Page

1 Mei 2014

Antara Les, Orangtua, dan Anak

"Ma... aku gak mau les terus... Bosen."

Begitu bunyi curhat seorang anak ketika ia harus pasrah mendapati dirinya les hampir setiap hari. Entah itu les mata pelajaran, les piano, les balet, les sempoa, les bahasa Mandarin, les bahasa Inggris, dan les-les apa lagi entah sekarang. Belum lagi, di sekolah mewajibkan anak untuk ikut ekstrakurikuler. Artinya bertambah banyak kegiatan anak seusai sekolah. Beginilah fenomena anak zaman sekarang: Anak banyak les!

"Tapi, Nak... Kamu yakin bisa belajar sendiri di rumah?"

"Kamu yakin bisa dapat nilai bagus?"

"PR anak-anak zaman sekarang susah-susah minta ampun. Terpaksa deh masukin anak ke tempat les."

Begitu bunyi curhat orangtua. Lebih tepatnya bunyi curhat Mama (di sini saya masih pakai prinsip Mama lebih bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak, karena yang saya temui di masyarakat masih seperti ini). Mama zaman sekarang memang bukan Mama zaman dulu yang hanya mengurusi tiga hal: Dapur, Sumur, Kasur. Mama zaman sekarang lebih mobile, dengan gadget di tangan, mereka terjun ke lapangan, mencari tempat nongkrong. Tentu yang saya maksud adalah Mama-Mama Mall. Itu hanya satu fenomena. Fenomena lain: Mama-Mama Kantoran (baca: Wanita Karir). Intinya sih mengerucut kepada satu hal: Mama zaman sekarang lebih sibuk daripada Mama zaman dulu. Jadi, beginilah fenomena Mama zaman sekarang: Tak ada waktu (lebih) untuk mengajari atau memantau kegiatan belajar anak di rumah!

Memasukkan anak ke tempat les tentu bukanlah dosa. Les bahasa Inggris, les piano, les menyanyi, les-les yang berkaitan dengan kesenian tentu sangat baik untuk menambah kelebihan anak. Syukur-syukur rupanya anak itu punya talenta di bidang seni.

Saya dulu dikatakan hampir tidak pernah ikut les pelajaran dan les-les lainnya. Hanya dua kali saya ikut les, yaitu kelas 1 SMA dan kelas 3 SMA menjelang Ujian Nasional. Itu pun hanya les matematika. Dan itu pun karena saya meminta. Alasan saya tidak dileskan karena alasan finansial. Orangtua saya tak mau buang uang percuma memasukkan anak-anaknya ke tempat les. Untunglah, saya bukan anak susah diatur dan dapat bertanggung jawab sejak kecil. Untuk urusan PR, saya bisa mengerjakannya sendiri. Untuk urusan ulangan, saya bisa belajar mandiri tanpa dibantu. Jika ada kesulitan, saya proaktif mengandalkan teman-teman sebagai tempat bertanya.

Akan tetapi, ketika sudah dewasa, sedikit banyak saya menyesal juga. Memang sih, saya bisa menggunakan waktu luang saya sepulang sekolah untuk menonton kartun, jalan-jalan bersepeda, atau membaca komik. Tetapi, saya seperti anak yang kekurangan keahlian di luar bidang pelajaran sekolah, entah itu bidang olahraga atau seni.

Hmm.... Mari kita skip saja curhat tentang diri saya...

Seperti saya sudah katakan memasukkan anak ke tempat les bukanlah dosa besar. Menurut saya, ada beberapa alasan orangtua memasukkan ke tempat les:

1. Kedua orangtua sibuk bekerja sehingga tak bisa memantau kegiatan belajar anak di rumah.
Alasan seperti ini masih bisa diterima mengingat mengandalkan penghasilan salah satu pihak saja terasa tidak cukup untuk kehidupan zaman sekarang. Tetapi pada kasus yang ekstrem, orangtua tersebut begitu percaya pada guru les sehingga sampai-sampai ia tak mau tahu atau tak mau terlibat dengan perkembangan akademis anak. Ada lho yang kayak gini. Hari libur adalah hari untuk keluarga, hari untuk anak bermain. Karena dianggapnya anak sudah belajar bersama guru les, tidak perlu lah anak belajar lagi bersama orangtua. Wah, wah... kacau sekali.... Anak bisa pintar kan bukan tanggung jawab guru, tetapi tanggung jawab orangtua juga.

2. Meski Mama/Papa di rumah, Mama/Papa tidak bisa mengajari anak pelajaran tersebut.
Alasan seperti ini masih boleh diterima mengingat bobot pelajaran anak zaman sekarang terasa lebih berat daripada waktu saya sekolah dulu. Tetapi sebenarnya alasan ini masih bisa disanggah. "Ini sih ortunya aja yang malas untuk ikut belajar bersama anak." Jika mau sedikit capek saja, ikut membaca dan memahami isi pelajaran anak, mau membantu anak belajar, sesungguhnya hal ini bisa memperat hubungan orangtua dan anak.

3. Ortu ingin memberikan sebuah investasi mulia kepada anak.
Les Mandarin sedari kecil, les piano sedari kecil agar anak itu punya kemampuan lebih, tidak bernasib naas menjadi orang dewasa yang medioker (seperti saya ini). Tentu ini adalah baik. Sayangnya, kadang orangtua terlalu memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Anak itu jelas-jelas tidak suka bermain piano, tidak suka pelajaran mandarin, tetapi tetap saja dipaksa-paksa untuk ikut les. Sayang duitnya, katanya sih begitu. Harusnya orangtua menyesuaikan bakat dan minat anak terlebih dahulu ketika memasukkan anak ke tempat les non mata pelajaran.

Peranan orangtua bukan hanya membesarkan dan merawat anak, tetapi juga sebagai guru bagi anak di rumah. Bahkan, sebenarnya menjadi guru seumur hidup bagi anak. Menjadi guru memang tidak mudah. Tidak semua orang bisa menjadi guru yang baik dan hebat. Karena itu ada sekolah, karena itu ada tempat les yang tugasnya membantu mendidik dan mengajari anak berbagai macam hal.

Karena les bukan sesuatu yang sifatnya wajib, tentu harus disikapi secara bijak, apakah les akan menjadi sesuatu yang menyenangkan atau memberatkan bagi anak? Apakah Anda (calon ortu) sudah memikirkan mengenai kegiatan anak ketika ia sudah bersekolah, les apa yang dia akan ikuti atau ia tak perlu lah les sama sekali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar