Page

7 Februari 2011

Pengalaman Pertama Mengajar

Posting ini merupakan janji saya di posting-an sebelumnya.

Jadi, ceritanya dimulai dari sebuah notes di Facebook yang di-tag ke saya oleh sahabat saya di kampus bernama Natalia mengenai lowongan pekerjaan tutor di Kidtozz Bimbel. Saya lihat satu per satu syaratnya kok tidak susah ya (baca: artinya saya bisa memenuhi semua syarat yang diperlukan). Selain tidak susah, saat itu, juga sampai sekarang sih, saya sudah tidak aktif lagi di organisasi. Karena merasa bakalan punya banyak waktu luang, ditambah pula (sejujurnya) ingin mendapatkan uang.. hehe... ya udah, saya beranikan diri untuk lamar. Padahal, saya kurang suka mengajar dan kadangkala gemes liat tingkah laku anak-anak.... yang ehm, menyebalkan. Ditambah lagi, tiada pengalaman sama sekali dalam dunia mengajar atau dunia anak-anak. Kalau mengajari teman sekelas waktu SMA dan sekarang di kuliah, yaaaa.. itu sih lumayan sering. Tapi, itu bukan yang dimaksud tentunya... Setelah menimbang-nimbang, jiwa nekat saya muncul... Saya coba saja lamar lowongan tersebut. Biarin deh kalau nanti gagal (mengajar dan mendidik anak), setidaknya saya dapat pengalaman baru... (nih sebenarnya mau cari pengalaman atau mau cari uang sih).

Setelah melalui proses wawancara dan ceramah langsung oleh ibu kepala sekolah, yang ternyata adalah Natalia sendiri, ehm... akhirnya saya diterima menjadi tutor (pengajar) di Kidtozz Bimbel. Dalam waktu yang lebih cepat daripada yang saya bayangkan, saya mendapat tawaran pertama mengajar. Tawaran pertama mengajar yang mengejutkan. Saya harus mengajar di kawasan Kelapa Gading, setiap hari Senin-Jumat, 2 anak cowok (satunya TK, satunya kelas 2 SD) yang katanya hiperaktif (baca: banyak polah tingkahnya)... Wow!!! Di dalam kerangka berpikir saya: jauh, lelah, dan pastinya stress... Tapi, jiwa nekat saya muncul lagi. Saya iyakan saja tawaran Natalia itu. Karena dalam hati, kalau saya tolak tawaran itu, mungkin saya bisa lebih lama lagi mendapatkan tawaran kerja. Kan ceritanya tadi mau cari pengalaman. Hehe. Sampai saya bilang ke Natalia, saya bekerja tidak mengutamakan uang kok, Nat... saya kerja mengutamakan kepuasan pelanggan... zzzz... Sebenarnya itu strategi agar mindset saya bisa lebih positif dalam bekerja. Biar saya bekerja bukan alasan money-oriented. Padahal, butuh dan ingin uang juga sih.... Hahaha... Tapi, emang benar kok. Saya mengutamakan kepuasan pelanggan. Makanya, apabila kinerja saya dinilai tidak memuaskan oleh pihak pengasuh murid saya itu, sebenarnya saya sudah siap kapan pun untuk dipecat. Meski Natalia protes. "Aduh, janganlah, Fren!"

Murid yang saya ajar ini yang kelas TK mau masuk kelas 1 SD. Namanya Dewin. Satunya lagi anak kelas 2 SD yang pandai bernama Owen. Dia dapat ranking 2 di kelas. Kedua anak ini punya 1 kesamaan. Susah diam dan susah diatur. Belum lagi, menurut saya mereka amat dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Ya, bayangin aja... Ada 3 orang pembantu yang selalu siap sedia kala mereka butuh bantuan. Belum lagi, beraneka mainan yang kedua anak ini miliki, seperti mobil-mobilan atau orang-orangan. Lalu, mainan yang lebih canggih lagi, Tamiya, PSP, dan Nintendo DS (itu mainan idaman saya waktu saya SD dan sampe sekarang.... Aarrrgh! Pengen punya juga!!!). Bisa Anda tebak sendiri, mereka menjadi anak yang tidak tangguh secara mental. Karena mereka sudah menikmati banyak kesenangan di usia mereka yang masih muda, satu penderitaan seperti mengerjakan PR seolah itu cobaan yang amat berat bagi mereka.

Mengerjakan PR adalah cobaan berat bagi Owen dan Dewin. Sedangkan, cobaan berat bagi saya adalah membujuk mereka untuk mengerjakan PR dan saya jujur cukup kewalahan. Kedua anak ini ada-ada saja polah tingkahnya. Mereka senang mengeksplorasi sesuatu yang ada di sekitar mereka. Mereka ambil suatu barang atau mainan di sekitar mereka, lalu mereka main-mainkan. Diputer-puterlah, diajak ngobrol, dilempar-lempar, dsb. Saya sih sadar itulah dunia anak-anak. Dunia eksplorasi dan imajinasi. Tetapi, PR kan kudu dikerjakan. Jadi, ada waktunya mereka bermain. Ada waktunya mereka harus serius untuk belajar (mengerjakan PR). Sebenarnya PR mereka tidak susah. Mereka sebetulnya bisa mengerjakan sendiri kok. Tapi, kemauannya itu lho yang tidak ada di diri mereka. Yaa... Namanya kan juga anak-anak. Senangnya bermain. Okelah, itu 1 cobaan yang wajar.

Cobaan lain datang dari Tantenya. Dalam hal ini, cobaan mengajari Owen. Tantenya sangat sayang dan perhatian kepada Owen. Saking sayangnya, dari catatan ketinggalan, jadwal ulangan, antar-jemput, membereskan buku... si Tantenya yang urus. Saya pun dikasih beberapa catatan kecil yang mesti dipatuhi khusus untuk mengajar Owen... Wow... Tawaran pertama mengajar yang mengejutkan, mesti saya ralat menjadi tawaran pertama mengajar yang menggemparkan! Hahaha...

Owen dan Dewin, kedua anak ini amat tergantung mood dalam urusan belajar apalagi mengerjakan PR/latihan. Kegembiraan saya amat tergantung dari seberapa cepat mereka mengerjakan PR atau latihan yang saya berikan. Kadangkala, saya berdoa: "Hayoo, dong... Ayo kerjakan PR atau latihannya... biar saya bisa cepat pulang"... Karena durasi mengajar saya suka molor karena PR atau latihan mereka yang belum selesai. Masalah utamanya, saya sendiri kurang tega harus meninggalkan PR mereka yang belum selesai itu. Ya, lagi-lagi berhubungan dengan kepuasan pelanggan. Utamakan kepentingan orang lain, alih-alih kepentingan sendiri.

Saya tidak tahu sampai berapa lama saya akan mengajar kedua anak ini. Yang pasti, saya mencoba tuk bertahan selama mungkin. Semoga saja pengalaman pertama saya ini bisa membuahkan hasil yang cukup manis. Mudah-mudahan Owen dan Dewin bisa berprestasi, seperti slogan Kidtozz Bimbel: Bintangnya Berprestasi!

3 Februari 2011

Happy Chinese New Year




新年快乐
恭喜发财

万事如意

身体健康

龙马精神

 
生意兴隆

年年有余
 

2 Februari 2011

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Terhitung sejak tanggal 26 Januari 2011, saya harus bolak-balik Pluit-Kelapa Gading setiap hari. Ehm, sekadar info, rumah saya terletak di kawasan Pluit. Saya ke Kelapa Gading bukan berbelanja, makan-makan, atau ngapel pacar (pacar belum ada kok)... hehe... Tapi, saya ke sana untuk mengajar les privat anak-anak.

Wow, seorang Sufren mengajar anak-anak! Anda tak usah terkejut, saya juga terkejut kok... Hehe... Psst-psst... Sebenarnya mengajar bukanlah aktivitas yang saya senangi, apalagi ditambah dengan kata mendidik. Tuntutan mengajar adalah menjadikan anak dari yang tidak tahu dan tidak bisa hingga menjadi tahu dan bisa. Tuntutan mendidik adalah menjadikan anak dari yang buruk (baca: bandel) hingga menjadi baik tingkah lakunya (baca: sopan). Tuntutan-tuntutan seperti itu mau tak mau membuat saya harus memaksa anak-anak yang saya ajar (dan didik) itu harus begini-begitu, padahal saya bukanlah orang yang senang memaksakan kehendak saya pada orang lain. Mungkinkah mereka yang menjadi seorang guru pernah merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan?

Aaahh, saya kok sekarang jadi lebih bisa menghargai pekerjaan seorang guru di sekolah (artinya dulu tidak... hehehe). Harus bersabar menghadapi kelakuan murid yang kadang-kadang suka ajaib, harus mentransfer ilmunya sampai murid mengerti... eee, ditambah juga (biasanya) jarak rumah guru dan sekolah yang teramat jauh (kenapa ya kok jadi guru di sekolah yang jauh-jauh dari rumah sih?) dan gaji yang pas-pasan.... Saya jadi ingat pas SMA, kebanyakan guru saya, yang cowok, itu pulang-pergi mengajar naik motor, ada pula yang pulang-pergi naik kendaraan umum... Hanya segelintir yang pulang-pergi naik mobil. Kok beda banget ya dengan dosen??? Rata-rata dosen bisa pulang-pergi naik mobil. Padahal, sama-sama memiliki tuntutan yang serupa, yaitu: mengajar dan mendidik. Aaahh, betapa lelah dan susahnya pekerjaan seorang guru. So, I would say: Thank you for being my teacher. I'm proud of you....

Pantas guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Pengorbanannya banyak, tetapi tanda jasanya paling tidak seberapa... atau tidak ada sama sekali.

Oya, saya belum cerita bagaimana sejarahnya saya bisa menjadi seorang guru les privat di Kelapa Gading. Hmmm... itu nanti saya ceritakan di posting berikutnya saja ya. Hehehe...