Page

3 Agustus 2012

[Cerpen] Lelaki yang Lain - Bagian Satu


“Aku sebetulnya sudah bertunangan sejak 4 tahun yang lalu.”
            Aku sangat tidak percaya pada apa yang Mike ucapkan kepadaku kemarin. Mana mungkin, mana mungkin, mana mungkin. Kata-kata itu mungkin kuulang ribuan kali kepadanya. Namun sayangnya, dengan sangat menyesal, ia tetap mengiyakan.
            Mike, nama aslinya Michael, adalah pacarku sejak 2 tahun yang lalu. Tetapi, mendengar ia sudah memiliki tunangan, rasa-rasanya kebersamaan 2 tahun itu sudah tidak berarti lagi. Hubungan kami berdua pun berakhir pada satu kata horor untuk semua orang yang pernah menjalin cinta, yaitu ”putus”.
            Hatiku sakit sekali, pedih dan perih. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di dalam hatiku. Mengapa Mike menipuku selama 2 tahun? Kalau ia sudah bertunangan, mengapa ia masih saja bersamaku. Apa aku ini semacam sang penghibur? Penghibur di kala dukanya. Mengapa dia tega mempermainkanku?

            Aku membuka akun Facebook­-ku. Segera saja, aku hapus semua foto-foto Mike bersamaku. Lalu, aku juga melakukan hal yang sama ke komputerku, laptopku, dan ponselku. Semua gambar yang ada Mike langsung ku-delete. Aku ingin men-delete semua hal tentang dia dari hidupku. Karena segala berkaitan dengan dia, bukan lagi kebahagiaan, melainkan seperti luka. Foto-foto yang sempat kucetak juga kubuang.
Hanya satu foto yang buatku bingung, apa perlu kubuang atau tidak. Foto itu adalah foto yang dibingkai pigura yang menggantung di pintu kamar tidurku. Itu foto bersama teman-teman SMA-ku yang diambil saat aku masih kelas 1. Ada Mike juga di sana. Mike temanku sejak kelas 1 SMA. Hanya saja, dia baru mencuri hatiku ketika kami kelas 3. Aku ingin membuang foto pigura itu, tetapi tidak bisa karena ada teman-temanku di sana. Aku tidak sampai hati.
Aku melihat Mike di foto pigura itu. Dia tersenyum. Senyum sama yang sangat melelehkan. Aku putuskan membiarkan foto pigura itu tetap di sana. Aku berpaling. Aku ingin tidur. Lelah sekali rasanya. Sebelum aku mematikan lampu kamarku, aku memerhatikan sekali lagi pigura itu. Mengapa kulihat sekarang Mike di sana tidak lagi tersenyum? Dia terlihat murung. Hmm... Mungkin aku salah lihat. Aku cepat-cepat mematikan lampu kamarku.

            Aku terduduk lesu di bangku taman tempat di mana kami sering menghabiskan waktu bersama. Sekarang kuhabiskan waktu ini sendirian. Sekumpulan mawar yang baru saja bersemi seperti mengejekku. Mawar yang biasa dipersembahkan pria untuk wanita yang dicintainya tidak terlihat ada indahnya lagi di mataku. Dirundung penuh kesedihan, aku benar-benar berharap ada seseorang yang bisa menghibur hati ini.
            “Hai, cewek.... sedang apa di sini?” tanya seorang cowok yang membuatku terbangun dari lamunanku. Kulihat orang yang menyapaku itu, seorang pemuda yang cukup tampan.
            “Boleh duduk sebentar di sana.”
Dia menunjuk ke tempat kosong di sebelahku. Entah kenapa, tanpa berpikir panjang aku langsung mengangguk.
            Kami berdua duduk bersebelahan. Tetapi, bergeming lama sekali. Sampai kemudian, cowok misterius di sebelahku ini berkata,”Wanita yang duduk sendiri, tidak ngapa-ngapain.... berarti pasti dia punya masalah.”
            “Tahu apa, kamu! Jangan sembarangan menuduh ya,” sahutku cepat dan ketus.
            Tetapi, dalam hati aku membenarkan perkataannya. Maksudku, membenarkan apa yang sedang kualami. Mendadak dia berdiri, lalu menarik lengan bajuku.
            “Eh, apa-apaan sih ini?” sergahku melepas tarikannya.
            “Bagaimana kalau kuajak kamu jalan-jalan? Apa kamu mau di sini selamanya? Ayo, ikut aku....”
            Tiba-tiba ada ketertarikan besar yang menyelimutiku. Jadi kuturuti saja keinginannya. Dan, ia membawaku ke...
           
Pantai. Kenapa dia membawaku kemari. Dulu aku dan Mike sering kemari untuk sekadar melepas penat. Lucu sekali, jika kuingat waktu itu. Kalau kami berdua ke pantai, tidak hanya main-main air, tetapi kami juga berlomba membangun istana pasir. Kami akan beradu, siapa istana pasir yang dibangun yang paling kuat dan paling lama bertahan. Lalu, biasanya kami akan saling mengejek. ”Eh, itu mah bukan istana, tapi itu gubuk,” hina Mike menunjuk istana yang kubangun sambil tertawa terbahak-bahak.
”Enak saja, daripada punya situ... itu... itu mah....”
”Itu apa?” tanyanya penasaran.
”Itu mah... kandang kuda!” Aku tertawa, merasa bahagia bisa balas mengejeknya.
”Bagus dong,” Mike tersenyum, ”Kandang kuda ini, kandang kuda putih lho... nanti aku akan datang menjemputmu di gubuk reyotmu itu.”
Peuh.... Dasar Mike, dia memang pandai sekali menggodaku. Kata Mike kepadaku, ”Membangun impian seperti membangun istana pasir. Begitu mudahnya, istana pasir itu terhembus oleh angin dan hancur. Sama juga dengan impian kita, amat mudah kita hancurkan. Maka itu, kita perlu menjaganya, bahkan terus membangunnya berulang-ulang.”

”Ah, udaranya segar sekali.” Cowok misterius itu berkata begitu sembari mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, lalu membusungkan dadanya.
”Ngapain diam-diam di situ saja? Ayo, main-main.”
Aku menjadi bertanya-tanya siapa dia, dari mana ia berasal. Apakah dia adalah jawaban Tuhan atas kesedihanku?
Setelah kami puas bermain-main air, yang sebenarnya lebih tepat dia yang lebih puas bermain air. Aku hanya bermain-main seperti anak kecil yang baru pertama melihat air. Ciprat sana, ciprat sini. Tidak jelas. Dia lalu duduk, dan mulai membangun sesuatu dari pasir. “Lihat ini! Sebuah taman.”
“Ah, cuman begitu saja. Aku bisa membangun lebih bagus lagi... sebuah istana…,” ujarku pelan.
”Benarkah? Ayo, tunjukkan!”
Sesaat kemudian, aku mulai mengaduk-aduk pasir. Lalu, meraup-raup dan membuatnya jadi padat. Aku mencoba membangun tembok. Belum sempat aku berhasil membangunnya, aku teringat kembali dengan hinaan Mike waktu itu. Gubuk reyot. Dan, tanpa sadar aku mulai berlinang air mata.
Dia mengerutkan dahi, dan menjadi bingung dengan tingkahku. ”Hei! Kenapa tiba-tiba menangis?”
Aku berkata lirih. ”Istanaku... hanyalah sebuah gubuk reyot... di matanya...”
”Kamu bilang apa tadi? Mata siapa? Kalau jelek kan, tinggal dibangun ulang.”
Membangun ulang, katanya. Masalahnya, aku tidak punya daya untuk membangun ulang.

Pertemuan singkat ini membuatku mengenal sosok sang misterius ini lebih jauh. Aku terkejut mendengar namanya adalah Michael, yang persis dengan nama mantan pacarku. Tetapi aku tidak sanggup, bila harus menyapanya Mike. Rasanya membangkitkan kenangan lama. Kenangan manis yang ingin kubuang jauh. Aku memanggilnya tetap Michael, meskipun ia sebenarnya lebih suka bila disapa Mike.
Selain namanya yang mirip, kepribadiannya juga sangat mirip. Bukannya hanya itu, melainkan dari makanan favoritnya, band favoritnya, warna favoritnya, dan masih banyak yang lainnya mirip sekali dengan Mike. Seperti roh Mike, mantanku itu, merasuk ke dalam tubuh Michael. Aku tidak mencemaskan kemiripan itu. Aku senang berada di dekatnya. Dan yang terpenting adalah Michael yang ini tidak bertunangan.

            Aku ingin memamerkan Michael ke teman-temanku. Jadi waktu di mall, aku memintanya untuk foto bersama. Tetapi ia menolak.
“Itu tidak perlu. Lain kali saja,” ujarnya singkat.
“Tetapi selama kita berpacaran, tak ada foto-foto yang bisa kita simpan,” pintaku setengah memohon.
Aku memaksanya dan ia tetap menolak. Kami hampir saja bertengkar sampai orang-orang di sekitar memandangku aneh. Aku menyerah. Michael berkata padaku, ”Kita tidak perlu membuat sebuah gambar untuk mengabadikan hubungan kita. Bagaimana jadinya kalau kita putus? Kau kan menghapus semua foto kita. Tidakkah itu juga sama menyakitkannya seperti kau menghapus diriku dari hidupmu.”
Aku bergidik, ngilu mendengar ada kata ”putus”. Kata yang haram dalam membina sebuah hubungan. ”Michael, kamu jangan berkata seperti itu!” Nada suaraku melonjak tinggi. Aku hampir marah.
”Maaf,” Michael mencoba menenangkanku. Kemudian, ia menaruh tangannya di pundakku. ”Meski tidak ada gambar, aku akan abadi di hidupmu. Kamu tidak memerlukan sebuah album foto. Hatimu itu sudah cukup menjadi album.”
Michael sungguh misterius. Dia tidak mau menceritakan terlalu detil latar belakangnya. Dia juga enggan mengenalkan keluarganya kepadaku. Anehnya, kupikir itu tak masalah bagiku.

Keesokan harinya, aku mendapat SMS ke nomor ponselku. Aku tidak mengenal siapa pengirimnya, namun ia ingin sekali menemuiku. Pertama-tama, tidak aku hiraukan. Mungkin orang iseng atau orang mau coba-coba menipu. Tetapi, ada 52 kali, jika bisa kuhitung, orang ini mengirim SMS ingin menemuiku. Karena merasa dia sangat serius, aku memintanya untuk bertemu denganku di sebuah restoran kecil dekat rumahku. Ternyata yang menemuiku seorang wanita cantik. Rambutnya panjang berwarna hitam pekat. Di jari manisnya ada cincin yang dengan hiasan permata yang indah sekali.
“Kita langsung saja, yah?” ucapnya datar, tetapi tegas dan meyakinkan.
Barulah aku tahu bahwa dia adalah tunangannya Mike. Hal ini dapat menjelaskan makna cincin yang terpasang di jari manisnya.
“Aku dan Mike tadi malam bertengkar. Dia ingin membatalkan pertunangan ini. Aku sangat tahu, ini pasti ada hubungannya denganmu. Aku tak mengerti mengapa orang kecil seperti dirimu bisa membuat Mike-ku jadi tergila-gila.”
Orang kecil, katanya. Ucapannya membuat dadaku tersengat.
“Baiklah, kau yang merasa orang besar. Seharusnya kau malu bisa sampai dikalahkan orang kecil sepertiku,” kataku akhirnya.
“Kau!!!”
“Jujur saja, aku tak mau melanjutkan pembicaraan ini! Aku tak punya perasaan apa-apa lagi dengan Mike! Urusan kalian berdua, jadilah milik kalian berdua!”
Aku segera beranjak pergi. Dalam hati aku berpikir, apa benar aku memang tak punya perasaan apa-apa lagi dengan Mike?

Pertemuanku dengan tunangan Mike adalah suatu kejutan yang tak terduga. Kini, datang lagi kejutan yang kedua. Mike di depan pagar rumahku! Oh my God! Aku ingin segera pergi, tetapi Mike sudah lebih dulu menyadari keberadaanku.
”Aku merindukanmu...” Kata-kata sakti yang diucapkan pria ketika dia ingin meminta balik kepadamu. Aku tahu itu karena aku sudah belajar dari Michael. Dan, Michael mengajariku untuk tidak menanggapi jika Mike berkata begitu padamu. Tetapi, sayangnya aku tidak menjalankan nasihat yang kedua itu.
”Aku juga....” Itulah jawaban yang terlontar dari bibirku. Tarikan magnet bernama kerinduan itu sungguh dahsyat. Tidak perlu lama, magnet itu menarik kami untuk segera berpelukan. Sejenak, aku merasa ada yang mengawasiku. Oh, tidak... Michael! Kenapa dia bisa di sini, teriakku dalam hati. Kulihat Michael ada di ujung jalan sana memperhatikanku. Aku segera melepas pelukan Mike.
”Kenapa? Kenapa kamu berwajah panik seperti itu?” Mike memandangku dengan keheranan sambil memegang kedua tanganku. Mata Mike melihat ke sekeliling seakan ingin mencari siapa atau apa yang membuatku terkejut. Beruntunglah Mike tidak melihat Michael. Kulihat Michael telah pergi. Kurasa dia sedang bersembunyi.
”Dengar, yang tadi itu... hanyalah sebuah kesalahan. Aku sudah punya... Aku sudah punya lelaki yang lain...” Aku segera melewati Mike, lalu membuka pagar rumahku. Mike memanggilku berkali-kali, tetapi aku berpura-pura tuli.

”Kenapa kamu bisa di sini? Kenapa kamu tidak mengabariku dulu?” Aku bertanya dengan wajah tidak senang kepada Michael, yang sekarang berada di kamarku.
Michael berwajah sama tidak senangnya. ”Kenapa kamu berperlukan dengan lelaki berengsek itu?”
Dadaku panas ketika Micahel memanggil Mike dengan sebutan ”brengsek”. ”Jangan memanggil dia dengan sebutan...” Sebelum selesai aku berbicara, Michael sudah memotong.
”Tidak boleh memanggilnya berengsek untuk orang yang sudah memberikan lubang menganga di hati?”
”Bukan begitu maksudku! Tadi aku sedang bingung. Yang tadi barusan adalah sebuah refleks...”
”Aku tidak peduli yang tadi itu refleks, kesalahan, atau apa pun namanya... Pesanku satu, jangan temui Mike. Dia hanya akan menambah luka baru bagimu. Dia tak akan bisa melindungimu, karena dia terlalu jauh untuk kamu gapai. Tapi, aku tidak. Aku selalu di dekatmu.” Kemudian, dia menarikku ke dalam gravitasinya. Aku mendarat tanpa aba-aba ke dalam pelukannya. Dan, bibirnya lalu persis di bibirku sekarang. Sebuah ciuman. Itu cara Michael membungkam mulutku dan perasaanku.
Ucapan Michael seperti menandakan seorang pemuda yang amat cemburu. Aku bisa merasakan cintanya yang dalam kepadaku. Sekarang aku makin bingung. Dua orang pria memperebutkan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar