Page

8 Juli 2012

Lewat Djam Malam: Sebuah Mahakarya

Seminggu yang lalu, saya ke Plaza Senayan menonton film di bioskop. Lah, nonton film kok sampai jauh ke Senayan? Karena film yang akan saya tonton pasti tidak akan menambah minat teman-teman saya untuk ikut serta. Tidak seperti orang pada umumnya, saya lebih suka nonton film di bioskop sendiri saja. Alasannya, kalau bawa teman, pasti banyak celotehan yang terkadang membuat saya tidak fokus. Lagipula, saya lebih terbiasa menonton tanpa bicara sehingga bisa lebih fokus mencerna jalan cerita. Kalau pergi bersama teman-teman, saya lebih suka aktivitas yang ada ngobrolnya, seperti nongkrong, bermain kartu, atau makan-makan. Tetapi nanti, kalau pergi nonton bersama pacar? Ah, itu belum tahu akan menjadi seperti apa. Haha.

Oke, jadi film apa yang saya tonton? Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, film produksi tahun 1954. Kalau dlihat tahun produksinya, sudah jelas film ini film hitam-putih. Film ini ditayang ulang setelah dilakukan pemugaran kembali (restorasi) oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation. Bisa sampai dipugar ulang, jelas film ini berkualitas pada eranya saat itu.


Sutradara: Usmar Ismail
Penulis Cerita: Asrul Sani
Pemain: A.N. Alcaff, Netty Herawati, Dahlia
Durasi: 101 Menit    
   
Bagaimana sih film jadul berkualitas itu, tentu membuat saya tertarik menonton. Jangan bandingkan dengan film Soegija yang sama-sama mengambil latar cerita tahun 1950-an, dari segi sinematografi, Lewat Djam Malam tentu kalah kualitas. Tidak ada pergerakan kamera, kameranya cenderung statis mengambil 1 titik saja. Alunan musiknya juga kalah kelas. Gambarnya juga agak buram. Tetapi, jalan ceritanya tidak bisa dianggap remeh.

Berikut sinopsis versi saya sendiri. Awas ada spoiler (bocoran) akhir cerita.

Diceritakan Iskandar (A.N. Alcaff) sedang mengalami kegalauan sepeninggal ia dari dunia ketentaraan. Ia bermimpi berusaha ternak ayam, tetapi malah disuruh kerja di kantor pemerintahan. Belum ada sehari ia bekerja, ia langsung dipecat. Kemudian, ia mencari teman-teman seperjuangan dan mantan komandannya untuk curhat. Dari cerita Gafar, temannya yang sekarang jadi pemborong, ia mendapati bahwa mantan komandannya, Gunawan, menjarah harta keluarga pemberontak untuk modal usahanya. Eksekutor keluarga pemberontak itu adalah Iskandar sendiri!

Meletus amarah Iskandar mengetahui mantan komandannya itu telah mengkhianati perjuangannya. Bersama Puja, temannya yang sekarang menjadi germo, Iskandar mencoba menuntut balas. Iskandar kemudian meninggalkan pesta besar-besaran yang diadakan oleh tunangannya Norma (Netty Herawati) yang dibuat khusus untuk merayakan kepulangannya dari dunia ketentaraan.

Jiwa revolusi yang masih bersemayam di dada Iskandar membuatnya melakukan tindakan bodoh, menembak mati Gunawan. Iskandar merasa menyesal dengan tindakannya itu dan memutuskan kembali ke rumah Norma. Ia lupa Indonesia pada masa itu memberlakukan Jam Malam, yang mana orang-orang tidak boleh keluyuran di atas jam 10 malam. Kalau tidak menepati, akan ditangkap atau ditembak mati. Benar saja, ia ditembak mati oleh pasukan jaga malam, tepat di depan rumah Norma.

Film ini mencoba mengingatkan kita untuk tidak lupa pada jasa-jasa tentara yang gugur demi mempertahankan kemerdekaan, dan untuk memberikan rasa hormat kepada mantan tentara yang maju ke medan perang. Tampak jelas pesan itu di akhir cerita, "Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri."

Salah satu tokoh yang menarik perhatian adalah Laila (Dahlia), pelacur yang mencoba menarik simpati Iskandar sampai perlu melepas baju luarnya. Aktingnya sebagai pelacur yang dicampakkan oleh suaminya sangat memikat dan sedikit mengiris-iris hati. Makanya, pada Festival Film Indonesia tahun 1955, ia diganjar piala Aktris Utama Terbaik. Selain Dahlia, A.N. Alcaff memenangkan piala Aktor Utama Terbaik. Lewat Djam Malam juga memenangkan piala Penulis Naskah Terbaik (Asrul Sani) dan Film Terbaik.

Oya, salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah penggunaan bahasa dalam dialog. Jangan harap, ada bahasa lo dan gue. Bahasanya itu amat-sangat puitis, seperti:

"Ke mana-mana, kau kucari."

"Pikiranku tak tetap."

"Hatiku tak bisa sentosa."

"Barangsiapa yang tidak dapat melupakan masa lalu, akan hancur." (saya agak kurang setuju, terkadang masa lalu bisa dijadikan pelajaran)

Penggunaan bahasanya itu pasti bisa membuat ABG zaman sekarang pada mikir. Haha. Di tengah-tengah cerita, ada nyanyian Rasa Sayang-Sayange dan Potong Bebek Angsa yang semakin menambah cita rasa Indonesia. Tidaklah mengejutkan, salah satu tabloid menyebut film ini sebagai mahakarya, bukan lagi karya.

Mudah-mudahan, akan semakin banyak film jadul berkualitas yang tayang di bioskop kita. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar