Page

31 Agustus 2012

Mengintip Kamar Fiksi Profesor Dali S. Naga

Judul: Kamar Dua Ratus Empat Belas
Pengarang: Dali Santun Naga
Penerbit: Unit Penerbitan Universitas Tarumanagara
Tahun Terbit: 2008

Cerita fiksi ilmiah adalah genre yang mungkin, sepengetahuan saya, adalah genre yang agak langka di perbukuan Indonesia, karena perlu menggumuli sejumlah referensi demi memantapkan ide dan logika cerita. Dewi Lestari melejit dengan karyanya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, serta Andrea Hirata lewat karya tetralogi Laskar Pelangi adalah sebagian pengarang cerita fiksi ilmiah di Indonesia. Di luar tanah air, kita mengenal ada Michael Crichton, H.G. Wells, dan Jules Verne. Nama terakhir kabarnya dikenal sebagai bapak cerita fiksi ilmiah.

Namun, saya kembali menemukan seorang pengarang cerita fiksi ilmiah tanah air. Profesor Dali Santun Naga. Oh, pantas saja pengarangnya profesor tuh. Bagaimana ceritanya tidak akan tidak ilmiah? Sayangnya, saat itu beliau belum menjadi profesor. Saya bisa berkata demikian karena ceritanya sendiri ditulis pada tahun 1976, yang mana beliau baru meraih gelar S-1 Teknik Elektro. Informasi latar belakang pendidikan beliau ini saya dapatkan dari penelusuran di internet. Semoga tidak keliru.

Cerita ini awalnya dimuat di Harian Kompas berupa cerita bersambung dari tanggal 21 April 1980 sampai dengan 13 Mei 1980. Kemudian, pada tahun 2008, cerita bersambung ini disatukan kembali oleh Unit Penerbitan Universitas Tarumanagara ke dalam sebuah buku. Menjadi sebuah novel, jika boleh disebut demikian.

Amat menarik rasanya membaca sebuah tulisan era ’80-an. Telepon genggam, internet, dan komputer yang saat itu masih menjadi barang mewah dan tidak secanggih sekarang. Tetapi, cerita yang ditulis pengarang melampaui segala teknologi dan pemikiran era ’80-an. Justru, kita dibawa ke tahun 18547. Bulan saat itu telah lenyap, suhu permukaan bumi memanas, dan penduduk yang tersisa tinggal di dalam tanah dengan hanya membentuk satu bangsa tanpa ada fungsi pemerintahan.

Kejutan demi kejutan akan Anda dapati seiring mengikuti penuturan tokoh saya. Adalah kejutan tersendiri di luar cerita barangkali, pengarang tidak menggunakan kata ”aku”, tetapi kata ”saya”. Entah kata ”saya” menjadi sebuah kata yang lebih populer dibandingkan kata ”aku” pada saat itu, atau mungkin pengarang lebih menyukai kata ”saya” daripada ”aku”. Entahlah.

Diceritakan di awal, tokoh saya tiba-tiba terbangun dan terkejut mendapati dirinya dikelilingi oleh manusia-manusia berbadan kecil. Ia berkenalan dengan Profesor Rubarta, Profesor Andarido, dan Indani. Kejutan berikutnya, tokoh saya mendapati bahwa manusia tahun 18547 sudah memiliki emosi yang tumpul. Cinta dan maaf sudah tidak ada dalam kamus mereka. Tokoh saya yang seingatnya masih ada di tahun 1976 tentu saja heran bukan main mendapati dirinya sudah jauh di masa depan. Cerita kemudian bergulir ke dalam diskusi-diskusi menarik antara tokoh saya dan Indani.

Cerita Kamar Dua Ratus Empat Belas ini sebetulnya boleh dimasukkan ke dalam genre post-apocalyptic fiction. Sebuah genre untuk cerita dengan setting pascabumi mengalami kehancuran atau bencana besar. Ceritanya juga mengingatkan saya pada film City of Ember. Tapi, jangan harap ada petualangan seperti Doon dan Lina, penduduk dalam tanah, yang mencoba berjuang ke permukaan bumi. Cerita Kamar Dua Ratus Empat Belas terasa membosankan bagi mereka yang menyukai kisah petualangan. Kisahnya dituturkan seperti perkuliahan. Tokoh saya melempar pandangan A, Indani membalas dengan pandangan berbeda. Begitu seterusnya.

”Perkuliahan” Kamar Dua Ratus Empat Belas menyeret nama Sigmund Freud, Newton, Archimedes, Charles Darwin, dan tokoh-tokoh besar asing lainnya. Topik ”perkuliahannya” sendiri beraneka ragam dari pelajaran astronomi, fisika, kimia, arti hidup, dan lain sebagainya.

Untung saja, penat materi ”perkuliahan” diselingi kenakalan tokoh saya, yaitu saat tokoh saya berusaha beberapa kali merayu Indani, gadis yang tumpul emosi, dengan nyanyian dan puisi...

Bulan perbani
Menanti di sudut langit
Pada saat paling mesra
Pada saat paling sejahtera

...

Puisi khas ’80-an dengan struktur rima yang rapi.

Tidak disangka pengarang yang sudah menerbitkan sejumlah jurnal penelitian dengan aneka disiplin ilmu ini rupanya cukup lincah berbicara soal cinta. Iya, ada cinta dalam Kamar Dua Ratus Empat Belas. ”Cinta seorang pria terhadap wanita ibarat air dalam gelas. Gelas itu bisa sebagian penuh, penuh, ataupun luber. Tetapi kaum wanita telah menganut suatu pengertian bahwa tidak boleh ada alternatif lain kecuali gelas penuh tetapi tidak luber.” Begitulah deskripsi cinta Profesor Dali lewat tuturan tokoh saya. Sangat filosofi.

Sayangnya, cerita seakan dipaksa selesai. Ibarat nonton sebuah film di TV yang lagi seru-serunya, eh tau-tau mati lampu. Begitulah, akhir cerita ini terasa menggantung dan menyisakan banyak pertanyaan. Hubungan tokoh saya dan Indani berlanjut sampai ke mana juga terasa mengambang.

Hanya saja, membaca cerita ini membuat kita dapat melihat sisi lain seorang Profesor Dali. Seorang dosen yang jarang bercanda, jarang melontarkan amarah, yang dikenal sebagai mantan Rektor Untar, penulis jurnal ilmiah, dosen filsafat dan psikometrika—mata kuliah kesayangan anak psikologi Untar. Saya sebut kesayangan karena ada yang ikhlas bersedia mengulang mata kuliah itu lebih dari sekali.

Catatan: Buku ini tampaknya belum dijual bebas, saya sendiri menemukannya dari perpustakaan Untar (Tarumanagara Knowledge Center)

9 komentar:

  1. Saya penasaran, siapa mahasiswa yang IKHLAS BERSEDIA mengulang mata kuliah itu lebih dari sekali? LOL

    BalasHapus
  2. mahasiswa itu anaknya asik dan keren hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menemukan tulisan ini, dan gw sekarang IKHLAS BERSEDIA mengulang untuk ketiga kalinya... tapi kali ini sebagai asisten beliau, hehehe.

      Hapus
    2. maaf baru balas... jarang nge-blog lagi, hehehe...

      Iya, Vin.. good, selamat! semoga kelak bisa jadi pengganti beliau ya, hahaha

      Hapus
    3. Bahahahaha dan skrg gw jd dosen psikometri Fren, ud ngajar 3 tahun :))))) kocak jg ya kalau liat ke masa lalu

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Prof Dali suka bercanda kok sebenerny kalo lagi d kelas hehhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengalaman saya Mbak, waktu beliau mengajar psikometrika pada saat saya kuliah sih terlihat agak serius, hehe...

      Hapus
  5. wuah, ketemu fan base Prof. Dali...Beliau memang sungguh mengesankan...mahasiswanya dibuat ketar ketir sampai merasa beruntung diajar Beliau.

    BalasHapus