Page

3 November 2012

Orang Istimewa - Tiga Kata

Tidak bisakah kau berikanku sebuah kesempatan?


”Hei, kok bengong....” Suara temanku seketika menghapus semua nostalgiaku.

Aku kembali ke sini... Kembali ke hadapan CV itu. Aku tahu kamu sekarang ada di JCC, tak jauh dariku yang sekarang ada di Istora Senayan.

Aku melirik jam tanganku. Jam 3 sore. Ini adalah saat namamu dipanggil untuk menaiki panggung, lalu menerima tabung wisuda. Masih ada waktu 1 jam lagi sebelum upacara berakhir.

”Hei, kenapa dari tadi gue lihat loe kayak uring-uringan?” tanya teman kantorku. ”Lagi sakit!?”

Gak ada apa-apa kok,” jawabku sekadar menenangkan perasaanku dan kebingungan temanku.

Seorang pemuda lalu mendatangi booth perusahaanku. Dia melihat daftar lowongan yang terpampang di standing banner. Ia bertanya padaku macam-macam, seputar profil perusahaan, alamat, dan sebagainya. Kemudian, ia menyerahkan sebuah amplop yang pastinya berisikan CV dan macam-macam kelengkapan lamaran lainnya. Satu CV lagi untuk kepelototi.

Sebelum meninggalkan tempat, ia bertanya, ”Kapan saya bisa mendapat kabar?”

”Ya, nanti kami akan memberi kabar jika Mas masuk kualifikasi. Akan kami kabari via telepon.”

”Oke, baik Pak. Terima kasih ya.”

Belum ada sepuluh menit, pemuda itu balik lagi ke booth.

”Maaf, saya lupa mencantumkan nomor ponsel saya. Boleh minta CV-nya lagi.” Aku menyerahkan kembali amplop cokelat yang berisikan CV-nya itu. Dia mencoba mencari-cari pulpen di tasnya, tetapi tampaknya tidak ketemu.

”Haduh... Mas mau melamar kerja tapi tidak ada persiapan. Lupa cantumin nomor telepon, lupa bawa pulpen. Bagaimana ini...,” ujarku sedikit galak sambil meminjamkan pulpen kepadanya.

”Maaf Mas, soalnya saya menyeberang pulau. Saya datang dari Kepulauan Seribu.”

Hah? Kepulauan Seribu. Sungguh niat pemuda ini demi mencari sebuah pekerjaan.

Setelah kupastikan ia pergi dan tak kembali, aku melihat CV-nya. Asalnya memang benar dari Kepulauan Seribu. Ia tinggal di Pulau Pramuka. Latar belakangnya cukup wow, penuh dengan prestasi. Pernah menang lomba catur, lomba karya tulis, dan sebagainya. Ia pun aktif dalam organisasi, seperti Karang Taruna, Pramuka, dan sebagainya.

Aku jadi teringat dengan diriku sendiri. Aku pun berprestasi, meski tidak dalam perlombaan, melainkan dalam studi. Aku pun aktif dalam organisasi. Namun, pencarian pekerjaan tidak segampang yang kukira. Prestasi dan pengalaman organisasi itu rupanya tidak membantu banyak. Betapa usahaku mencari sebuah pekerjaan impian di sebuah perusahaan impian seringkali kandas. Hanya karena aku tidak mau menyerah, aku akhirnya mendapatkan pekerjaanku ini sekarang.

Tidak boleh menyerah. Tiga kata yang sering kuucapkan kepada diriku sendiri ketika aku hampir putus asa. Aneh sekali aku bisa untuk tidak menyerah dalam hal apa saja, kecuali untuk kenyataan perasaanku sendiri.

Aku segera teringat pada satu pernyataan sahabatku. Jangan menyerah 'tuk perjuangkan isi hatimu sampai kamu tahu gambaran perasaan yang sesungguhnya kepadamu. Itu adalah kalimat yang sahabatku ucapkan saat aku curhat kepadanya mengenai pendaman perasaanku kepada seseorang.

Aku mempelajari CV pemuda dari seberang pulau itu. Sepintas saja aku bisa melihat bahwa kualifikasinya tidak cocok dengan perusahaanku meski ia berprestasi dan punya pengalaman organisasi. Tetapi, setidaknya ia berusaha daripada tidak sama sekali, pikirku dalam hati.

Pikiranku barusan itu membuatku jadi merenungi diriku sendiri. Aku menghela nafas. Pemuda seberang pulau itu sungguh sialan. Mungkin aku kena karma karena tadi aku sedikit galak padanya, sekarang giliranku yang seperti tertampar. Tamparan keras karena sekian lama, aku seorang pengecut.

Kini aku tersadar aku harus perjuangkan perasaanku meskipun mungkin akan berakhir tidak sesuai harapanku.

Bro... Gue ingin pergi keluar sebentar. Mau pergi nyari cemilan. Secepatnya gue balik.” Aku berpamitan kepada temanku yang pasti makin terheran-heran dengan tingkahku.

Aku merasa bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk dapat bertemu denganmu. Jika aku dulu menganggap pertolongan untuk skripsimu adalah sentuhan terakhir, terpaksa aku meralatnya. Masih ada satu sentuhan yang ingin kutunjukkan kepadamu. Dan, aku sudah memutuskan...

Banyak memori yang aku simpan tentang dirimu, meski aku tahu mungkin kamu hanya menganggapku kerikil yang sering terlewatkan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku bukanlah kerikil, melainkan sebuah batu berharga.

Dan, aku ingin kamu juga tahu tentang tiga kata yang seringkali didengungkan oleh para penyair dalam puisi-puisi mereka.

bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar