Sebulan tanpa gangguan dari mantan membuat hidupku terasa lebih lega. Sejak
pertemuan tak terduga di Minggu pagi, aku sudah tidak pernah melihat dia datang
menemuiku, baik sengaja maupun tidak sengaja. Kupikir semuanya akan berjalan
baik-baik saja sampai... dia, mantanku itu berada di depan pagar rumahku lagi.
Aku baru saja pulang dari kuliah. Perjalanan menuju rumah yang melelahkan.
Tak sabar ingin memanjakan diriku dengan sepotong kue cokelat. Tetapi, dia
membuat mood-ku rusak.
Aku lihat Mike sedang berbicara dengan pembantu rumahku. Aku mencoba mendengarkan.
”Ya, begitulah kira-kira, seperti Mas Mike bicarakan. Memang agak aneh.
Tapi mana berani aku menegur. Salah-salah, Mbak yang dimarahi,” kata pembantu
rumahku.
”Baik, terima kasih banyak untuk infonya Mbak,” kata Mike.
Aku tak mengerti apa yang mereka sedang bicarakan. Mike lalu membalikkan
badannya. Aku pun ikut-ikutan membalikkan badan. Bodoh sekali, mestinya aku
memilih untuk lari.
Mike menepuk pundakku. Aku segera berbalik.
”Kenapa kamu ke sini lagi? Gak pernah bosan mencariku,” aku menepis tangan
Mike dari pundakku.
”Kamu ingin tahu tidak, kenapa cowo barumu itu bisa muncul begitu saja?”
”Hah!?” Aku memandangi Mike dengan heran.
”Aku tahu sekarang... Cowo barumu itu...”
”Jangan dengarkan dia!”
”Michael...” Michael di sini, gumamku. Tetapi, di mana? Aku segera melihat
ke sekelilingku.
”Michael... Jadi namanya Michael,” sahut Mike.
”Cepat pergi dari sini. Jangan dekati lelaki pengkhianat!” Michael menyahut
lebih keras. Dia ada di balik pepohonan. Kenapa harus pakai bersembunyi?
”Michael, bersikaplah sopan sedikit,” kataku kepadanya.
”Di mana cowo barumu itu? Bolehkah aku melihatnya?” tanya Mike.
Aku bingung dengan pertanyaan Mike tadi. Bolehkah aku melihatnya. ”Mike, apa maksud pertanyaanmu? Michael,
dia benar ada di sini kok,” aku menunjuk ke pohon yang di seberang jalan kami.
Tetapi, Michael sudah tidak ada di sana lagi.
”Michael, di mana kamu? Mike ingin berkenalan denganmu.” Aku melihat ke
sekelilingku. Mataku mencari-cari sosok lelaki misterius itu.
Aku memanggil nama Michael berkali-kali. Tetapi, tidak ada jawaban dari Michael.
Segera saja, aku pergi mencari-cari di sekitar kompleks rumahku.
Mike ikut menyusulku. Saat aku mulai lelah mencari Michael, Mike berkata
hal yang mengejutkanku. ”Sudahlah, tak usah mencari dia lagi. Michael... dia
tidak nyata. Dia hanya khayalanmu saja.”
”Ja-jangan bercanda. Apa kamu ingin mengatakan bahwa dirinya adalah hantu,”
protesku. Aku mulai merasa ngeri. Michael-ku memang misterius, tetapi dia tidak
mungkin tidak nyata.
”Bukan, kalau hantu itu masih nyata. Tapi, yang ini benar-benar tidak
nyata,” balas Mike pelan.
”Michael adalah nyata. Aku pernah menyentuh wajahnya, memegang tangannya.
Bahkan... ia pernah mengenakan hadiah yang kuberikan.”
Aku berlari meninggalkan Mike. Aku berlari menuju rumahku. Aku sampai ke
rumahku dengan terengah-engah dan itu membuat Ibuku keheranan. Aku ingin
membuktikan kebenaran.
”Ibu, apa Ibu masih ingat dengan lelaki yang pernah berkunjung ke rumah
kita. Kami berbincang di teras depan.”
”Siapa ya? Rasa-rasanya tidak ada lelaki lain yang pernah kamu undang
datang ke rumah kita, selain...,” Ibuku mencoba mengingat nama, ”selain Mike.
Iya... Hanya dia saja lelaki yang pernah datang ke rumah kita.”
”Masa Ibu tidak ingat? Namanya Michael, pacarku sekarang. Ayo Ibu
ingat-ingat lagi. Aku mengundangnya ke sini sebulan yang lalu. Aku sudah
mengenalkannya pada Ibu, kok,” desakku.
”Yang mana ya? Sebulan lalu ya? Waduh, mana ingat ya. Kayaknya enggak ada
deh. Kenapa gak namanya pembantu rumah kita, dia kan lebih sering di rumah
daripada Ibu. Barangkali dia lebih tahu.”
Aku lalu berteriak memanggil pembantu rumahku.
”Iya, Non.” Pembantuku segera keluar dari dapur lalu menghadapku.
”Mbak, ingat tidak dengan lelaki yang pernah berkunjung ke rumah kita
sekitar sebulan yang lalu, yang kuajak main ke teras depan itu lho,” tanyaku
penuh harap. Semoga pembantu rumahku bisa membuktikan bahwa Michael adalah
kenyataan.
”Oh yang itu ya...”
”Ada kan ya.” Aku mulai cemas.
”Ndak ada Non. Waktu itu di teras
depan ndak ada orang lain, selain Non
sendiri. Non bicara sendiri dan senyum-senyum sendiri saja. Maaf ya Non, ndak bermaksud menuduh yang bukan-bukan.
Tetapi, benar itu Mbak liat. Ndak ada
maksud berbohong kok.”
Aku lemas mendengarnya. Jadi, selama ini aku berbicara dengan hantu. Tetapi,
aku benar-benar memberikan hadiah jam tangan itu kepadanya dan melihatnya
mengenakannya. Aku juga memberikan bunga mawar itu kepadanya. Kami pun pernah berciuman. Dia terlihat
nyata.
Dengan penuh kebingungan aku menaiki loteng dan menuju ke kamarku. Aku mencari-cari
hadiah dan bunga mawar yang kuberikan kepada Michael. Aku mencarinya ke seisi
kamarku. Dari lemari baju, laci belajar, kotak perhiasan, semuanya kubongkar.
Kamarku sekarang seperti kapal pecah.
Aku lalu duduk di atas tempat tidur. Pandanganku mendadak tertuju pada
kotak kecil yang ada di pojok lemari bajuku. Aku cepat-cepat mengambilnya,
kemudian membukanya...
Astaga! Di dalamnya aku menemukan berlembar-lembar fotoku bersama Mike. Ada
juga foto Mike yang kuambil secara candid.
Kenapa semuanya tersimpan di sini? Bukankah sudah kubuang?
Aku juga menemukan barang-barang pembelian Mike, seperti kalung, gelang,
anting, dompet... Dan aku melihat sebuah jam tangan dan bunga mawar. Hadiah
untuk Michael. Aku menggenggam kedua benda itu di tanganku. Raut mukaku tak
percaya bahwa kedua benda itu masih ada di kamarku, bukan ada di Michael.
Bukankah aku sudah memberikan kepadanya? Aku mencoba mengingat-ingat
kejadian ketika aku memberikan kedua barang ini kepadanya, tetapi yang muncul
hanya rasa sakit di kepala.
Sekelebat bayangan hadir di belakangku. Michael kini di balik jendela
kamarku. Aku segera pergi mendekatinya.
”Michael, katakan kepadaku siapa kamu sesungguhnya?”
”Kenapa kamu meragukan diriku? Namaku Michael dan aku adalah lelaki yang
kaucinta. Tidakkah bisa kau lihat itu?”
”Tidak. Aku mulai tidak percaya kamu lagi. Kenapa barang yang kuberikan
kepadamu tidak kau simpan?”
”Kamu ingin tahu kenapa? Kamu ingin tahu apa aku nyata atau tidak? Coba
sedikit mendekat kepadaku?” Michael menyosongkan kedua tangannya. Dia seolah memintaku
menyambutnya.
Rasa penasaran menggerakkanku mendekatinya. Aku membuka jendela kamarku.
Angin berhembus kencang segera menerpaku. Aku berjalan perlahan mencoba meraih
kedua tangan Michael. Aku menggengam kedua tangannya sekarang. Sungguh dia
nyata.
Tetapi, saat kulihat ke bawah. Michael melayang. Aku terkejut setengah
mati. Dan aku lebih terkejut ketika sadar bahwa aku berdiri di atas kusen
jendela. Aku berada di lantai 2 dan perasaan kaget membuatku hilang
keseimbangan. Aku terpleset jatuh ke bawah. Aku pikir ini adalah akhir riwayat
hidupku. Namun, ada yang mencengkramku dan menarik diriku ke atas. Aku segera
rebah di pelukannya.
”Apa yang kamu lakukan, bodoh?”
Suara Mike. Dia telah menyelamatkanku. Aku lalu menangis di pelukannya.
Mike bilang kepadaku bahwa dia tetap mengawasi gerak-gerikku sejak dia membuatku
terluka. Dia mengamati keanehanku. Dia melihat ada sesuatu yang tidak beres
denganku. Aku sendiri tidak menyadari mengapa aku bisa menciptakan ”hantu”
bernama Michael.
Mike berkata bahwa aku menciptakan gambaran dirinya karena aku tidak bisa
menerina kenyataan. Menurutnya, Michael adalah suara hatiku yang tersakiti.
Mike merasa bersalah dan meminta maaf karena telah membuatku sedikit
”rusak”. Dia berjanji tidak akan meninggalkanku lagi. Tetapi, sebetulnya akulah
yang harus meminta maaf.
”Maafkan aku, Mike. Selama ini aku pasti sangat manja dan menyebalkan.
Bahkan, saat hari di mana aku harusnya bisa melupakanmu, malah kaulah yang
menolongku. Aku sungguh lemah. Pasti aku sering membuatmu susah selama ini,”
kataku padanya suatu hari sambil terisak.
”Berhentilah menangis. Wajahmu terlihat jelek. Kamu memang menyebalkan,
tetapi itulah yang membuatku suka.” Mike lalu mencubit kedua pipiku dan
menariknya. ”Sekarang tersenyumlah seperti ini.”
Aku berteriak kesakitan. Air mataku lalu terhenti dan aku kini ingin
menghajarnya karena membuatku pipiku kesakitan.
Michael masih kerap muncul. Michael masih terus memintaku untuk menjauhi
Mike. Kadangkala frekuensi suaranya semakin sering kala ku sendiri. Hal itu
membuatku tidak tahan dan aku terkadang meminta Mike menemaniku sampai aku
benar-benar terlelap.
Mike memang lelaki yang kucinta. Dia terus memberiku kekuatan. ”Sampai
hatimu benar-benar sembuh akibat luka yang kuberikan, dia pasti akan tetap
muncul. Bersabarlah. Aku sudah berjanji akan memperbaiki hubungan kita yang
sempat terputus.”
”Kamu itu istana pasirku. Akan kujaga kamu sekuat tenagaku. Meski
perasaanmu hancur, percayalah aku akan memugarnya kembali hanya untukmu.”
Mike memberiku sebuah gelang yang harus kukenakan. Saat aku sedang berjalan
sendirian, dia memintaku meraba gelang itu saat sosok Michael muncul di
sekelilingku atau saat suara Michal bergema di pikiranku. Gelang pemberiannya
cukup ampuh dan membuatku lebih berani menghadapi rasa takutku.
”Ini untukku?” Mike agak terkejut
ketika aku memintanya menerima sebuah jam tangan dan setangkai mawar.
”Ya terimalah ini,” pintaku.
”Barang ini kan untuk...” Mike berniat
melanjutkan, tetapi ragu-ragu.
”Tidak apa-apa Mike. Aku sudah lebih
kuat dari sebelumnya. Jam tangan dan mawar itu memang diberikan untuk Michael
pada awalnya. Tetapi, kan Michael adalah dirimu sebetulnya. Ilusi dirimu. Dia
adalah kau. Jadi, kupikir yang terbaik dari cara melupakan Michael adalah
dengan memberikan kepada dirimu apa yang seharusnya kuberikan kepadanya.”
Mike mengangguk dan tersenyum. Mike
pasti berpikir bahwa aku sudah lebih dewasa dari awal pertama ia mengenalku.
Samar-samar aku melihat Michael dari jauh masih mengawasiku. Tetapi,
kuyakin dia tidak akan berani mengusikku. Seiring kepercayaanku pada Mike
kembali, kemunculan sosok dan suara Michael mulai berkurang. Hatiku mulai
pulih.
Mike memang pernah menjadi kekasihku. Tetapi, sekarang aku ingin
memandangnya sebagai kekasihku yang baru. Aku ingin memulai kehidupan baru
bersamanya. Kehidupan yang lebih kuat dan lebih erat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar