Tidak bisakah kau berikanku sebuah kesempatan?
”Hei, kok
bengong....” Suara temanku seketika menghapus semua nostalgiaku.
Aku kembali ke
sini... Kembali ke hadapan CV itu. Aku tahu kamu sekarang ada di JCC, tak jauh
dariku yang sekarang ada di Istora Senayan.
Aku melirik jam
tanganku. Jam 3 sore. Ini adalah saat namamu dipanggil untuk menaiki panggung,
lalu menerima tabung wisuda. Masih ada waktu 1 jam lagi sebelum upacara
berakhir.
”Hei, kenapa dari
tadi gue lihat loe kayak uring-uringan?” tanya teman kantorku. ”Lagi sakit!?”
”Gak ada apa-apa kok,” jawabku sekadar
menenangkan perasaanku dan kebingungan temanku.
Seorang pemuda lalu
mendatangi booth perusahaanku. Dia
melihat daftar lowongan yang terpampang di standing
banner. Ia bertanya padaku macam-macam, seputar profil perusahaan, alamat,
dan sebagainya. Kemudian, ia menyerahkan sebuah amplop yang pastinya berisikan
CV dan macam-macam kelengkapan lamaran lainnya. Satu CV lagi untuk kepelototi.
Sebelum
meninggalkan tempat, ia bertanya, ”Kapan saya bisa mendapat kabar?”
”Ya, nanti kami
akan memberi kabar jika Mas masuk kualifikasi. Akan kami kabari via telepon.”
”Oke, baik Pak.
Terima kasih ya.”
Belum ada sepuluh
menit, pemuda itu balik lagi ke booth.
”Maaf, saya lupa
mencantumkan nomor ponsel saya. Boleh minta CV-nya lagi.” Aku menyerahkan
kembali amplop cokelat yang berisikan CV-nya itu. Dia mencoba mencari-cari
pulpen di tasnya, tetapi tampaknya tidak ketemu.
”Haduh... Mas mau
melamar kerja tapi tidak ada persiapan. Lupa cantumin nomor telepon, lupa bawa pulpen. Bagaimana ini...,” ujarku sedikit galak sambil
meminjamkan pulpen kepadanya.
”Maaf Mas,
soalnya saya menyeberang pulau. Saya datang dari Kepulauan Seribu.”
Hah? Kepulauan
Seribu. Sungguh niat pemuda ini demi mencari sebuah pekerjaan.
Setelah kupastikan
ia pergi dan tak kembali, aku melihat CV-nya. Asalnya memang benar dari
Kepulauan Seribu. Ia tinggal di Pulau Pramuka. Latar belakangnya cukup wow, penuh
dengan prestasi. Pernah menang lomba catur, lomba karya tulis, dan sebagainya. Ia
pun aktif dalam organisasi, seperti Karang Taruna, Pramuka, dan sebagainya.
Aku jadi teringat
dengan diriku sendiri. Aku pun berprestasi, meski tidak dalam perlombaan,
melainkan dalam studi. Aku pun aktif dalam organisasi. Namun, pencarian
pekerjaan tidak segampang yang kukira. Prestasi dan pengalaman organisasi itu
rupanya tidak membantu banyak. Betapa usahaku mencari sebuah pekerjaan impian di
sebuah perusahaan impian seringkali kandas. Hanya karena aku tidak mau
menyerah, aku akhirnya mendapatkan pekerjaanku ini sekarang.
Tidak boleh menyerah.
Tiga kata yang sering kuucapkan kepada diriku sendiri ketika aku hampir putus
asa. Aneh sekali aku bisa untuk tidak menyerah dalam hal apa saja, kecuali untuk
kenyataan perasaanku sendiri.
Aku segera
teringat pada satu pernyataan sahabatku. Jangan
menyerah 'tuk perjuangkan isi hatimu sampai kamu tahu gambaran perasaan yang sesungguhnya kepadamu. Itu adalah kalimat yang sahabatku ucapkan saat aku curhat kepadanya mengenai pendaman
perasaanku kepada seseorang.
Aku mempelajari
CV pemuda dari seberang pulau itu. Sepintas saja aku bisa melihat bahwa
kualifikasinya tidak cocok dengan perusahaanku meski ia berprestasi dan punya
pengalaman organisasi. Tetapi, setidaknya ia berusaha daripada tidak sama
sekali, pikirku dalam hati.
Pikiranku barusan
itu membuatku jadi merenungi diriku sendiri. Aku menghela nafas. Pemuda
seberang pulau itu sungguh sialan. Mungkin aku kena karma karena tadi aku
sedikit galak padanya, sekarang giliranku yang seperti tertampar. Tamparan
keras karena sekian lama, aku seorang pengecut.
Kini aku tersadar
aku harus perjuangkan perasaanku meskipun mungkin akan berakhir tidak sesuai
harapanku.
”Bro... Gue ingin pergi keluar sebentar. Mau pergi nyari cemilan. Secepatnya gue
balik.” Aku berpamitan kepada temanku yang pasti makin terheran-heran dengan
tingkahku.
Aku merasa bahwa
ini adalah kesempatan terakhir untuk dapat bertemu denganmu. Jika aku dulu
menganggap pertolongan untuk skripsimu adalah sentuhan terakhir, terpaksa aku
meralatnya. Masih ada satu sentuhan yang ingin kutunjukkan kepadamu. Dan, aku sudah
memutuskan...
Banyak memori
yang aku simpan tentang dirimu, meski aku tahu mungkin kamu hanya menganggapku
kerikil yang sering terlewatkan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku bukanlah
kerikil, melainkan sebuah batu berharga.
Dan, aku ingin kamu
juga tahu tentang tiga kata yang seringkali didengungkan oleh para penyair
dalam puisi-puisi mereka.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar