Page

11 November 2012

Orang Istimewa - Sentuhan Akhir

Apakah mungkin kita bisa bertemu lagi?


Kukendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Tiba di parkiran, aku langsung berlari secepat-cepatnya menuju ke tempatmu. Aku sampai di sana tepat ketika acara berakhir dengan peluh di sekujur tubuhku.

Sebelum kumasuki ruangan aula, aku membeli sebuah merchandise di counter penjualan suvenir. Sebuah boneka beruang yang memakai toga. Aku tidak paham mengapa beruang diidentikkan dengan wisuda. Mungkin karena rupanya yang imut dan ia dapat berdiri dengan dua kaki. Setidaknya lebih mending daripada jika harus memakai boneka kera. Karena tak ada kertas kado, jadilah kertas koran yang digunakan untuk membungkus. Ah, malu rasanya. Tetapi demi seseorang yang istimewa di hati, apa boleh buat. Yang penting tujuannya.

Para wisudawan tumpah ruah mengisi seluruh ruangan. Mereka sibuk berfoto-foto, entah dengan dosen, orangtua, atau teman-teman terdekat. Manusia memang senang menyimpan sesuatu untuk dikenang. Seperti halnya diriku sekarang... Aku juga ingin memiliki kenangan bersama dirimu di momen bersejarahmu ini.

Ketika aku melangkahkan kaki ke dalam aula, aku merasa seolah kembali ke masa lalu. Dulu aku pernah di sini dengan balutan toga yang persis sama. Rasa haru menyelimutiku. Rasanya baru kemarin aku bahagia. Kebahagiaanku kini sekali lagi terulang, tetapi itu karena aku merasakan kebahagiaanmu.

Tidak butuh waktu lama ketika ada yang memanggil namaku. Teman-temanmu. Mereka keheranan kenapa aku bisa ada di sini. Begitu pun dirimu.

Akhirnya aku kembali melihatmu setelah sekian lama. Dengan balutan kebaya, kamu tampak semakin berbeda. Kamu bagaikan putri raja. Memang harusnya begitu. Ini hari kemenanganmu. Dan, kamu layak merayakan dengan cara seperti ini.

Dan, tidak butuh waktu lama pula, aku terseret ke dalam arus foto-foto bersama. Dalam kesempatan ini, aku meminta izin untuk berfoto berdua denganmu. Percayalah, lama berhubungan denganmu, aku tak pernah berfoto bersamamu. Tentu saja menjadi agak aneh kalau tiba-tiba aku meminta foto berdua denganmu kala itu. Tetapi untuk momen seperti ini, siapa yang tidak mengizinkan. Semua orang diliputi kegembiraan. Semua orang sedang tidak peduli dengan masalah yang lain. Jadilah ini foto pertamaku yang bisa berdua denganmu.

Tetapi, penantianku bukan tentang berfoto atau bertemu denganmu.

”Eh, boleh kita bicara sebentar?”

”Hah? Ada apaan Kak?”

”Ada yang ingin kusampaikan, tetapi lebih baik di sana saja. Tidak akan lama kok.” Aku menujuk ke arah koridor yang berada di samping aula.

Kamu awalnya enggan, tetapi aku tahu bahwa kamu tidak akan menolak. Kamu anaknya lugu dan tidak pernah menaruh curiga. Itu salah satu yang kusuka darimu.

”Ada apa ya Kak?”

”Ini,” aku lalu memberikan bungkusan kertas koran itu untukmu. Seperti yang kuduga, kamu pasti terkejut. Terkejut karena bungkusannya, aku rasa.

”Aku kan belum berulang tahun.”

”Memang kalau kasih hadiah, harus tunggu ulang tahun ya.”

”Ehm, jangan dibuka sekarang ya,” kataku saat kau menerimanya.

”Isinya apaan sih? Gorengan ya?”

”Ya, ini gorengan mahal. Aku minta Abangnya goreng khusus untukmu. Terdengar sangat garing tidak?”

Kamu lalu nyengir mendengar leluconku. ”Iya, sangat garing,” katamu. ”Terima kasih ya Kak. Kakak baik banget padaku,” katamu lagi.

Aku tersenyum mendengarnya. Aku baik pada setiap orang, seperti katamu bahwa aku ini senior yang pintar dan baik hati. Tetapi, untukmu, aku akan selalu baik. Aku rela menjadi orang baik demimu. Setiap bantuan yang kuberikan adalah bentuk ketulusanku.

Di saat seperti ini aku membayangkan ada dentingan piano yang mengalun lembut. Mengiringi percakapan di antara kita berdua.

”Ada sesuatu lain lagi yang ingin kuberikan kepadamu. Tetapi, ini bukan sebuah benda.”

Di saat seperti ini aku membayangkan dentingan piano berpadu dengan gesekan biola. Ada tensi tinggi yang tercipta. Tensi itu mencapai klimaksnya saat kumulai mengatakan...

”Sejak dulu aku ingin sekali mengatakan hal ini,” aku diam sebentar. Kupastikan tidak ada keributan yang dapat membuatmu tidak jelas mendengar, lalu kukatakan, ”aku suka kamu.”

Di saat seperti ini aku membayangkan musik orkestra mengalun megah. Suara drum bergemuruh memberikan efek kejut kepada siapa pun yang mendengarkan, termasuk dirimu. Lalu, musik berhenti. Kemudian hening. Aku bisa merasakan jeda begitu panjang karena kamu pasti mencoba mencerna isi pernyataanku, meski tadi sudah sangat jelas kukatakan.

Aku tak ingin kamu jadi salah tingkah, maka biarkan diriku yang memecah kebisuanmu itu.

”Kamu enggak kaget kan,” kataku mencoba menerka bahwa kau sudah tahu mengenai isi hatiku.

”Ee... Gak sih... Banyak cowo yang emang suka aku kok,” katamu akhirnya. Aku tidak menganggapnya sebagai jawaban yang jujur darimu. Kamu bermaksud melucu, aku tahu. Jawabanmu mengartikan bahwa terkaanku salah. Kamu tidak tahu isi hatiku selama ini.

”Aku tidak peduli dengan cowo yang lain. Tetapi, aku serius bilang yang tadi itu kepadamu,” tegasku.

Kemudian hening lagi. ”Tapi, Kakak sudah seperti Kakak bagiku...”

Sebuah alasan klasik.

Aku tidak menganggap alasan itu sebagai penolakan. Tidak sama sekali tidak. ”Kamu pasti butuh waktu memikirkan apa yang kukatakan, sebaiknya kamu kembali. Tuh, teman-temanmu memanggil.”

Kamu menoleh ke aula dan memang benar teman-temanmu memanggilmu.

”Pergilah. Tidak enak bila kau dan aku di sini terus. Aku juga harus segera pergi. Nanti kita lanjut dengan SMS-an aja ya,” ujarku sambil melirik jam.

Kulihat dirimu enggan beranjak, tetapi perlahan kamu pun memutuskan pergi.

Di saat seperti ini aku membayangkan hanya gesekan biola saja yang mengalun. Mengiringi kepergianmu. Bahkan, di saat seperti ini aku membayangkan kamu bergerak pergi dengan sangat lambat karena aku tidak ingin kamu begitu cepat hilang dari pandanganku.

Jangan pergi, teriakku dalam hati. Kemudian, aku memanggil namamu lagi, ”Apakah kelak kita dapat bertemu kembali?”

Gak tahu. Semoga aja deh Kak.”

Inilah sentuhan terakhir yang dapat kuberikan kepadamu... sebuah cinta.

selesai?...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar