Page

16 April 2011

Fenomena Game Online

Perkembangan teknologi komunikasi tidak hanya berkutat pada daerah nyata atau realita saja, tetapi juga menjangkau dunia virtual atau maya. Dewasa ini, saya sudah akrab melihat beberapa anak berusia sekitar 7-15 tahun duduk berjajar di depan komputer di suatu ruangan ber-AC dengan tempat duduk yang sangat nyaman. Sesekali mereka berteriak senang, kaget, ataupun kecewa. Mereka sangat menikmati apa yang disajikan dari layar komputer tersebut. Sebenarnya apa yang mereka teriakkan? Bukannya jika seseorang yang browsing di internet, tidak perlu sampai berteriak, apalagi mengumpat tidak jelas? Yach... karena mereka memang tidak sedang melakukan browsing. Namun, mereka sedang bermain game online. Mereka bermain tidak hanya dengan beberapa orang yang duduk di sekitar mereka, tetapi mereka bisa juga bermain dengan orang-orang yang berada di daerah yang mungkin belum pernah mereka singgahi secara langsung. Sebenarnya game online tidak hanya dimainkan oleh anak-anak, tetapi juga kini sebagian orang dewasa gandrung bermain game online.

Game online merupakan suatu fenomena yang mampu mengalahkan keberadaan situs-situs popular bertema jaringan sosial seperti Friendster, Multiply, MySpace, Facebook, serta keberadaan video online seperti YouTube. Paling tidak, begitulah kenyataan yang dikemukakan Parks Association dalam risetnya berjudul “The Casual Gaming Market Update” yang dilakukan pada tahun 2007. Penelitian tersebut menemukan bahwa dua pertiga pengguna internet dewasa di Amerika Serikat selalu bermain game online, sedangkan 29 persen dan 19 persen masing-masing mengaku rutin menonton video online dan mengunjungi situs jaringan sosial. Di Indonesia sendiri, jumlah pemain game online sudah mencapai 6 juta orang, menurut berita yang terlansir dalam situs Detikinet pada tahun 2009. Persentasenya adalah 24 persen dari 25 juta pengguna internet di Indonesia adalah pemain game online.

Pada awalnya, orang lebih dulu mengenal game jaringan di mana beberapa Personal Computer (PC) dihubungkan satu sama lain, dan kita pun dapat mulai bermain game sepuasnya. Pada game jaringan, permainan yang sering dimainkan kala itu adalah Counter Strike. Game jaringan cukup membuat beberapa anak, bahkan orang dewasa betah duduk berjam-jam di Game Center atau Warnet untuk mendapatkan suatu kepuasan batin. Hanya seiring dengan semakin berkembangnya teknologi game, maka game jaringan pun mulai tersingkir dengan keberadaan game online. Pada dasarnya, antara game jaringan dan game online hampir sama, yaitu bermain game dengan menggunakan PC sebagai media bermain dengan sejumlah orang. Yang membedakan adalah dengan bermain game online, kita tidak saja dapat bermain dengan orang-orang yang ada di sebelah kita, tetapi juga dapat bermain dengan beberapa orang di lokasi lain, bahkan hingga orang di belahan bumi lain.

Game online menjadi menarik karena game online umumnya menyediakan fitur yang bernama ”komunitas online”, sehingga menjadikan game online sebagai suatu aktivitas sosial. Terciptanya komunitas-komunitas online dapat memfasilitasi para gamer untuk menuangkan segala pengalaman mereka seputar bermain game tersebut. Tidak hanya itu, komunitas-komunitas tersebut kemudian dapat dijadikan ajang komunikasi multikultural yang dapat menjelma menjadi gaya hidup dan penyambung tali silaturahmi antarsesama manusia. Hal ini menjelaskan mengapa game online lebih diminati daripada single player games.

Game online yang memiliki komunitas online seringkali dikenal dengan sebutan Massively Multiplayer Online Games (MMOG). MMOG memungkinkan ratusan bahkan ribuan pemain untuk bermain di waktu yang bersamaan (tentunya setelah terkoneksi dengan internet). MMOG juga terbagi atas beberapa jenis, antara lain, MMORPG (Massively Multiplayer Online Role Playing Game). Contohnya, Ragnarok dan Seal. Lalu ada pula yang bernama MMORTS (Massively Multiplayer Online Real Time Strategy). Contohnya, WarCraft dan DotA. Lalu, ada lagi MMOFPS (Massively Multiplayer Online First Person Shooter). Contohnya ini adalah CounterStrike.

Game online pun berubah menjadi suatu jaringan sosial untuk para gamers yang kemudian dapat mengalahkan beberapa situs popular lainnya, seperti situs jaringan sosial pertemanan. Namun, perkembangan game online bukannya tanpa dampak negatif yang membayangi. Rasanya kita patut prihatin karena game online telah menjelma menjadi gaya hidup yang kurang baik, yaitu pemanfaatan waktu (bermain) yang berlebihan. Kita semua tahu bahwa segala sesuatu yang berlebihan tidaklah menguntungkan. Game online pun mulai dianggap sejumlah kalangan sebagai sesuatu yang addict (candu). Para gamers mampu duduk berlama-lama di depan komputer demi sebuah game dan bertahan di sana tanpa menginginkan suatu gangguan yang mampu memecah konsentrasinya dalam bermain game online tersebut. Pada beberapa kasus yang tercatat, beberapa gamers yang addicted dengan game online dapat rela bersedia untuk tidak mandi, makan, apalagi untuk bekerja, serta melaksanakan tugas-tugas yang merupakan kewajibannya.

Yang ada di otak para gamers yang addict tersebut hanyalah main, main, dan main, serta bagaimana mendapatkan suatu strategi untuk menang. Oleh karena itu, sebagian orangtua pun mulai resah jika anaknya mulai mengetahui tentang game online, walaupun memang masih ada dampak positif yang dapat diambil dari game online, seperti mengajarkan anak untuk mengatur strategi. Hanya saja, sebaiknya terdapat pengawasan dari orang tua agar anak tidak terlalu kecanduan dengan game online dan dapat membagi waktunya dengan belajar.

Menurut Margaretha Soleman, M. Si., Psi., game online dirancang sedemikian rupa agar para pemain selalu ingin terus-menerus memainkan permainan mereka. Untuk melakukan hal ini, para perancang game memanfaatkan efek yang ditimbulkan dari pemberian penguatan (reinforcement) yang dilakukan secara acak dan juga tak terprediksi. Di satu sisi, game online menjanjikan hasil akhir yang dapat diprediksi, misalnya permainan pasti suatu saat akan berakhir dengan kemenangan. Hasil akhir yang pasti ini membuat para pemain game online tetap betah duduk berjam-jam, bahkan berhari-hari untuk terus bermain karena mereka tahu mereka pasti akan menyelesaikan game itu.

Namun, di sisi lain pemain tidak tahu kapan mereka akan bisa menyelesaikan game tersebut. Para pembuat game, menurut Margaretha, membuat pemain ketagihan dengan cara membuat mereka mencapai suatu level, atau posisi baru, atau pun memiliki kekuatan baru secara acak. Maksudnya, para pemain tidak selalu menang setiap kali bermain. Mereka juga tidak selalu mendapatkan ganjaran (reward) setiap kali bermain. Mereka tidak pernah tahu kapan akan menang lagi atau kapan tokoh yang mereka mainkan akan mendapat ganjaran.

“Mungkin saja apabila mereka bermain 10 menit lagi, atau 1 jam lagi, atau 2 jam lagi, mereka akan menang atau naik ke level berikutnya, atau tokoh yang mereka mainkan akan mendapat ganjaran. Dan, jika mereka tidak terus-menerus bermain, maka mereka takut akan kehilangan kesempatan untuk menang atau mendapat ganjaran,” jelas konselor di Pusat Konseling & Pelatihan IPEKA Jakarta itu. Ditambah lagi, kata Margaretha, setiap orang membutuhkan penghargaan dan pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Apabila seseorang tidak mendapatkan hal itu dari lingkungan, maka ia akan mencarinya di tempat lain. Salah satunya, yaitu... dengan melalui game online.

Di dalam game online, ketika pemain berhasil mencapai suatu level tertentu, muncul perasaan senang, bangga, dan puas terhadap prestasi yang mereka raih dan terhadap kemampuan yang mereka miliki. Apalagi, jika diberi semacam hadiah, misalnya berupa nilai bonus, kekuatan tambahan, atau senjata yang makin canggih. Ada pembuktian diri bahwa mereka bisa melakukan sesuatu hingga berhasil. “Perasaan senang dan bangga ini turut memberikan sumbangsih terhadap kecanduan seseorang akan game online,” kata Margaretha.


Dikutip dan diolah dari berbagai macam sumber artikel.

Tulisan ini dimuat juga di BUPSI edisi 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar