“Aku sebetulnya sudah bertunangan sejak 4 tahun yang lalu.”
Aku sangat tidak percaya pada apa
yang Mike ucapkan kepadaku kemarin. Mana mungkin, mana mungkin, mana mungkin. Kata-kata
itu mungkin kuulang ribuan kali kepadanya. Namun sayangnya, dengan sangat
menyesal, ia tetap mengiyakan.
Mike, nama aslinya Michael, adalah
pacarku sejak 2 tahun yang lalu. Tetapi, mendengar ia sudah memiliki tunangan,
rasa-rasanya kebersamaan 2 tahun itu sudah tidak berarti lagi. Hubungan kami
berdua pun berakhir pada satu kata horor untuk semua orang yang pernah menjalin
cinta, yaitu ”putus”.
Hatiku sakit sekali, pedih dan perih.
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di dalam hatiku. Mengapa Mike menipuku
selama 2 tahun? Kalau ia sudah bertunangan, mengapa ia masih saja bersamaku.
Apa aku ini semacam sang penghibur? Penghibur di kala dukanya. Mengapa dia tega
mempermainkanku?
Aku membuka akun Facebook-ku. Segera saja, aku hapus
semua foto-foto Mike bersamaku. Lalu, aku juga melakukan hal yang sama ke komputerku,
laptopku, dan ponselku. Semua gambar yang ada Mike langsung ku-delete. Aku ingin men-delete semua hal tentang dia dari
hidupku. Karena segala berkaitan dengan dia, bukan lagi kebahagiaan, melainkan
seperti luka. Foto-foto yang sempat kucetak juga kubuang.
Hanya satu foto yang buatku bingung, apa perlu kubuang atau tidak. Foto itu
adalah foto yang dibingkai pigura yang menggantung di pintu kamar tidurku. Itu
foto bersama teman-teman SMA-ku yang diambil saat aku masih kelas 1. Ada Mike
juga di sana. Mike temanku sejak kelas 1 SMA. Hanya saja, dia baru mencuri
hatiku ketika kami kelas 3. Aku ingin membuang foto pigura itu, tetapi tidak
bisa karena ada teman-temanku di sana. Aku tidak sampai hati.
Aku melihat Mike di foto pigura itu. Dia tersenyum. Senyum sama yang sangat
melelehkan. Aku putuskan membiarkan foto pigura itu tetap di sana. Aku
berpaling. Aku ingin tidur. Lelah sekali rasanya. Sebelum aku mematikan lampu
kamarku, aku memerhatikan sekali lagi pigura itu. Mengapa kulihat sekarang Mike
di sana tidak lagi tersenyum? Dia terlihat murung. Hmm... Mungkin aku salah
lihat. Aku cepat-cepat mematikan lampu kamarku.
Aku
terduduk lesu di bangku taman tempat di mana kami sering menghabiskan waktu
bersama. Sekarang kuhabiskan waktu ini sendirian. Sekumpulan mawar yang baru
saja bersemi seperti mengejekku. Mawar yang biasa dipersembahkan pria untuk
wanita yang dicintainya tidak terlihat ada indahnya lagi di mataku. Dirundung
penuh kesedihan, aku benar-benar berharap ada seseorang yang bisa menghibur
hati ini.
“Hai, cewek.... sedang apa di sini?”
tanya seorang cowok yang membuatku terbangun dari lamunanku. Kulihat orang yang
menyapaku itu, seorang pemuda yang cukup tampan.
“Boleh duduk sebentar di sana.”
Dia menunjuk ke tempat kosong di sebelahku. Entah kenapa, tanpa berpikir
panjang aku langsung mengangguk.
Kami berdua duduk bersebelahan. Tetapi,
bergeming lama sekali. Sampai kemudian, cowok misterius di sebelahku ini berkata,”Wanita
yang duduk sendiri, tidak ngapa-ngapain.... berarti pasti dia punya masalah.”
“Tahu apa, kamu! Jangan sembarangan menuduh
ya,” sahutku cepat dan ketus.
Tetapi, dalam hati aku membenarkan
perkataannya. Maksudku, membenarkan apa yang sedang kualami. Mendadak dia berdiri,
lalu menarik lengan bajuku.
“Eh, apa-apaan sih ini?” sergahku
melepas tarikannya.
“Bagaimana kalau kuajak kamu
jalan-jalan? Apa kamu mau di sini selamanya? Ayo, ikut aku....”
Tiba-tiba ada ketertarikan besar
yang menyelimutiku. Jadi kuturuti saja keinginannya. Dan, ia membawaku ke...
Pantai. Kenapa dia membawaku kemari. Dulu aku dan Mike sering kemari untuk
sekadar melepas penat. Lucu sekali, jika kuingat waktu itu. Kalau kami berdua
ke pantai, tidak hanya main-main air, tetapi kami juga berlomba membangun
istana pasir. Kami akan beradu, siapa istana pasir yang dibangun yang paling
kuat dan paling lama bertahan. Lalu, biasanya kami akan saling mengejek. ”Eh,
itu mah bukan istana, tapi itu gubuk,” hina Mike menunjuk istana yang kubangun
sambil tertawa terbahak-bahak.
”Enak saja, daripada punya situ... itu... itu mah....”
”Itu apa?” tanyanya penasaran.
”Itu mah... kandang kuda!” Aku tertawa, merasa bahagia bisa balas
mengejeknya.
”Bagus dong,” Mike tersenyum, ”Kandang kuda ini, kandang kuda putih lho...
nanti aku akan datang menjemputmu di gubuk reyotmu itu.”
Peuh.... Dasar Mike, dia memang pandai sekali menggodaku. Kata Mike
kepadaku, ”Membangun impian seperti membangun istana pasir. Begitu mudahnya,
istana pasir itu terhembus oleh angin dan hancur. Sama juga dengan impian kita,
amat mudah kita hancurkan. Maka itu, kita perlu menjaganya, bahkan terus
membangunnya berulang-ulang.”
”Ah, udaranya segar sekali.” Cowok misterius itu berkata begitu sembari
mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, lalu membusungkan dadanya.
”Ngapain diam-diam di situ saja? Ayo, main-main.”
Aku menjadi bertanya-tanya siapa dia, dari mana ia berasal. Apakah dia
adalah jawaban Tuhan atas kesedihanku?
Setelah kami puas bermain-main air,
yang sebenarnya lebih tepat dia yang lebih puas bermain air. Aku hanya bermain-main seperti anak kecil yang
baru pertama melihat air. Ciprat sana, ciprat sini. Tidak jelas. Dia lalu
duduk, dan mulai membangun sesuatu dari pasir. “Lihat ini! Sebuah taman.”
“Ah, cuman begitu saja. Aku bisa membangun lebih bagus lagi... sebuah
istana…,” ujarku pelan.
”Benarkah? Ayo, tunjukkan!”
Sesaat kemudian, aku mulai mengaduk-aduk pasir. Lalu, meraup-raup dan
membuatnya jadi padat. Aku mencoba membangun tembok. Belum sempat aku berhasil
membangunnya, aku teringat kembali dengan hinaan Mike waktu itu. Gubuk reyot.
Dan, tanpa sadar aku mulai berlinang air mata.
Dia mengerutkan dahi, dan menjadi bingung dengan tingkahku. ”Hei! Kenapa
tiba-tiba menangis?”
Aku berkata lirih. ”Istanaku... hanyalah sebuah gubuk reyot... di
matanya...”
”Kamu bilang apa tadi? Mata siapa? Kalau jelek kan, tinggal dibangun
ulang.”
Membangun ulang, katanya. Masalahnya, aku tidak punya daya untuk membangun
ulang.
Pertemuan singkat ini membuatku mengenal sosok sang misterius ini lebih
jauh. Aku terkejut mendengar namanya adalah Michael, yang persis dengan nama mantan
pacarku. Tetapi aku tidak sanggup, bila harus menyapanya Mike. Rasanya
membangkitkan kenangan lama. Kenangan manis yang ingin kubuang jauh. Aku
memanggilnya tetap Michael, meskipun ia sebenarnya lebih suka bila disapa Mike.
Selain namanya yang mirip, kepribadiannya juga sangat mirip. Bukannya hanya
itu, melainkan dari makanan favoritnya, band favoritnya, warna favoritnya, dan
masih banyak yang lainnya mirip sekali dengan Mike. Seperti roh Mike, mantanku itu,
merasuk ke dalam tubuh Michael. Aku tidak mencemaskan kemiripan itu. Aku senang
berada di dekatnya. Dan yang terpenting adalah Michael yang ini tidak bertunangan.
Aku ingin memamerkan Michael ke
teman-temanku. Jadi waktu di mall, aku memintanya untuk foto bersama. Tetapi ia
menolak.
“Itu tidak perlu. Lain kali saja,” ujarnya singkat.
“Tetapi selama kita berpacaran, tak ada foto-foto yang bisa kita simpan,”
pintaku setengah memohon.
Aku memaksanya dan ia tetap menolak. Kami hampir saja bertengkar sampai
orang-orang di sekitar memandangku aneh. Aku menyerah. Michael berkata padaku,
”Kita tidak perlu membuat sebuah gambar untuk mengabadikan hubungan kita. Bagaimana
jadinya kalau kita putus? Kau kan menghapus semua foto kita. Tidakkah itu juga
sama menyakitkannya seperti kau menghapus diriku dari hidupmu.”
Aku bergidik, ngilu mendengar ada kata ”putus”. Kata yang haram dalam
membina sebuah hubungan. ”Michael, kamu jangan berkata seperti itu!” Nada
suaraku melonjak tinggi. Aku hampir marah.
”Maaf,” Michael mencoba menenangkanku. Kemudian, ia menaruh tangannya di
pundakku. ”Meski tidak ada gambar, aku akan abadi di hidupmu. Kamu tidak
memerlukan sebuah album foto. Hatimu itu sudah cukup menjadi album.”
Michael sungguh misterius. Dia tidak mau menceritakan terlalu detil latar
belakangnya. Dia juga enggan mengenalkan keluarganya kepadaku. Anehnya, kupikir
itu tak masalah bagiku.
Keesokan harinya, aku mendapat SMS ke nomor ponselku. Aku tidak mengenal
siapa pengirimnya, namun ia ingin sekali menemuiku. Pertama-tama, tidak aku
hiraukan. Mungkin orang iseng atau orang mau coba-coba menipu. Tetapi, ada 52
kali, jika bisa kuhitung, orang ini mengirim SMS ingin menemuiku. Karena merasa
dia sangat serius, aku memintanya untuk bertemu denganku di sebuah restoran
kecil dekat rumahku. Ternyata yang menemuiku seorang wanita cantik. Rambutnya panjang
berwarna hitam pekat. Di jari manisnya ada cincin yang dengan hiasan permata
yang indah sekali.
“Kita langsung saja, yah?” ucapnya datar, tetapi tegas dan meyakinkan.
Barulah aku tahu bahwa dia adalah tunangannya Mike. Hal ini dapat
menjelaskan makna cincin yang terpasang di jari manisnya.
“Aku dan Mike tadi malam bertengkar. Dia ingin membatalkan pertunangan ini.
Aku sangat tahu, ini pasti ada hubungannya denganmu. Aku tak mengerti mengapa
orang kecil seperti dirimu bisa membuat Mike-ku jadi tergila-gila.”
Orang kecil, katanya. Ucapannya membuat dadaku tersengat.
“Baiklah, kau yang merasa orang besar. Seharusnya kau malu bisa sampai
dikalahkan orang kecil sepertiku,” kataku akhirnya.
“Kau!!!”
“Jujur saja, aku tak mau melanjutkan pembicaraan ini! Aku tak punya
perasaan apa-apa lagi dengan Mike! Urusan kalian berdua, jadilah milik kalian
berdua!”
Aku segera beranjak pergi. Dalam hati aku berpikir, apa benar aku memang tak
punya perasaan apa-apa lagi dengan Mike?
Pertemuanku dengan tunangan Mike adalah suatu kejutan yang tak terduga.
Kini, datang lagi kejutan yang kedua. Mike di depan pagar rumahku! Oh my God! Aku ingin segera pergi,
tetapi Mike sudah lebih dulu menyadari keberadaanku.
”Aku merindukanmu...” Kata-kata sakti yang diucapkan pria ketika dia ingin
meminta balik kepadamu. Aku tahu itu karena aku sudah belajar dari Michael. Dan,
Michael mengajariku untuk tidak menanggapi jika Mike berkata begitu padamu. Tetapi,
sayangnya aku tidak menjalankan nasihat yang kedua itu.
”Aku juga....” Itulah jawaban yang terlontar dari bibirku. Tarikan magnet
bernama kerinduan itu sungguh dahsyat. Tidak perlu lama, magnet itu menarik
kami untuk segera berpelukan. Sejenak, aku merasa ada yang mengawasiku. Oh,
tidak... Michael! Kenapa dia bisa di sini, teriakku dalam hati. Kulihat Michael
ada di ujung jalan sana memperhatikanku. Aku segera melepas pelukan Mike.
”Kenapa? Kenapa kamu berwajah panik seperti itu?” Mike memandangku dengan
keheranan sambil memegang kedua tanganku. Mata Mike melihat ke sekeliling
seakan ingin mencari siapa atau apa yang membuatku terkejut. Beruntunglah Mike
tidak melihat Michael. Kulihat Michael telah pergi. Kurasa dia sedang
bersembunyi.
”Dengar, yang tadi itu... hanyalah sebuah kesalahan. Aku sudah punya... Aku
sudah punya lelaki yang lain...” Aku segera melewati Mike, lalu membuka pagar
rumahku. Mike memanggilku berkali-kali, tetapi aku berpura-pura tuli.
”Kenapa kamu bisa di sini? Kenapa kamu tidak mengabariku dulu?” Aku
bertanya dengan wajah tidak senang kepada Michael, yang sekarang berada di
kamarku.
Michael berwajah sama tidak senangnya. ”Kenapa kamu berperlukan dengan
lelaki berengsek itu?”
Dadaku panas ketika Micahel memanggil Mike dengan sebutan ”brengsek”. ”Jangan
memanggil dia dengan sebutan...” Sebelum selesai aku berbicara, Michael sudah
memotong.
”Tidak boleh memanggilnya berengsek untuk orang yang sudah memberikan lubang
menganga di hati?”
”Bukan begitu maksudku! Tadi aku sedang bingung. Yang tadi barusan adalah
sebuah refleks...”
”Aku tidak peduli yang tadi itu refleks, kesalahan, atau apa pun namanya...
Pesanku satu, jangan temui Mike. Dia hanya akan menambah luka baru bagimu. Dia
tak akan bisa melindungimu, karena dia terlalu jauh untuk kamu gapai. Tapi, aku
tidak. Aku selalu di dekatmu.” Kemudian, dia menarikku ke dalam gravitasinya.
Aku mendarat tanpa aba-aba ke dalam pelukannya. Dan, bibirnya lalu persis di
bibirku sekarang. Sebuah ciuman. Itu cara Michael membungkam mulutku dan
perasaanku.
Ucapan Michael seperti menandakan seorang pemuda yang amat cemburu. Aku
bisa merasakan cintanya yang dalam kepadaku. Sekarang aku makin bingung. Dua
orang pria memperebutkan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar