Dalam postingan saya sebelumnya, saya menjelaskan tentang dilema serta konflik yang dihadapi anak yang memiliki standar berprestasi tinggi ketika bekerja dalam tugas kelompok. Mereka seringkali harus menerima kenyataan bahwa teman-temannya tidak mampu mengerjakan bagian tugas mereka dengan baik. Seringkali pun, anak yang memiliki standar berprestasi tinggi ini terpaksa mengerjakan ulang bagian tugas teman mereka itu supaya hasil akhir tugas kelompoknya mendapatkan angka terbaik. Pikir mereka, "Ah, yang penting gue dapat nilai bagus. Bodoh amat temen-temen gue yang gak kerja atau kerjanya gak maksimal. Kalau berharap pada hasil kerjaan mereka, gue malah gak bisa dapat nilai bagus, dan yang rugi itu pasti gue. Nah, daripada rugi di gue kan, mending gue kerjakan sendiri atau sempurnain bagian mereka supaya hasilnya bagus."
Terkadang, diam-diam anak tersebut mungkin merasa capek hati, emosi jiwa, frustasi, stres, atau jengkel abis dengan kinerja temannya, dsb. Tetapi, acapkali perasaan itu disimpan sendiri saja oleh si anak. Anak tersebut lebih memilih diam dengan semua apa yang dirasakannya. Seperti tertulis dalam postingan sebelumnya, sebenarnya masalah itu mudah atau bisa diselesaikan dengan cara membimbing mereka atau mungkin menegur teman-teman kita yang agak malas atau kerjanya kurang maksimal dalam kelompok kita. Tetapi, sayang terkadang hal itu tidak dilakukan. Macam-macam alasannya, seperti takut merusak persahabatan (karena teman yang malas itu adalah teman baiknya), takut menghadapi konflik yang berbuntut panjang, jumlah teman yang malas itu lebih banyak daripada dirinya, dan masih banyak alasan lainnya.
Mengapa anak tersebut kok tidak mampu berhadapan dengan teman-temannya, mengatasi konflik, atau pun sekadar menyuarakan isi hatinya/bersikap asertif? Saya sih beranggapan itu dikarenakan pendidikan sekarang yang terlalu menuntut hardskill pada anak.
Anak selama masih menjadi pelajar, seringkali dituntut guru, orangtua, atau malah lingkungan(?) untuk berhasil dalam akademik. Wujud dari keberhasilan itu mudah sekali, yaitu jadilah ranking 1. Menjadi ranking 1 atau juara kelas adalah keinginan setiap orangtua mana pun. Rasanya ada kebanggaan besar bagi orangtua apabila anaknya mendapat predikat yang terbaik di kelas atau sekolahnya. Sementara, anak yang menjadi juara bontot, adalah hal yang memalukan bagi orangtua.
Maka untuk memenuhi kebanggaan, para orangtua memberikan pelajaran tambahan (les) kepada anak. Seakan-akan pelajaran yang sudah didapatkan anak di sekolah masih kurang memenuhi harapan orangtua. Seakan-akan guru yang mengajari anak itu "tidak kompeten". Jadi, anak harus diberikan kembali pelajaran tambahan atau les supaya anak tambah mengerti.
Apa yang terjadi pada diri anak? Mereka akan mendapatkan pemikiran bahwa berprestasi dalam bidang akademik adalah keharusan. Berprestasi adalah harga diri. Kalau sekali saja menerima kenyataan: mendapat nilai merah (di bawah angka 60), rasanya seperti mau "bunuh diri". Harga diri seakan runtuh. Rasanya telah gagal memenuhi harapan orangtua dan/atau harapan lingkungan. Kenyataan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan di perkuliahan. Memiliki IPK terbaik terkadang menjadi "harga diri" bagi seorang mahasiswa.
Berprestasi juga sering dikatakan sebagai gerbang menuju keberhasilan yang lebih tinggi lagi (baca: mendapatkan pekerjaan yang mapan). Kebanyakan orang beranggapan bahwa dengan meraih prestasi/juara, mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan. Mereka akan mudah meraih kedudukan tertinggi dalam pekerjaan mereka. Itu memang benar, tetapi tidaklah mutlak.
Tuntutan guru, orangtua, dan/atau lingkungan agar anak dapat berprestasi sesungguhnya hanya bersandar dalam lingkup hardskill, yaitu kemampuan teknis dan ilmu pengetahuan. Padahal, masih ada kemampuan penting yang perlu dimiliki manusia, seperti kemampuan berinteraksi, kemampuan bekerja sama dalam tim, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memahami diri, dan masih banyak lagi. Kemampuan-kemampuan itulah yang masuk ke dalam lingkup softskill.
Kalau Anda membaca kisah sukses tokoh-tokoh dunia, Anda akan menemukan kebanyakan dari mereka dicap bodoh sewaktu mereka sekolah (seperti Albert Einstein dengan teori Relativitas, Thomas Alfa Edison penemu bola lampu, Gregor Mendel penemu Hukum Mendel dalam bidang Biologi), atau mereka yang dropout dari pendidikan mereka (seperti Henry Ford penemu mobil Ford, William/Bill Gates penemu Microsoft, Mark Zuckerberg penemu Facebook). Meskipun tidak berprestasi, mereka telah membuktikan mereka dapat meraih nama besar. Dalam hal ini, peranan softskill-lah yang bermain.
Kembali ke dalam masalah tugas kelompok. Dalam pengerjaan tugas kelompok, memang hasil akhir yang dinilai. Tetapi, untuk mencapai hasil akhir itu (mencapai tujuan atau standar tersebut), bukankah kita akan melewati berbagai macam proses, seperti konflik atau dilema yang dialami seorang anak yang saya contohkan? Kenapa kita tidak mencoba membenahi proses itu? Kita mulai mencoba bekerja sama, mulai berdiskusi, mulai berani menyatakan isi hati kita kepada teman-teman sekolompok. Awalnya, pasti sulit. Tetapi, kita tidak boleh terus-terusan memilih diam kan. Anda setuju? Cobalah untuk memahami sedikit bahwa tugas kelompok itu sebenarnya adalah kesempatan bagi kita semua untuk memantapkan softskill yang kita miliki. Mari gunakan kesempatan itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar