Sebetulnya apa yang kita lakukan dalam hidup ini, tak lain dan tak bukan hanya untuk mendapatkan suatu peng"aku"an. Seluruh manusia selalu berjuang keras dalam hidup ini untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Keinginan-keinginan itu, seperti mendapat ranking pertama di sekolah/universitas, mendapat pacar yang diharapkan, memiliki karir yang menjanjikan, memiliki rumah idaman, menjadi kaya raya, dsb... Coba rasakan saat-saat ketika keinginan-keinginan tersebut terpenuhi, mungkin orang-orang di sekitar Anda akan memuji kehebatan Anda, bertepuk tangan atas keberhasilan Anda. Apa yang Anda rasakan selanjutnya adalah kebanggaan, keberhargaan, dan kebahagiaan. Itulah artinya Anda telah mendapat peng"aku"an dari orang lain, tentu saja termasuk peng"aku"an dari diri Anda sendiri. Anda akan merasa sangat bahagia, karena semua jerih-payah Anda tidaklah sia-sia. Anda telah berhasil mendapatkan sesuatu. Keinginanku, impianku, atau cita-citaku telah menjadi milk"ku"atau telah "ku"miliki.
Seluruh perjuangan keras manusia itu pada akhirnya memang hanya untuk mendapat peng"aku"an. Hanya untuk memuaskan sesuatu yang bernama "aku". Sebagian orang menyebutnya dengan istilah "ego". Sedari lahir manusia memiliki "aku". Adalah wajar dan masuk akal jika kita ingin memenuhi semua keinginan "aku". Mungkin Anda masih ingat ketika masih kecil, Anda mendapat mainan baru dari Ayah/Ibu Anda. Anda senang sekali. Anda pasti mengatakan, "mainan itu punyaku". Anda akan marah saat mainan itu diambil orang lain, hilang, atau rusak. Sama halnya, dengan keinginan-keinginan, seperti menjadi ganteng/cantik, kaya raya, memiliki rumah/pacar idaman, dan sebagainya. Anda akan bahagia saat keinginan-keinginan tersebut terpenuhi, tetapi menjadi marah (bisa marah ke diri sendiri atau marah kepada Tuhan) saat Anda tak bisa meraih apa yang diinginkan. Bagi sebagian orang, pemuasan keinginan "aku" ini sering dikatakan sebagai bentuk kebahagiaan.
Namun, menurut saya itu tidaklah demikian. Kebahagiaan yang didapatkan dengan pemuasan keinginan "aku" hanyalah kebahagiaan sesaat. Sudah banyak kesedihan dan kekecewaan yang timbul hanya gara-gara ada "aku" yang tidak berhasil terpuaskan. Lihat saja, pasangan yang menikah, lalu bercerai. Mengapa demikian? Biasanya pasangan bercerai dikarenakan salah satu pasangan tidak mau mendengarkan ataumemahami keinginan satu sama lain, tetapi sebaliknya hanya menuntut "ego" atau "aku"-nya didengarkan. Atau pun, saat Anda tidak berhasil mendapatkan pacar idaman, meskipun Anda telah mengorbankan segala yang Anda miliki, baik yang berupa materi atau tidak. Tetapi, pacar idaman Anda lebih memilih orang lain, bukan diri Anda. Oh, tentu saja... itu sangat menyakitkan dan mengecewakan. Anda bersedih, dan akan meratapi diri Anda.. meratapi "aku" Anda yang tersakiti.
Kebahagiaan sesungguhnya dicapai bukan untuk mencari peng"aku"an, melainkan mencari peng"kamu"an. Kebahagiaan yang sejati hanya dapat dicapai dengan melepaskan "aku". Bukan "aku" yang ingin kita puaskan, tetapi adalah "kamu" yang ingin kita puaskan. Bagaimana caranya?
Mengasihi sesama, mencintai sesama, memberikan penghormatan pada orang lain, menghargai orang lain, rela berkorban demi kepentingan orang lain, dsb...
Kita utamakan kepentingan"kamu", bukan "aku". Memuaskan "kamu" sama sekali tidak mendatangkan kesedihan atau kekecewaan. Kenapa bisa begitu? Karena sesungguhnya apa yang dimiliki, pasti akan (ke)hilang(an). Tidak ada sesuatu pun yang menjadi milik "aku" abadi selamanya. Namun, di saat Anda tidak memiliki sesuatu, Anda tidak akan merasakan kehilangan. Di saat Anda tidak merasakan kehilangan, Anda tidak akan merasakan kekecewaan apalagi kesedihan.
Lepaskan "aku", lepaskan milik"ku"... lalu, berikanlah untuk "kamu", jadilah milik"mu"... itulah cara sesungguhnya mendatangkan kebahagiaan. Inilah seharusnya yang kita perjuangkan dalam hidup ini, yaitu segalanya untuk "kamu", "kamu", dan "kamu. Bukan untuk "aku", "aku", dan "aku". Tetapi, berapa banyak orang yang bisa melakukan hal semacam ini? Sangat sulit untuk dilakukan, karena manusia sudah terlanjur memiliki "aku" sejak lahir. Manusia sedari lahir memang sudah egois.
Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus selalu dan selalu mengorbankan diri kita demi orang lain. Tentunya kita boleh mementingkan diri sendiri daripada orang lain selama itu tidak merugikan orang lain. Tetapi, marilah kita mencoba untuk mulai memikirkan orang lain, tidak melulu diri kita sendiri. Tidakkah ajaran agama mana pun selalu mengajarkan kita untuk peduli pada kesejahteraan orang lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar