Page

12 Agustus 2010

Reportase Kegiatan SDG Awards 2 dan Kongres IPPI (6 Agustus 2010)

Ini adalah lanjutan dari Reportase Kegiatan Temu Ilmiah Nasional Psikologi (5 Agustus 2010). Reportase sebelumnya dapat dibaca di http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/sufren-margago/reportase-kegiatan-temu-ilmiah-nasional-psikologi-5-agustus-2010/450105119918 atau di http://sufren-tale.blogspot.com/2010/08/reportase-kegiatan-temu-ilmiah-nasional.html.

Singgih Dirga Gunarsa adalah seorang tokoh yang telah berjasa dalam bidang psikologi, terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Olah Raga. Pengabdian beliau kepada Untar sejak tahun 1982, dan kontribusi serta dedikasi beliau kepada ilmu psikologi diapresiasi oleh Fakultas Psikologi Untar dalam ajang bernama Singgih Dirga Gunarsa (SDG) Awards. SDG Awards adalah lomba karya tulis ilmiah dan non-ilmiah untuk dosen dan mahasiswa. Ajang ini pernah dihelat tahun 2005, dan kini tahun 2010 adalah perhelatan yang kedua. Pada tanggal yang bersamaan pula, diadakan Kongres IPPI. Apa saja yang telah terjadi, selengkapnya bisa dibaca di bawah ini...

SDG Awards
Acara dimulai sekitar pukul 9 dan dibuka oleh Tarian Mpo Tjontreng dari Padmanagara. Berperan sebagai MC adalah Untung Subroto Dharmawan, merupakan alumni S2 Psikologi Untar, dan juga penyiar I-Radio FM (menjadi MC juga di Temu Ilmiah... kayaknya bakal jadi MC tetap Psikologi Untar deh... Hehehe). Acara selanjutnya adalah Sekapur Sirih oleh Dekan Fakultas Psikologi Untar, yaitu Ibu Henny sendiri. Naskah Sekapur Sirih Ibu Henny dapat dibaca di Notes FB beliau sendiri (http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=430324286560). Sesudah membacakan Sekapur Sirih, dilanjutkan pemberian suvenir kepada Bapak Singgih Dirga Gunarsa. Suvenir tersebut berupa pigura foto Pak Singgih dengan pakaian toga yang disusun dalam foto kolase seluruh pejabat fakultas Untar. Kata Pak Monty, foto ini merupakan karya Henlie Prawiro, yang selalu menjadi fotografer setia kegiatan-kegiatan Fakultas Psikologi Untar (kayaknya juga bakal jadi fotografer tetap Psikologi Untar deh... Hehehe). Kemudian, acara dilanjutkan kembali dengan pidato kesan-kesan oleh Pak Singgih.

Kini sampailah pada pengumuman pemenang SDG Awards. Sebelum diumumkan pemenangnya, dibacakan terlebih dahulu nominasinya. Udah kayak Award di dunia perfilman aja. Hehehe... Pembacaan nominasi pemenang SDG Awards untuk kategori mahasiswa dibacakan oleh para mahasiswa terpilih. Untuk nominasi juara ketiga dibacakan oleh Duta Psikologi Untar 2009, yaitu Willy Salim dan Debbie. Untuk nominasi juara kedua dibacakan oleh Mahasiswa Psikologi Untar dengan IPK tertinggi, yaitu kebetulan saya sendiri dan Anastasia. Dan untuk nominasi juara pertama dibacakan oleh Ketua BEM dan Ketua DPM Psikologi Untar, yaitu Steven dan Putu. Tetapi, karena Steven dan Putu berhalangan hadir, digantikan oleh Johanes dan Cynthia Tanto.

Kami mahasiswa yang membacakan nominasi didandani dengan pakaian adat yang berbeda-beda. Eee... Semoga saya tidak salah sebut ya. Willy memakai pakaian adat Padang, Debbie memakai pakaian adat Batak, Johanes memakai pakaian adat Sunda, Cynthia memakai pakaian adat Sulawesi, Anastasia memakai pakaian adat Bali, dan saya sendiri memakai pakaian adat Betawi. Mohon maaf jika ada yang salah. Pengetahuan adat saya memang kurang soalnya... Hehehe... Untuk melihat foto-foto busana kami, bisa dicari di teman Facebook terdekat dari tempat Anda... Hehehe...

Para Pemenang Kategori Mahasiswa (diurut berdasarkan juaranya) adalah:
1. Studi Indigenous Psychology atas Atribusi Prestasi dan Kegagalan pada Siswa dan Mahasiswa: Apakah Self-Serving Bias berlaku di Indonesia? (Moh. Abdul Hakim & Sri Kurnianingsih, F.Psi. UGM).
2. Dinamika Interkorelasi antara Konsep Diri, Zuhud, dan Motivasi Berprestasi Santri (Zam Roni, UIN MALIKI Malang).
3. Correlations between Child Rearing Disagreement with the Quality of Friendships on Students Psychology Faculty Airlangga University who Derived from Multicultural Marriage (Rizqy Amelia Zein, Jonny Eko Yulianto, & Adinda Nurul Triaseptiana, F.Psi. Univ. Airlangga).

Sedangkan pemenang SDG Awards kategori dosen dibacakan oleh dosen-dosen dari Psikologi Untar sendiri. Untuk nominasi juara ketiga dibacakan oleh Pak Tommy dan Ibu Meike. Untuk nominasi juara kedua dibacakan oleh Pak Nisfi dan Ibu Rahmah. Dan untuk nominasi juara pertama dibacakan oleh Pak Fidelis dan Ibu Meiske. Tapi kok, para dosen tidak mengenakan pakaian adat seperti mahasiswa ya. Mereka cuman mengenakan pakaian kebaya dan batik. Curang nih... Hahaha...

Para Pemenang Kategori Dosen (diurut berdasarkan juaranya) adalah:
1. Mental Juara pada Atlet Bulutangkis Indonesia: Studi Theory of Critical Moments dan Self Determination dalam Psikologi Olahraga (Ardiningtiyas Pitaloka & Andin Andiyasari, F.Psi. Univ. Paramadina & F.Psi. UI).
2. Studi Penyusunan Alat Ukur Psikologis: Employee Engagement (Budi Setiawan & Samian, F.Psi. Univ. Airlangga).
3. The Effect of Classroom Environment Climate on The Mastery Goal Orientation, Academic Self Efficacy and Student‘s Achievement (Agoes Dariyo, F.Psi. Untar).

Khusus pemenang yang mendapat juara pertama, sebelum menerima plakat dan piagam penghargaan, diharuskan mempresentasikan makalahnya ke hadapan penonton selama 15 menit. Nun jauh dari sini, saya mau ucapkan selamat kepada para pemenang. Semoga didengar di alam mimpi mereka. Hehehe... Semoga kelak ada dosen dan mahasiswa Psikologi Untar yang akan meraih juara 1 SDG Awards di perhelatan selanjutnya. Semoga... semoga... semoga...!

Setelah mengetahui siapa-siapa pemenang SDG Awards, acara pun usai sudah. Acara ditutup dengan mengulas senyum di hadapan kilatan lampu blitz (baca: foto bersama), dan dilanjutkan dengan makan siang.

Intermeso sebentar ya. Para mahasiswa yang membacakan nominasi diharuskan memperkenalkan namanya dan siapa dirinya (tuntutan panitia). Pada kasus saya, ya saya harus memperkenalkan nama saya dan menyebutkan saya adalah ”mahasiswa dengan IPK tertinggi” kepada penonton. Wew, kata Anas kok kesannya sombong banget ya.

Gara-gara menyebutkan demikian, saya jadi tambah populer deh. Contohnya saja, ketika Pak Bonar dan teman-teman dari YAI hendak pamit pulang dengan saya, si Bapak sempat-sempatnya bilang ke mahasiswanya, ”Anak ini hebat sekali, mantan pengurus BEM, sekaligus pemilik IPK tertinggi.” Ketika saya mencoba merendah, eh Bapaknya malah bilang lagi, ”Saya suka dia. Orangnya humble sekali.” Halah... Usai acara Kongres IPPI, ada yang menyalami saya (belum sempat berkenalan dengannya), ”Ini namanya Sufren kan. Mahasiswa dengan IPK tertinggi. Emang IPK-nya berapa?” Nah, lho...

Tapi, saya tulis begini bukan maksud menyombongkan atau membesarkan kepala saya. Kepala saya cukup segitu saja ukurannya. Hehehe... Bagi saya, rasanya suatu beban menyandang predikat mahasiswa dengan IPK tertinggi (perhatikan: mahasiswa bukan mahasiswi). Jika Duta Psikologi Untar dan Ketua BEM/DPM bergonta-ganti setiap tahun, IPK kan cenderung stabil. Kenaikan dan penurunannya tidak akan terlalu tajam. Bebannya itu bukan pada perkara mempertahankan IPK. Namun, lebih kepada bagaimana IPK yang tinggi ini tidak hanya menjadi pajangan dan penghibur di hari tua, tetapi bisakah berguna buat saya di kemudian hari? Yaaa... Itulah beban, tapi juga menjadi suatu tantangan...

Kongres IPPI
Kongres IPPI dilaksanakan jam 1 siang. Saya dan Yonathan turut hadir sebagai peserta Kongres. Tidak hanya jadi peserta, kami berdua juga menjadi fotografer dadakan. Pak Tommy yang hadir pula di Kongres yang meminta kami menawarkan bantuan untuk foto-foto di sana dengan menggunakan kamera yang dipinjam Pak Tommy. Jujur saja, saya kurang pandai memotret. Sepertinya banyak bidikan saya yang kurang tepat. Hahaha...

Saya pikir Kongres akan berlangsung tegang, membosankan, dan kaku. Rupanya Kongres berjalan dengan jenaka dan seru. Selama Kongres, banyak kelucuan yang terjadi lho. Kira-kira begini beberapa kejadian menarik di Kongres yang bisa saya ceritakan...

Kongres IPPI dibuka Ketua IPPI, yaitu Prof. Dr. Jatie K. Kusna Pudjibudojo, Psi. Berperan sebagai MC adalah Dra. Woelan Handadari, M. Si., Psi., yaitu pengurus IPPI yang membidangi Divisi Profesi. Setelah dilakukan pembukaan, Prof. Hera Lestari Mikarsa, Ph. D., Psi., menyampaikan presentasi ilmiah beliau yang berjudul ”Sosialisasi Ekonomi Pada Anak”. Presentasi beliau ini sebetulnya adalah pidato beliau saat pengukuhannya menjadi Guru Besar.

Prof. Hera adalah salah satu anggota Dewan Penasihat Pengurus IPPI. Sepanjang Prof. Hera presentasi, beliau tidak hanya memberikan penjelasan, tetapi juga memberikan banyak pertanyaan untuk direnungkan.

Makalah Prof. Hera mengacu pada krisis moneter pada tahun 1998. Sampai sekarang, menurut Prof. Hera, ekonomi Indonesia masih memprihatinkan. Prof. Hera menjelaskan sosialisasi terbagi menjadi 2, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Pada sosialisasi primer adalah proses ketika anak beradapatasi menjadi bagian dari masyarakat. Sosialisasi sekunder adalah ketika anak diperkenalkan atau dididik ke dalam bidang baru dalam dunia masyarakat. Agen sosialisasi sendiri dapat dibagi menjadi 3, yaitu orangtua, peer group, dan mass media. Orangtua dikatakan sebagai sumber pengaruh rasional, sedangkan peer group dan mass media adalah sumber pengaruh yang tidak rasional.

Tanpa disadari, orangtua seringkali mengajarkan atau mensosialisasikan pendidikan ekonomi pada anak. Prof. Hera mencontohkan dengan pengalamannya saat beliau masih kecil. ”Waktu kecil, saya sebetulnya pernah diajarkan pendidikan ekonomi, tapi baru saya sadari setelah saya dewasa. Dulu, jika saya mau minta uang, saya boleh mengambilnya sendiri. Jika banyak uang, artinya saya bisa mengambil banyak. Jika sedikit, saya cuman bisa mengambilnya sedikit. Secara tidak langsung, orangtua saya sudah mengajarkan kepada saya sebuah nilai tentang uang.”

Dalam kehidupan sehari-hari, orangtua seringkali dihadapkan pada cara berpikir ekonomi yang mengarah pada keputusan ekonomi. Prof. Hera menyebutnya dengan istilah economic way of thinking. Contohnya saja, mana yang lebih menguntungkan: Membiarkan anak makan di sekolah atau membawa bekal dari rumah?

Menurut teori Furby, anak memiliki perilaku posesif. Perilaku posesif dapat dipengaruhi oleh peran bahasa. Prof. Hera menjelaskan bahwa anak Indonesia cenderung menyebutkan dirinya dengan namanya, misalkan ”Ani ingin.... atau Ani suka... dsb”. Dalam kebiasaan orang Indonesia, kita sering mengajarkan kepemilikan dengan menggunakan nama. Misalkan saja, ”ini buku Aci.” Berbeda, dengan kebiasaan orang Barat, mereka mengajarkan anak kepemilikan dengan menggunakan kata, ”my book atau your book”. Prof. Hera bertanya-tanya, cara mana yang lebih baik dalam mengajarkan kepemilikan kepada anak: cara Indonesia atau cara Barat?

Prof. Hera menjelaskan bahwa memberikan uang saku (allowance) kepada anak dapat menjadikan anak lebih mandiri. Meskipun ada kontroversi: Apakah anak perlu mendapat uang jajan setelah mengerjakan tugas-tugasnya? Yang pro tentu bisa mengatakan hal ini baik karena dapat menjadi bentuk reinforcement bagi anak. Namun, yang kontra akan mengatakan tidak baik karena mendidik anak kok seperti ”karyawan”. Hal yang ditekankan oleh Prof. Hera adalah kita perlu mengajarkan anak bagaimana membedakan keinginan (wants) dan (needs).

Sebetulnya ada banyak, tapi itu beberapa poin yang bisa saya catat dan saya ingat dari presentasi Prof. Hera. Usai memberikan presentasi, dilanjutkan sesi tanya jawab kepada Prof. Hera. Prof. Hera awalnya tidak menyangka ada sesi tanya jawab. ”Kalau ada sesi tanya jawab, honornya mesti nambah nih,” selorohnya. Pada kesempatan sesi tanya jawab, Ibu Mimi (Dr. Soemiarti Padmonodewo) membagikan pengalamannya di Belanda. Menurut Ibu Mimi, anak-anak di Belanda sangat sayang kepada mainannya. Mereka menjaga hati-hati barang mainannya. Seandainya mainan rusak, mereka akan menjualnya. Prof. Hera menimpali bahwa anak-anak Barat cenderung hemat. Beliau menjelaskan pengalamannya di London, Inggris karena beliau lama bermukim di sana. ”Orang-orang Inggris sangat hemat. Mereka kalau mendapat kado. Kertas kadonya itu dibuka hati-hati jangan sampai sobek, lalu kertas kadonya disetrika, untuk kemudian bisa dipakai lagi.”

Acara selanjutnya seharusnya adalah presentasi ilmiah dari Prof. Dr. Endang Ekowarni, Psi. Namun, beliau berhalangan hadir sehingga acara selanjutnya diganti dengan diskusi ”Pengembangan Organisasi IPPI” oleh Ibu Eny (saya tidak tahu persis ejaan dan nama lengkapnya karena tidak sempat konfirmasi, semoga tidak salah tulis ya). Sebelum Ibu Eny berbicara di depan, beliau mendapatkan sambutan lagu ”Selamat Ulang Tahun” oleh para yang hadir. Rupanya, beliau berulang tahun hari itu. Ibu Eny pun mendapat kado ulang tahun dari Prof. Jatie. Ibu Eny menolak ketika diminta membuka kado. ”Saya gak mau buka kadonya sekarang, nanti di rumah aja. Saya nanti bukanya kertasnya mau hati-hati, habis itu disetrika supaya kalau ada yang entar berulang tahun, kertas kadonya sama lagi,” candanya.

Ibu Eny memulai perbincangannya mengenai sejarah IPPI. ”Kalau tidak salah ingat ya, IPPI pertama kali dicetuskan tahun 2000 di Kongres HIMPSI di Bandung.” Selama diskusi, beberapa usulan muncul mengenai apa yang harus dilakukan IPPI di masa mendatang. Seperti ada yang mengusulkan, bagaimana kalau AWCAD (Asian Worshop on Children and Adolescent Development) yang pernah diprakarsai Pak Singgih dilaksanakan kembali. Ada pula yang mengusulkan, bagaimana kalau dilanjutkan kembali proyek pembuatan film Human Development versi Indonesia. Pada masa silam UI, UGM, dan UNPAD pernah sepakat membuat film Human Development dengan model orang Indonesia. Tapi sayang, tidak ada kelanjutan dari proyek itu.

Salah satu mahasiswa dari Universitas Diponegoro, bernama Pariman bertanya, “Jika IPPI adalah anaknya HIMPSI, mengapa tidak dibuat cucunya HIMPSI, yaitu IPPI untuk mahasiswa. Mengapa kalangan muda tidak diajak serta? Lalu, mengapa sepertinya kok sedikit sekali dukungan dari pemerintah terhadap penelitian ilmu sosial ya?” Ketua HIMPSI Pusat Prof. Retno Suhapti menjelaskan bahwa seringkali beliau mendapat SMS dari para anggota lembaga mahasiswa untuk membentuk IMPSI (Ikatan Mahasiswa Psikologi Indonesia). “Saya sering banget dapat SMS dari para mahasiswa yang berniat membentuk IMPSI, tapi malah meminta HIMPSI yang mendanai. Saya bilang ke mahasiswa tersebut, kamu kumpulkan dulu para mahasiswa dari 127 fakultas psikologi di Indonesia. Pernah sekali berkumpul, malah yang dibahas kok AD/ART sehari semalam. Bukannya membahas bagaimana membuat kegiatan pertandingan voli, pertandingan sepak bola, dsb.?” Urusan AD/ART emang selalu ribet ya... Prof. Jatie mencoba menjawab pertanyaan kedua dari Pariman. Beliau mengatakan pendapat Pariman itu keliru mengenai tidak adanya dukungan dari pemerintah terhadap ilmu sosial. Menurut beliau, sudah banyak hibah dari pemerintah terhadap penelitian ilmu sosial. ”Kamu bisa coba buka di situs Dikti”, katanya.

Usai diskusi panjang lebar dengan Ibu Eny, dilanjutkan pembacaan Laporan Pertanggungjawaban Kegiatan IPPI periode 2007-2010 oleh Prof. Jatie. Sesudahnya, adalah pemilihan Ketua IPPI selanjutnya. Syarat menjadi Ketua IPPI dibacakan, antara lain: Harus menjadi anggota HIMPSI sekian tahun, memiliki pengalaman berorganisasi sekian tahun, bersedia membangun network dengan instansi lain, dan sebagainya.

Dua macam usulan mengenai bagaimana pencalonan ketua IPPI: Apakah usulan nama melalui kertas atau apakah main tunjuk. Pencalonan ketua IPPI pun disepakati dengan melakukan main tunjuk nama. Nama-nama yang memungkinkan menjadi ketua IPPI ditulis di whiteboard. Ada 5 nama calon ketua IPPI, namun akhirnya hanya tersisa 2, yaitu Drs. Duta Nurdibyanandaru, M.S., Psi., dan Dra. Herrien Triwahyuni, M. Si., Psi.

Sejumlah nama menolak menjadi calon ketua. Misalnya, Pak Singgih Wibowo Santoso atau disapa Pak SWS, ”Alasan saya tidak mau menjadi ketua karena pertimbangan pribadi. Pertama, faktor kesehatan fisik. Kedua, adalah yang paling penting, yaitu... faktor kesehatan mental.” Semua peserta kongres langsung tertawa. Calon lain yang menolak menjadi calon ketua berkata, ”Saya sepertinya tidak memenuhi persyaratan menjadi ketua IPPI, karena saya tidak memiliki pengalaman berorganisasi.” Lalu ada yang menyeletuk, ”Pengalaman OSIS juga boleh kok...” Pak Duta sendiri mencoba membela diri bahwa beliau tidak memungkinkan menjadi ketua karena beliau tergabung sebagai anggota Majelis Psikologi wilayah Jawa Timur. Menurut aturan IPPI, anggota Majelis Psikologi tidak boleh menjadi ketua IPPI. Namun, Prof. Suhapti berkata, ”Pak Duta... anggota Majelis Psikologi kan ada banyak. Bukan Bapak seorang. Kalau Bapak mengundurkan diri, kan bisa digantikan dengan yang lain.” Ya elah... bisa gitu ya Bu... Hahaha... Singkat cerita, terpilihlah Pak Duta sebagai ketua IPPI dan Ibu Herrien menjadi wakil ketua. Pemilihan ketua dilakukan dengan voting angkat tangan. Sedari awal, Pak Duta ini sepertinya sudah ”dijagokan” menjadi ketua IPPI. Saya sendiri melihat ekspresi wajah Pak Duta yang sebetulnya menolak menjadi ketua IPPI, namun apalah mau dikata beliau tak kuasa pula menolak karena ”dikeroyok” para wanita di sana.

Acara selanjutnya adalah serah terima jabatan dari Prof. Jatie kepada Pak Duta. Kemudian, dilanjutkan dengan sambutan Ketua Dewan Penasihat IPPI, Prof. Kusdwiratri Setiono, Psi., sambutan Ketua HIMPSI Pusat, dan sambutan Ketua IPPI terpilih. Acara ditutup dengan foto bersama para peserta Kongres, lalu menikmati snack dan cofee break.

By the way... Tidak ada hubungannya dengan Kongres IPPI dan SDG Awards ya, saya merasa AC di Untar agak ”bandel” nih. Dinginnya terlalu. Yonathan mengaku sampai sulit memotret karena tangannya kedinginan. Tapi, kenapa para peserta Kongres yang sebagian sudah Bapak-bapak, Ibu-ibu, sebagian pula sudah Kakek-kakek, Nenek-nenek bisa bertahan ya?? Entah saya dan Yonathan yang salah posisi duduk atau karena mereka sudah terbiasa dengan panas-dingin kehidupan??

Bicara soal panas-dingin kehidupan, Singgih Dirga Gunarsa, Hera Lestari Mikarsa, atau mungkin Duta Nurdibyanandaru adalah orang-orang yang saya rasa tidak hanya sudah melewati panas-dingin kehidupan, tapi mungkin juga asam-manis dan jatuh-bangun kehidupan dalam membesarkan psikologi di Indonesia. Menyaksikan orang-orang seperti mereka yang berdedikasi tinggi memberikan sumbangsih dan memajukan ilmu psikologi Indonesia, tentu perjuangan mereka tidak boleh berhenti begitu saja. Seyogyanya adalah tugas generasi muda untuk melanjutkan perjuangan para pembesar psikologi Indonesia. Di tangan generasi muda-lah harapan dan masa depan akan sebuah kejayaan itu ditentukan. Mau mengulang kalimat yang sama lagi... itulah beban, tapi juga menjadi suatu tantangan...

Demikianlah sedikit dari banyak peristiwa menarik di SDG Awards dan Kongres IPPI yang bisa saya ceritakan. Semoga tulisan ini dapat memacu sekaligus memicu semangat teman-teman mahasiswa lainnya untuk hadir di event-event nasional, khususnya yang diadakan Fakultas Psikologi Untar.

Salam Psikologi

Terima kasih banyak bagi yang sudah membaca tulisan ini sampai habis.


Foto peserta Kongres IPPI

9 Agustus 2010

Reportase Kegiatan Temu Ilmiah Nasional Psikologi (5 Agustus 2010)

Saya dan Yonathan adalah sebagian orang yang beruntung menjadi pemakalah Temu Ilmiah dan Deverinto adalah sebagian orang yang beruntung menjadi peserta Temu Ilmiah. Pada Temu Ilmiah, saya kedapatan 2 kali presentasi. Pertama, presentasi makalah ”Peran Media Televisi Terhadap Perilaku Prososial Anak-anak TK (Kajian Non-empiris)” bersama Yonathan dan presentasi makalah proyek penelitian BEM ”Gambaran Identitas Diri, Preferensi, Aktivitas, dan Relasi Terdekat Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara”.

Banyak momen yang saya dapatkan di sana dan inilah sebagian yang bisa saya ceritakan. Terima kasih sebelumnya untuk Bapak, Ibu, dan teman-teman yang mau meluangkan waktu membaca tulisan ini. Tulisan ini memang cukup panjang dan lebar karena saya merasa sayang jika detil-detil momen yang sudah terjadi disimpan begitu saja. Jadi, mohon pemakluman ya. Hitung-hitung buat latihan mata membaca... Hehehe...

Awal Mula
Mungkin perlu saya ceritakan dulu keikutsertaan saya di ajang Temu Ilmiah. Seharusnya saya hanya mempresentasikan makalah ”Peran Media Televisi....” bersama Yonathan. Pembuatan makalah ini bisa dibilang gara-gara ada ide Yonathan untuk membuat Kelompok Belajar Mahasiswa, yaitu suatu kelompok mahasiswa yang berkumpul dan mendiskusikan ilmu-ilmu yang sudah didapatkan di perkuliahan. Saat membaca pengumuman call for papers ”Temu Ilmiah Nasional dan SDG Awards” di notes Bu Henny, saya kemudian melontarkan ide kepada Yonathan, “Tan, lu mau ikut SDG Awards gak?” Pikir saya, mungkin Kelompok Belajar Mahasiswa bisa dimulai di ajang SDG Awards. Jadi, namanya ini, belajar sambil berlomba. Syukur-syukur dapat juara 3 (soalnya gak optimis bakal dapat juara 1.. hehehe). Yonathan langsung mengiyakan untuk ikut.

Makalah kami berdua memang didaftarkan untuk ajang SDG Awards. Dimulailah pembuatan makalah di sela-sela kesibukan saya membantu persiapan acara Seminar BEM, Pensi BEM, Workshop BUPSI, tentir untuk Lomba Maranatha, HUT Dharmayana, dan pembuatan Penelitian BEM. Ketika itu bulan Mei ya. Banyak kegiatan mahasiswa di bulan itu. Artinya, Yonathan-lah yang sebetulnya lebih banyak berperan dalam menyelesaikan makalah kami. Terima kasih untuk Yonathan atas kesabarannya melihat kesibukan saya... Oya, kami berdua memang tidak menceritakan kepada teman-teman yang lain tentang keikutsertaan kami di SDG Awards karena kami berdua kan terlalu rendah hati… Hahahaha…

Sayang, dewi fortuna belum berpihak kepada kami. Makalah kami tidak berhasil masuk nominasi juara. Oleh panitia, makalah kami boleh dialihkan ke ajang Temu Ilmiah. Lalu, kami berdua sepakat untuk mendaftarkan makalah kami di Temu Imiah sembari melakukan perbaikan. Perbaikan makalah dilakukan di sela-sela saya menyaksikan gegap gempita Piala Dunia, menyelesaikan Seminar Proposal, dan sempat demam beberapa hari karena kebanyakan begadang... Hehehe... Jujur, menurut saya membuat makalah yang bukan tugas kuliah kok lebih susah yaaa. Susahnya ada di motivasi. Tugas kuliah dihargai untuk sebuah kelulusan sehingga motivasi bikinnya pasti lebih gede...Untunglah, Yonathan terus menyemangati saya. Akhirnya, motivasi saya mulai meninggi menjelang deadline pengumpulan makalah. Terima kasih lagi deh untuk Yonathan atas semangatnya yang tak pernah padam. Dan tak lupa saya ucapkan terima kasih untuk Bu Henny, Pak Yohanes, dan Ibu Sisca yang sempat membaca makalah kami. Khususnya sekali, kepada Ibu Sisca yang sempat memberikan komentar dan masukan.

Sedangkan, makalah proyek penelitian BEM adalah salah satu progam kerja BEM 2009/2010. Ide progam kerjanya berasal dari Jojo. Untuk presentasi makalahnya sendiri, seharusnya ketua tim peneliti Cyntia Adelia, tapi karena ia berhalangan hadir, saya-lah yang menggantikan. Keikutsertaan makalah penelitian BEM di Temu Ilmiah berkat Pak Sandy. Terima kasih untuk Pak Sandy yang telah mengurus pendaftaran sekaligus memberikan bimbingan. Dan kepada Ibu Nina dan Ibu Tia yang juga memberikan bimbingan.

Oke, begitulah asal-usulnya keterlibatan saya di Temu Ilmiah. Sekarang saya mau menjelaskan apa-apa yang saya temui di Temu Ilmiah Nasional tanggal 5 Agustus 2010. Check this out...

Temu Ilmiah Nasional 5 Agustus 2010
Acara dimulai sekitar pukul 9 pagi dengan pembukaan Tarian Ronggeng Belantek dari Padmanagara. Berturut-turut kemudian adalah penanyangan video klip Untar, sambutan-sambutan, dan presentasi dari Prof. Kusdwiratri mengenai psikologi indigenous dalam kaitannya dengan psikologi perkembangan di Indonesia.

Jam 10.30 barulah dimulai presentasi Sesi 1 dalam kelas-kelas paralel. Karena jatah presentasi saya gak ada di Sesi 1, saya nonton saja. Ada beberapa presentasi menarik yang saya dengar di kelas yang saya ikuti. Ada presentasi dari Pak Sandy mengenai alat ukur ”Identity Compass”, yang harganya 2 juta rupiah sekali pakai (mahal sekali), yang bisa digunakan memahami arah berpikir pasangan suami istri. Kemudian, presentasi Ibu Novie, dosen dari Universitas 17 Agustus 1945, yang berjudul ”Pemetaan Penyebab Stres Anak di Surabaya”. Hasil penelitian Ibu Novie adalah penyebab stres utama anak kelas 4, 5, dan 6 SD di Surabaya adalah perceraian orangtua dan kehilangan orang yang disayangi. Selanjutnya, ada presentasi dari Bu Denrich tentang ”Pola asuh orangtua dan penderita schizophrenia paranoid”. Temuan Bu Denrich adalah pola asuh otoriter, trauma masa kanak-kanak, dan komunikasi keluarga yang buruk adalah pemicu munculnya gangguan schizophrenia paranoid. Setelah itu, Ibu Meike tampil mempresentasikan skripsi beliau ketika S1 di Ubaya mengenai ”Latar Belakang Laki-laki Menjadi Seorang Waria”. Lucu sekali, waktu Ibu Meike mengeluarkan statement, ”Bapak-bapak, Ibu-ibu kalau kepengen punya anak perempuan, tapi malah punyanya anak lelaki, jangan perlakukan anak lelaki Bapak, Ibu sebagai anak perempuan. Mending coba buat lagi yang baru... atau gak, ”ambil” anak siapa gitu...” Hahaha... Menurut Ibu Meike, anak lelaki dapat bertingkah sebagai perempuan dan menjadi waria dikarenakan kesalahan orangtua dalam proses pendidikan identitas gender si anak, adanya modeling atau imitasi identitas gender yang keliru oleh si anak, dan faktor genetik. Oya, dari pengakuan Ibu Meike sendiri kepada saya, skripsi beliau ini sempat masuk ke harian suatu koran (saya lupa nama korannya).

Usai Sesi 1, dilanjutkan makan siang. Sesi 2 yang dilangsungkan setelah makan siang adalah giliran saya dan Yonathan untuk tampil mempresentasikan makalah kami. Makalah kami memaparkan bahwa media televisi sebetulnya dapat membentuk perilaku prososial kepada anak-anak TK, selain perilaku agresi. Kami menggunakan fenomena Kasus Prita Mulyasari untuk membantu analisa kami. Selain kami, di kelas yang sama ada presentasi dari Rizqy Amelia Zein dari Universitas Airlangga yang membawakan makalah berjudul ”Listen To Us! Self And Legislative Advocacy For Victims and Their Families of Political Tragedy Semanggi and Trisakti 1998-1999”. Jangan kuatir, presentasi makalahnya berbahasa Indonesia kok, entah makalahnya sendiri bahasa Indonesia atau tidak? Rizqy memaparkan bahwa self advocacy dapat menciptakan unconditional forgiveness pada diri keluarga korban Tragedi Trisakti dan Semanggi yang menuntun mereka mencapai mental yang lebih sehat, sementara legislative advocacy adalah metode yang tepat untuk memberikan solusi Tragedi Trisakti dan Semanggi sekalipun masih belum terlihat niat baik Pemerintah dalam menyelesaikan masalah Tragedi Trisakti dan Semanggi. Ada pula, presentasi dari Jony Eko Yulianto, juga mahasiswa dari Universitas Airlangga yang memaparkan makalah berjudul ”Analisis Framing Pemberitaan Hasil Ujian Nasional Pada Surat Kabar: Sebuah Studi Komunikasi Massa dalam Konteks Psikologi Sosial-Kognitif”. Secara singkat, Jony mencoba melihat bahwa pemberitaan hasil Ujian Nasional di beberapa surat kabar dapat membentuk persepsi yang berbeda-beda mengenai kehadiran Ujian Nasional. Presentasi menarik lainnya, dari seorang dosen (saya lupa namanya) mengenai “Persepsi dan Kepuasan Pernikahan Wanita Bugis yang Dipoligami”. Temuan dosen ini adalah wanita suku Bugis yang dipoligami suaminya ternyata mereka merasa puas dan bahagia dengan status dan keadaannya. Menarik sekali bukan...!?

Saat sesi tanya jawab, saya bertemu dosen yang ”luar biasa” bernama Pak Bonar dari Universitas YAI. Keluarbiasaan itu karena beliau memberondong pertanyaan kepada semua pemakalah di kelas di mana saya presentasi. Kepada saya dan Yonathan, Pak Bonar mengusulkan penelitian kami seharusnya dilakukan eksperimen ketimbang studi literatur. ”Yaa... betul sekali Pak, memang bagusnya dilakukan eksperimen. Tapi, kami kurang dana dan kurang waktu juga”, begitu jawaban saya. Hahaha.

Usai Sesi 2, dilanjutkan Cofee Break sebentar, lalu masuk Sesi 3. Kini giliran saya membawakan makalah penelitian BEM. Jujur saja, saya agak malu mempresentasikan makalah penelitian BEM ke hadapan publik karena penelitian BEM tidak pakai landasan teoretis dan pembahasan. Beda sekali dengan dua presenter saya sebelumnya. Mereka tampil dengan presentasi yang, menurut saya, oke sekali. Ada Pak Tommy yang mempresentasikan tentang ”humor”. Sepanjang beliau presentasi, tawa dan canda memenuhi ruangan. Pak Tommy menggolongkan humor menjadi 3 macam dengan alat ukur ciptaannya dan menemukan bahwa ada 2 macam humor yang dapat berkorelasi dengan psychological well-being. Setelah Pak Tommy, ada Dwi Krisdianto, mahasiswa Universitas Airlangga yang baru semester 2. Meski baru semester 2, gaya presentasinya bak orang partai, kata orang yang hadir. Topik yang dibawakan pun cukup filosofis dan berat. Makalahnya berjudul ”Memiskinkan Kemiskinan: Sebuah Kesalahan Konstruksi”. Dia menjelaskan bahwa konsep kemiskinan itu muncul dikarenakan kesalahan ”sistem” yang ada di masyarakat dan adanya labeling kepada orang-orang yang disebut miskin. Teori yang ia gunakan adalah teori Freire, teori yang belum saya dengar sebelumnya.

Kepada mahasiswa Universitas Airlangga, saya sendiri meyatakan salut kepada mereka. Penelitian yang mereka paparkan amat sangat menarik dan membuka wawasan baru. Rizqy Amelia, yang ternyata merupakan Wakil Ketua BEM F. Psi Unair, dan Jony Eko pun menjadi pemenang ketiga SDG Awards untuk kategori mahasiswa. Selamat...

Nah, tiba saatnya saya presentasi. Saya menyebutkan presentasi yang saya bawakan adalah penelitian BEM kepada yang hadir, bukan sebagai penelitian saya pribadi. Saat membacakan salah satu dari hasil penelitian, yaitu motivasi mahasiswa Psikologi Untar mengambil jurusan psikologi karena ketertarikan atau minat terhadap ilmu psikologi, saya sempat menyebutkan kata "meragukan". Gara-gara ucapan ini, saat sesi tanya jawab, Pak Duta (yang nantinya jadi Ketua IPPI 2010-2013) balik menanyakan kepada saya, ”Kenapa bisa meragukan? Apakah karena pilihan-pilihannya?” Saya jawab tidak ada yang salah dengan pilihannya, karena pilihan pada butir pertanyaan ini beragam: ada pilihan dorongan orangtua, ikut-ikutan teman, tidak suka matematika, dll. Tetapi entah kenapa pilihan terbanyak jatuh pada minat atau ketertarikan terhadap ilmu psikologi (dari data sebanyak 84.3%). Pak Duta menambahkan, ”Jika karena minat atau ketertarikan, maka pasti berkorelasi positif dengan lama studi?” Saya jawab, ”Harusnya sih ada. Mahasiswa yang termotivasi masuk kuliah karena ketertarikan harusnya lulusnya lebih cepat deh.” Itu jawaban saya... Menurut Anda bagaimana?

Pertanyaan kedua datang lagi dari Pak Bonar, yang lagi-lagi berada di kelas di mana saya presentasi, dan lagi-lagi getol sekali memberikan pertanyaan kepada semua pemakalah. Pak Bonar memberikan saya 3 pertanyaan: (1) Apakah pilihan pada kuesionernya sudah representatif atau mewakili sampel? (2) Apakah pilihan jawabannya open ended atau close ended? (3) Apakah digunakan psikografis saat membuat penelitian? Saya baru jawab pertanyaan kedua, bahwa memang ada sebagian pilihan jawaban yang open ended dan ada sebagian yang close ended. Belum tuntas saya jawab pertanyaan yang lain, Pak Yohanes selaku moderator di kelas itu sudah menyatakan waktu telah habis. Untung deh. By the way, psikografis itu sebenarnya apa ya?? Hehehehe... Di samping memberikan pertanyaan, ternyata Pak Bonar juga menyatakan kekaguman bahwa penelitian yang saya presentasikan sangat bermanfaat dan bagus sekali untuk kemajuan fakultas.

Gara-gara menyebutkan makalah penelitian BEM, terjadi sebuah kisah menarik pada keesokan harinya. Di tengah-tengah jalannya SDG Awards, saya mendapat SMS dari Pak Bonar yang entah mendapatkan nomor saya dari mana. Beliau ingin mempertemukan beberapa mahasiswanya dengan saya untuk mendapatkan pengalaman meneliti saya. Lalu, saya berkenalan dengan beberapa mahasiswa YAI. Salah satu dari mereka, Haris angkatan 06, rupanya salah seorang anggota BEM F. Psi YAI. Haris adalah Menteri Koordinator yang membawahi 5 departemen BEM F. Psi YAI. Perlu saya jelaskan, kabinet BEM F. Psi YAI di posisi tertingginya adalah Presiden, di bawahnya ada Sekretaris, Bendahara, dan Menteri Koordinator. Mereka tidak mengenal istilah Wakil Presiden. Singkat cerita, Haris menemui saya untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan-kegiatan di bawah naungan Departemen Akademik BEM F. Psi Untar dan bagaimana proses pengerjaan Proyek Penelitan BEM. Yaa.. saya jelaskan saja apa adanya sepanjang pengetahuan saya. Tidak ada fakta yang ditambah dan dikurangi...

Saya tidak tahu persis jabatan Pak Bonar di YAI itu apa, tetapi beliau bisa sampai mengutus mahasiswa dan anggota BEM-nya, (terlepas dari maksud dan tujuan mereka menemui saya ya), adalah kebanggaan (menurut saya) bagi BEM F. Psi Untar periode 2009-2010, khususnya Departemen Akademik, lebih khususnya lagi Tim Penelitian BEM. So.... Untuk Jojo dan Cyntia Adelia serta teman-teman yang terlibat dalam Proyek Penelitian BEM, setidaknya apa yang sudah kita kerjakan mendapat tempat di hati seorang dosen. Bolehlah kita semua berbangga hati.

Dengan melihat apa yang saya alami, sekiranya saya berharap BEM F. Psi Untar periode 2010/2011 dapat kembali melanjutkan Proyek Penelitian tentunya dengan rumusan permasalahan yang berbeda dan pembahasan yang lebih berbobot.

Kisah menarik lainnya terjadi ketika jam makan siang pada Temu Ilmiah. Saya, Yonathan, dan Deverinto didatangi oleh wartawan Radio Heartline FM. Kami diminta tanggapan seputar kegiatan Temu Ilmiah dan kemerdekaan RI yang ke-65. Suara kami bertiga direkam lho… Saya sendiri jarang dengar channel Heartline FM, tapi kalau suara saya, Yonathan, dan Deverinto masuk ke radio, tolong SMS saya secepatnya ya.. Hahaha… Saya bilang ke Deverinto, ”Wartawan BUPSI bisa-bisanya diwawancarai wartawan Radio Heartline.. Hahaha.”

Yaaa…. Saya memang meminta Anak-anak BUPSI untuk hadir ke Temu Ilmiah, SDG Awards, dan Kongres IPPI demi tujuan meliput kegiatan. Terima kasih buat Deverinto yang sudah capek-capek datang dan saya “seret paksa” mewawancarai Rizqy Amelia dan kawan-kawan dari Airlangga, dan juga mempromosikan BUPSI ke hadapan anak-anak YAI. Saya berharap ke depannya BUPSI dapat lebih aktif mencari berita dan meliput kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di Untar, khususnya yang diadakan dengan nama Psikologi Untar.

Pengalaman baru, teman baru, wawasan baru. Itulah sekelumit momen yang saya dapatkan dan bisa saya bagikan kepada kalian. Semoga tulisan ini dapat menggugah teman-teman mahasiswa lain untuk berpartisipasi ke kegiatan-kegiatan sejenis yang bertemakan scientific. Semoga di kemudian hari akan ada lebih banyak pemakalah-pemakalah yang punya semangat tinggi seperti Yonathan, dan orang-orang yang punya perhatian dengan kegiatan Psikologi Untar seperti Deverinto.

Mengutip semboyan Psikologi Untar ”Crescendo pro gloria scientiae. Berkembang menjadi lebih besar, demi kejayaan ilmu”. Semoga Psikologi Untar semakin berkembang menjadi lebih besar, termasuk elemen-elemen di dalamnya: BEM/DPM, BUPSI, Phonia, Padmanagara, dll.

Salam sejahtera,

Terima kasih banyak bagi yang sudah membaca tulisan ini sampai habis.