bertemu denganmu,” ujarku pelan padanya.
”Buat apa? Kamu lupa kejadian kemarin. Aku hampir saja menghajarnya.”
”Aku juga berpikir hal yang sama sih. Lalu, untuk apa dia mau bertemu denganmu ya?”
Michael lalu menatapku tajam. ”Pastinya dia mau mencoba menghalangi hubungan kita.”
Aku menghela nafas. Baru kali ini aku merasakan kisah percintaan yang begitu rumit. Kalau pun aku masih sayang Mike, aku tetap tidak bisa melepaskan Michael begitu saja. Aku sudah paham bagaimana rasanya dicampakkan, dan aku tidak ingin melakukan hal yang sama kepadanya. Cukup aku yang pernah tersakiti, jangan dia.

 Bersepeda pagi-pagi di hari Minggu sungguh menyenangkan. Sebenarnya aku bukanlah orang yang terlalu senang bangun pagi, apalagi disuruh mengantar catering dari rumah ke rmuah. Ibuku adalah seorang penjual catering. Mengantar catering adalah tugas Ibuku dulu. Catering untuk sekitar kompleks rumahku saja. Cuman sekarang karena aku sudah kuliah, aku tidak perlu bangun pagi sepagi ketika aku SMA. Jadi, akulah yang diminta Ibu menggantikan tugasnya sekarang.
Oke, tujuan berikutnya adalah rumah Tante Susan. Heh? Tante Susan, belum pernah dengar sebelumnya. Mungkin pelanggan baru. Aku mencermati alamat rumah Tante Susan. Walah. Kenapa harus lewat situ? Melewati rumahnya Mike.
Ya, rumahku dan rumah Mike masih satu kompleks. Hanya beda beberapa gang. Aku ragu-ragu menuju ke sana. Tetapi, apa kata Ibuku kalau aku tidak menyelesaikan tugasku. Tetapi, aku teringat bahwa Mike adalah tukang tidur. Dia agak jarang bisa bangun pagi. Harusnya aku tak kan bertemu dengannya.
Benar saja, aku tidak bertemu dengannya. Lega sekali. Aku telah mengantarkan rantangan untuk Tante Susan, dan kini tinggal rantangan untuk Tante Hesti.
Di persimpangan empat, aku berbelok ke kanan, dan orang itu... mengapa dia bisa di situ. Aku segera membalikkan sepeda kumbangku dan memutuskan mengambil jalan memutar. Lalu, aku segera melajukan sepedaku lebih cepat. Tetapi, orang itu tetap berlari di belakangku.
”Kenapa kamu mengikutiku,” sahutku kesal. Aku menambah laju sepedaku.
”Kamu yang mengikutiku,” balas Mike. ”Ini kan rute jogingku.” Mike juga ikut-ikutan mempercepat laju larinya. Mike mengenakan kaus dan celana training, lengkap dengan sepatu olahraga. Baru kali ini aku lihat dia berolahraga pagi.
”Tumben kamu bangun pagi, pakai acara joging segala lagi. Kamu kan jarang bangun pagi. Biasanya juga aku yang harus membangunkan....” Nada suaraku turun perlahan di kata membangunkan. Aku tadi ingin mengatakan membangunkanmu.
”Tumben kamu masih mengingat kebiasaan jelekku.” Mike kemudian tertawa.

Aku berhenti di sebuah rumah berpagar hijau. Mike di belakangku cengar-cengir. Aku tidak menghiraukan. Kupencet bel rumah itu. Sudah sampai yang kelima kali aku memencet bel, tidak ada jawaban dari empunya rumah.
”Kamu itu masih pelupa saja ya. Ini bukan rumahnya Tante Hesti, tetapi Om Joko. Om Joko dan keluarga tidak ada di rumah. Mereka lagi liburan ke Spanyol. Rumahnya Tante Hesti ada di gang yang satu lagi, dan pagarnya itu... biru.”
Aku mendengus. ”Terima kasih sudah mengingatkan.”
”Mau dibantu kukasih tahu rumahnya Tante Hesti yang mana? Nanti salah rumah lagi.” Mike terkikik.
Aku belum menjawab, mau atau tidak. Tetapi, Mike sudah buru-buru kembali berlari, dan melambaikan tangannya. ”Ayo.”

”Maaf agak lama ya Tante.” Aku menyerahkan rantangan terakhirku kepada Tante Hesti.
”Maafkan dia, Tante. Dia memang pelupa. Untunglah, cuman saya saja yang tak bisa dia lupakan.” Mike lalu melingkarkan tangannya di bahuku. Tetapi, aku secara refleks segera melepaskan tangannya itu.
Tante Hesti langsung tersenyum mendengar ucapan Mike tadi. ”Ndak apa-apa sampean. Hubungan kalian berdua tampaknya makin serasi ya.”
Aku baru saja ingin mengatakan bahwa kita sudah tidak berhubungan lagi, tetapi Mike lebih cepat memberikan jawaban, ”Wah, makasih banyak Tante. Doakan kami tetap awet ya.”

”Apa-apaan katamu tadi?” tanyaku jengkel kepada Mike setelah kami sudah agak jauh dari rumah Tante Hesti. ”Awet? Awet kepalamu.”
”Kamu jangan langsung marah-marah seperti itu.”
”Kamu pasti memata-mataiku! Kamu juga pasti hanya berpura-pura berolahraga! Sebenarnya apa maumu?” Emosiku melonjak.
”Sudah kubatalkan pertunanganku.”
“A-apa?” Emosiku yang tadi naik, kemudian menurun drastis.
“Jadi, hubungan kita yang sempat terputus bisa dilanjutkan lagi,” tambah Mike.
Pernyataan itu sangat mengejutkanku.
“Err...”
Aku bingung mau berkata apa. Entah aku terlalu kaget atau mungkin terlalu senang mendengarnya.
“Ayolah, ada apa? Kamu tidak senang mendengarnya.”
“Bukannya aku tidak senang... Aku...” Jujur dalam hati, pengumuman Mike sangat mengejutkanku.

”Jangan dengarkan dia!”
Itu suara Michael. Michael kenapa dia ada di dekat sini? Aku mencoba melihat ke sekeliling.
”Kamu kenapa?” tanya Mike. Mike pun ikut-ikutan melihat ke sekeliling. ”Tidak ada apa-apa di sini. Apa jangan-jangan itu...”
”Maaf, aku mesti segera pergi. Ibu mungkin menungguku.”
Aku mengayuh sepedaku dan lekas pergi.

Aku sudah jauh dari pandangan Mike. Michael kini di sampingku. Michael dengan wajah jengkel berujar kepadaku, ”Dengarkan aku, kau tak boleh lagi mendekatinya. Selama kau berpacaran dengannya, ternyata diam-diam dia sudah memiliki tunangan.”
“Tapi katanya tadi…”
 “Katanya tadi dia putus dengan tunangannya. Kalau dia mau putus dengan tunangannya, seharusnya dia bisa melakukannya sedari awal, bukan sekarang.”
 Aku membenarkan perkataan Michael dalam hati.
“Kamu tidak tahu betapa besarnya aku mencintaimu. Cinta yang kuberikan lebih sejati darinya...”
”Ehm, Michael. Aku merasa heran. Kenapa kamu bisa selalu muncul begitu saja?’
Michael nyengir.
”Kenapa Michael?” selidikku penasaran.
”Tidak apa-apa sayang. Kenapa aku bisa selalu muncul? Itu tandanya aku mengawasimu. Aku hanya takut kalau ada apa-apa yang kurang baik terjadi kepadamu. Kalau kamu mau, aku bisa muncul tidak terlalu sering kok,” ucap Michael dengan seulas senyum yang membuatku semakin penasaran.

[Cerpen] Lelaki yang Lain - Bagian Satu


“Aku sebetulnya sudah bertunangan sejak 4 tahun yang lalu.”
            Aku sangat tidak percaya pada apa yang Mike ucapkan kepadaku kemarin. Mana mungkin, mana mungkin, mana mungkin. Kata-kata itu mungkin kuulang ribuan kali kepadanya. Namun sayangnya, dengan sangat menyesal, ia tetap mengiyakan.
            Mike, nama aslinya Michael, adalah pacarku sejak 2 tahun yang lalu. Tetapi, mendengar ia sudah memiliki tunangan, rasa-rasanya kebersamaan 2 tahun itu sudah tidak berarti lagi. Hubungan kami berdua pun berakhir pada satu kata horor untuk semua orang yang pernah menjalin cinta, yaitu ”putus”.
            Hatiku sakit sekali, pedih dan perih. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di dalam hatiku. Mengapa Mike menipuku selama 2 tahun? Kalau ia sudah bertunangan, mengapa ia masih saja bersamaku. Apa aku ini semacam sang penghibur? Penghibur di kala dukanya. Mengapa dia tega mempermainkanku?

            Aku membuka akun Facebook­-ku. Segera saja, aku hapus semua foto-foto Mike bersamaku. Lalu, aku juga melakukan hal yang sama ke komputerku, laptopku, dan ponselku. Semua gambar yang ada Mike langsung ku-delete. Aku ingin men-delete semua hal tentang dia dari hidupku. Karena segala berkaitan dengan dia, bukan lagi kebahagiaan, melainkan seperti luka. Foto-foto yang sempat kucetak juga kubuang.
Hanya satu foto yang buatku bingung, apa perlu kubuang atau tidak. Foto itu adalah foto yang dibingkai pigura yang menggantung di pintu kamar tidurku. Itu foto bersama teman-teman SMA-ku yang diambil saat aku masih kelas 1. Ada Mike juga di sana. Mike temanku sejak kelas 1 SMA. Hanya saja, dia baru mencuri hatiku ketika kami kelas 3. Aku ingin membuang foto pigura itu, tetapi tidak bisa karena ada teman-temanku di sana. Aku tidak sampai hati.
Aku melihat Mike di foto pigura itu. Dia tersenyum. Senyum sama yang sangat melelehkan. Aku putuskan membiarkan foto pigura itu tetap di sana. Aku berpaling. Aku ingin tidur. Lelah sekali rasanya. Sebelum aku mematikan lampu kamarku, aku memerhatikan sekali lagi pigura itu. Mengapa kulihat sekarang Mike di sana tidak lagi tersenyum? Dia terlihat murung. Hmm... Mungkin aku salah lihat. Aku cepat-cepat mematikan lampu kamarku.

            Aku terduduk lesu di bangku taman tempat di mana kami sering menghabiskan waktu bersama. Sekarang kuhabiskan waktu ini sendirian. Sekumpulan mawar yang baru saja bersemi seperti mengejekku. Mawar yang biasa dipersembahkan pria untuk wanita yang dicintainya tidak terlihat ada indahnya lagi di mataku. Dirundung penuh kesedihan, aku benar-benar berharap ada seseorang yang bisa menghibur hati ini.
            “Hai, cewek.... sedang apa di sini?” tanya seorang cowok yang membuatku terbangun dari lamunanku. Kulihat orang yang menyapaku itu, seorang pemuda yang cukup tampan.
            “Boleh duduk sebentar di sana.”
Dia menunjuk ke tempat kosong di sebelahku. Entah kenapa, tanpa berpikir panjang aku langsung mengangguk.
            Kami berdua duduk bersebelahan. Tetapi, bergeming lama sekali. Sampai kemudian, cowok misterius di sebelahku ini berkata,”Wanita yang duduk sendiri, tidak ngapa-ngapain.... berarti pasti dia punya masalah.”
            “Tahu apa, kamu! Jangan sembarangan menuduh ya,” sahutku cepat dan ketus.
            Tetapi, dalam hati aku membenarkan perkataannya. Maksudku, membenarkan apa yang sedang kualami. Mendadak dia berdiri, lalu menarik lengan bajuku.
            “Eh, apa-apaan sih ini?” sergahku melepas tarikannya.
            “Bagaimana kalau kuajak kamu jalan-jalan? Apa kamu mau di sini selamanya? Ayo, ikut aku....”
            Tiba-tiba ada ketertarikan besar yang menyelimutiku. Jadi kuturuti saja keinginannya. Dan, ia membawaku ke...
           
Pantai. Kenapa dia membawaku kemari. Dulu aku dan Mike sering kemari untuk sekadar melepas penat. Lucu sekali, jika kuingat waktu itu. Kalau kami berdua ke pantai, tidak hanya main-main air, tetapi kami juga berlomba membangun istana pasir. Kami akan beradu, siapa istana pasir yang dibangun yang paling kuat dan paling lama bertahan. Lalu, biasanya kami akan saling mengejek. ”Eh, itu mah bukan istana, tapi itu gubuk,” hina Mike menunjuk istana yang kubangun sambil tertawa terbahak-bahak.
”Enak saja, daripada punya situ... itu... itu mah....”
”Itu apa?” tanyanya penasaran.
”Itu mah... kandang kuda!” Aku tertawa, merasa bahagia bisa balas mengejeknya.
”Bagus dong,” Mike tersenyum, ”Kandang kuda ini, kandang kuda putih lho... nanti aku akan datang menjemputmu di gubuk reyotmu itu.”
Peuh.... Dasar Mike, dia memang pandai sekali menggodaku. Kata Mike kepadaku, ”Membangun impian seperti membangun istana pasir. Begitu mudahnya, istana pasir itu terhembus oleh angin dan hancur. Sama juga dengan impian kita, amat mudah kita hancurkan. Maka itu, kita perlu menjaganya, bahkan terus membangunnya berulang-ulang.”

”Ah, udaranya segar sekali.” Cowok misterius itu berkata begitu sembari mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, lalu membusungkan dadanya.
”Ngapain diam-diam di situ saja? Ayo, main-main.”
Aku menjadi bertanya-tanya siapa dia, dari mana ia berasal. Apakah dia adalah jawaban Tuhan atas kesedihanku?
Setelah kami puas bermain-main air, yang sebenarnya lebih tepat dia yang lebih puas bermain air. Aku hanya bermain-main seperti anak kecil yang baru pertama melihat air. Ciprat sana, ciprat sini. Tidak jelas. Dia lalu duduk, dan mulai membangun sesuatu dari pasir. “Lihat ini! Sebuah taman.”
“Ah, cuman begitu saja. Aku bisa membangun lebih bagus lagi... sebuah istana…,” ujarku pelan.
”Benarkah? Ayo, tunjukkan!”
Sesaat kemudian, aku mulai mengaduk-aduk pasir. Lalu, meraup-raup dan membuatnya jadi padat. Aku mencoba membangun tembok. Belum sempat aku berhasil membangunnya, aku teringat kembali dengan hinaan Mike waktu itu. Gubuk reyot. Dan, tanpa sadar aku mulai berlinang air mata.
Dia mengerutkan dahi, dan menjadi bingung dengan tingkahku. ”Hei! Kenapa tiba-tiba menangis?”
Aku berkata lirih. ”Istanaku... hanyalah sebuah gubuk reyot... di matanya...”
”Kamu bilang apa tadi? Mata siapa? Kalau jelek kan, tinggal dibangun ulang.”
Membangun ulang, katanya. Masalahnya, aku tidak punya daya untuk membangun ulang.

Pertemuan singkat ini membuatku mengenal sosok sang misterius ini lebih jauh. Aku terkejut mendengar namanya adalah Michael, yang persis dengan nama mantan pacarku. Tetapi aku tidak sanggup, bila harus menyapanya Mike. Rasanya membangkitkan kenangan lama. Kenangan manis yang ingin kubuang jauh. Aku memanggilnya tetap Michael, meskipun ia sebenarnya lebih suka bila disapa Mike.
Selain namanya yang mirip, kepribadiannya juga sangat mirip. Bukannya hanya itu, melainkan dari makanan favoritnya, band favoritnya, warna favoritnya, dan masih banyak yang lainnya mirip sekali dengan Mike. Seperti roh Mike, mantanku itu, merasuk ke dalam tubuh Michael. Aku tidak mencemaskan kemiripan itu. Aku senang berada di dekatnya. Dan yang terpenting adalah Michael yang ini tidak bertunangan.

            Aku ingin memamerkan Michael ke teman-temanku. Jadi waktu di mall, aku memintanya untuk foto bersama. Tetapi ia menolak.
“Itu tidak perlu. Lain kali saja,” ujarnya singkat.
“Tetapi selama kita berpacaran, tak ada foto-foto yang bisa kita simpan,” pintaku setengah memohon.
Aku memaksanya dan ia tetap menolak. Kami hampir saja bertengkar sampai orang-orang di sekitar memandangku aneh. Aku menyerah. Michael berkata padaku, ”Kita tidak perlu membuat sebuah gambar untuk mengabadikan hubungan kita. Bagaimana jadinya kalau kita putus? Kau kan menghapus semua foto kita. Tidakkah itu juga sama menyakitkannya seperti kau menghapus diriku dari hidupmu.”
Aku bergidik, ngilu mendengar ada kata ”putus”. Kata yang haram dalam membina sebuah hubungan. ”Michael, kamu jangan berkata seperti itu!” Nada suaraku melonjak tinggi. Aku hampir marah.
”Maaf,” Michael mencoba menenangkanku. Kemudian, ia menaruh tangannya di pundakku. ”Meski tidak ada gambar, aku akan abadi di hidupmu. Kamu tidak memerlukan sebuah album foto. Hatimu itu sudah cukup menjadi album.”
Michael sungguh misterius. Dia tidak mau menceritakan terlalu detil latar belakangnya. Dia juga enggan mengenalkan keluarganya kepadaku. Anehnya, kupikir itu tak masalah bagiku.

Keesokan harinya, aku mendapat SMS ke nomor ponselku. Aku tidak mengenal siapa pengirimnya, namun ia ingin sekali menemuiku. Pertama-tama, tidak aku hiraukan. Mungkin orang iseng atau orang mau coba-coba menipu. Tetapi, ada 52 kali, jika bisa kuhitung, orang ini mengirim SMS ingin menemuiku. Karena merasa dia sangat serius, aku memintanya untuk bertemu denganku di sebuah restoran kecil dekat rumahku. Ternyata yang menemuiku seorang wanita cantik. Rambutnya panjang berwarna hitam pekat. Di jari manisnya ada cincin yang dengan hiasan permata yang indah sekali.
“Kita langsung saja, yah?” ucapnya datar, tetapi tegas dan meyakinkan.
Barulah aku tahu bahwa dia adalah tunangannya Mike. Hal ini dapat menjelaskan makna cincin yang terpasang di jari manisnya.
“Aku dan Mike tadi malam bertengkar. Dia ingin membatalkan pertunangan ini. Aku sangat tahu, ini pasti ada hubungannya denganmu. Aku tak mengerti mengapa orang kecil seperti dirimu bisa membuat Mike-ku jadi tergila-gila.”
Orang kecil, katanya. Ucapannya membuat dadaku tersengat.
“Baiklah, kau yang merasa orang besar. Seharusnya kau malu bisa sampai dikalahkan orang kecil sepertiku,” kataku akhirnya.
“Kau!!!”
“Jujur saja, aku tak mau melanjutkan pembicaraan ini! Aku tak punya perasaan apa-apa lagi dengan Mike! Urusan kalian berdua, jadilah milik kalian berdua!”
Aku segera beranjak pergi. Dalam hati aku berpikir, apa benar aku memang tak punya perasaan apa-apa lagi dengan Mike?

Pertemuanku dengan tunangan Mike adalah suatu kejutan yang tak terduga. Kini, datang lagi kejutan yang kedua. Mike di depan pagar rumahku! Oh my God! Aku ingin segera pergi, tetapi Mike sudah lebih dulu menyadari keberadaanku.
”Aku merindukanmu...” Kata-kata sakti yang diucapkan pria ketika dia ingin meminta balik kepadamu. Aku tahu itu karena aku sudah belajar dari Michael. Dan, Michael mengajariku untuk tidak menanggapi jika Mike berkata begitu padamu. Tetapi, sayangnya aku tidak menjalankan nasihat yang kedua itu.
”Aku juga....” Itulah jawaban yang terlontar dari bibirku. Tarikan magnet bernama kerinduan itu sungguh dahsyat. Tidak perlu lama, magnet itu menarik kami untuk segera berpelukan. Sejenak, aku merasa ada yang mengawasiku. Oh, tidak... Michael! Kenapa dia bisa di sini, teriakku dalam hati. Kulihat Michael ada di ujung jalan sana memperhatikanku. Aku segera melepas pelukan Mike.
”Kenapa? Kenapa kamu berwajah panik seperti itu?” Mike memandangku dengan keheranan sambil memegang kedua tanganku. Mata Mike melihat ke sekeliling seakan ingin mencari siapa atau apa yang membuatku terkejut. Beruntunglah Mike tidak melihat Michael. Kulihat Michael telah pergi. Kurasa dia sedang bersembunyi.
”Dengar, yang tadi itu... hanyalah sebuah kesalahan. Aku sudah punya... Aku sudah punya lelaki yang lain...” Aku segera melewati Mike, lalu membuka pagar rumahku. Mike memanggilku berkali-kali, tetapi aku berpura-pura tuli.

”Kenapa kamu bisa di sini? Kenapa kamu tidak mengabariku dulu?” Aku bertanya dengan wajah tidak senang kepada Michael, yang sekarang berada di kamarku.
Michael berwajah sama tidak senangnya. ”Kenapa kamu berperlukan dengan lelaki berengsek itu?”
Dadaku panas ketika Micahel memanggil Mike dengan sebutan ”brengsek”. ”Jangan memanggil dia dengan sebutan...” Sebelum selesai aku berbicara, Michael sudah memotong.
”Tidak boleh memanggilnya berengsek untuk orang yang sudah memberikan lubang menganga di hati?”
”Bukan begitu maksudku! Tadi aku sedang bingung. Yang tadi barusan adalah sebuah refleks...”
”Aku tidak peduli yang tadi itu refleks, kesalahan, atau apa pun namanya... Pesanku satu, jangan temui Mike. Dia hanya akan menambah luka baru bagimu. Dia tak akan bisa melindungimu, karena dia terlalu jauh untuk kamu gapai. Tapi, aku tidak. Aku selalu di dekatmu.” Kemudian, dia menarikku ke dalam gravitasinya. Aku mendarat tanpa aba-aba ke dalam pelukannya. Dan, bibirnya lalu persis di bibirku sekarang. Sebuah ciuman. Itu cara Michael membungkam mulutku dan perasaanku.
Ucapan Michael seperti menandakan seorang pemuda yang amat cemburu. Aku bisa merasakan cintanya yang dalam kepadaku. Sekarang aku makin bingung. Dua orang pria memperebutkan aku.