Page

18 Maret 2018

Apakah Benar Orang-Orang Jakarta Suka Nyampah?


Kemarin saya membaca berita tentang Teluk Jakarta yang penuh dengan sampah. Miris sekali siapa pun yang pasti membacanya. Namun, miris tinggal miris. Tak usahlah jauh-jauh membahas sampah di lautan, sering saya amati sambil berkendara dengan motor, saya melihat sopir-sopir angkutan umum dengan mudahnya membuang sampah plastik ke jalan raya. Sedikit kesal melihatnya.

Kesal saya tidak hanya ke sopir tadi, tetapi merembet juga ke seorang kawan. Kawan saya yang senang merokok dengan entengnya membuang puntung rokok di jalan. Dalam satu hari dia bisa merokok lebih dari satu batang. Berarti bisa 2-3 puntung yang dia buang ke jalan. Waktu saya menegur, kurang lebih jawabannya begini, “Ah, nanti juga dibersihkan.” Saya tidak begitu tahu pendidikan sopir angkutan umum tadi, yang pasti kawan saya ini berpendidikan (baca: S1).

Ada lagi kawan saya lain, pernah saya tegur karena membuang sampah plastik ke jalan waktu berada di mobil. Dengan tanpa nada penyesalan, jawabannya begini, “Banyak juga yang buang sampah di jalan…” Kawan saya ini berpendidikan juga. Bisa saya tambahkan satu hal lagi: Rajin ibadah.

Pernah gak kadang-kadang kita merasa malas bertengkar dengan kawan sendiri hanya karena persoalan buang sampah? Kayak gak ada urusan yang lebih penting aja.

Pendidikan dan rajin beribadah memang tidak ada kaitannya dengan perilaku menjaga kebersihan. Saya masih ingat ketika saya SMP, saya pulang-pergi rumah sekolah dengan bus jemputan. Namanya anak-anak sekolah sering jajan dan membawa jajanan ke dalam bus. Sering sopir bus ini mengingatkan agar anak-anak tidak buang sampah ke luar jendela. “Buang sampah di dalam bus saja!” Sebuah pendidikan moral yang bagus. Lebih baik buang sampah sembarangan di rumah sendiri, daripada di tempat umum. Eh, memangnya ada yang suka buang sampah sembarangan di rumah sendiri?

Mengatakan semua orang Jakarta suka nyampah tidak benar sepenuhnya. Pernahkah kalian melihat mall besar di Jakarta, koridornya penuh dengan sampah? Atau pernahkah kalian lihat orang-orang buang sampah sembarangan di mal. Sebuah keanehan bukan? Bisa bersih-bersih di dalam mal, tetapi kok susah bersih-bersih di jalan. Padahal sama-sama tempat umum.

Saya menemukan teori yang bagus untuk menjelaskan fenomena ini, namanya Broken Windows Theory. Teori ini menjelaskan pengrusakan ruang publik (perilaku antisosial) dan kejahatan tercipta karena rendahnya pengawasan dan penegakan aturan. Istilah Broken Windows (Jendela Pecah) diambil untuk menggambarkan bahwa ketika ada kerusakan di suatu tempat (katakanlah ada rumah yang tidak ditempati dengan jendela-jendela yang pecah) akan memicu masyarakat untuk melakukan aksi pengrusakan yang sama (ikut memecahkan jendela) dikarenakan persepsi tempat itu pantas dan aman untuk dirusak. Dengan kata lain, ketika suatu lingkungan dibiarkan rusak atau kotor, akan muncul persepsi bahwa lingkungan itu layak dirusak atau dikotori.

Mari kita amati kembali perilaku buang sampah sembarangan. Orang-orang di Jakarta harusnya pernah belajar waktu di sekolah membuang sampah sembarangan itu tidak boleh. Hanya saja, karena sering melihat orang-orang di sekitar membuang sampah ke jalan namun tidak ditegur dan dihukum, hal ini akan muncul persepsi bahwa membuang sampah adalah hal yang wajar dan diperbolehkan. Jadi bukan karena tidak tahu malu atau tidak punya rasa bersalah, tetapi karena masalah konformitas (ikut-ikutan).

Ini menjadi alasan mengapa di mall besar begitu bersih dan bebas dari sampah. Mudahnya karena ada pengawasan dan penegakan aturan. Coba-coba saja buang sampah sembarangan di mall. Mungkin Anda akan ditegur oleh security. Sekali pun Anda tidak ditegur (katakanlah tidak ketahuan), pasti akan ada cleaning service yang akan memungut sampah tersebut dan membersihkannya. Karena sudah ada standar SOP, mall harus bersih. Selain itu, sudah menjadi norma sosial, orang-orang yang datang ke mall tidak akan berani membuang sampah begitu saja ke jalan.

Maksud dari Broken Windows Theory adalah ketika seseorang berada di suatu lingkungan yang selalu diawasi kebersihannya, akan muncul rasa segan untuk mengotorinya. Kita bisa menggunakan teori ini untuk perilaku antre. Mungkin kita suka kesal melihat pengendara motor dan mobil di Jakarta suka serobot sana-sini apalagi pas lampu merah. Tetapi, menjadi anomali ketika berada di loket pembayaran bank, orang-orang di Jakarta langsung berubah menjadi super taat.

Jadi, mengatakan orang-orang Jakarta (atau orang-orang Indonesia) tidak bisa buang sampah pada tempatnya atau tidak bisa antre adalah salah besar. Ini hanyalah masalah pembiasaan.

Saya membaca di situs berita yang mengabarkan bahwa Pemprov DKI Jakarta berencana memasang jaring-jaring untuk menangkal sampah masuk ke laut. Usaha pencegahan ini perlu diapresiasi, tetapi sebetulnya usaha pencegahan paling benar adalah yang menyentuh sisi perilaku manusia, yaitu mencegah orang-orang untuk membuang sampah di mana pun dan ke mana pun. Aturan dan pengawasan harus selalu ditegakkan. Tidak boleh ada kompromi. Bisa itu karena dibiasakan.

Lalu, cobalah untuk selalu ingat, “Jika bisa bersih-bersih di rumah sendiri, mengapa tidak bisa bersih-bersih di tempat umum.”

Atau mungkin kita perlu lelucon seperti ini, “Yaudah besok-besok gue buang sampah ke rumah lo aja ya. Toh nanti juga dibersihkan sama lo…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar