Judul: Kamar Dua
Ratus Empat Belas
Pengarang: Dali
Santun Naga
Penerbit: Unit
Penerbitan Universitas Tarumanagara
Tahun Terbit:
2008
Cerita fiksi
ilmiah adalah genre yang mungkin, sepengetahuan saya, adalah genre yang agak
langka di perbukuan Indonesia, karena perlu menggumuli sejumlah referensi demi
memantapkan ide dan logika cerita. Dewi Lestari melejit dengan karyanya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh,
serta Andrea Hirata lewat karya tetralogi Laskar
Pelangi adalah sebagian pengarang cerita fiksi ilmiah di Indonesia. Di luar
tanah air, kita mengenal ada Michael Crichton, H.G. Wells, dan Jules Verne.
Nama terakhir kabarnya dikenal sebagai bapak cerita fiksi ilmiah.
Namun, saya
kembali menemukan seorang pengarang cerita fiksi ilmiah tanah air. Profesor
Dali Santun Naga. Oh, pantas saja pengarangnya profesor tuh. Bagaimana
ceritanya tidak akan tidak ilmiah? Sayangnya, saat itu beliau belum menjadi
profesor. Saya bisa berkata demikian karena ceritanya sendiri ditulis pada
tahun 1976, yang mana beliau baru meraih gelar S-1 Teknik Elektro. Informasi latar
belakang pendidikan beliau ini saya dapatkan dari penelusuran di internet.
Semoga tidak keliru.
Cerita ini awalnya
dimuat di Harian Kompas berupa cerita
bersambung dari tanggal 21 April 1980 sampai dengan 13 Mei 1980. Kemudian, pada
tahun 2008, cerita bersambung ini disatukan kembali oleh Unit Penerbitan
Universitas Tarumanagara ke dalam sebuah buku. Menjadi sebuah novel, jika boleh
disebut demikian.
Amat menarik
rasanya membaca sebuah tulisan era ’80-an. Telepon genggam, internet, dan
komputer yang saat itu masih menjadi barang mewah dan tidak secanggih sekarang.
Tetapi, cerita yang ditulis pengarang melampaui segala teknologi dan pemikiran
era ’80-an. Justru, kita dibawa ke tahun 18547. Bulan saat itu telah lenyap,
suhu permukaan bumi memanas, dan penduduk yang tersisa tinggal di dalam tanah dengan
hanya membentuk satu bangsa tanpa ada fungsi pemerintahan.
Kejutan demi
kejutan akan Anda dapati seiring mengikuti penuturan tokoh saya. Adalah kejutan
tersendiri di luar cerita barangkali, pengarang tidak menggunakan kata ”aku”,
tetapi kata ”saya”. Entah kata ”saya” menjadi sebuah kata yang lebih populer
dibandingkan kata ”aku” pada saat itu, atau mungkin pengarang lebih menyukai
kata ”saya” daripada ”aku”. Entahlah.
Diceritakan di
awal, tokoh saya tiba-tiba terbangun dan terkejut mendapati dirinya dikelilingi
oleh manusia-manusia berbadan kecil. Ia berkenalan dengan Profesor Rubarta,
Profesor Andarido, dan Indani. Kejutan berikutnya, tokoh saya mendapati bahwa
manusia tahun 18547 sudah memiliki emosi yang tumpul. Cinta dan maaf sudah tidak
ada dalam kamus mereka. Tokoh saya yang seingatnya masih ada di tahun 1976
tentu saja heran bukan main mendapati dirinya sudah jauh di masa depan. Cerita kemudian
bergulir ke dalam diskusi-diskusi menarik antara tokoh saya dan Indani.
Cerita Kamar Dua Ratus Empat Belas ini
sebetulnya boleh dimasukkan ke dalam genre post-apocalyptic fiction. Sebuah genre untuk cerita dengan setting pascabumi mengalami kehancuran
atau bencana besar. Ceritanya juga mengingatkan saya pada film City of Ember. Tapi, jangan harap ada
petualangan seperti Doon dan Lina, penduduk dalam tanah, yang mencoba berjuang
ke permukaan bumi. Cerita Kamar
Dua Ratus Empat Belas terasa membosankan bagi mereka yang menyukai kisah
petualangan. Kisahnya dituturkan seperti perkuliahan. Tokoh saya melempar
pandangan A, Indani membalas dengan pandangan berbeda. Begitu seterusnya.
”Perkuliahan” Kamar Dua Ratus Empat Belas menyeret
nama Sigmund Freud, Newton, Archimedes, Charles Darwin, dan tokoh-tokoh besar
asing lainnya. Topik ”perkuliahannya” sendiri beraneka ragam dari pelajaran
astronomi, fisika, kimia, arti hidup, dan lain sebagainya.
Untung saja, penat
materi ”perkuliahan” diselingi kenakalan tokoh saya, yaitu saat tokoh saya
berusaha beberapa kali merayu Indani, gadis yang tumpul emosi, dengan nyanyian
dan puisi...
Bulan perbani
Menanti di sudut langit
Pada saat paling mesra
Pada saat paling sejahtera
...
Puisi khas ’80-an
dengan struktur rima yang rapi.
Tidak disangka
pengarang yang sudah menerbitkan sejumlah jurnal penelitian dengan aneka
disiplin ilmu ini rupanya cukup lincah berbicara soal cinta. Iya, ada cinta
dalam Kamar Dua Ratus Empat Belas.
”Cinta seorang pria terhadap wanita ibarat air dalam gelas. Gelas itu bisa
sebagian penuh, penuh, ataupun luber. Tetapi kaum wanita telah menganut suatu
pengertian bahwa tidak boleh ada alternatif lain kecuali gelas penuh tetapi
tidak luber.” Begitulah deskripsi cinta Profesor Dali lewat tuturan tokoh saya.
Sangat filosofi.
Sayangnya, cerita
seakan dipaksa selesai. Ibarat nonton sebuah film di TV yang lagi seru-serunya,
eh tau-tau mati lampu. Begitulah, akhir cerita ini terasa menggantung dan
menyisakan banyak pertanyaan. Hubungan tokoh saya dan Indani berlanjut sampai ke
mana juga terasa mengambang.
Hanya saja,
membaca cerita ini membuat kita dapat melihat sisi lain seorang Profesor Dali. Seorang
dosen yang jarang bercanda, jarang melontarkan amarah, yang dikenal sebagai
mantan Rektor Untar, penulis jurnal ilmiah, dosen filsafat dan psikometrika—mata
kuliah kesayangan anak psikologi Untar. Saya sebut kesayangan karena ada yang
ikhlas bersedia mengulang mata kuliah itu lebih dari sekali.
Catatan: Buku ini tampaknya belum dijual bebas, saya sendiri menemukannya dari perpustakaan Untar (Tarumanagara Knowledge Center)
Catatan: Buku ini tampaknya belum dijual bebas, saya sendiri menemukannya dari perpustakaan Untar (Tarumanagara Knowledge Center)
Saya penasaran, siapa mahasiswa yang IKHLAS BERSEDIA mengulang mata kuliah itu lebih dari sekali? LOL
BalasHapusmahasiswa itu anaknya asik dan keren hahaha
BalasHapusMenemukan tulisan ini, dan gw sekarang IKHLAS BERSEDIA mengulang untuk ketiga kalinya... tapi kali ini sebagai asisten beliau, hehehe.
Hapusmaaf baru balas... jarang nge-blog lagi, hehehe...
HapusIya, Vin.. good, selamat! semoga kelak bisa jadi pengganti beliau ya, hahaha
Bahahahaha dan skrg gw jd dosen psikometri Fren, ud ngajar 3 tahun :))))) kocak jg ya kalau liat ke masa lalu
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusProf Dali suka bercanda kok sebenerny kalo lagi d kelas hehhe
BalasHapusPengalaman saya Mbak, waktu beliau mengajar psikometrika pada saat saya kuliah sih terlihat agak serius, hehe...
Hapuswuah, ketemu fan base Prof. Dali...Beliau memang sungguh mengesankan...mahasiswanya dibuat ketar ketir sampai merasa beruntung diajar Beliau.
BalasHapus